“Dengan ini, Pengadilan Agama menyatakan bahwa gugatan cerai yang diajukan oleh Ny. Reina Mayumi terhadap Tn. Bimo Mahardika dikabulkan. Maka pernikahan keduanya dinyatakan berakhir secara sah.”
Suara palu hakim menggema keras di ruang sidang. Ketukan sederhana tapi, menghancurkan dua tahun kenangan penuh cinta. Reina meremas jemari, menahan kegetiran hati. Tak ada air mata di wajah Reina. Dia membisu dengan tatapan kosong yang menyembunyikan badai. Tangannya saling meremas, bahkan air liur yang ditelan terasa seperti duri yang mengoyak tenggorokan. Seharusnya, dia lega karena persidangan perceraian berjalan lancar tanpa drama. Nyatanya, selama berbulan-bulan ini nama Bimo masih bertahta di hatinya. Reina menggenggam kekecewaan yang menumpuk, menghembuskan napas perlahan untuk menenangkan diri. “Nggak ada gunanya lagi,” ujar wanita yang baru saja sah menjadi janda tersebut. “Aku harus benar-benar melupakan Mas Bimo.” Bimo bangkit dari kursinya, berjalan keluar ruang sidang tanpa sedikit pun menoleh pada Reina. Tersenyum lebar pada seorang wanita hamil yang menunggunya di luar. Mereka berpelukan, saling mengecup, tanpa mempedulikan tatapan tajam orang sekitar. “Akhirnya kamu bercerai dengannya, Bim!” ucap Kinar setelah mengecup singkat bibir Bimo. “Jadi, kapan kamu akan menikahiku? Perutku semakin membesar.” Kinar merengek dengan bibir mengerucut. “Bulan depan.” Jawaban Bimo membuat Kinar tersenyum manis. Sementara itu, Arka menghampiri Reina yang masih termangu di tempatnya. Menggenggam erat tangan adiknya, menepuk pelan pundak wanita itu. “Kita pulang, Rein.” Reina menegakkan bahu, menahan napas yang terasa berat di dada, mengulas senyum tipis seraya menganggukkan kepala. Langkahnya tertatih, seakan menyeret beban berat. “Rein….” Suara lembut menyapa saat ia keluar dari pengadilan. Sasha, sahabat Reina sejak SMA, meraih tangannya. “Kamu yakin nggak apa-apa?” Reina tersenyum tipis sembari mengangguk. “Aku baik, kok. Aku lega sudah melepas pria bajingan itu.” “Kalau ada apa-apa, hubungi aku, ya!” Sasha menyeka pipi Reina yang sedang mengangguk. “Besok malam aku datang ke acara reuni SMA kita.” Reina tersenyum manis pada Sasha yang masih saja tampak mengkhawatirkan temannya itu. “Serius?” tanya Sasha. Tentu dia senang. Tapi, dengan keadaan Reina saat ini, dia ragu. “Hm!” Reina mengangguk lagi. “Aku baik-baik saja, Sasha.” “Baiklah.” Sasha mengulas senyum. “Malam besok, aku jemput, ya.” Reina tersenyum sebagai jawaban. Dia menghampiri Arka yang sedari tadi sudah menunggu di mobil. Wanita itu masuk, memakai sabuk pengaman dan menatap kosong ke luar kaca mobil. Tak ada pembicaraan apapun antara Reina dan Arka, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. “Mau makan sesuatu?” tanya Arka akhirnya, melirik adiknya yang tak menjawab karena masih melamun. “Rein ….” Arka menyentuh lengan Reina, mengejutkan wanita itu. “Ya?” sahutnya dengan suara parau. Matanya berkaca, tetapi tetap menyuguhkan senyum manis. Arka terdiam beberapa saat melihat manik mata adiknya yang memerah. Sejurus kemudian, dia tersenyum. “Mau ice cream?” Reina tertegun. Sedetik kemudian menutup wajahnya dengan tangan. Dia menggelengkan kepala, menangis sesenggukan hingga Arka menepikan mobil di pinggir jalan. “Jangan menangis, Rein.” “Maafkan aku, Kak!” ucap Reina. “Demi bisa menikah dengan Bimo, aku sampai melakukan hal-hal