Share

Sehangat Dekapan Janda Muda
Sehangat Dekapan Janda Muda
Author: Liza zarina

Jadi Janda Muda

Author: Liza zarina
last update Last Updated: 2025-07-09 14:58:39

“Dengan ini, Pengadilan Agama menyatakan bahwa gugatan cerai yang diajukan oleh Ny. Reina Mayumi terhadap Tn. Bimo Mahardika dikabulkan. Maka pernikahan keduanya dinyatakan berakhir secara sah.”

Suara palu hakim menggema keras di ruang sidang. Ketukan sederhana tapi, menghancurkan dua tahun kenangan penuh cinta. Reina meremas jemari, menahan kegetiran hati.

Tak ada air mata di wajah Reina. Dia membisu dengan tatapan kosong yang menyembunyikan badai. Tangannya saling meremas, bahkan air liur yang ditelan terasa seperti duri yang mengoyak tenggorokan.

Seharusnya, dia lega karena persidangan perceraian berjalan lancar tanpa drama. Nyatanya, selama berbulan-bulan ini nama Bimo masih bertahta di hatinya. Reina menggenggam kekecewaan yang menumpuk, menghembuskan napas perlahan untuk menenangkan diri.

“Nggak ada gunanya lagi,” ujar wanita yang baru saja sah menjadi janda tersebut. “Aku harus benar-benar melupakan Mas Bimo.”

Bimo bangkit dari kursinya, berjalan keluar ruang sidang tanpa sedikit pun menoleh pada Reina. Tersenyum lebar pada seorang wanita hamil yang menunggunya di luar. Mereka berpelukan, saling mengecup, tanpa mempedulikan tatapan tajam orang sekitar.

“Akhirnya kamu bercerai dengannya, Bim!” ucap Kinar setelah mengecup singkat bibir Bimo. “Jadi, kapan kamu akan menikahiku? Perutku semakin membesar.” Kinar merengek dengan bibir mengerucut.

“Bulan depan.” Jawaban Bimo membuat Kinar tersenyum manis.

Sementara itu, Arka menghampiri Reina yang masih termangu di tempatnya. Menggenggam erat tangan adiknya, menepuk pelan pundak wanita itu.

“Kita pulang, Rein.”

Reina menegakkan bahu, menahan napas yang terasa berat di dada, mengulas senyum tipis seraya menganggukkan kepala. Langkahnya tertatih, seakan menyeret beban berat.

“Rein….” Suara lembut menyapa saat ia keluar dari pengadilan. Sasha, sahabat Reina sejak SMA, meraih tangannya. “Kamu yakin nggak apa-apa?”

Reina tersenyum tipis sembari mengangguk. “Aku baik, kok. Aku lega sudah melepas pria bajingan itu.”

“Kalau ada apa-apa, hubungi aku, ya!” Sasha menyeka pipi Reina yang sedang mengangguk.

“Besok malam aku datang ke acara reuni SMA kita.” Reina tersenyum manis pada Sasha yang masih saja tampak mengkhawatirkan temannya itu.

“Serius?” tanya Sasha. Tentu dia senang. Tapi, dengan keadaan Reina saat ini, dia ragu.

“Hm!” Reina mengangguk lagi. “Aku baik-baik saja, Sasha.”

“Baiklah.” Sasha mengulas senyum. “Malam besok, aku jemput, ya.”

Reina tersenyum sebagai jawaban. Dia menghampiri Arka yang sedari tadi sudah menunggu di mobil. Wanita itu masuk, memakai sabuk pengaman dan menatap kosong ke luar kaca mobil. Tak ada pembicaraan apapun antara Reina dan Arka, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Mau makan sesuatu?” tanya Arka akhirnya, melirik adiknya yang tak menjawab karena masih melamun.

“Rein ….” Arka menyentuh lengan Reina, mengejutkan wanita itu.

“Ya?” sahutnya dengan suara parau. Matanya berkaca, tetapi tetap menyuguhkan senyum manis.

Arka terdiam beberapa saat melihat manik mata adiknya yang memerah. Sejurus kemudian, dia tersenyum. “Mau ice cream?”

Reina tertegun. Sedetik kemudian menutup wajahnya dengan tangan. Dia menggelengkan kepala, menangis sesenggukan hingga Arka menepikan mobil di pinggir jalan.

