Reina penasaran wanita mana yang sedang dekat dengan Alvano. Kakinya melangkah, matanya terus menatap Alvano yang berdiri dua meter di depannya. Pria itu tidak mengatakan apa-apa, seakan hanya mendengar perkataan seseorang di balik telepon.
Reina menggigit bibir, menajamkan indra pendengaran dengan dahi berkerut. Dia mendengus pelan karena tak berhasil menguping pembicaraan mereka. “Hm! Nanti aku akan menemuimu.” Satu kalimat yang diucapkan Alvano semakin memantik rasa ingin tau wanita itu. Namun, ketika Reina melihat Alvano tersenyum tipis dari pantulan cermin, membuat Reina terdiam dengan bibir mengerucut. Dia memutar bola mata, menghela napas pelan seraya berkata, “Kalaupun itu seorang wanita, memangnya kenapa?” Mendengar gumaman kecil di belakangnya, Alvano melirik ke arah cermin. Dari ekor mata, dia melihat Reina yang tampak penasaran. Pria itu menarik sudut bibir, berpikir Reina cemburu. Reina menyudahi rasa penasarannya, berbalik dan masuk ke kamar mandi. Saat air shower mengguyur tubuhnya, bayangan saat dia berciuman dengan Alvano memenuhi kepala. “Astaga! Kenapa aku malah membayangkannya lagi, sih?” Reina mengetuk-ngetuk kepala, berusaha mengusir ingatan yang menggangu. Selesai mandi, Reina keluar dengan handuk bermotif kucing kesukaannya. Dia berjalan sambil bersenandung kecil, berusaha menciptakan suasana menyenangkan. Langkah wanita itu mendadak terhenti melihat Alvano duduk di tepi ranjang sambil melipat kaki, memperhatikan Reina dari atas ke bawah sambil menelan ludah. Pikiran kotor kembali menyusup karena hasrat yang ditahan kembali memuncak. ‘Kenapa Kak Al masih di sini? Ya Tuhan, mana aku cuma pakai handuk pula.’ Reina menjerit dalam hati. ‘Dia membuatku gerah,’ batin Alvano, tak bisa berpaling dari Reina sedetikpun. “Sengaja?” Akhirnya pertanyaan itu terlontar. Alvano bergeming, burung dalam celana berontak minta dikeluarkan. “Apanya?” tanya Reina, sikapnya acuh tak acuh. Kakinya yang gemetar tak bisa melangkah. “Mau menggodaku?” tanya Alvano, tatapan matanya tertuju pada kaki jenjang dan tulang selangka Reina yang menggoda. Reina tak menanggapi, terkekeh pelan sambil geleng-geleng kepala. Detak jantungnya berpacu, pipinya memanas, tapi ia berlagak tenang. Reina membuka lemari pakaian. Dia mengambil baju dengan tangan gemetar karena merasa diperhatikan. Tiba-tiba, sebuah tangan hangat merengkuh pinggangnya yang dingin. Dengan cepat, tangan tersebut menariknya hingga mereka berhadapan. Tanpa basa-basi Alvano menyusupkan wajahnya ke curug leher Reina. Namun, Reina yang tidak suka dengan sikap pria itu, menjambak rambut Alvano sampai wajahnya menjauh. Tetapi, Alvano malah menggigit Reina. “Menjauhlah dariku, Kak Al. Kamu semakin lancang.” Reina mundur beberapa langkah sambil memegangi bekas gigitan Alvano. Tatapan tajam ia hunuskan tapi, dibalas dengan senyuman. Alvano menaikkan sebelah alis. “Urusan kita belum selesai, Rein. Kamu lupa?” Reina tersenyum simpul. “Baru saja menerima telepon dari wanita lain, sekarang malah ingin menggigitku?” Perkataan Reina menguatkan praduga Alvano. Dia tersenyum kecil sambil manggut-manggut, seolah memahami suasana hati wanita di hadapannya saat ini. Dengan sorot mata yang serius, dia maju selangkah. “Kamu cemburu?” tanya Alvano, mengamati wajah Reina. Dia berharap wanita itu akan mengakui kecemburuannya. Alih-alih menjawab, Reina malah balik bertanya, “Dia pacarmu?” “Alvano melirik sekilas, lalu membuang napas pelan. “Nggak penting.” “Nggak penting?” Reina merasa jengah dengan sikap Alvano. “Kalau kamu sudah punya pacar, jauhi aku, Kak Al. Jangan ikut-ikutan jadi pria bajingan.” Reina menekankan kata-katanya. ‘Aku nggak bisa memberitahumu