yang nggak seharusnya kulakukan. Nyatanya, Bimo pria sialan. Dia menghamili Kinar, bahkan mereka bercinta di depanku,” ujar Reina, kemudian tergugu. Arka menghela pelan sambil manggut-manggut. Dia menarik Reina dalam dekapan, mengusap lembut puncak kepala adiknya. “Jangan dipikirkan. Kakak lebih senang karena kamu memilih berpisah daripada menyimpan keburukan Bimo,” ucap Arka, suaranya sangat lembut. Reina menghentikan tangis setelah puas menangis sampai jas Arka basah. Mereka melanjutkan perjalanan. Reina menolak semua makanan atau barang yang ditawari Arka. Setibanya di rumah, Reina langsung masuk kamar tanpa menyapa Bi Hanum, asisten rumah tangga yang dipekerjakan Arka. “Bi, nanti antarkan makanan ke kamar Reina. Kalau ada apa-apa, saya di ruang kerja.” “Baik, Tuan Arka,” jawab Bi Hanum sambil mengangguk. Reina mengunci kamar, melempar dirinya ke atas ranjang tanpa menyalakan lampu. Dia menelungkup wajah, menangis sesenggukan menumpahkan kesedihan yang tak terungkap. Tubuhnya bergetar, tangannya kuat mencengkram seprai, sesekali memukul tempat tidur tanpa mempedulikan suara ketukan pintu kamarnya. Urat leher Reina memegang saat dia menjerit, tapi membekap mulutnya sendiri. Menghentak kaki, dan memukul dadanya yang sesak. “Tuhan, kenapa Engkau mempertemukan aku dengan Bimo? Dua tahun kebersamaan kami nggak ada arti bagi pria bajingan itu!” Reina tergugu. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan masih terdengar di depan pintu. Bi Hanum resah berdiri sambil memegang nampan makanan. “Nona, buka pintunya! Nona belum makan dari pagi. Ini bibi bawakan makan.” Bi Hanum menaikkan intonasi suara. Bi Hanum menoleh ke belakang ketika mendengar suara langkah kaki. Dia memperhatikan pria bersetelan jas yang sedang berjalan ke arahnya, sesekali menoleh ke ruang kerja Arka yang berada di pojok ruangan. Melihat Bi Hanum membawa nampan, pria itu langsung paham. “Biar aku yang masuk.” Bi Hanum mengangguk kecil seraya menyerahkan nampan pada pria di hadapannya. “Ada kunci cadangan?” Bi Hanum mengangguk. “Ada. Tapi, sama Tuan Arka.” “Ambilkan kunci cadangan. Aku menunggu di sini. Tapi, jangan beritahu Arka kalau aku datang.” Pria itu selalu memasang tampang serius. “Kenapa, Tuan Alvano?” tanya Bi Hanum. Namun, melihat wajah datar yang selalu menyimpan ketegasan itu, Bi Hanum segera mengangguk. Tak lama, wanita berusia 50 tahun itu kembali sambil membawa kunci, membukakan pintu, membiarkan Alvano masuk. Aroma parfum Reina menyeruak dari kamar gelap di hadapannya. Tanpa ragu, Alvano masuk dan menutup pintu. Alvano meletakkan nampan di atas nakas. Dalam gelap, dia bisa mengingat area kamar Reina dengan baik. Srakk! Alvano menyibak gorden kamar Reina, membuat wanita itu terkejut dan langsung menatap ke arah jendela kamarnya. Reina tertegun melihat seorang pria berwajah datar yang tengah menatapnya. “Kak Alvano?” pekik Reina, tak percaya kini Alvano berdiri di depannya. “Masih menangisi bajingan itu?” Suara dingin Alvano membekukan tubuh Reina. “Ngapain kamu di sini?” tanya Reina, suaranya serak. “Keluar!” Alvano bergeming tanpa mengalihkan pandang dari Reina yang tampak kacau. Pria berusia 27 tahun itu melipat tangan di dada, sorot tajamnya tak lepas dari wajah sembab Reina. Reina berdecak kecil, tak suka dengan kehadiran Alvano. Dia menarik tangan pria itu, tapi Alvano seperti patung, tak bergeser