Reina terbelalak mendengar pengakuan Alvano. Dahinya berkerut, matanya sedikit menyipit. “A-apa? Kamu senang aku … menjanda?”
Alvano seakan tersadar dengan sikapnya yang berlebihan. Dia mundur selangkah, mengedarkan pandangan ke seisi kamar Reina untuk mengalihkan perhatian. “Makanlah. Jangan menyakiti dirimu hanya karena pria bajingan itu,” kata Alvano setelah membelakangi Reina. Reina membisu melihat punggung yang sudah lama menjauh darinya tapi, kini sedekat ini. Dia memegang ujung gorden, tak berniat menjawab perkataan Alvano. Namun, tiba-tiba pria itu berbalik, mengeluarkan ice cream coklat dari sakunya dan meletakkan di atas meja. Pria pemilik wajah angkuh itu langsung pergi tanpa mengatakan apapun. “Kamu membelinya untukku, Kak?” tanya Reina, terharu dengan perhatian Alvano. Jujur saja, dia merindukan kedekatan mereka dulu. “Nggak sengaja kelebihan beli.” Pria itu langsung keluar dari kamar Reina. “Sejak kapan dia suka makanan manis?” gumam Reina, memperhatikan ice cream di atas meja dan punggung Alvano yang sudah menghilang di balik pintu. Reina berdecak kecil, memutar bola mata sambil mengambil nampan makanan. Perutnya minta diisi, tapi melihat makanan kesukaannya pun, dia tidak berselera. Namun, mengingat apa yang dikatakan Alvano. Jadi, memutuskan makan sedikit. Setelah mengembalikan piring kotor ke dapur, Reina masuk ke kamar dan tidur. *** Pagi-pagi Reina keluar dengan celana pendek dan baju oversize dan rambut yang dikuncir kuda. Dia berjalan sambil menguap, duduk di meja makan tanpa menyadari ada sepasang mata yang sedang menatapnya dengan tatapan berbeda. Bi Hanum mengambilkan makan untuk Reina. “Ada Alvano di sini, kenapa berpakaian seperti itu, Rein?” tegur Arka, memperhatikan adiknya dari atas ke bawah. “Kak Al?” Sontak, Reina menoleh pada Alvano yang sudah mengalihkan pandangannya, menyendokkan makanan ke mulut tanpa mengindahkan Reina. “Memangnya kenapa, Kak? Kak Al juga nggak lihat aku, kok!” sahut Reina sambil mengedikkan bahu. “Lagipula, udah biasa.” Arka sempat membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu. Namun, niat itu diurungkan ketika matanya menangkap wajah Alvano yang tampak dingin dan tak peduli. Di sela-sela makan, Arka akhirnya bersuara, “Acara reuninya kapan?” Pertanyaan sederhana itu membuat suasana hening. Alvano langsung menghentikan sendoknya di udara, menoleh, dan menatap Reina. Mata tajamnya seolah menuntut jawaban, bukan sekadar mendengarkan. “Nanti malam. Aku boleh ikut, kan?” tanya Reina, tatapannya memelas dengan senyum manis untuk membujuk. “Di mana?” tanya Arka lagi. Reina terdiam sejenak mengingat nama tempat yang akan didatanginya nanti malam. “Bar Haze.” Reina menatap Arka yang masih diam. “Bolehkan, Kak?” “Ya.” Arka mengangguk singkat. “Itu bar milik teman kakak.” “Benarkah?” Senyum manis merekah di bibir Reina. Melihat senyum manis wanita di hadapannya, Alvano terpaku. Dia sangat merindukan senyum itu. Namun, pandangannya teralihkan dengan suara Arka yang mengajaknya bicara. "Minggu depan, kau dan Alea akan ber—" Sebelum Arka sempat melanjutkan ucapannya, Alvano langsung berdehem keras, “Hmm!” “Dekorasi pertunangan sudah hampir selesai sesuai permintaan Alea. Semuanya—” “Laporan kemarin sudah selesai?” potong Alvano, melirik pada Reina yang asik makan kemudian beralih pada Arka. Alvano lega karena Reina tampak tak memperdulikan obrolan mereka barusan. “Laporan?” tanya Arka, dahinya berkerut membuktikan dia sedang berpikir. “Mungkin kau lupa,” pungkas Alvano, tersenyum kecil kala mencuri pandang pada Reina. Setelah sarapan, Arka dan Alvano harus ke kantor. Alvano sudah membuka pintu mobil, bersiap masuk. Tapi, tiba-tiba Arka menutup pintu mobil dan berjalan cepat masuk ke dalam. “Tunggu! Aku ketinggalan sesuatu.” Arka berteriak pada Alvano yang mematung. Alvano