sekarang, Rein. Maaf….” Rahang Alvano mengeras. Dalam satu gerakan cepat, ia menarik tengkuk Reina dan membungkamnya dengan ciuman. Bibirnya menekan tanpa ampun, lidahnya menerobos bibir Reina yang terkunci. Reina meronta, tapi cengkeraman pria itu justru makin kuat, membuatnya terhuyung dan merasa sesak. “Rein, kenapa belum sarapan?” Suara Arka menghentikan aksi Alvano. Pria itu menoleh ke arah pintu, tersenyum simpul sambil mengangkat alis. Reina menggunakan kesempatan itu untuk menolak Alvano menjauh sambil mengatur napas, satu tangan memegang dada dan yang lainnya memastikan handuk tidak terlepas. “Aku baru selesai mandi, Kak.” Reina berteriak dari dalam. “Kakak harus pergi sekarang karena setengah jam lagi ada rapat, Rein. Sarapan kamu udah dipanasin sama Bi Hanum,” sahut Arka lagi. “Oke, Kak!” Reina menjawab sambil menatap Alvano. Suara langkah kaki Arka menjauh. Bersamaan dengan Reina yang kembali memundurkan langkah. Dia nekat ingin mengunci diri di kamar mandi kalau Alvano tak keluar dari kamarnya. “Ssshhh!” Alvano memukul angin. “Karena rapat sialan itu aku harus pergi.” “Pergi sana! Jangan muncul lagi di depanku!” seru Reina. Mendengar penuturan Reina, Alvano hanya tersenyum. Dia keluar tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan Reina yang terpaku, takut Arka memergoki saat Alvano keluar dari kamarnya. “Dasar pria aneh,” gerutu Reina sambil menghentak kaki. *** Sinar matahari siang yang panas menerobos jendela kamar, membuat udara terasa gerah. Reina tergeletak malas di ranjang, dia baru saja melempar handphonenya karena sudah bosan, wajahnya datar dan matanya kosong menatap langit-langit. Reina berguling kesana-kemari untuk menghilangkan kejenuhan tapi, ia tetap tak bersemangat, hanya membiarkan waktu berlalu lambat dalam keheningan kamar. Suara ponsel mengagetkan Reina. Bibirnya mengulas senyum ketika melihat nama yang tertera di layar benda pipihnya. Buru-buru dia membuka pesan yang dikirim Sasha, gegas menerima ajakan temannya untuk makan siang bersama. Reina bangkit dari tidurnya, memilih pakaian dan berdandan. Dia mengeluarkan motor matic kesayangannya, melaju pelan membelah padatnya jalanan menuju ke tempat tujuan. Setibanya di sana, Reina langsung menemui Sasha yang lebih dulu tiba. Mereka memesan makanan, lanjut bercerita tentang acara reuni semalam. “Rein, maaf semalam aku mabuk. Padahal aku udah janji mau jagain kamu.” Sasha mengerucutkan bibir, merasa tak enak pada Reina. “Untung pas Evan mau celakain kamu, ada Kak Al.” Ucapan Shasha mengembalikan ingatan Reina pada pagi ini. Namun, ingatan itu buyar kala Sasha berkata lagi. “Evan dihajar habis-habisan. Kak Al ngelindungin kamu banget, Rein.” Sasha tersenyum. “Ah? Hahaha!” Reina tertawa kecil. Dia hanya mengangguk kecil, menyembunyikan kejadian yang sebenarnya. “Sekarang Evan di mana?” tanya Reina lagi, tangannya mengepal mengingat pria itu. “Rumah sakit. Orang tuanya marah, tapi nggak berani berkutik karena Evan salah dan yang akan mereka hadapi adalah Tuan muda Alvano,” ujar Sasha, suaranya merendah seolah mengandung kengerian. Suara seorang wanita yang begitu dikenali menarik perhatian Reina dan Sasha. Sejenak, mata Reina dan Kinar saling beradu pandang, kebencian menguar dari keduanya. “Rein, kita pindah aja.” Sasha menarik tangan Reina. “Nggak. Kita di sini aja.” “Kenapa harus bertemu dengan wanita menyedihkan di sini?” Kinar sengaja membesarkan suara sambil melirik Reina, kemudian tertawa bersama dua temannya. “Mantan istri calon suamimu?” tanya temannya Kinar, dan mereka kembali tertawa. “Ya. Saat mengetahui kami bersama, masih menangis dan meminta kembali.” Kinar geleng-geleng kepala. “Sangat