sedikitpun. Reina menyeret pria itu dengan berbagai cara tapi, hasilnya nihil. Dalam sekejap, Alvano mengubah posisi. Dia mencengkram pergelangan tangan Reina, menarik wanita itu sampai punggungnya membentur dinding. Alvano mengukung Reina dengan tangannya, mengikis jarak hingga hembusan napas pria itu membelai wajah Rein. Debaran jantung Alvano terasa hampir menembus rongga dadanya. Wajahnya merona bisa sedekat itu dengan Reina. Tangannya bergerak membelai, rindu yang terpendam, cinta yang disembunyikan, dan rasa senang yang mendominasi. “Akhirnya kamu dan bajingan itu bercerai. Aku senang sekarang kamu menjadi janda,” ucap Alvano, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Reina.Ditatap begitu intens, Reina berusaha mengatur nafas dan tersenyum untuk mengurangi kegugupan yang melanda. Namun, entah apa kesalahannya, Velo malah tak berkedip menatap Reina yang tak berani menunduk, apalagi mengalihkan pandang. ‘Ke-kenapa dia terus menatapku? Aku tidak sopan? Atau penampilanku aneh?’ batin Reina, meskipun tersenyum dia merasa tidak enak hati. “Nanti malam ada acara penyambutanmu. Pacarmu nggak marah, kan?” tanya Velo sambil tersenyum, jelas tertarik pada Junior secretary baru itu.Reina menggeleng ringan, senyumnya tipis. “Saya nggak punya pacar, Pak.”Senyum Velo semakin melebar mendengar jawaban itu. Kepalanya mengangguk-angguk, tatapannya turun naik, seolah menilai Reina dari atas ke bawah. Rasa tertarik yang ia simpan semakin tampak jelas.“Malam besok saya ada meeting keluar kota,” ucap Velo kemudian, suaranya datar namun matanya menatap terlalu dalam. Pandangan intens itu membuat Reina salah tingkah, tak tahu harus bereaksi bagaimana.Dari samping, Karina
“Kenapa, Rein?” Arka panik melihat adiknya menjerit sekeras itu. Dia ikut berdiri, mengamati wajah Reina yang pucat pasi dan tegang. Reina melirik Alvano yang menaikkan sebelah alis, tak merasa bersalah. Kemudian menatap Arka, menggelengkan kepala sambil tersenyum kecut, tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Reina tak ingin pertemanan kakaknya hancur. Terlebih selama ini mereka hidup karena bantuan dari keluarga Dominic.“Aku kenyang, Kak.” Reina menampilkan senyum pahit, mengambil tas dan ponselnya. “Aku berangkat sekarang, ya.” Dia mengecup pipi kanan Arka, langsung pergi sebelum kakaknya sempat menanggapi.Arka menatap punggung adiknya yang menghilang di balik pintu. Dia yakin pasti ada sesuatu yang terjadi sampai Reina kehilangan selera makan. Perlahan, dia menoleh pada Alvano yang sibuk mengutak-atik ponselnya. “Apa yang terjadi padanya, Al?” tanya Arka, menatap lekat Alvano. “Dia duduk di sampingmu. Kamu pasti tau.” Alvano menoleh sekilas, mengangkat bahu. “Mungkin di
Semua orang di ruangan itu terperangah mendengar pengakuan Reina. Pandangan mereka bergantian tertuju pada wanita itu, lalu beralih pada Alvano yang membisu. Lelaki itu tersenyum tipis, senyum yang menunjukkan kepuasan terselubung.Tak ada satu pun yang berani membuka suara. Fakta mengejutkan itu sudah cukup membungkam mulut mereka. Meski sulit dipercaya, sebab selama ini Reina dan Alvano sama sekali tak pernah terlihat dekat, bahkan Reina pernah menikah dengan pria lain.“Kita pulang,” desak Alvano pelan, menyentuh ujung jemari Reina.Namun, dengan cepat wanita itu menepisnya. Reina justru memeluk lengan kanannya sendiri, lalu menggeleng sambil terkekeh. Ia duduk di atas meja dengan kaki terlipat ke belakang. Jemarinya menyapu pelan leher Alvano kemudian menolak kening pria itu.“Aku nggak mau lihat kamu. Di mana para pria sexy itu? Aku mau mereka….” Reina memegangi kepalanya yang sakit, menjambak rambut agar lebih enakan. Ketika rasa mual mengaduk perut, dia langsung menutup mulut d
