LOGINKinar menatap wajah serius Reina dengan ketakutan yang tersembunyi. Dia menarik napas dalam, lalu memaksa senyum tenang di bibirnya, menyembunyikan kegugupan yang menggelayut.
Hari itu, suara Reina bergetar saat memohon pada Bimo agar tak menceraikannya. Kini, tatapan itu berubah tajam, ancaman yang meluncur dari bibirnya membuat nyali Kinar menciut. “Kau mengancamku?” Mata Kinar menyipit, menatap dalam pada bola mata Reina yang masih memperlihatkan tatapan tajam. Reina menarik sudut bibir. “Ya. Itu ancaman. Kalau kau berani membuat masalah denganku, bersiaplah menerima kehancuran.” Napas Kinar tertahan karena shock. Ketika tersadar, dia langsung tersenyum kikuk sambil menarik napas dalam-dalam seraya menyugar rambut. Mata wanita hamil itu memerah dan berair. Jemarinya sibuk merapikan rambut, memberi isyarat pada dua temannya yang hanya diam di tempat. “Dasar wanita menyedihkan! Berani-beraninya kau mengancam Kinar,” seru Lusy sambil berdiri. Tangannya terangkat, bersiap mendorong Reina. Prang! Pecahan kaca berhamburan di lantai. Reina baru saja menghantamkan gelas ke meja hingga pecah. Kinar dan Lusy menjerit, refleks mundur. Tak ada yang menyangka Reina akan melakukan hal segila itu. Dengan tatapan menusuk, Reina mengangkat serpihan gelas yang runcing, ujungnya diarahkan tepat ke Kinar. “Maju selangkah, ku tusuk kalian.” “Wanita gila!” teriak Kinar sambil mundur. “Sasha, ayo pulang!” ajak Reina, tak peduli lagi pada tatapan orang-orang di cafe. Namun, langkahnya terhenti. “Maaf, Nona. Kalian tidak boleh keluar. Anda membuat keributan.” Seorang pelayan pria menghadang, suaranya datar, tangannya menggenggam lengan Reina. Reina mengerling tajam. “Aku yang membuat keributan?” Dia menunjuk dirinya sendiri. Pelayan itu mengangguk. “Anda mengganggu kenyamanan dan memecahkan gelas.” Sasha maju, berkacak pinggang. “Matamu buta? Mereka yang mulai lebih dulu!” Pelayan itu bergeming. “Silakan ikut ke ruang manager, Nona.” Reina menarik tangannya dari genggaman sang pelayan. Ketika dia ingin menjelaskan kronologi yang terjadi, suara manja Kinar yang sengaja dikeraskan menarik perhatiannya. “Aku ketakutan. Mentalku terganggu.” Kinar menutup wajah dengan tangan. “Dia mengancamku.” “Benar. Wanita menyedihkan itu sangat mengerikan.” Lusy menyahut sambil mengangguk. “Dia harus minta maaf pada Kinar.” “Heh! Jangan memutar balikkan fakta. Kalian yang lebih dulu mengusik kami.” Sasha mengepalkan tangan. Ingin mencabik-cabik Kinar dan kedua temannya. “Lihat, dia dan temannya sangat menakutkan. Bagaimana kalau wajahku terluka?” Kinar meneteskan air mata, tetapi lirikan matanya menunjukkan kepuasan. “Nona, ikut kami.” Pelayan tadi menarik kasar tangan Reina. “Lepas.” Reina menggertakkan gigi, rahangnya mengeras. Pintu kafe terbuka, Alvano melangkah masuk dengan aura mempesona. Sorot matanya tenang dan tajam, pemilik wajah datar itu membuat setiap pasang mata tak bisa berpaling. “Lepaskan dia!” seru Alvano, suaranya yang dingin membuat pelayan tersebut menelan ludah. Wajah sang pelayan seketika pucat pasi. Genggamannya pada tangan Reina terlepas. Dengan gemetar, ia membungkuk berulang kali sambil mengucapkan permintaan maaf tergesa-gesa, suaranya nyaris patah-patah. Matanya tak lagi berani menatap Reina. “Maafkan saya, Nona. Saya benar-benar lancang.” Tangannya mengatup di dada. Reina memegang pergelangan tangannya yang terasa nyeri dan membiru. Dia menarik Sasha keluar, terlalu enggan berlama-lama berdekatan dengan Alvano. Namun, sebelum dia sempat mengambil langkah, Alvano lebih dulu menggendongnya keluar. “Eh, Reina mau dibawa ke mana?” Sasha hendak mengejar