menyedihkan.” “Sayang sekali dinikahi, tapi Bimo hanya mencintaiku,” imbuh Kinar, kembali melirik Reina yang sedang menikmati makanannya. “Biar aku yang beresin mereka,” kata Sasha, dia sangat geram. “Pelakor nggak tau malu.” Reina mencekal pergelangan tangan Sasha sambil menggeleng. “Mereka udah keterlaluan, Rein. Aku nggak bisa diam aja lihat kamu digituin.” Sasha berontak. Reina melirik Kinar, wajah datarnya tak bisa ditebak Sasha. Reina bangkit, membawa gelas minuman dan sepiring spaghetti menuju Kinar. Tentu, Kinar dan teman-temannya menyambut Reina dengan tatapan mengejek. “Lihat, wanita menyedihkan ini menghampiri kita.” Kinar tertawa. Tanpa mengatakan apapun, Reina menuangkan minuman dan spaghetti nya ke kepala Kinar. Sontak, wanita itu terdiam, tangannya mengepal mendapat perlakuan memalukan seperti itu. Kinar berdiri, tangannya bergerak cepat hendak menampar Reina. Tetapi, Reina lebih cepat menangkis tangan wanita itu dan mencengkramnya. “Duh, duh, tanganku sakit. Lepaskan.” Kinar merintih. “Jaga mulutmu, Kinar. Sudah mengambil sampahku, apalagi yang kau ributkan? Tidakkah kau malu jika orang lain mengetahui kau sedang mengandung anak haram?” Reina tersenyum sinis, melihat perut Kinar yang sengaja ditutupi dengan baju besar. “Kinar, kapanpun aku bisa menghancurkanmu.”Ditatap begitu intens, Reina berusaha mengatur nafas dan tersenyum untuk mengurangi kegugupan yang melanda. Namun, entah apa kesalahannya, Velo malah tak berkedip menatap Reina yang tak berani menunduk, apalagi mengalihkan pandang. ‘Ke-kenapa dia terus menatapku? Aku tidak sopan? Atau penampilanku aneh?’ batin Reina, meskipun tersenyum dia merasa tidak enak hati. “Nanti malam ada acara penyambutanmu. Pacarmu nggak marah, kan?” tanya Velo sambil tersenyum, jelas tertarik pada Junior secretary baru itu.Reina menggeleng ringan, senyumnya tipis. “Saya nggak punya pacar, Pak.”Senyum Velo semakin melebar mendengar jawaban itu. Kepalanya mengangguk-angguk, tatapannya turun naik, seolah menilai Reina dari atas ke bawah. Rasa tertarik yang ia simpan semakin tampak jelas.“Malam besok saya ada meeting keluar kota,” ucap Velo kemudian, suaranya datar namun matanya menatap terlalu dalam. Pandangan intens itu membuat Reina salah tingkah, tak tahu harus bereaksi bagaimana.Dari samping, Karina
“Kenapa, Rein?” Arka panik melihat adiknya menjerit sekeras itu. Dia ikut berdiri, mengamati wajah Reina yang pucat pasi dan tegang. Reina melirik Alvano yang menaikkan sebelah alis, tak merasa bersalah. Kemudian menatap Arka, menggelengkan kepala sambil tersenyum kecut, tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Reina tak ingin pertemanan kakaknya hancur. Terlebih selama ini mereka hidup karena bantuan dari keluarga Dominic.“Aku kenyang, Kak.” Reina menampilkan senyum pahit, mengambil tas dan ponselnya. “Aku berangkat sekarang, ya.” Dia mengecup pipi kanan Arka, langsung pergi sebelum kakaknya sempat menanggapi.Arka menatap punggung adiknya yang menghilang di balik pintu. Dia yakin pasti ada sesuatu yang terjadi sampai Reina kehilangan selera makan. Perlahan, dia menoleh pada Alvano yang sibuk mengutak-atik ponselnya. “Apa yang terjadi padanya, Al?” tanya Arka, menatap lekat Alvano. “Dia duduk di sampingmu. Kamu pasti tau.” Alvano menoleh sekilas, mengangkat bahu. “Mungkin di
