Seketika wajah Jihan pucat seperti kapur. Keringat dingin mulai membasahi pelipis, jemarinya bergetar hebat. Bahkan tumitnya sempat hendak berbalik arah, namun tubuhnya justru kaku di tempat.
"Sa-saya menyusui Bapak? Ta-tapi Bapak ... seorang pria dewasa?" Jihan tergagap. "Ba-Bapak bahkan sudah bisa ngopi sendiri," ujar Jihan benar-benar shock. Namun, wajah Reynand tetap tak berubah. Tatapan matanya tajam dan serius. Tidak ada sedikit pun tanda bahwa ini adalah sebuah lelucon. "Saya tidak suka mengulang hal yang sudah saya jelaskan." Saat itu juga Jihan merasa dunianya runtuh, otaknya mendadak ngeblank untuk memikirkan penjelasan masuk akal, tetapi sulit. "Tapi Pak, ini sangat tidak manusiawi. Ma-maksud saya, saya kira saya akan menyusui bayi. Bayi, Pak! Yang masih imut dan suka gumoh. Bukan Bapak, yang jelas-jelas punya kumis dan kemungkinan sudah vaksin booster tiga kali!" Tanpa sadar, Jihan mulai berceloteh karena panik. Reynand menaikkan sebelah alis, lalu berdiri dari duduknya. Tubuh tegapnya mendekat pelan, membuat Jihan mundur tiga langkah sampai menabrak sofa. Tangannya langsung meremas ujung baju sendiri. "Kalau kamu anggap ini tidak manusiawi, silakan keluar. Tapi ingat, kamu tadi sudah lihat kontraknya. Kalau membatalkan, siap-siap bayar lima ratus juta." "Saya bahkan belum pernah pegang uang lima juta, Pak," keluh Jihan putus asa. "Makanya jangan main-main dengan kontrak kerja. Dunia nyata itu keras, dan kamu sedang mengetuk pintu yang salah kalau berharap belas kasihan," tandas Reynand sebelum akhirnya kembali duduk. Sedang Jihan ternganga, tungkai betisnya terasa ingin patah. Pandangannya turun ke bawah, tepat ke dada sendiri. 'Ya Allah, ini ASI untuk anak piatu, bukan om-om dewasa sudah berkumis kayak dia.' "Pilihannya hanya dua, kamu menyusui saya, atau menyusui masalah finansialmu seumur hidup." Reynand kembali bersuara. Menatap Reynand rasanya seperti menatap setan berahi. Jihan menyesal, sangat menyesal karena tidak memperjelas sesuatu lebih detail sejak awal. Sekarang dia sudah terjebak dalam lingkar kehidupan Reynand, dan tak ada celah untuk mundur. "Bagaimana?" "Baik, Pak. S-saya terima." Dengan berat hati Jihan menjawab. "Bagus. Kalau begitu ganti pakaianmu dan mulailah bekerja." Suara bernada perintah itu membuat Jihan ingin menghilang ke sekian kalinya, setiap kata-kata yang Reynand lontarkan membuat jantungnya berdegup kencang tanpa diminta. "Kenapa masih diam? Perlu saya yang ganti?" "Hah? Ti-tidak. Tidak, Pak. Jangan. S-saya bisa sendiri!" Tanpa sepengetahuan Jihan, Reynand memerhatikan langkah juga gerak-geriknya yang penuh keterpaksaan. Tetapi, Reynand tidak ambil pusing. Begitu pintu kamar mandi tertutup, ia kembali membuka tablet yang menampilkan foto seorang bayi. "Kamu dimana, Nak?" Di sisi berlainan, Jihan menatap bayangannya di depan cermin besar. Lingkar mata sedikit menghitam, bibir pucat karena sering menangis, juga aura wajahnya mencerminkan kelelahan tak berujung. "Rangga butuh aku, dia harus segera dioperasi agar dapat hidup lebih lama," lirih Jihan merapatkan mata, seiring genangan air berkumpul di pelupuknya. "Walaupun biayanya besar, tapi aku yakin aku bisa membawa Rangga ke tahap itu. Ya, aku pasti bisa, dan harus bisa!" Mengembus napas lega diakhiri senyuman lebar, Jihan menggenggam erat ujung roknya, menekankan kalimat itu dalam hati berulang kali, seperti mantra yang harus diyakini. Ini bukan keinginannya, bukan pula sesuatu yang ia harapkan, tetapi demi bayi kecil yang membutuhkan campur tangan medis, ia harus menyingkirkan harga diri beserta perasaan malunya. Dengan tangan bergetar, Jihan melepas blus