Compartir

Celaka

Autor: Liza zarina
last update Última actualización: 2025-07-09 14:59:32

Reina terbelalak mendengar pengakuan Alvano. Dahinya berkerut, matanya sedikit menyipit. “A-apa? Kamu senang aku … menjanda?”

Alvano seakan tersadar dengan sikapnya yang berlebihan. Dia mundur selangkah, mengedarkan pandangan ke seisi kamar Reina untuk mengalihkan perhatian.

“Makanlah. Jangan menyakiti dirimu hanya karena pria bajingan itu,” kata Alvano setelah membelakangi Reina.

Reina membisu melihat punggung yang sudah lama menjauh darinya tapi, kini sedekat ini. Dia memegang ujung gorden, tak berniat menjawab perkataan Alvano.

Namun, tiba-tiba pria itu berbalik, mengeluarkan ice cream coklat dari sakunya dan meletakkan di atas meja. Pria pemilik wajah angkuh itu langsung pergi tanpa mengatakan apapun.

“Kamu membelinya untukku, Kak?” tanya Reina, terharu dengan perhatian Alvano. Jujur saja, dia merindukan kedekatan mereka dulu.

“Nggak sengaja kelebihan beli.” Pria itu langsung keluar dari kamar Reina.

“Sejak kapan dia suka makanan manis?” gumam Reina, memperhatikan ice cream di atas meja dan punggung Alvano yang sudah menghilang di balik pintu.

Reina berdecak kecil, memutar bola mata sambil mengambil nampan makanan. Perutnya minta diisi, tapi melihat makanan kesukaannya pun, dia tidak berselera. Namun, mengingat apa yang dikatakan Alvano. Jadi, memutuskan makan sedikit.

Setelah mengembalikan piring kotor ke dapur, Reina masuk ke kamar dan tidur.

***

Pagi-pagi Reina keluar dengan celana pendek dan baju oversize dan rambut yang dikuncir kuda. Dia berjalan sambil menguap, duduk di meja makan tanpa menyadari ada sepasang mata yang sedang menatapnya dengan tatapan berbeda. Bi Hanum mengambilkan makan untuk Reina.

“Ada Alvano di sini, kenapa berpakaian seperti itu, Rein?” tegur Arka, memperhatikan adiknya dari atas ke bawah.

“Kak Al?”

Sontak, Reina menoleh pada Alvano yang sudah mengalihkan pandangannya, menyendokkan makanan ke mulut tanpa mengindahkan Reina.

“Memangnya kenapa, Kak? Kak Al juga nggak lihat aku, kok!” sahut Reina sambil mengedikkan bahu. “Lagipula, udah biasa.”

Arka sempat membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu. Namun, niat itu diurungkan ketika matanya menangkap wajah Alvano yang tampak dingin dan tak peduli.

Di sela-sela makan, Arka akhirnya bersuara, “Acara reuninya kapan?”

Pertanyaan sederhana itu membuat suasana hening. Alvano langsung menghentikan sendoknya di udara, menoleh, dan menatap Reina. Mata tajamnya seolah menuntut jawaban, bukan sekadar mendengarkan.

“Nanti malam. Aku boleh ikut, kan?” tanya Reina, tatapannya memelas dengan senyum manis untuk membujuk.

“Di mana?” tanya Arka lagi.

Reina terdiam sejenak mengingat nama tempat yang akan didatanginya nanti malam. “Bar Haze.” Reina menatap Arka yang masih diam. “Bolehkan, Kak?”

“Ya.” Arka mengangguk singkat. “Itu bar milik teman kakak.”

“Benarkah?” Senyum manis merekah di bibir Reina.

Melihat senyum manis wanita di hadapannya, Alvano terpaku. Dia sangat merindukan senyum itu. Namun, pandangannya teralihkan dengan suara Arka yang mengajaknya bicara.

"Minggu depan, kau dan Alea akan ber—"

Sebelum Arka sempat melanjutkan ucapannya, Alvano langsung berdehem keras, “Hmm!”

“Dekorasi pertunangan sudah hampir selesai sesuai permintaan Alea. Semuanya—”

“Laporan kemarin sudah selesai?” potong Alvano, melirik pada Reina yang asik makan kemudian beralih pada Arka. Alvano lega karena Reina tampak tak memperdulikan obrolan mereka barusan.

“Laporan?” tanya Arka, dahinya berkerut membuktikan dia sedang berpikir.

“Mungkin kau lupa,” pungkas Alvano, tersenyum kecil kala mencuri pandang pada Reina.

Setelah sarapan, Arka dan Alvano harus ke kantor. Alvano sudah membuka pintu mobil, bersiap masuk. Tapi, tiba-tiba Arka menutup pintu mobil dan berjalan cepat masuk ke dalam.

“Tunggu! Aku ketinggalan sesuatu.” Arka berteriak pada Alvano yang mematung.