Semua orang di ruangan itu terperangah mendengar pengakuan Reina. Pandangan mereka bergantian tertuju pada wanita itu, lalu beralih pada Alvano yang membisu. Lelaki itu tersenyum tipis, senyum yang menunjukkan kepuasan terselubung.Tak ada satu pun yang berani membuka suara. Fakta mengejutkan itu sudah cukup membungkam mulut mereka. Meski sulit dipercaya, sebab selama ini Reina dan Alvano sama sekali tak pernah terlihat dekat, bahkan Reina pernah menikah dengan pria lain.“Kita pulang,” desak Alvano pelan, menyentuh ujung jemari Reina.Namun, dengan cepat wanita itu menepisnya. Reina justru memeluk lengan kanannya sendiri, lalu menggeleng sambil terkekeh. Ia duduk di atas meja dengan kaki terlipat ke belakang. Jemarinya menyapu pelan leher Alvano kemudian menolak kening pria itu.“Aku nggak mau lihat kamu. Di mana para pria sexy itu? Aku mau mereka….” Reina memegangi kepalanya yang sakit, menjambak rambut agar lebih enakan. Ketika rasa mual mengaduk perut, dia langsung menutup mulut d
“Jangan kebanyakan mikir, Reina! Aku jamin, kamu nggak bakal nyesel.” Alaya berkata dengan wajah meyakinkan.“Kita bisa jaga rahasia, Rein. Ini pertama kalinya kita datang ke tempat ginian. Habisnya dulu kamu sibuk nge-bucin,” ledek Sani, menahan tawa melihat Reina malah mencebikkan bibir tanpa membalasnya.Sasha sejak tadi diam, tak memaksa Reina karena paham temannya itu pasti tidak nyaman. Dia menarik nafas dalam-dalam, merasa bersalah karena langsung membawa Reina ke club tanpa memberitahu terlebih dahulu. “Kalau Reina nggak nyaman, jangan dipaksa. Salah kita juga maksa dia,” sela Sasha. “Kita cari tempat lain aja.”Reina merasa tidak enak hati pada teman-temannya. Wajah mereka langsung kecewa, meskipun mengangguk setuju. Dia buru-buru melepas sabuk pengaman dan turun, tersenyum manis pada mereka semua sambil menggelengkan kepala.“Yakin bisa jaga rahasia?” tanyanya, jari telunjuknya mengarah pada ketiga temannya yang serentak mengangguk. “Come on!” Kita ajak kamu ke sini buat h
“Jangan seperti ini, Rein, aku benar-benar mencintaimu.” Alvano tak lagi peduli pada penolakan Reina, ia mendekat dan merengkuh pinggang wanita itu. Mereka saling menatap, tapi bibir tak bisa mengatakan apa-apa. Alvano langsung memeluk erat Reina, tangannya mengelus rambut panjang wanita itu yang tegerai. Reina mendengar suara detak jantung Alvano yang berpacu cepat, seakan menunjukkan cinta yang begitu besar. Namun, dia tetap tak nyaman dengan pelukan ini, kata-kata menyakitkan Alea terngiang dalam ingatan, membuatnya menangis sesenggukan.“Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan perasaanku, Rein?” tanya Alvano, tak melepaskan Reina. Aroma wanita itu membuatnya begitu nyaman. “Aku bisa melakukan semua hal untukmu.” Reina bergeming dalam kebisuan. Masih tak mengerti sejak kapan cinta tumbuh dalam hati Alvano, pria yang sudah bersamanya sejak kecil. Benarkah kebencian yang diperlihatkan hanya untuk menutupi cinta? Reina menengadahkan wajah, menutup mata sejenak sambil membuang
“Kak Arka!” Reina berteriak memanggil kakaknya yang entah dimana. Dia memejamkan mata, menggeleng kuat dan menghentakkan kaki.Melihat perlawanan Reina yang menggemaskan, Alvano tersenyum tipis tapi tak melepas tangan wanita itu. Dia sengaja mencengkram tangan Reina di dadanya, memajukan bibir seolah ingin mencumbu wanitanya.“Kalau Kak Arka tau, kamu pasti akan dihabisi, Kak!” kecam Reina, matanya menyipit agar lebih meyakinkan.“Nggak masalah.” Alvano menaikkan bahu. “Bukannya lebih bagus kalau dia tau? Aku bisa secepatnya mendapat restu.” “Hahaha!” Reina tertawa mendengar penuturan Alvano yang dianggap sedang melucu. “Aku Reina Mayumi, bukan calon istrimu.” “Jangan katakan itu, Rein. Aku nggak suka kamu menyebut orang lain saat kita sedang berdua,” sanggah Alvano, wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang begitu kentara.Reina melirik dari ekor mata, menaikkan sebelah alisnya sambil tersenyum sinis.“Yang barusan kusebut itu calon istrimu, Kak Al. Biar kamu ingat,” tegasnya.Alvano