“Jangan kebanyakan mikir, Reina! Aku jamin, kamu nggak bakal nyesel.” Alaya berkata dengan wajah meyakinkan.“Kita bisa jaga rahasia, Rein. Ini pertama kalinya kita datang ke tempat ginian. Habisnya dulu kamu sibuk nge-bucin,” ledek Sani, menahan tawa melihat Reina malah mencebikkan bibir tanpa membalasnya.Sasha sejak tadi diam, tak memaksa Reina karena paham temannya itu pasti tidak nyaman. Dia menarik nafas dalam-dalam, merasa bersalah karena langsung membawa Reina ke club tanpa memberitahu terlebih dahulu. “Kalau Reina nggak nyaman, jangan dipaksa. Salah kita juga maksa dia,” sela Sasha. “Kita cari tempat lain aja.”Reina merasa tidak enak hati pada teman-temannya. Wajah mereka langsung kecewa, meskipun mengangguk setuju. Dia buru-buru melepas sabuk pengaman dan turun, tersenyum manis pada mereka semua sambil menggelengkan kepala.“Yakin bisa jaga rahasia?” tanyanya, jari telunjuknya mengarah pada ketiga temannya yang serentak mengangguk. “Come on!” Kita ajak kamu ke sini buat h
“Jangan seperti ini, Rein, aku benar-benar mencintaimu.” Alvano tak lagi peduli pada penolakan Reina, ia mendekat dan merengkuh pinggang wanita itu. Mereka saling menatap, tapi bibir tak bisa mengatakan apa-apa. Alvano langsung memeluk erat Reina, tangannya mengelus rambut panjang wanita itu yang tegerai. Reina mendengar suara detak jantung Alvano yang berpacu cepat, seakan menunjukkan cinta yang begitu besar. Namun, dia tetap tak nyaman dengan pelukan ini, kata-kata menyakitkan Alea terngiang dalam ingatan, membuatnya menangis sesenggukan.“Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan perasaanku, Rein?” tanya Alvano, tak melepaskan Reina. Aroma wanita itu membuatnya begitu nyaman. “Aku bisa melakukan semua hal untukmu.” Reina bergeming dalam kebisuan. Masih tak mengerti sejak kapan cinta tumbuh dalam hati Alvano, pria yang sudah bersamanya sejak kecil. Benarkah kebencian yang diperlihatkan hanya untuk menutupi cinta? Reina menengadahkan wajah, menutup mata sejenak sambil membuang
“Kak Arka!” Reina berteriak memanggil kakaknya yang entah dimana. Dia memejamkan mata, menggeleng kuat dan menghentakkan kaki.Melihat perlawanan Reina yang menggemaskan, Alvano tersenyum tipis tapi tak melepas tangan wanita itu. Dia sengaja mencengkram tangan Reina di dadanya, memajukan bibir seolah ingin mencumbu wanitanya.“Kalau Kak Arka tau, kamu pasti akan dihabisi, Kak!” kecam Reina, matanya menyipit agar lebih meyakinkan.“Nggak masalah.” Alvano menaikkan bahu. “Bukannya lebih bagus kalau dia tau? Aku bisa secepatnya mendapat restu.” “Hahaha!” Reina tertawa mendengar penuturan Alvano yang dianggap sedang melucu. “Aku Reina Mayumi, bukan calon istrimu.” “Jangan katakan itu, Rein. Aku nggak suka kamu menyebut orang lain saat kita sedang berdua,” sanggah Alvano, wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang begitu kentara.Reina melirik dari ekor mata, menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum sinis.“Yang barusan kusebut itu calon istrimu, Kak Al. Biar kamu ingat,” tegasnya.Alvano