tapi langkahnya dihalangi oleh asisten Alvano. “Dia pasti baik-baik saja. Jangan khawatir,” ucap pria berkacamata tersebut. Sasha terdiam, berusaha percaya Alvano tidak akan melakukan hal aneh pada Reina. Kinar terkesiap melihat Reina lolos begitu saja. Tentu, dia tidak terima. Buru-buru dia menghampiri pelayan pria yang tadi menahan musuhnya itu. “Kenapa dilepas? Dia harus meminta maaf padaku!” Suara Kinar meninggi, mata melotot tajam. “Dia orangnya Tuan muda Alvano, Nona Kinar. Kami nggak berani membuat kesalahan.” Pelayan itu langsung pergi. “Ck!” Kinar berdecak. Tangannya terkepal kuat di samping tubuh. “Reina, siapapun yang ada di belakangmu, kau harus meminta maaf padaku dan anakku.” Sementara itu, Reina meronta, berusaha melepaskan diri dari Alvano, tetapi pria itu dengan mudah menariknya hingga tubuhnya terseret ke dalam mobil. Pintu menutup cepat, mengurungnya di dalam. “Aku bisa pulang sendiri, Kak Al. Aku bawa motor.” Reina memelas tanpa mau menatap wajah Alvano. Alvano meraih pergelangan tangan Reina, memeriksa bekas merah di sana dengan rahang mengeras. Tatapannya tajam, tidak terima wanitanya terluka. Reina hanya terdiam, napasnya berat. Mobil sudah melaju, membuatnya sadar tak ada lagi jalan untuk kabur. Alvano mengelus tangan Reina dan mengecupnya. Hal itu membuat Reina cepat-cepat menarik tangannya dan memberi jarak dengan pria itu. “Jangan menjauhiku, Rein,” ucap Alvano, merengkuh pinggang Reina agar mendekat lagi padanya. “Aku sudah terbiasa dengan kita yang dulu kak.” Reina menatap keluar. Jemari Alvano membelai pipi Reina, memaksa wanita itu menatap matanya. “Kita yang dulu?” Reina menahan napas, membalas tatapan Alvano. “Kamu yang menjauh dariku. Bisakah kita … menjaga jarak seperti dulu saja?” “Tidak.” Genggaman Alvano di pipi Reina menguat. “Kamu milikku. Aku akan selalu di sisimu. Ingat, kita punya kesepakatan. Waktumu hanya tiga bulan.” Bisikan Alvano bagai hembusan angin yang merayap di kulit Reina, membuatnya meremang. “Cih, aku nggak peduli sama kesepakatan konyol itu,” desis Reina, matanya berapi-api. “Tiga bulan? Kamu nggak akan mendapatkan apa yang kamu mau, Kak Al. Dasar gila!” Senyum tipis muncul di bibir Alvano, dia merasa tertantang. Dalam sekejap, tangannya meraih tengkuk Reina, menariknya begitu dekat hingga napas mereka berbaur. Tepat sebelum bibirnya menyentuh, tangan Reina menahan penyatuan bibir mereka. Alvano tersenyum tipis, mengunci pergelangan tangan Reina di atas kepala. Bibirnya langsung melumat rakus bibir wanita itu, mendorong kepala Reina ke sandaran kursi mobil. Tubuh wanita itu terperangkap, tak ada celah untuk bergerak, sementara Alvano terus menyesap manis bibir sang wanita seolah tak pernah puas. Tangan Alvano turun, menyusuri paha Reina yang terbalut celana jeans, hingga jarinya tiba di kancing celana. Tarikan di pinggang membuat jarak mereka semakin intens. Reina terperangah, matanya membelalak, menggeleng keras meski ciuman mereka tetap terkunci. Alvano tak mengendurkan cengkeraman, tetapi sebelum niatnya terwujud, suara rem menghentikan segalanya. “Kita sudah sampai, Tuan,” suara sopir terdengar hati-hati, tidak berani menoleh ke belakang. Reina menolak Alvano, buru-buru turun sambil merapikan pakaian. Dia berlari masuk ke dalam rumah. “Kamu udah pulang?” Arka tersenyum menyambut kepulangan adiknya. Suasana hati Reina membaik melihat sang kakak. Dia tersenyum melihat paper bag di tangan Arka. “Apa itu?” “Tante Anne minta kita makan malam bareng nanti malam.” Arka mengambil paper bag dari toko ternama dan menyerahkan pada Reina. Tetapi, Reina tak menerima dengan riang seperti