Alvano bersandar di body mobil, tersenyum kecil membayangkan senyum manis Reina. Dari ekor matanya, dia menangkap bayangan seorang gadis yang berdiri di balkon.

Pandangan Alvano terpaku pada Reina yang sedang senyum-senyum saat berbalas pesan. Pria itu mengarahkan kameranya tepat ke wajah wanita itu, bermaksud mengambil beberapa foto.

“Ngapain, lo?” Suara Arka terdengar dari belakang.

Alvano terjingkat, tubuhnya refleks menegang. Dengan cepat, ia menurunkan ponsel dan menyimpannya ke dalam saku. Wajahnya berubah datar, seperti tak terjadi apa-apa. Ia berdehem pelan, menyamarkan kekikukannya.

"Nggak, cuma cek notifikasi," katanya sambil menoleh sekilas ke Arka, memasang ekspresi setenang mungkin.

“Yuk! Barangnya udah ketemu,” ucap Arka, ia tak curiga sama sekali.

“Hm.”

Dalam perjalanan, Arka tampak tak fokus mengemudikan mobil. Dia melirik Alvano yang santai memandangi layar ponselnya sambil tersenyum tipis. Seakan-akan, yang sedang ditampilkan di layar benda pipihnya itu sangat membahagiakan.

“Al, menurut lo pelajaran apa yang pantas gue kasih buat Bimo?” tanya Arka, menatap Alvano yang gelagapan.

“Pelajaran?” tanya Alvano, dia belum menangkap maksud perkataan Arka.

“Ya. Sejak kejadian Bimo selingkuhin Reina, gue pengen banget ngasih bogem. Tapi, Reina melarang.” Arka mendesah frustasi, tangannya terkepal erat.

“Reina melarang?” Alvano mengulang, raut wajahnya menunjukkan ketidaksukaan.

“Katanya takut gue kenapa-kenapa. Soalnya Bimo itu orangnya licik,” lanjut Arka, memukul stir mobil dengan emosi memuncak.

Alvano menghela napas lega, lalu menatap jauh ke depan dengan sorot mata penuh perhitungan. “Kalau begitu, kita beri mereka pelajaran dengan cara yang sama sekali tak mereka duga.”

Arka menoleh cepat. Alisnya bertaut, jelas tak memahami arah pembicaraan. “Maksud lo gimana?”

Senyum miring terbit di sudut bibir Alvano. Sorot matanya dingin dan tajam.

“Pelan-pelan, kita hancurkan perusahaannya.”

Arka menjentikkan jari. “Ide bagus.”

***

Reina berdiri di depan cermin besar kamarnya, mengenakan gaun merah elegan yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Gaun itu memiliki potongan backless dan belahan paha yang membuat siluetnya tampak memukau.

Rambutnya digerai, ditata bergelombang lembut, menambah kesan dewasa dan berani. Tapi, di balik penampilan sempurna itu, hatinya masih berantakan. Reina menghembuskan napas panjang berulang kali. Seolah mencoba menyingkirkan bayangan masa lalu yang terus menghantui.

“Aku harus move on. Dia cuma masa lalu,” bisiknya ke pantulan dirinya sendiri.

Namun, otaknya justru memutar ulang momen menyakitkan di malam saat dia membuka pintu apartemen Bimo, lalu mendapati suaminya tengah bercinta dengan Kinar yang sedang hamil.

“Ah, sudahlah.” Reina memegang kepala yang berdenyut tiap kali mengingat kejadian memilukan itu.

Suara klakson membuyarkan lamunan Reina. Dari jendela, Reina bisa melihat mobil putih Sasha sudah terparkir di depan rumah. Dia mengambil clutch hitamnya dan berjalan keluar.

Sesampainya di luar, Sasha yang duduk di kursi kemudi terkesiap.

“Gila, Reina! Kamu cantik banget. Siap bikin semua orang di bar Haze jatuh cinta?”

Reina tersenyum tipis, menaikkan alis dengan percaya diri meski hatinya masih rapuh. “Aku cuma mau buat seseorang menyesal.”

Tanpa menunggu balasan, ia masuk ke dalam mobil. Mesin kembali menderu menyusuri malam menuju reuni. Sepanjang perjalanan, mereka berbincang tentang banyak hal. Berulang kali Sasha memuji, baru kali ini Reina mengenakan gaun yang sangat seksi, dan cocok untuknya.

Setibanya di bar Haze, teman-teman Reina terpukau dengan penampilan wanita itu. Ada yang terang-terangan mencibirnya, tetapi juga banyak yang merangkul dan memberi dukungan.

Reina duduk di samping Sasha, melihat banyak jenis minuman beralkohol, rasanya dia ingin meminum semuanya. Helaan pelan membuat Sasha memahami keinginan sahabatnya itu.