bersandar di body mobil, tersenyum kecil membayangkan senyum manis Reina. Dari ekor matanya, dia menangkap bayangan seorang gadis yang berdiri di balkon. Pandangan Alvano terpaku pada Reina yang sedang senyum-senyum saat berbalas pesan. Pria itu mengarahkan kameranya tepat ke wajah wanita itu, bermaksud mengambil beberapa foto. “Ngapain, lo?” Suara Arka terdengar dari belakang. Alvano terjingkat, tubuhnya refleks menegang. Dengan cepat, ia menurunkan ponsel dan menyimpannya ke dalam saku. Wajahnya berubah datar, seperti tak terjadi apa-apa. Ia berdehem pelan, menyamarkan kekikukannya. "Nggak, cuma cek notifikasi," katanya sambil menoleh sekilas ke Arka, memasang ekspresi setenang mungkin. “Yuk! Barangnya udah ketemu,” ucap Arka, ia tak curiga sama sekali. “Hm.” Dalam perjalanan, Arka tampak tak fokus mengemudikan mobil. Dia melirik Alvano yang santai memandangi layar ponselnya sambil tersenyum tipis. Seakan-akan, yang sedang ditampilkan di layar benda pipihnya itu sangat membahagiakan. “Al, menurut lo pelajaran apa yang pantas gue kasih buat Bimo?” tanya Arka, menatap Alvano yang gelagapan. “Pelajaran?” tanya Alvano, dia belum menangkap maksud perkataan Arka. “Ya. Sejak kejadian Bimo selingkuhin Reina, gue pengen banget ngasih bogem. Tapi, Reina melarang.” Arka mendesah frustasi, tangannya terkepal erat. “Reina melarang?” Alvano mengulang, raut wajahnya menunjukkan ketidaksukaan. “Katanya takut gue kenapa-kenapa. Soalnya Bimo itu orangnya licik,” lanjut Arka, memukul stir mobil dengan emosi memuncak. Alvano menghela napas lega, lalu menatap jauh ke depan dengan sorot mata penuh perhitungan. “Kalau begitu, kita beri mereka pelajaran dengan cara yang sama sekali tak mereka duga.” Arka menoleh cepat. Alisnya bertaut, jelas tak memahami arah pembicaraan. “Maksud lo gimana?” Senyum miring terbit di sudut bibir Alvano. Sorot matanya dingin dan tajam. “Pelan-pelan, kita hancurkan perusahaannya.” Arka menjentikkan jari. “Ide bagus.” *** Reina berdiri di depan cermin besar kamarnya, mengenakan gaun merah elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Gaun itu memiliki potongan backless dan belahan paha yang membuat siluetnya tampak memukau. Rambutnya digerai, ditata bergelombang lembut, menambah kesan dewasa dan berani. Tapi, di balik penampilan sempurna itu, hatinya masih berantakan. Reina menghembuskan napas panjang berulang kali. Seolah mencoba menyingkirkan bayangan masa lalu yang terus menghantui. “Aku harus move on. Dia cuma masa lalu,” bisiknya ke pantulan dirinya sendiri. Namun, otaknya justru memutar ulang momen menyakitkan di malam saat dia membuka pintu apartemen Bimo, lalu mendapati suaminya tengah bercinta dengan Kinar yang sedang hamil. “Ah, sudahlah.” Reina memegang kepala yang berdenyut tiap kali mengingat kejadian memilukan itu. Suara klakson membuyarkan lamunan Reina. Dari jendela, Reina bisa melihat mobil putih Sasha sudah terparkir di depan rumah. Dia mengambil clutch hitamnya dan berjalan keluar. Sesampainya di luar, Sasha yang duduk di kursi kemudi terkesiap. “Gila, Reina! Kamu cantik banget. Siap bikin semua orang di bar Haze jatuh cinta?” Reina tersenyum tipis, menaikkan alis dengan percaya diri meski hatinya masih rapuh. “Aku cuma mau buat seseorang menyesal.” Tanpa menunggu balasan, ia masuk ke dalam mobil. Mesin kembali menderu menyusuri malam menuju reuni. Sepanjang perjalanan, mereka berbincang tentang banyak hal. Berulang kali Sasha memuji, baru kali ini Reina mengenakan gaun yang sangat seksi, dan cocok untuknya. Setibanya di bar Haze, teman-teman Reina terpukau dengan penampilan wanita itu. Ada yang terang-terangan mencibirnya, tetapi juga banyak yang merangkul dan memberi dukungan. Reina duduk di samping Sasha, melihat banyak jenis minuman beralkohol, rasanya dia ingin meminum semuanya. Helaan pelan