biasanya. Reina berdehem sambil mundur. “Aku nggak ikut.” Dia tersenyum kecil. “Nggak enak badan, Kak.” “Kamu sakit?” tanya Arka, sigap memeriksa suhu tubuh adiknya. Tetapi, Reina terlihat baik-baik saja. “Ada sesuatu, Rein?” Arka paham betul dengan sifat adiknya. Pasti ada hal lain yang membuat Reina mengarang alasan. Ditatap se-intens itu oleh Arka, Reina tak berkutik, semakin gugup hingga memegangi lehernya, takut bekas kissmark yang ditinggal Alvano terlihat Arka. Dia tersenyum kikuk. “Cuma males aja, Kak.” “Gaun udah disiapin Tante Anne. Dia pengen kamu kelihatan cantik,” ujar Arka, menenangkan. Reina mengerutkan dahi. “Kenapa tiap makan malam harus gaun baru?” “Karena dia udah nganggap kamu putrinya.” “Aku tetap nggak mau ikut.” Meskipun penjelasan Arka cukup masuk akal, tapi Reina merasa ngeri kala teringat ekspresi wajah Alvano. Arka tersenyum samar, menepuk bahu Reina. “Sayang banget. Soalnya malam ini … Tante Anne mau kenalin seseorang sama kita, keluarganya.” “Siapa?” tanya Reina, suara wanita yang menghubungi Alvano tadi pagi masih terngiang di telinganya. “Dia seorang wanita? Ada hubungannya sama Kak Alvano?” Arka terdiam beberapa detik, menatap Reina seakan sedang menimbang sesuatu. “Dia Alea. Calon istri Alvano.”“Berbagi suami? Itu tidak akan terjadi.”Alvano terdiam, menunggu jawaban dari Reina yang saat ini tampak berapi-api. Hatinya kembali terasa perih setiap kali wanita itu menolak, bahkan sampai mengusirnya pergi.“Tidak terjadi?” Reina tersenyum sambil memutar bola mata. “Ingat, kamu sudah bertunangan dengan Alea.”“Aku akan membatalkan pertunangan dengannya, dan menikahimu, Rein.” Alvano menangkup wajah Reina. “Aku sungguh-sungguh.” “Barusan kamu tahu siapa yang menghubungiku?” tanya Reina tiba-tiba, matanya menatap lurus tanpa berkedip. Seolah ingin menangkap setiap kebohongan yang terlukis di wajah pria itu.“Arka?” tebak Alvano ragu. Setahunya memang temannya itu yang menelepon Reina barusan. Tapi kenapa setelah itu sikap Reina berubah, apalagi setelah dia mengutarakan niat untuk menikahinya? Apakah ada yang salah? Atau … ada sesuatu yang tidak diketahuinya?“Kenapa, Rein?” suara Alvano terdengar tak sabar, begitu gelisah. “Aku sungguh-sungguh ingin menikahimu.” Ia berusaha merai
Alvano terkekeh pelan melihat tuduhan Reina. Ia hanya mengangguk tanpa berusaha membantah, jemarinya terulur mengusap lembut kepala wanita itu, seolah tingkah Reina begitu menggemaskan di matanya.“Kak Al, kenapa kamu meninggalkan Alea?” Reina tiba-tiba bertanya. Dia duduk di samping pria itu, menatap jendela yang tertutup tapi sinar matahari sudah menembus masuk. Suara lirih penuh penasarannya memecah keheningan. “Bukannya semalam itu … malam pertama kalian?” lanjutnya lagi. Heran mengapa pria itu memilih menemuinya.Dahi Alvano mengerut mendengar penuturan Reina. Sebenarnya tidak senang Reina membahas orang lain saat mereka sedang bersama, walaupun tunangannya sendiri. “Kami baru bertunangan,” jawab Alvano tenang, tersenyum samar seakan ingin menenangkan hati Reina yang dilanda cemburu, padahal wanita itu tak merasa demikian. “Lagipula, tidak akan ada malam pertama di antara kami,” tegasnya lagi. Reina mengikis jarak dengan bergeser mendekat pada Alvano, mengamati keseriusan di w
