Benar. Suara Arka terdengar. Namun, setelah pertanyaan itu, tak ada lagi ketukan hingga bayangan di bawah pintu menghilang, membuat Alvano bernapas lega.
Karena kelelahan, Alvano tertidur di samping Reina. *** Matahari malu-malu menampakkan diri di ufuk timur. Burung-burung beterbangan di depan jendela kamar Reina yang masih terlelap. Wanita yang bergelung dalam selimut itu memegang kepalanya yang terasa pusing, perlahan membuka mata dan menatap langit-langit kamar. “Uh, pusing sekali.” Reina merasa ada balok besar yang menghantam kepalanya. Perlahan, ingatan semalam bermunculan. “Siapa yang membawaku pulang?” Tepat begitu pertanyaan itu terlontar, Reina merasa ada yang menimpa badannya. Dia terbelalak melihat kaki dan tangan yang memeluknya. Bola mata wanita itu bergerak hingga dia melihat wajah seorang pria yang sangat dikenalnya. “Aaaaaa!” Suara teriakan menggema, membangunkan Alvano yang tertidur. Reflek, dia langsung membekap mulut Reina. “Rein, sssttt!” Alvano meletakkan jari telunjuk di bibirnya. “Kak Al, ngapain di sini?” tanya Reina, matanya melotot pada Alvano. Dia melihat gaunnya yang acak-acakan bahkan menampakkan dada. Dia buru-buru menutupi dengan menyilangkan tangan. “Semalam aku….” Alvano membisu, menelan ludah melihat dada kenyal Reina yang membangunkan miliknya. Dia masih merasakan kekenyalan itu di tangannya. Reina menarik selimut sebatas leher. Dengan jantung berdegup kencang, dia memeriksa tubuhnya. Reina semakin shock mendapati kissmark di dada kanannya. “Kamu yang melakukan ini?” tanya Reina, tangannya yang memegang selimut gemetar. Takut Alvano melakukan yang lebih gila saat dirinya mabuk. “Sebenarnya semalam aku ingin menidurimu,” jujur Alvano, wajahnya datar menunjukkan keseriusan. "Kamu bisa melakukannya? Kita sudah bersama sejak kecil, Kak Al. Kamu teman kakakku." Reina menegaskan, beringsut mundur meski punggungnya telah membentur sandaran ranjang. Alvano mengerutkan dahi. Ketidaksukaan tergambar begitu jelas di wajah tampannya. Dia menyeringai, menggenggam kedua tangan Reina dan menguncinya ke atas. Alvano menyusuri area leher dengan bibirnya, memberikan sensasi geli bagi Reina. "Ah…! Ka—kamu sudah menganggapku seperti adikmu, Kak Al! Kamu ... nggak mungkin bisa menyentuhku. Ini nggak benar. Kita nggak boleh melakukan itu…” Reina mencegah sebisanya meski badannya tak bisa menolak. "Jangan bicarakan tentang itu sekarang, Rein,” tukas Alvano, melepaskan cengkramannya dan menjauh. “Kalau Kak Arka tahu, dia pasti sangat marah.” "Ssshhhh…" Alvano mengecup singkat bibir Reina, rasa manis menjalar di lidahnya membuat gairah pria itu semakin menggebu. Dia segera melepaskan, melihat wajah pias dan mata Reina yang sudah memerah, dia mengelus pipi wanita itu. "Sekarang kamu sudah menjadi janda muda dan masih perawan, ya?" Suara Alvano terdengar berat, jauh berbeda dari pria itu biasanya. Reina mengangguk, merapatkan kakinya kembali. Dada Reina kembali sesak, terasa dihimpit batu besar. "Hari ini aku akan melepaskanmu, Rein. Ingat, hanya hari ini.” "Ma—maksud Kak Al ... apa?" Meski Alvano berkata akan melepaskannya, Reina merasa gugup. Dia bisa melihat tatapan nakal penuh gairah pria itu. "Sebagai teman kakakmu, aku cukup mengerti, Rein. Tapi, aku akan menagihnya di lain waktu." "A—apa?" Reina terkesiap karena hari ini tak selesai begitu saja. "Tapi kenapa?" Alvano tersenyum kecil sambil menatap wajah Reina, banyak yang ingin dikatakan, tetapi Alvano menelan semua kata-kata itu. Jadi, dia hanya berkata, "Karena kamu milikku." “Milikmu?” tanya Reina, wajahnya menunjukkan keterkejutan. "Kak, aku baru saja bercerai. Mana mungkin aku—" "Nah, itu dia," Alvano menjentikkan jari. "Aku memberimu waktu, Rein. Jika kamu sudah siap, beritahu aku." Muka Reina memerah. Dia segera turun dari ranjang, melangkah mundur menjauh dari Alvano yang mengerling seperti predator di hadapan mangsanya. "A-aku