membuat Sasha memahami keinginan sahabatnya itu. “Minumlah. Aku akan menjagamu,” bisik Sasha sambil mengedipkan mata. “Serius?” tanya Reina antusias. Sasha mengangguk sebagai jawaban. Mereka semua bersulang, merayakan kekompakan. Reina mencicipi segala jenis minuman. Dia merasa asing meski berada di tengah-tengah keributan teman-temannya. Suara musik berdentam-dentum, membuatnya semakin bersemangat untuk minum. “Rein, malam ini kamu cantik banget!” puji Evan, teman sekelas Reina. Menatap Reina dari atas ke bawah dan bola matanya berhenti pada belahan dada Reina yang menyembul. Reina tersenyum tipis sambil mengangguk dan beringsut mundur. “Terima kasih.” “Kamu datang untuk melupakan mantan suamimu, kan?” Evan memberikan segelas minuman yang tidak Reina sentuh karena kadar alkoholnya tinggi. Reina tersenyum tipis. Ingin membantah, tapi kepalanya terlanjur pusing. Dia bersandar di sofa, aroma parfum Evan yang semakin mendekat membuatnya mual. “Menyingkirlah!” Reina menolak wajah Evan menjauh. Tatapan pria itu sudah memberitahu niat jahat yang terselubung. “Minumlah, Rein, biar usahamu melupakan Bimo nggak sia-sia.” Mata buas Evan melanglang buana. Tangannya berani mengusap paha Reina. Reina menolak tangan Evan sambil menggeleng cepat. Namun, pria itu malah tersenyum sinis, memegang pergelangan tangan Reina, hendak memaksa wanita itu meminumnya. Wajah pria itu mendekat, matanya terpejam meresapi aroma parfum Reina yang membuatnya terangsang. “Kamu sangat cantik,” desis Evan, bibirnya nyaris menyentuh telinga Reina. “Biarkan malam ini aku bantu kau melupakan Bimo … di ranjang.” Tangan Evan semakin liar dan kurang ajar.Reina penasaran wanita mana yang sedang dekat dengan Alvano. Kakinya melangkah, matanya terus menatap Alvano yang berdiri dua meter di depannya. Pria itu tidak mengatakan apa-apa, seakan hanya mendengar perkataan seseorang di balik telepon.Reina menggigit bibir, menajamkan indra pendengaran dengan dahi berkerut. Dia mendengus pelan karena tak berhasil menguping pembicaraan mereka. “Hm! Nanti aku akan menemuimu.” Satu kalimat yang diucapkan Alvano semakin memantik rasa ingin tau wanita itu. Namun, ketika Reina melihat Alvano tersenyum tipis dari pantulan cermin, membuat Reina terdiam dengan bibir mengerucut. Dia memutar bola mata, menghela napas pelan seraya berkata, “Kalaupun itu seorang wanita, memangnya kenapa?” Mendengar gumaman kecil di belakangnya, Alvano melirik ke arah cermin. Dari ekor mata, dia melihat Reina yang tampak penasaran. Pria itu menarik sudut bibir, berpikir Reina cemburu.Reina menyudahi rasa penasarannya, berbalik dan masuk ke kamar mandi. Saat air shower men
"Ja—jangan, Kak.” Reina mengatupkan tangan di depan dada, mengisyaratkan permohonan yang teramat.Alvano beranjak dari duduknya. Dalam kekalutan yang terbalut rasa takut yang dirasa Reina, Alvano meraih dagu wanita itu sambil tertawa kecil. Dia mengusap pipi sang wanita yang merona, menyentuh bibirnya yang kenyal nan menggoda.Ingin sekali mengecup tanpa henti, secandu itu. Hati Alvano tergelitik, entah mengapa pagi ini dia ingin sekali menggoda Reina. “Kenapa? Kamu takut Arka akan menghajarku?" Alvano menyentuh rambut panjang Reina. Alvano mencium ujung rambut wanita itu, mendongak melihat Reina yang mengangguk cepat.“Sembunyi, Kak!” desak Reina, dia melihat ke sekeliling kamar dengan panik. Reina mendorong Alvano ke kamar mandi kamarnya.Namun, pergelangan tangan Reina langsung ditangkap Alvano. Seketika, wanita itu menoleh, wajahnya meringis, memohon untuk dilepaskan lewat tatapan. "Mau ke mana?" "Ayo sembunyi. Atau mau keluar lewat jendela?” tanya Reina. Heran, mengapa dala