“Jangan! Kumohon, jangan lakukan itu.” Reina memohon sambil menangis, kepalanya menggeleng kuat, air mata jatuh membasahi pipi.“Aku tidak bisa menunggu lagi, Rein.” Alvano merendahkan wajahnya hingga dahi mereka saling menempel. Tatapan sendu Reina sempat membuatnya goyah, tapi kenyataan bahwa wanita itu tidak mencintainya membuat hati Alvano perih. Hasrat untuk memiliki Reina, dengan cara apa pun, semakin membakar dirinya.“Kak, ingatlah! Aku ini adik temanmu,” ucap Reina dengan suara bergetar, berusaha menyadarkan Alvano. Tatapan pria itu yang begitu intens membuatnya berdesir sekaligus takut. “Lepaskan aku, Kak. Kumohon….” Ia terus mengiba, menggantungkan harapan pada sisa belas kasih di hati Alvano.Alvano gusar dengan caranya sendiri. Meskipun sangat ingin memiliki, tetapi haruskah memaksa? Dia takut, setelah ini kebencian tumbuh semakin dalam. Alvano mendesah pelan, melepaskan Reina dan menarik selimut untuk menutupi tubuh polos wanita itu. “Maaf aku membuatmu takut.” Alvano
Cukup lama Reina berdiri di dekat jendela, hanya berani mengamati dari jauh tanpa mendekat. Di luar sana tidak terlihat apa pun. Suasana begitu senyap, bahkan suara angin pun nyaris tak terdengar. Meski begitu, rasa waswas membuatnya enggan memastikan, takut ada sesuatu yang bersembunyi dalam gelap.Ia melirik ponsel, tak ada notifikasi penting, hanya layar kosong yang membuatnya makin resah. Reina menarik nafas panjang, berusaha menenangkan hati yang sejak tadi berdebar. Dengan cepat ia menyalakan lampu kamar, membiarkan terangnya menembus hingga keluar jendela.“Mungkin cuma kucing …,” gumamnya pelan mencoba meyakinkan diri. Kalau benar ada orang berniat jahat, mestinya sudah muncul atau menimbulkan suara aneh lagi.Namun pikirannya tetap gelisah. “Aku memang terlalu curigaan gara-gara Kak Al sering masuk tanpa sepengetahuanku.”Reina mematikan lampu utama, menyisakan cahaya kuning redup yang membuat kamar terasa hangat sekaligus sunyi. Rasa was was karena suara aneh tadi perlahan
MC mulai membacakan serangkaian acara. Saatnya Alvano mendekat pada Alea, mencium gadis itu, lalu menjemputnya untuk dipasangkan cincin. Namun, meski namanya sudah dipanggil beberapa kali, Alvano tetap bergeming.Pandangannya terpaku pada satu titik, pada Reina. Tatapan setajam elang mengunci gerak-gerik wanita itu, seolah siap mencabik siapa pun yang mendekat. Api cemburu berkobar saat dilihatnya Reina dan Velo bercakap akrab, bahkan tertawa bersama. Terlalu dekat, terlalu intim di matanya.“Alvano?” panggil MC sekali lagi. Seketika, semua tatapan tamu undangan beralih pada pria itu.Alea berusaha tersenyum, meski jelas terlihat dipaksakan. Hatinya terasa perih, merasa dipermalukan di depan begitu banyak orang. Sebagian dirinya ingin segera berlari meninggalkan tempat itu, namun sisi lain menolak kehilangan kesempatan berharga menjadi tunangan Alvano, pria dambaan semua wanita.Reina yang sedang asyik mengobrol dengan Velo, sedikit terganggu saat mc berulang kali memanggil nama Alva
Velo sama sekali tidak menyangka, wanita yang diam-diam disukainya ternyata adik kandung dari musuh bisnisnya sendiri. Sebuah kebetulan yang membuatnya canggung, apalagi mengingat tatapan tajam dan sikap dingin yang sempat ia tunjukkan di awal. Ia tahu, Arka tidak akan mudah menyukainya, apalagi terlalu banyak kesalahan dan persaingan di antara mereka. Namun satu hal pasti, Velo tidak akan berhenti berusaha.Dengan penuh percaya diri, Velo mengulurkan tangan. Arka hanya menatap dingin, berpura-pura tidak melihat uluran itu. Sekejap suasana menegang.Tak kehilangan akal, Velo langsung meraih tangan Arka dan menggenggamnya erat, senyumnya semakin lebar.“Hai, kakak ipar,” ucapnya, kali ini lebih menekankan kata-kata itu.Reina terperangah melihat sikap tak acuh kakaknya. Sejak kecil, Arka jarang sekali bersikap dingin kepada siapa pun, apalagi sampai menolak jabat tangan. Hatinya bertanya-tanya, pasti ada sesuatu antara Velo dan Arka, hal besar yang selama ini tidak ia ketahui.“Kamu m







