Share

Cium!

Author: Liza zarina
last update Huling Na-update: 2025-08-09 21:20:11

Reina penasaran wanita mana yang sedang dekat dengan Alvano. Kakinya melangkah, matanya terus menatap Alvano yang berdiri dua meter di depannya. Pria itu tidak mengatakan apa-apa, seakan hanya mendengar perkataan seseorang di balik telepon.

Reina menggigit bibir, menajamkan indra pendengaran dengan dahi berkerut. Dia mendengus pelan karena tak berhasil menguping pembicaraan mereka.

“Hm! Nanti aku akan menemuimu.” Satu kalimat yang diucapkan Alvano semakin memantik rasa ingin tau wanita itu.

Namun, ketika Reina melihat Alvano tersenyum tipis dari pantulan cermin, membuat Reina terdiam dengan bibir mengerucut. Dia memutar bola mata, menghela napas pelan seraya berkata, “Kalaupun itu seorang wanita, memangnya kenapa?”

Mendengar gumaman kecil di belakangnya, Alvano melirik ke arah cermin. Dari ekor mata, dia melihat Reina yang tampak penasaran. Pria itu menarik sudut bibir, berpikir Reina cemburu.

Reina menyudahi rasa penasarannya, berbalik dan masuk ke kamar mandi. Saat air shower mengguyur tubuhnya, bayangan saat dia berciuman dengan Alvano memenuhi kepala.

“Astaga! Kenapa aku malah membayangkannya lagi, sih?” Reina mengetuk-ngetuk kepala, berusaha mengusir ingatan yang menggangu.

Selesai mandi, Reina keluar dengan handuk bermotif kucing kesukaannya. Dia berjalan sambil bersenandung kecil, berusaha menciptakan suasana menyenangkan.

Langkah wanita itu mendadak terhenti melihat Alvano duduk di tepi ranjang sambil melipat kaki, memperhatikan Reina dari atas ke bawah sambil menelan ludah. Pikiran kotor kembali menyusup karena hasrat yang ditahan kembali memuncak.

‘Kenapa Kak Al masih di sini? Ya Tuhan, mana aku cuma pakai handuk pula.’ Reina menjerit dalam hati.

‘Dia membuatku gerah,’ batin Alvano, tak bisa berpaling dari Reina sedetikpun.

“Sengaja?” Akhirnya pertanyaan itu terlontar. Alvano bergeming, burung dalam celana berontak minta dikeluarkan.

“Apanya?” tanya Reina, sikapnya acuh tak acuh. Kakinya yang gemetar tak bisa melangkah.

“Mau menggodaku?” tanya Alvano, tatapan matanya tertuju pada kaki jenjang dan tulang selangka Reina yang menggoda.

Reina tak menanggapi, terkekeh pelan sambil geleng-geleng kepala. Detak jantungnya berpacu, pipinya memanas, tapi ia berlagak tenang.

Reina membuka lemari pakaian. Dia mengambil baju dengan tangan gemetar karena merasa diperhatikan. Tiba-tiba, sebuah tangan hangat merengkuh pinggangnya yang dingin. Dengan cepat, tangan tersebut menariknya hingga mereka berhadapan.

Tanpa basa-basi Alvano menyusupkan wajahnya ke curug leher Reina. Namun, Reina yang tidak suka dengan sikap pria itu, menjambak rambut Alvano sampai wajahnya menjauh. Tetapi, Alvano malah menggigit Reina.

“Menjauhlah dariku, Kak Al. Kamu semakin lancang.” Reina mundur beberapa langkah sambil memegangi bekas gigitan Alvano. Tatapan tajam ia hunuskan tapi, dibalas dengan senyuman.

Alvano menaikkan sebelah alis. “Urusan kita belum selesai, Rein. Kamu lupa?”

Reina tersenyum simpul. “Baru saja menerima telepon dari wanita lain, sekarang malah ingin menggigitku?”

Perkataan Reina menguatkan praduga Alvano. Dia tersenyum kecil sambil manggut-manggut, seolah memahami suasana hati wanita di hadapannya saat ini. Dengan sorot mata yang serius, dia maju selangkah.

“Kamu cemburu?” tanya Alvano, mengamati wajah Reina. Dia berharap wanita itu akan mengakui kecemburuannya.

Alih-alih menjawab, Reina malah balik bertanya, “Dia pacarmu?”

“Alvano melirik sekilas, lalu membuang napas pelan. “Nggak penting.”

“Nggak penting?” Reina merasa jengah dengan sikap Alvano. “Kalau kamu sudah punya pacar, jauhi aku, Kak Al. Jangan ikut-ikutan jadi pria bajingan.” Reina menekankan kata-katanya.

