Ruang rawat eksklusif tampak begitu tenang. Hanya terdengar suara nafas lembut Baby Rangga yang sedang menyusu dengan Jihan. Tak ada lagi isapan pendek yang membuat cemas seperti sebelumnya. Nafas Baby Rangga tenang, ritmenya stabil, dan tangannya yang mungil menggenggam ujung baju Jihan seolah tak ingin dilepas.
Sesekali Jihan membelai rambut tipis Rangga sambil bergumam pelan, nyaris seperti percakapan rahasia antara ibu dan anak. Senyum kecil tersungging dari bibirnya, seolah seluruh dunia telah mengecil, menyisakan hanya mereka berdua. Namun ketenangan itu buyar tatkala .... "Kalau seperti ini, kemungkinan saya juga butuh ASI." "A-astaghfirullah!" Jihan tersentak kaget, seketika wajahnya merah padam. Refleks, ia menutup dada, kemudian dengan hati-hati memindahkan Rangga ke boks bayi di samping ranjang. Lalu, buru-buru merapikan kancing bajunya yang terbuka separuh.Jihan terdiam. Suara tawa yang sejak tadi memenuhi ruangan kini menguap, digantikan senyap yang mencekam dan aneh. Pertanyaan polos itu, yang terucap ringan dari bibir mungil Rangga, menghantamnya lebih keras dari pukulan mana pun."Bunda beneran Bunda Rangga?"Tidak ada yang salah dengan pertanyaannya. Tidak ada nada tuduh, tidak ada makna tersembunyi. Tapi di telinga Jihan, itu terdengar seperti dunia yang menanyakan hakikat dirinya. Menanyakan keberadaannya. Menanyakan apakah cinta yang ia berikan selama ini sah?Ia menunduk, memandang wajah polos Rangga yang penuh harap menanti jawaban. Jihan ingin menjawab “ya,” ingin memeluk anak itu dan meyakinkan bahwa dirinya adalah tempat paling aman di dunia ini. Tapi suara itu tak sanggup keluar. Tenggorokannya tercekat. Jiwanya gamang.Air matanya tak tumpah, tapi dadanya basah oleh duka yang tak memiliki bentuk."Rangga masih kecil, dia tidak tahu," batinnya mencoba menenangkan diri. Tapi justru karena Rangga masih kecil, karena ia belu
Riko membuka map di tangannya—memperlihatkan beberapa lembar bukti cetak dan dokumen digital yang ia lampirkan. Ia menarik napas sebelum menjelaskan."Berdasarkan hasil penyelidikan lanjutan yang saya lakukan bersama tim, kami menemukan beberapa hal yang mencurigakan terkait penyebaran isu plagiarisme terhadap Ibu Jihan."Reynand mengangguk pelan, menyimak dengan saksama."Awalnya, kami kira penyebar isu ini hanyalah akun-akun anonim biasa. Namun setelah kami telusuri lebih dalam, ternyata terdapat pola konsisten pada waktu unggahan, gaya bahasa, serta kemiripan struktur konten yang disebarkan. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka tidak bekerja sendiri, melainkan terorganisir."Ia menyodorkan satu lembar grafik pada Reynand, "Dari penelusuran alamat IP serta riwayat perangkat, ditemukan bahwa sebagian besar aktivitas berasal dari satu kelompok jaringan yang saling berkaitan. Bahkan, kami mendapati salah satu akun tersebut memiliki koneksi transaksi digital dengan nama yang tidak asing
"Kenapa, Sayang? Apa hasratmu mulai bangkit, hm?" Alira merasa ini akan jadi kemenangan baginya, ia pun tersenyum miring. Namun tepat saat bibir Alira nyaris menyentuhnya, Reynand mencengkeram kedua bahunya dan menahan tubuh itu agar menjauh."Berhenti!" desisnya keras.Alira terpaku, terengah, matanya menyiratkan keterkejutan dan kekecewaan.Reynand menatap tajam wajah itu, suaranya kini berat dan penuh luka, "Aku memang laki-laki. Tapi bukan yang bisa kau kendalikan dengan tubuhmu. Dulu mungkin iya... tapi sekarang, tidak lagi."Ia meraih jaketnya, membuka pintu, dan menatap wanita itu untuk terakhir kalinya.“Simpan kehormatanmu, Alira, sebelum kau benar-benar kehilangan semuanya.”Lalu ia pergi, meninggalkan aroma godaan dan kenangan yang nyaris menjerumuskannya ke jurang yang sama—jurang yang dulu nyaris menghancurkannya.Begitu pintu tertutup, bunyinya membelah sunyi seperti palu godam yang menghantam jiwanya.Alira berdiri mematung. Lingerie tipis di tubuhnya berkibar tertiup