“Minumlah. Aku akan menjagamu,” bisik Sasha sambil mengedipkan mata.

“Serius?” tanya Reina antusias.

Sasha mengangguk sebagai jawaban.

Mereka semua bersulang, merayakan kekompakan. Reina mencicipi segala jenis minuman. Dia merasa asing meski berada di tengah-tengah keributan teman-temannya. Suara musik berdentam-dentum, membuatnya semakin bersemangat untuk minum.

“Rein, malam ini kamu cantik banget!” puji Evan, teman sekelas Reina. Menatap Reina dari atas ke bawah dan bola matanya berhenti pada belahan dada Reina yang menyembul.

Reina tersenyum tipis sambil mengangguk dan beringsut mundur. “Terima kasih.”

“Kamu datang untuk melupakan mantan suamimu, kan?” Evan memberikan segelas minuman yang tidak Reina sentuh karena kadar alkoholnya tinggi.

Reina tersenyum tipis. Ingin membantah, tapi kepalanya terlanjur pusing. Dia bersandar di sofa, aroma parfum Evan yang semakin mendekat membuatnya mual.

“Menyingkirlah!” Reina menolak wajah Evan menjauh. Tatapan pria itu sudah memberitahu niat jahat yang terselubung.

“Minumlah, Rein, biar usahamu melupakan Bimo nggak sia-sia.” Mata buas Evan melanglang buana. Tangannya berani mengusap paha Reina.

Reina menolak tangan Evan sambil menggeleng cepat. Namun, pria itu malah tersenyum sinis, memegang pergelangan tangan Reina, hendak memaksa wanita itu meminumnya. Wajah pria itu mendekat, matanya terpejam meresapi aroma parfum Reina yang membuatnya terangsang.

“Kamu sangat cantik,” desis Evan, bibirnya nyaris menyentuh telinga Reina. “Biarkan malam ini aku bantu kau melupakan Bimo … di ranjang.” Tangan Evan semakin liar dan kurang ajar.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App
Comentarios (1)
goodnovel comment avatar
Cika Nurlika
waduh Reina ...
VER TODOS LOS COMENTARIOS

Último capítulo

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Pandangan Pertama

    Ditatap begitu intens, Reina berusaha mengatur nafas dan tersenyum untuk mengurangi kegugupan yang melanda. Namun, entah apa kesalahannya, Velo malah tak berkedip menatap Reina yang tak berani menunduk, apalagi mengalihkan pandang. ‘Ke-kenapa dia terus menatapku? Aku tidak sopan? Atau penampilanku aneh?’ batin Reina, meskipun tersenyum dia merasa tidak enak hati. “Nanti malam ada acara penyambutanmu. Pacarmu nggak marah, kan?” tanya Velo sambil tersenyum, jelas tertarik pada Junior secretary baru itu.Reina menggeleng ringan, senyumnya tipis. “Saya nggak punya pacar, Pak.”Senyum Velo semakin melebar mendengar jawaban itu. Kepalanya mengangguk-angguk, tatapannya turun naik, seolah menilai Reina dari atas ke bawah. Rasa tertarik yang ia simpan semakin tampak jelas.“Malam besok saya ada meeting keluar kota,” ucap Velo kemudian, suaranya datar namun matanya menatap terlalu dalam. Pandangan intens itu membuat Reina salah tingkah, tak tahu harus bereaksi bagaimana.Dari samping, Karina

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Dia cantik sekali

    “Kenapa, Rein?” Arka panik melihat adiknya menjerit sekeras itu. Dia ikut berdiri, mengamati wajah Reina yang pucat pasi dan tegang. Reina melirik Alvano yang menaikkan sebelah alis, tak merasa bersalah. Kemudian menatap Arka, menggelengkan kepala sambil tersenyum kecut, tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Reina tak ingin pertemanan kakaknya hancur. Terlebih selama ini mereka hidup karena bantuan dari keluarga Dominic.“Aku kenyang, Kak.” Reina menampilkan senyum pahit, mengambil tas dan ponselnya. “Aku berangkat sekarang, ya.” Dia mengecup pipi kanan Arka, langsung pergi sebelum kakaknya sempat menanggapi.Arka menatap punggung adiknya yang menghilang di balik pintu. Dia yakin pasti ada sesuatu yang terjadi sampai Reina kehilangan selera makan. Perlahan, dia menoleh pada Alvano yang sibuk mengutak-atik ponselnya. “Apa yang terjadi padanya, Al?” tanya Arka, menatap lekat Alvano. “Dia duduk di sampingmu. Kamu pasti tau.” Alvano menoleh sekilas, mengangkat bahu. “Mungkin di