“Jangan menangis, Rein.”

“Maafkan aku, Kak!” ucap Reina. “Demi bisa menikah dengan Bimo, aku sampai melakukan hal-hal yang nggak seharusnya kulakukan. Nyatanya, Bimo pria sialan. Dia menghamili Kinar, bahkan mereka bercinta di depanku,” ujar Reina, kemudian tergugu.

Arka menghela pelan sambil manggut-manggut. Dia menarik Reina dalam dekapan, mengusap lembut puncak kepala adiknya.

“Jangan dipikirkan. Kakak lebih senang karena kamu memilih berpisah daripada menyimpan keburukan Bimo,” ucap Arka, suaranya sangat lembut.

Reina menghentikan tangis setelah puas menangis sampai jas Arka basah. Mereka melanjutkan perjalanan. Reina menolak semua makanan atau barang yang ditawari Arka. Setibanya di rumah, Reina langsung masuk kamar tanpa menyapa Bi Hanum, asisten rumah tangga yang dipekerjakan Arka.

“Bi, nanti antarkan makanan ke kamar Reina. Kalau ada apa-apa, saya di ruang kerja.”

“Baik, Tuan Arka,” jawab Bi Hanum sambil mengangguk.

Reina mengunci kamar, melempar dirinya ke atas ranjang tanpa menyalakan lampu. Dia menelungkup wajah, menangis sesenggukan menumpahkan kesedihan yang tak terungkap.

Tubuhnya bergetar, tangannya kuat mencengkram seprai, sesekali memukul tempat tidur tanpa mempedulikan suara ketukan pintu kamarnya. Urat leher Reina memegang saat dia menjerit, tapi membekap mulutnya sendiri. Menghentak kaki, dan memukul dadanya yang sesak.

“Tuhan, kenapa Engkau mempertemukan aku dengan Bimo? Dua tahun kebersamaan kami nggak ada arti bagi pria bajingan itu!” Reina tergugu.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan masih terdengar di depan pintu. Bi Hanum resah berdiri sambil memegang nampan makanan.

“Nona, buka pintunya! Nona belum makan dari pagi. Ini bibi bawakan makan.” Bi Hanum menaikkan intonasi suara.

Bi Hanum menoleh ke belakang ketika mendengar suara langkah kaki. Dia memperhatikan pria bersetelan jas yang sedang berjalan ke arahnya, sesekali menoleh ke ruang kerja Arka yang berada di pojok ruangan.

Melihat Bi Hanum membawa nampan, pria itu langsung paham.

“Biar aku yang masuk.”

Bi Hanum mengangguk kecil seraya menyerahkan nampan pada pria di hadapannya.

“Ada kunci cadangan?”

Bi Hanum mengangguk. “Ada. Tapi, sama Tuan Arka.”

“Ambilkan kunci cadangan. Aku menunggu di sini. Tapi, jangan beritahu Arka kalau aku datang.” Pria itu selalu memasang tampang serius.

“Kenapa, Tuan Alvano?” tanya Bi Hanum. Namun, melihat wajah datar yang selalu menyimpan ketegasan itu, Bi Hanum segera mengangguk.

Tak lama, wanita berusia 50 tahun itu kembali sambil membawa kunci, membukakan pintu, membiarkan Alvano masuk. Aroma parfum Reina menyeruak dari kamar gelap di hadapannya. Tanpa ragu, Alvano masuk dan menutup pintu.

Alvano meletakkan nampan di atas nakas. Dalam gelap, dia bisa mengingat area kamar Reina dengan baik.

Srakk!

Alvano menyibak gorden kamar Reina, membuat wanita itu terkejut dan langsung menatap ke arah jendela kamarnya. Reina tertegun melihat seorang pria berwajah datar yang tengah menatapnya.

“Kak Alvano?” pekik Reina, tak percaya kini Alvano berdiri di depannya.

“Masih menangisi bajingan itu?” Suara dingin Alvano membekukan tubuh Reina.

“Ngapain kamu di sini?” tanya Reina, suaranya serak. “Keluar!”

Alvano bergeming tanpa mengalihkan pandang dari Reina yang tampak kacau. Pria berusia 27 tahun itu melipat tangan di dada, sorot tajamnya tak lepas dari wajah sembab Reina.