Pagi itu, langit cerah menyambut keheningan yang jarang sekali dinikmati oleh Reynand. Hamparan pasir putih membentang luas di hadapannya, ombak menggulung pelan memecah keheningan, menyuguhkan irama alami yang menenangkan. Ia duduk bersandar pada kursi pantai, kemeja putih lengan panjang digulung hingga siku, dua kancing atas terbuka santai. Kacamata hitam bertengger manis di hidung mancungnya, membiarkan sebagian besar cahaya pagi teredam oleh lensa gelap.Di tangannya, segelas kopi hitam masih mengepul. Ia tak menyentuhnya. Hanya menatap jauh ke arah cakrawala, seolah tengah mencari jawaban yang tak kunjung ditemukan di hiruk-pikuk kantor, atau bahkan dalam keheningan rumah yang sekarang terasa berbeda semenjak Jihan terpuruk.Namun ketenangan itu tak bertahan lama.Suara langkah kaki di atas pasir mengusik pikirannya. Tanpa menoleh, Reynand sudah tahu siapa yang mendekat. Aroma parfum manis dengan sentuhan vanila dan melati yang khas itu terlalu familiar untuk dilupakan."Tempatmu
Malam merangkak lambat di sebuah kafe semi-terbuka yang terletak di sudut kota. Lampu-lampu temaram menggantung di atas meja-meja kayu, menciptakan nuansa hangat yang bertolak belakang dengan kegelisahan yang bergulir di dada Reynand.Ia duduk dengan punggung tegap, namun wajahnya suram. Di depannya, seorang pria bersetelan kasual—rekan bisnis yang sudah lama ia kenal—mencoba mengimbangi suasana dengan obrolan ringan. Tapi sejak lima belas menit terakhir, jelas bahwa pikiran Reynand tak benar-benar hadir di sana.“You okay, Rey?” tanya pria itu akhirnya, menyesap kopinya perlahan. “Kau kelihatan kayak lagi mikirin perang dunia ketiga.”Reynand menarik napas panjang, menatap cangkir kopinya yang sudah mendingin.“Mungkin bukan perang dunia. Tapi perang hati,” gumamnya pelan.Pria itu mengangkat alis. “Ada masalah sama Jihan?”Reynand tak langsung menjawab. Ia memutar cangkirnya pelan, seolah sedang menimbang jawaban di dasar porselen itu.“Seseorang menjatuhkannya. Karyanya dituduh pla
Ruang kerja Jihan masih sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar samar, berpadu dengan isak pelan yang tak mampu disembunyikan. Jihan terduduk di sofa kecil, wajahnya terbenam dalam kedua telapak tangan. Matanya sembab, napasnya tidak teratur. Air mata masih jatuh tanpa permisi. Hatinya remuk. Dunia seolah membencinya. Fitnah menjiplak—hal yang tak pernah terlintas untuk ia lakukan—menyeretnya ke jurang ketakutan yang membuat tubuhnya menggigil.Ceklek!Pintu ruangan terbuka, menampakkan sosok paling dikenalnya. Tidak lain ialah Reynand, yang ia duga baru kembali setelah menegur staf yang menginterogasi tanpa sepengetahuannya. Pria itu mendekat perlahan. Lalu berlutut di hadapannya. Mata mereka bertemu—mata Jihan merah, basah, kehilangan daya. Sementara mata Reynand menyimpan badai yang ditahan, amarah yang teredam, juga rasa bersalah yang tak bisa ditepis."Sayang ... jangan menangis lagi, kamu tidak sendirian," bisik Reynand serak, nyaris berbisik. Jihan menggeleng lemah. Ai