nggak mau." "Aku hanya memberimu waktu, bukan pilihan." Alvano melipat kakinya, senyumannya lembut, tetapi tersimpan kenakalan di sana yang membuat Reina menelan ludah. "Dan, aku juga nggak sesabar itu. Aku memberimu waktu … tiga bulan." "Kak ...." Reina menggeleng kuat-kuat, baru kali ini melihat sisi liar pemuda itu. “Jangan seenaknya. Aku nggak setuju!” Reina tercenung melihat senyum yang tak kunjung menghilang di wajah pria berusia 27 tahun itu. Biasanya, Alvano sangat pendiam dan dingin. Reina bergetar ketakutan, tak menyangka hari ini masuk ke kandang buaya darat. “Kamu nggak boleh nolak. Tanpa persetujuanmu, perjanjian ini sudah berlaku." Alvano tersenyum miring. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus menjaga Reina. "Nggak! Aku bakal ngadu ke Kak Arka kalau Kak Al macem-macem!" ancam wanita itu, setetes air mata mengalir di pipi merahnya. Perubahan Alvano terlalu besar, Reina nyaris tak mengenali pria itu lagi. Alvano terkekeh. "Mengadu?" Ketukan pintu kamar membuat Reina terjingkat. Suaranya terdengar sangat menyeramkan. Debaran jantung Reina menjadi begitu cepat. Wanita itu langsung menatap Alvano yang tak terusik dengan suara barusan. Insting Reina begitu kuat. "Itu ... Kak Arka." Wajah Reina pias mengetahui siapa yang datang. Dia mengedarkan pandang, mencari tempat bersembunyi. "Ya. Itu Arka. Kenapa? Bukannya kamu mau ngadu?" Alvano tersenyum tipis. Reina melihat dirinya sendiri, menggeleng cepat sambil meringis. Gaunnya berantakan, bekas kemerahan bertebaran di dada dan lehernya. Melihat Alvano di dalam kamarnya, apa yang harus dikatakan pada kakaknya itu? “Kak Arka…” Reina bergumam lirih. "Haruskah aku biarkan dia masuk dan melihat kita?" tanya Alvano dengan suara menggoda. Tertawa kecil melihat ekspresi Reina yang menggemaskan.Reina penasaran wanita mana yang sedang dekat dengan Alvano. Kakinya melangkah, matanya terus menatap Alvano yang berdiri dua meter di depannya. Pria itu tidak mengatakan apa-apa, seakan hanya mendengar perkataan seseorang di balik telepon.Reina menggigit bibir, menajamkan indra pendengaran dengan dahi berkerut. Dia mendengus pelan karena tak berhasil menguping pembicaraan mereka. “Hm! Nanti aku akan menemuimu.” Satu kalimat yang diucapkan Alvano semakin memantik rasa ingin tau wanita itu. Namun, ketika Reina melihat Alvano tersenyum tipis dari pantulan cermin, membuat Reina terdiam dengan bibir mengerucut. Dia memutar bola mata, menghela napas pelan seraya berkata, “Kalaupun itu seorang wanita, memangnya kenapa?” Mendengar gumaman kecil di belakangnya, Alvano melirik ke arah cermin. Dari ekor mata, dia melihat Reina yang tampak penasaran. Pria itu menarik sudut bibir, berpikir Reina cemburu.Reina menyudahi rasa penasarannya, berbalik dan masuk ke kamar mandi. Saat air shower men
"Ja—jangan, Kak.” Reina mengatupkan tangan di depan dada, mengisyaratkan permohonan yang teramat.Alvano beranjak dari duduknya. Dalam kekalutan yang terbalut rasa takut yang dirasa Reina, Alvano meraih dagu wanita itu sambil tertawa kecil. Dia mengusap pipi sang wanita yang merona, menyentuh bibirnya yang kenyal nan menggoda.Ingin sekali mengecup tanpa henti, secandu itu. Hati Alvano tergelitik, entah mengapa pagi ini dia ingin sekali menggoda Reina. “Kenapa? Kamu takut Arka akan menghajarku?" Alvano menyentuh rambut panjang Reina. Alvano mencium ujung rambut wanita itu, mendongak melihat Reina yang mengangguk cepat.“Sembunyi, Kak!” desak Reina, dia melihat ke sekeliling kamar dengan panik. Reina mendorong Alvano ke kamar mandi kamarnya.Namun, pergelangan tangan Reina langsung ditangkap Alvano. Seketika, wanita itu menoleh, wajahnya meringis, memohon untuk dilepaskan lewat tatapan. "Mau ke mana?" "Ayo sembunyi. Atau mau keluar lewat jendela?” tanya Reina. Heran, mengapa dala