‘Aku nggak bisa memberitahumu sekarang, Rein. Maaf….”

Rahang Alvano mengeras. Dalam satu gerakan cepat, ia menarik tengkuk Reina dan membungkamnya dengan ciuman. Bibirnya menekan tanpa ampun, lidahnya menerobos bibir Reina yang terkunci. Reina meronta, tapi cengkeraman pria itu justru makin kuat, membuatnya terhuyung dan merasa sesak.

“Rein, kenapa belum sarapan?” Suara Arka menghentikan aksi Alvano. Pria itu menoleh ke arah pintu, tersenyum simpul sambil mengangkat alis.

Reina menggunakan kesempatan itu untuk menolak Alvano menjauh sambil mengatur napas, satu tangan memegang dada dan yang lainnya memastikan handuk tidak terlepas.

“Aku baru selesai mandi, Kak.” Reina berteriak dari dalam.

“Kakak harus pergi sekarang karena setengah jam lagi ada rapat, Rein. Sarapan kamu udah dipanasin sama Bi Hanum,” sahut Arka lagi.

“Oke, Kak!” Reina menjawab sambil menatap Alvano.

Suara langkah kaki Arka menjauh. Bersamaan dengan Reina yang kembali memundurkan langkah. Dia nekat ingin mengunci diri di kamar mandi kalau Alvano tak keluar dari kamarnya.

“Ssshhh!” Alvano memukul angin. “Karena rapat sialan itu aku harus pergi.”

“Pergi sana! Jangan muncul lagi di depanku!” seru Reina.

Mendengar penuturan Reina, Alvano hanya tersenyum. Dia keluar tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan Reina yang terpaku, takut Arka memergoki saat Alvano keluar dari kamarnya.

“Dasar pria aneh,” gerutu Reina sambil menghentak kaki.

***

Sinar matahari siang yang panas menerobos jendela kamar, membuat udara terasa gerah. Reina tergeletak malas di ranjang, dia baru saja melempar handphonenya karena sudah bosan,

wajahnya datar dan matanya kosong menatap langit-langit. Reina berguling kesana-kemari untuk menghilangkan kejenuhan tapi, ia tetap tak bersemangat, hanya membiarkan waktu berlalu lambat dalam keheningan kamar.

Suara ponsel mengagetkan Reina. Bibirnya mengulas senyum ketika melihat nama yang tertera di layar benda pipihnya. Buru-buru dia membuka pesan yang dikirim Sasha, gegas menerima ajakan temannya untuk makan siang bersama.

Reina bangkit dari tidurnya, memilih pakaian dan berdandan. Dia mengeluarkan motor matic kesayangannya, melaju pelan membelah padatnya jalanan menuju ke tempat tujuan.

Setibanya di sana, Reina langsung menemui Sasha yang lebih dulu tiba. Mereka memesan makanan, lanjut bercerita tentang acara reuni semalam.

“Rein, maaf semalam aku mabuk. Padahal aku udah janji mau jagain kamu.” Sasha mengerucutkan bibir, merasa tak enak pada Reina. “Untung pas Evan mau celakain kamu, ada Kak Al.”

Ucapan Shasha mengembalikan ingatan Reina pada pagi ini. Namun, ingatan itu buyar kala Sasha berkata lagi.

“Evan dihajar habis-habisan. Kak Al ngelindungin kamu banget, Rein.” Sasha tersenyum.

“Ah? Hahaha!” Reina tertawa kecil. Dia hanya mengangguk kecil, menyembunyikan kejadian yang sebenarnya.

“Sekarang Evan di mana?” tanya Reina lagi, tangannya mengepal mengingat pria itu.

“Rumah sakit. Orang tuanya marah, tapi nggak berani berkutik karena Evan salah dan yang akan mereka hadapi adalah Tuan muda Alvano,” ujar Sasha, suaranya merendah seolah mengandung kengerian.

Suara seorang wanita yang begitu dikenali menarik perhatian Reina dan Sasha. Sejenak, mata Reina dan Kinar saling beradu pandang, kebencian menguar dari keduanya.

“Rein, kita pindah aja.” Sasha menarik tangan Reina.

“Nggak. Kita di sini aja.”

“Kenapa harus bertemu dengan wanita menyedihkan di sini?” Kinar sengaja membesarkan suara sambil melirik Reina, kemudian tertawa bersama dua temannya.

“Mantan istri calon suamimu?” tanya temannya Kinar, dan mereka kembali tertawa.

“Ya. Saat mengetahui kami bersama, masih menangis dan meminta kembali.” Kinar geleng-geleng kepala. “Sangat menyedihkan.”