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Arka curiga

    Semua orang di ruangan itu terperangah mendengar pengakuan Reina. Pandangan mereka bergantian tertuju pada wanita itu, lalu beralih pada Alvano yang membisu. Lelaki itu tersenyum tipis, senyum yang menunjukkan kepuasan terselubung.Tak ada satu pun yang berani membuka suara. Fakta mengejutkan itu sudah cukup membungkam mulut mereka. Meski sulit dipercaya, sebab selama ini Reina dan Alvano sama sekali tak pernah terlihat dekat, bahkan Reina pernah menikah dengan pria lain.“Kita pulang,” desak Alvano pelan, menyentuh ujung jemari Reina.Namun, dengan cepat wanita itu menepisnya. Reina justru memeluk lengan kanannya sendiri, lalu menggeleng sambil terkekeh. Ia duduk di atas meja dengan kaki terlipat ke belakang. Jemarinya menyapu pelan leher Alvano kemudian menolak kening pria itu.“Aku nggak mau lihat kamu. Di mana para pria sexy itu? Aku mau mereka….” Reina memegangi kepalanya yang sakit, menjambak rambut agar lebih enakan. Ketika rasa mual mengaduk perut, dia langsung menutup mulut d

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Menggerayangi pria lain

    “Jangan kebanyakan mikir, Reina! Aku jamin, kamu nggak bakal nyesel.” Alaya berkata dengan wajah meyakinkan.“Kita bisa jaga rahasia, Rein. Ini pertama kalinya kita datang ke tempat ginian. Habisnya dulu kamu sibuk nge-bucin,” ledek Sani, menahan tawa melihat Reina malah mencebikkan bibir tanpa membalasnya.Sasha sejak tadi diam, tak memaksa Reina karena paham temannya itu pasti tidak nyaman. Dia menarik nafas dalam-dalam, merasa bersalah karena langsung membawa Reina ke club tanpa memberitahu terlebih dahulu. “Kalau Reina nggak nyaman, jangan dipaksa. Salah kita juga maksa dia,” sela Sasha. “Kita cari tempat lain aja.”Reina merasa tidak enak hati pada teman-temannya. Wajah mereka langsung kecewa, meskipun mengangguk setuju. Dia buru-buru melepas sabuk pengaman dan turun, tersenyum manis pada mereka semua sambil menggelengkan kepala.“Yakin bisa jaga rahasia?” tanyanya, jari telunjuknya mengarah pada ketiga temannya yang serentak mengangguk. “Come on!” Kita ajak kamu ke sini buat h

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Nggak Mau!

    “Jangan seperti ini, Rein, aku benar-benar mencintaimu.” Alvano tak lagi peduli pada penolakan Reina, ia mendekat dan merengkuh pinggang wanita itu. Mereka saling menatap, tapi bibir tak bisa mengatakan apa-apa. Alvano langsung memeluk erat Reina, tangannya mengelus rambut panjang wanita itu yang tegerai. Reina mendengar suara detak jantung Alvano yang berpacu cepat, seakan menunjukkan cinta yang begitu besar. Namun, dia tetap tak nyaman dengan pelukan ini, kata-kata menyakitkan Alea terngiang dalam ingatan, membuatnya menangis sesenggukan.“Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan perasaanku, Rein?” tanya Alvano, tak melepaskan Reina. Aroma wanita itu membuatnya begitu nyaman. “Aku bisa melakukan semua hal untukmu.” Reina bergeming dalam kebisuan. Masih tak mengerti sejak kapan cinta tumbuh dalam hati Alvano, pria yang sudah bersamanya sejak kecil. Benarkah kebencian yang diperlihatkan hanya untuk menutupi cinta? Reina menengadahkan wajah, menutup mata sejenak sambil membuang

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Aku Mencintaimu

    “Kak Arka!” Reina berteriak memanggil kakaknya yang entah dimana. Dia memejamkan mata, menggeleng kuat dan menghentakkan kaki.Melihat perlawanan Reina yang menggemaskan, Alvano tersenyum tipis tapi tak melepas tangan wanita itu. Dia sengaja mencengkram tangan Reina di dadanya, memajukan bibir seolah ingin mencumbu wanitanya.“Kalau Kak Arka tau, kamu pasti akan dihabisi, Kak!” kecam Reina, matanya menyipit agar lebih meyakinkan.“Nggak masalah.” Alvano menaikkan bahu. “Bukannya lebih bagus kalau dia tau? Aku bisa secepatnya mendapat restu.” “Hahaha!” Reina tertawa mendengar penuturan Alvano yang dianggap sedang melucu. “Aku Reina Mayumi, bukan calon istrimu.” “Jangan katakan itu, Rein. Aku nggak suka kamu menyebut orang lain saat kita sedang berdua,” sanggah Alvano, wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang begitu kentara.Reina melirik dari ekor mata, menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum sinis.“Yang barusan kusebut itu calon istrimu, Kak Al. Biar kamu ingat,” tegasnya.Alvano

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status