Reina berdecak kecil, tak suka dengan kehadiran Alvano. Dia menarik tangan pria itu, tapi Alvano seperti patung, tak bergeser sedikitpun. Reina menyeret pria itu dengan berbagai cara tapi, hasilnya nihil.

Dalam sekejap, Alvano mengubah posisi. Dia mencengkram pergelangan tangan Reina, menarik wanita itu sampai punggungnya membentur dinding. Alvano mengukung Reina dengan tangannya, mengikis jarak hingga hembusan napas pria itu membelai wajah Rein.

Debaran jantung Alvano terasa hampir menembus rongga dadanya. Wajahnya merona bisa sedekat itu dengan Reina. Tangannya bergerak membelai, rindu yang terpendam, cinta yang disembunyikan, dan rasa senang yang mendominasi.

“Akhirnya kamu dan bajingan itu bercerai. Aku senang sekarang kamu menjadi janda,” ucap Alvano, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Reina.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cika Nurlika Salis
ceritanya bagus
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Kamu menjaga hati lain?

    “Berbagi suami? Itu tidak akan terjadi.”Alvano terdiam, menunggu jawaban dari Reina yang saat ini tampak berapi-api. Hatinya kembali terasa perih setiap kali wanita itu menolak, bahkan sampai mengusirnya pergi.“Tidak terjadi?” Reina tersenyum sambil memutar bola mata. “Ingat, kamu sudah bertunangan dengan Alea.”“Aku akan membatalkan pertunangan dengannya, dan menikahimu, Rein.” Alvano menangkup wajah Reina. “Aku sungguh-sungguh.” “Barusan kamu tahu siapa yang menghubungiku?” tanya Reina tiba-tiba, matanya menatap lurus tanpa berkedip. Seolah ingin menangkap setiap kebohongan yang terlukis di wajah pria itu.“Arka?” tebak Alvano ragu. Setahunya memang temannya itu yang menelepon Reina barusan. Tapi kenapa setelah itu sikap Reina berubah, apalagi setelah dia mengutarakan niat untuk menikahinya? Apakah ada yang salah? Atau … ada sesuatu yang tidak diketahuinya?“Kenapa, Rein?” suara Alvano terdengar tak sabar, begitu gelisah. “Aku sungguh-sungguh ingin menikahimu.” Ia berusaha merai

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Terbuai

    Alvano terkekeh pelan melihat tuduhan Reina. Ia hanya mengangguk tanpa berusaha membantah, jemarinya terulur mengusap lembut kepala wanita itu, seolah tingkah Reina begitu menggemaskan di matanya.“Kak Al, kenapa kamu meninggalkan Alea?” Reina tiba-tiba bertanya. Dia duduk di samping pria itu, menatap jendela yang tertutup tapi sinar matahari sudah menembus masuk. Suara lirih penuh penasarannya memecah keheningan. “Bukannya semalam itu … malam pertama kalian?” lanjutnya lagi. Heran mengapa pria itu memilih menemuinya.Dahi Alvano mengerut mendengar penuturan Reina. Sebenarnya tidak senang Reina membahas orang lain saat mereka sedang bersama, walaupun tunangannya sendiri. “Kami baru bertunangan,” jawab Alvano tenang, tersenyum samar seakan ingin menenangkan hati Reina yang dilanda cemburu, padahal wanita itu tak merasa demikian. “Lagipula, tidak akan ada malam pertama di antara kami,” tegasnya lagi. Reina mengikis jarak dengan bergeser mendekat pada Alvano, mengamati keseriusan di w

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Tidur Bersama

    “Jangan! Kumohon, jangan lakukan itu.” Reina memohon sambil menangis, kepalanya menggeleng kuat, air mata jatuh membasahi pipi.“Aku tidak bisa menunggu lagi, Rein.” Alvano merendahkan wajahnya hingga dahi mereka saling menempel. Tatapan sendu Reina sempat membuatnya goyah, tapi kenyataan bahwa wanita itu tidak mencintainya membuat hati Alvano perih. Hasrat untuk memiliki Reina, dengan cara apa pun, semakin membakar dirinya.“Kak, ingatlah! Aku ini adik temanmu,” ucap Reina dengan suara bergetar, berusaha menyadarkan Alvano. Tatapan pria itu yang begitu intens membuatnya berdesir sekaligus takut. “Lepaskan aku, Kak. Kumohon….” Ia terus mengiba, menggantungkan harapan pada sisa belas kasih di hati Alvano.Alvano gusar dengan caranya sendiri. Meskipun sangat ingin memiliki, tetapi haruskah memaksa? Dia takut, setelah ini kebencian tumbuh semakin dalam. Alvano mendesah pelan, melepaskan Reina dan menarik selimut untuk menutupi tubuh polos wanita itu. “Maaf aku membuatmu takut.” Alvano