“Sayang sekali dinikahi, tapi Bimo hanya mencintaiku,” imbuh Kinar, kembali melirik Reina yang sedang menikmati makanannya.

“Biar aku yang beresin mereka,” kata Sasha, dia sangat geram. “Pelakor nggak tau malu.”

Reina mencekal pergelangan tangan Sasha sambil menggeleng.

“Mereka udah keterlaluan, Rein. Aku nggak bisa diam aja lihat kamu digituin.” Sasha berontak.

Reina melirik Kinar, wajah datarnya tak bisa ditebak Sasha. Reina bangkit, membawa gelas minuman dan sepiring spaghetti menuju Kinar. Tentu, Kinar dan teman-temannya menyambut Reina dengan tatapan mengejek.

“Lihat, wanita menyedihkan ini menghampiri kita.” Kinar tertawa.

Tanpa mengatakan apapun, Reina menuangkan minuman dan spaghetti nya ke kepala Kinar. Sontak, wanita itu terdiam, tangannya mengepal mendapat perlakuan memalukan seperti itu.

Kinar berdiri, tangannya bergerak cepat hendak menampar Reina. Tetapi, Reina lebih cepat menangkis tangan wanita itu dan mencengkramnya.

“Duh, duh, tanganku sakit. Lepaskan.” Kinar merintih.

“Jaga mulutmu, Kinar. Sudah mengambil sampahku, apalagi yang kau ributkan? Tidakkah kau malu jika orang lain mengetahui kau sedang mengandung anak haram?” Reina tersenyum sinis, melihat perut Kinar yang sengaja ditutupi dengan baju besar. “Kinar, kapanpun aku bisa menghancurkanmu.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Cium!

    Reina penasaran wanita mana yang sedang dekat dengan Alvano. Kakinya melangkah, matanya terus menatap Alvano yang berdiri dua meter di depannya. Pria itu tidak mengatakan apa-apa, seakan hanya mendengar perkataan seseorang di balik telepon.Reina menggigit bibir, menajamkan indra pendengaran dengan dahi berkerut. Dia mendengus pelan karena tak berhasil menguping pembicaraan mereka. “Hm! Nanti aku akan menemuimu.” Satu kalimat yang diucapkan Alvano semakin memantik rasa ingin tau wanita itu. Namun, ketika Reina melihat Alvano tersenyum tipis dari pantulan cermin, membuat Reina terdiam dengan bibir mengerucut. Dia memutar bola mata, menghela napas pelan seraya berkata, “Kalaupun itu seorang wanita, memangnya kenapa?” Mendengar gumaman kecil di belakangnya, Alvano melirik ke arah cermin. Dari ekor mata, dia melihat Reina yang tampak penasaran. Pria itu menarik sudut bibir, berpikir Reina cemburu.Reina menyudahi rasa penasarannya, berbalik dan masuk ke kamar mandi. Saat air shower men

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Telpon dari wanita?

    "Ja—jangan, Kak.” Reina mengatupkan tangan di depan dada, mengisyaratkan permohonan yang teramat.Alvano beranjak dari duduknya. Dalam kekalutan yang terbalut rasa takut yang dirasa Reina, Alvano meraih dagu wanita itu sambil tertawa kecil. Dia mengusap pipi sang wanita yang merona, menyentuh bibirnya yang kenyal nan menggoda.Ingin sekali mengecup tanpa henti, secandu itu. Hati Alvano tergelitik, entah mengapa pagi ini dia ingin sekali menggoda Reina. “Kenapa? Kamu takut Arka akan menghajarku?" Alvano menyentuh rambut panjang Reina. Alvano mencium ujung rambut wanita itu, mendongak melihat Reina yang mengangguk cepat.“Sembunyi, Kak!” desak Reina, dia melihat ke sekeliling kamar dengan panik. Reina mendorong Alvano ke kamar mandi kamarnya.Namun, pergelangan tangan Reina langsung ditangkap Alvano. Seketika, wanita itu menoleh, wajahnya meringis, memohon untuk dilepaskan lewat tatapan. "Mau ke mana?" "Ayo sembunyi. Atau mau keluar lewat jendela?” tanya Reina. Heran, mengapa dala