Benar. Suara Arka terdengar. Namun, setelah pertanyaan itu, tak ada lagi ketukan hingga bayangan di bawah pintu menghilang, membuat Alvano bernapas lega.Karena kelelahan, Alvano tertidur di samping Reina.***Matahari malu-malu menampakkan diri di ufuk timur. Burung-burung beterbangan di depan jendela kamar Reina yang masih terlelap. Wanita yang bergelung dalam selimut itu memegang kepalanya yang terasa pusing, perlahan membuka mata dan menatap langit-langit kamar. “Uh, pusing sekali.” Reina merasa ada balok besar yang menghantam kepalanya. Perlahan, ingatan semalam bermunculan. “Siapa yang membawaku pulang?”Tepat begitu pertanyaan itu terlontar, Reina merasa ada yang menimpa badannya. Dia terbelalak melihat kaki dan tangan yang memeluknya. Bola mata wanita itu bergerak hingga dia melihat wajah seorang pria yang sangat dikenalnya.“Aaaaaa!” Suara teriakan menggema, membangunkan Alvano yang tertidur. Reflek, dia langsung membekap mulut Reina. “Rein, sssttt!” Alvano meletakkan jari
Tiba-tiba, musik berhenti. Suasana bar seketika membeku saat seorang pria bersetelan hitam memaksa Disk jockey menghentikan lagunya.“Bajingan!” Teriakan lantang memecah keheningan. Seorang pria maju dengan wajah marah, matanya menatap tajam. “Apa yang kau lakukan padanya?!”Tanpa banyak bicara, Alvano menghantam Evan dengan tendangan keras hingga pria itu tersungkur ke lantai. Evan menyeka darah di sudut bibir, berdiri menantang Alvano. Kemarahan pria itu memuncak melihat Reina yang tergeletak lemah di sofa.Sebelum Evan sempat membalas pukulan Alvano, Alvano lebih dulu memutar tubuhnya dan menendang wajah Evan. Pria itu tersungkur, hidungnya patah karena membentur lantai. Tanpa ragu, Alvano mengangkat tubuh Reina dalam gendongan ala bridal style. “Bereskan bajingan itu,” ucapnya dingin pada bodyguard yang bersiaga.Dengan langkah cepat, ia membawa Reina ke mobil. Di dalam, ia menyandarkan kepala wanita itu ke dadanya, memastikan Reina nyaman dalam pelukannya.“Kenapa kamu sampai se
Reina terbelalak mendengar pengakuan Alvano. Dahinya berkerut, matanya sedikit menyipit. “A-apa? Kamu senang aku … menjanda?”Alvano seakan tersadar dengan sikapnya yang berlebihan. Dia mundur selangkah, mengedarkan pandangan ke seisi kamar Reina untuk mengalihkan perhatian. “Makanlah. Jangan menyakiti dirimu hanya karena pria bajingan itu,” kata Alvano setelah membelakangi Reina. Reina membisu melihat punggung yang sudah lama menjauh darinya tapi, kini sedekat ini. Dia memegang ujung gorden, tak berniat menjawab perkataan Alvano. Namun, tiba-tiba pria itu berbalik, mengeluarkan ice cream coklat dari sakunya dan meletakkan di atas meja. Pria pemilik wajah angkuh itu langsung pergi tanpa mengatakan apapun.“Kamu membelinya untukku, Kak?” tanya Reina, terharu dengan perhatian Alvano. Jujur saja, dia merindukan kedekatan mereka dulu.“Nggak sengaja kelebihan beli.” Pria itu langsung keluar dari kamar Reina. “Sejak kapan dia suka makanan manis?” gumam Reina, memperhatikan ice cream di
“Dengan ini, Pengadilan Agama menyatakan bahwa gugatan cerai yang diajukan oleh Ny. Reina Mayumi terhadap Tn. Bimo Mahardika dikabulkan. Maka pernikahan keduanya dinyatakan berakhir secara sah.”Suara palu hakim menggema keras di ruang sidang. Ketukan sederhana tapi, menghancurkan dua tahun kenangan penuh cinta. Reina meremas jemari, menahan kegetiran hati.Tak ada air mata di wajah Reina. Dia membisu dengan tatapan kosong yang menyembunyikan badai. Tangannya saling meremas, bahkan air liur yang ditelan terasa seperti duri yang mengoyak tenggorokan. Seharusnya, dia lega karena persidangan perceraian berjalan lancar tanpa drama. Nyatanya, selama berbulan-bulan ini nama Bimo masih bertahta di hatinya. Reina menggenggam kekecewaan yang menumpuk, menghembuskan napas perlahan untuk menenangkan diri.“Nggak ada gunanya lagi,” ujar wanita yang baru saja sah menjadi janda tersebut. “Aku harus benar-benar melupakan Mas Bimo.”Bimo bangkit dari kursinya, berjalan keluar ruang sidang tanpa sedi