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Aku menagih janji

    Cukup lama Reina berdiri di dekat jendela, hanya berani mengamati dari jauh tanpa mendekat. Di luar sana tidak terlihat apa pun. Suasana begitu senyap, bahkan suara angin pun nyaris tak terdengar. Meski begitu, rasa waswas membuatnya enggan memastikan, takut ada sesuatu yang bersembunyi dalam gelap.Ia melirik ponsel, tak ada notifikasi penting, hanya layar kosong yang membuatnya makin resah. Reina menarik nafas panjang, berusaha menenangkan hati yang sejak tadi berdebar. Dengan cepat ia menyalakan lampu kamar, membiarkan terangnya menembus hingga keluar jendela.“Mungkin cuma kucing …,” gumamnya pelan mencoba meyakinkan diri. Kalau benar ada orang berniat jahat, mestinya sudah muncul atau menimbulkan suara aneh lagi.Namun pikirannya tetap gelisah. “Aku memang terlalu curigaan gara-gara Kak Al sering masuk tanpa sepengetahuanku.”Reina mematikan lampu utama, menyisakan cahaya kuning redup yang membuat kamar terasa hangat sekaligus sunyi. Rasa was was karena suara aneh tadi perlahan

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Pertunangan Alea dan Alvano

    MC mulai membacakan serangkaian acara. Saatnya Alvano mendekat pada Alea, mencium gadis itu, lalu menjemputnya untuk dipasangkan cincin. Namun, meski namanya sudah dipanggil beberapa kali, Alvano tetap bergeming.Pandangannya terpaku pada satu titik, pada Reina. Tatapan setajam elang mengunci gerak-gerik wanita itu, seolah siap mencabik siapa pun yang mendekat. Api cemburu berkobar saat dilihatnya Reina dan Velo bercakap akrab, bahkan tertawa bersama. Terlalu dekat, terlalu intim di matanya.“Alvano?” panggil MC sekali lagi. Seketika, semua tatapan tamu undangan beralih pada pria itu.Alea berusaha tersenyum, meski jelas terlihat dipaksakan. Hatinya terasa perih, merasa dipermalukan di depan begitu banyak orang. Sebagian dirinya ingin segera berlari meninggalkan tempat itu, namun sisi lain menolak kehilangan kesempatan berharga menjadi tunangan Alvano, pria dambaan semua wanita.Reina yang sedang asyik mengobrol dengan Velo, sedikit terganggu saat mc berulang kali memanggil nama Alva

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Ternyata kamu anak angkat

    Velo sama sekali tidak menyangka, wanita yang diam-diam disukainya ternyata adik kandung dari musuh bisnisnya sendiri. Sebuah kebetulan yang membuatnya canggung, apalagi mengingat tatapan tajam dan sikap dingin yang sempat ia tunjukkan di awal. Ia tahu, Arka tidak akan mudah menyukainya, apalagi terlalu banyak kesalahan dan persaingan di antara mereka. Namun satu hal pasti, Velo tidak akan berhenti berusaha.Dengan penuh percaya diri, Velo mengulurkan tangan. Arka hanya menatap dingin, berpura-pura tidak melihat uluran itu. Sekejap suasana menegang.Tak kehilangan akal, Velo langsung meraih tangan Arka dan menggenggamnya erat, senyumnya semakin lebar.“Hai, kakak ipar,” ucapnya, kali ini lebih menekankan kata-kata itu.Reina terperangah melihat sikap tak acuh kakaknya. Sejak kecil, Arka jarang sekali bersikap dingin kepada siapa pun, apalagi sampai menolak jabat tangan. Hatinya bertanya-tanya, pasti ada sesuatu antara Velo dan Arka, hal besar yang selama ini tidak ia ketahui.“Kamu m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status