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Menunda Bercinta

    Benar. Suara Arka terdengar. Namun, setelah pertanyaan itu, tak ada lagi ketukan hingga bayangan di bawah pintu menghilang, membuat Alvano bernapas lega.Karena kelelahan, Alvano tertidur di samping Reina.***Matahari malu-malu menampakkan diri di ufuk timur. Burung-burung beterbangan di depan jendela kamar Reina yang masih terlelap. Wanita yang bergelung dalam selimut itu memegang kepalanya yang terasa pusing, perlahan membuka mata dan menatap langit-langit kamar. “Uh, pusing sekali.” Reina merasa ada balok besar yang menghantam kepalanya. Perlahan, ingatan semalam bermunculan. “Siapa yang membawaku pulang?”Tepat begitu pertanyaan itu terlontar, Reina merasa ada yang menimpa badannya. Dia terbelalak melihat kaki dan tangan yang memeluknya. Bola mata wanita itu bergerak hingga dia melihat wajah seorang pria yang sangat dikenalnya.“Aaaaaa!” Suara teriakan menggema, membangunkan Alvano yang tertidur. Reflek, dia langsung membekap mulut Reina. “Rein, sssttt!” Alvano meletakkan jari

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Gairah yang terpendam

    Tiba-tiba, musik berhenti. Suasana bar seketika membeku saat seorang pria bersetelan hitam memaksa Disk jockey menghentikan lagunya.“Bajingan!” Teriakan lantang memecah keheningan. Seorang pria maju dengan wajah marah, matanya menatap tajam. “Apa yang kau lakukan padanya?!”Tanpa banyak bicara, Alvano menghantam Evan dengan tendangan keras hingga pria itu tersungkur ke lantai. Evan menyeka darah di sudut bibir, berdiri menantang Alvano. Kemarahan pria itu memuncak melihat Reina yang tergeletak lemah di sofa.Sebelum Evan sempat membalas pukulan Alvano, Alvano lebih dulu memutar tubuhnya dan menendang wajah Evan. Pria itu tersungkur, hidungnya patah karena membentur lantai. Tanpa ragu, Alvano mengangkat tubuh Reina dalam gendongan ala bridal style. “Bereskan bajingan itu,” ucapnya dingin pada bodyguard yang bersiaga.Dengan langkah cepat, ia membawa Reina ke mobil. Di dalam, ia menyandarkan kepala wanita itu ke dadanya, memastikan Reina nyaman dalam pelukannya.“Kenapa kamu sampai se

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Celaka

    Reina terbelalak mendengar pengakuan Alvano. Dahinya berkerut, matanya sedikit menyipit. “A-apa? Kamu senang aku … menjanda?”Alvano seakan tersadar dengan sikapnya yang berlebihan. Dia mundur selangkah, mengedarkan pandangan ke seisi kamar Reina untuk mengalihkan perhatian. “Makanlah. Jangan menyakiti dirimu hanya karena pria bajingan itu,” kata Alvano setelah membelakangi Reina. Reina membisu melihat punggung yang sudah lama menjauh darinya tapi, kini sedekat ini. Dia memegang ujung gorden, tak berniat menjawab perkataan Alvano. Namun, tiba-tiba pria itu berbalik, mengeluarkan ice cream coklat dari sakunya dan meletakkan di atas meja. Pria pemilik wajah angkuh itu langsung pergi tanpa mengatakan apapun.“Kamu membelinya untukku, Kak?” tanya Reina, terharu dengan perhatian Alvano. Jujur saja, dia merindukan kedekatan mereka dulu.“Nggak sengaja kelebihan beli.” Pria itu langsung keluar dari kamar Reina. “Sejak kapan dia suka makanan manis?” gumam Reina, memperhatikan ice cream di

  • Sehangat Dekapan Janda Muda   Jadi Janda Muda

    “Dengan ini, Pengadilan Agama menyatakan bahwa gugatan cerai yang diajukan oleh Ny. Reina Mayumi terhadap Tn. Bimo Mahardika dikabulkan. Maka pernikahan keduanya dinyatakan berakhir secara sah.”Suara palu hakim menggema keras di ruang sidang. Ketukan sederhana tapi, menghancurkan dua tahun kenangan penuh cinta. Reina meremas jemari, menahan kegetiran hati.Tak ada air mata di wajah Reina. Dia membisu dengan tatapan kosong yang menyembunyikan badai. Tangannya saling meremas, bahkan air liur yang ditelan terasa seperti duri yang mengoyak tenggorokan. Seharusnya, dia lega karena persidangan perceraian berjalan lancar tanpa drama. Nyatanya, selama berbulan-bulan ini nama Bimo masih bertahta di hatinya. Reina menggenggam kekecewaan yang menumpuk, menghembuskan napas perlahan untuk menenangkan diri.“Nggak ada gunanya lagi,” ujar wanita yang baru saja sah menjadi janda tersebut. “Aku harus benar-benar melupakan Mas Bimo.”Bimo bangkit dari kursinya, berjalan keluar ruang sidang tanpa sedi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status