Benar. Suara Arka terdengar. Namun, setelah pertanyaan itu, tak ada lagi ketukan hingga bayangan di bawah pintu menghilang, membuat Alvano bernapas lega.Karena kelelahan, Alvano tertidur di samping Reina.***Matahari malu-malu menampakkan diri di ufuk timur. Burung-burung beterbangan di depan jendela kamar Reina yang masih terlelap. Wanita yang bergelung dalam selimut itu memegang kepalanya yang terasa pusing, perlahan membuka mata dan menatap langit-langit kamar. “Uh, pusing sekali.” Reina merasa ada balok besar yang menghantam kepalanya. Perlahan, ingatan semalam bermunculan. “Siapa yang membawaku pulang?”Tepat begitu pertanyaan itu terlontar, Reina merasa ada yang menimpa badannya. Dia terbelalak melihat kaki dan tangan yang memeluknya. Bola mata wanita itu bergerak hingga dia melihat wajah seorang pria yang sangat dikenalnya.“Aaaaaa!” Suara teriakan menggema, membangunkan Alvano yang tertidur. Reflek, dia langsung membekap mulut Reina. “Rein, sssttt!” Alvano meletakkan jari
Tiba-tiba, musik berhenti. Suasana bar seketika membeku saat seorang pria bersetelan hitam memaksa Disk jockey menghentikan lagunya.“Bajingan!” Teriakan lantang memecah keheningan. Seorang pria maju dengan wajah marah, matanya menatap tajam. “Apa yang kau lakukan padanya?!”Tanpa banyak bicara, Alvano menghantam Evan dengan tendangan keras hingga pria itu tersungkur ke lantai. Evan menyeka darah di sudut bibir, berdiri menantang Alvano. Kemarahan pria itu memuncak melihat Reina yang tergeletak lemah di sofa.Sebelum Evan sempat membalas pukulan Alvano, Alvano lebih dulu memutar tubuhnya dan menendang wajah Evan. Pria itu tersungkur, hidungnya patah karena membentur lantai. Tanpa ragu, Alvano mengangkat tubuh Reina dalam gendongan ala bridal style. “Bereskan bajingan itu,” ucapnya dingin pada bodyguard yang bersiaga.Dengan langkah cepat, ia membawa Reina ke mobil. Di dalam, ia menyandarkan kepala wanita itu ke dadanya, memastikan Reina nyaman dalam pelukannya.“Kenapa kamu sampai se
Reina terbelalak mendengar pengakuan Alvano. Dahinya berkerut, matanya sedikit menyipit. “A-apa? Kamu senang aku … menjanda?”Alvano seakan tersadar dengan sikapnya yang berlebihan. Dia mundur selangkah, mengedarkan pandangan ke seisi kamar Reina untuk mengalihkan perhatian. “Makanlah. Jangan menyakiti dirimu hanya karena pria bajingan itu,” kata Alvano setelah membelakangi Reina. Reina membisu melihat punggung yang sudah lama menjauh darinya tapi, kini sedekat ini. Dia memegang ujung gorden, tak berniat menjawab perkataan Alvano. Namun, tiba-tiba pria itu berbalik, mengeluarkan ice cream coklat dari sakunya dan meletakkan di atas meja. Pria pemilik wajah angkuh itu langsung pergi tanpa mengatakan apapun.“Kamu membelinya untukku, Kak?” tanya Reina, terharu dengan perhatian Alvano. Jujur saja, dia merindukan kedekatan mereka dulu.“Nggak sengaja kelebihan beli.” Pria itu langsung keluar dari kamar Reina. “Sejak kapan dia suka makanan manis?” gumam Reina, memperhatikan ice cream di
“Dengan ini, Pengadilan Agama menyatakan bahwa gugatan cerai yang diajukan oleh Ny. Reina Mayumi terhadap Tn. Bimo Mahardika dikabulkan. Maka pernikahan keduanya dinyatakan berakhir secara sah.”Suara palu hakim menggema keras di ruang sidang. Ketukan sederhana tapi, menghancurkan dua tahun kenangan penuh cinta. Reina meremas jemari, menahan kegetiran hati.Tak ada air mata di wajah Reina. Dia membisu dengan tatapan kosong yang menyembunyikan badai. Tangannya saling meremas, bahkan air liur yang ditelan terasa seperti duri yang mengoyak tenggorokan. Seharusnya, dia lega karena persidangan perceraian berjalan lancar tanpa drama. Nyatanya, selama berbulan-bulan ini nama Bimo masih bertahta di hatinya. Reina menggenggam kekecewaan yang menumpuk, menghembuskan napas perlahan untuk menenangkan diri.“Nggak ada gunanya lagi,” ujar wanita yang baru saja sah menjadi janda tersebut. “Aku harus benar-benar melupakan Mas Bimo.”Bimo bangkit dari kursinya, berjalan keluar ruang sidang tanpa sedi