lama lalu mengganti dengan baju tidur berkancing depan yang telah disiapkan. Sekali lagi ia mematut diri di depan cermin, mencoba meyakinkan diri. Kemudian, dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu—kembali ke dalam kamar. Suara pintu terbuka membuat fokus Reynand langsung teralihkan, matanya tak berkedip melihat Jihan berjalan lamban, dan wajah sedikit ditekuk. Walaupun tak ada ekspresi yang Reynand tunjukkan, namun jauh di lubuk hatinya, ia terpesona, hanya saja ditutupi rasa itu dengan berlagak dingin. "Duduk di sini," perintahnya. Tidak ada jawaban terdengar, namun Jihan langsung mendekat. Lututnya terasa lemas, setiap langkah terasa seperti menuju jurang. Meski demikian, Jihan tetap patuh dengan mengambil posisi duduk di sisi ranjang kosong di sebelah Reynand. "Lepas kancing bajumu." Jihan kian tertunduk, jari-jari yang bertumpu di pangkuan mulai gemetar. Tubuhnya kaku, napasnya tercekat di kerongkongan. Padahal, Jihan sudah tahu risikonya, tapi tetap saja udara dalam ruangan itu terasa lebih berat dan menekan jiwa. Satu tarikan napas panjang yang bergetar terdengar, sebelum akhirnya Jihan benar-benar melepas kancing piyama. Untuk beberapa saat, Reynand tertegun melihat pemandangan yang sangat menggoda jiwa kelaki-lakiannya. Perlahan, Reynand mendekat hingga tak ada jarak lagi di antara mereka, persis ketika ia ingin mengecup leher Jihan tiba-tiba Bruk! Jihan lunglai dan tergeletak di lantai, tidak ada pergerakan sedikitpun, menandakan ia pingsan. Melihat itu, Reynand pun segera berjongkok dan membawanya ke pangkuan. "Hey, bangun. Jihan, bangunlah." Namun, hingga di panggilan kelima, Jihan tak bergeming. Ia benar-benar pingsan, membuat Reynand dengan terpaksa menghentikan aksinya. "Ck, pekerja macam apa kamu ini?" dumelnya seraya menggendong—memindahkan Jihan ke tempat tidur. Sementara Reynand sendiri memilih tidur di sofa. ** Malam berlalu sangat cepat bagi Reynand, rasanya baru saja tidur lima menit, namun kembali disuruh buka mata karena tuntutan pekerjaan. Pagi itu, sinar matahari menghangatkan teras rumah megah miliknya. Udara masih sejuk, burung-burung berkicau di kejauhan, tetapi tidak dengan Jihan. Di sudut teras rumah, wanita itu berdiri dengan kepala tertunduk. Jihan tidak ingat betul apa yang terjadi setelah dirinya pingsan kemarin, yang disebabkan karena kelelahan. Yang pasti, tidak ada tanda-tanda maupun rasa kurang nyaman di area payudara—menandakan gunung kembarnya tak terjamah sedikitpun. Bukan hanya itu, pengakuan Reynand juga menjadi bukti kuat bahwa memang tak terjadi apa-apa semalam. Tetapi, anehnya Reynand tetap memberikan upah senilai dua juta, yang disebut bentuk penyemangat di awal-awal bekerja. Jihan tak mengerti sepenuhnya, namun jelas ia bahagia. "Selamat pagi, Pak Reynand." "Pagi, Pak." Sambutan hangat itu berasal dari dua pengawal yang berjaga di ambang pintu, tepat saat Reynand melangkah keluar. Dia terlihat rapi dengan setelan formal abu-abu, seperti biasa tampan dan berwibawa. Ironisnya adalah, dia bersikap tidak acuh termasuk kepada Jihan, padahal tadi subuh mereka sempat berbincang meski sekilas. Jihan mengangkat kepalanya sedikit, berharap setidaknya ada satu tatapan, satu kata, atau bahkan satu senyuman, tetapi nihil. Reynand berlalu begitu saja. Tanpa ragu, tanpa sedikit pun meliriknya. "Apa sih yang kamu harapkan, Han? Berharap dia ada rasa setelah berbaik hati memberi upah tanpa bekerja? Ya, tidak mungkinlah," lirih Jihan menyadarkan diri, rasanya sakit karena diacuhkan seperti tadi. Tanpa Jihan sadari diam-diam Reynand meliriknya diselipi senyum tipis. Sepersekian detik kemudian, raut wajahnya berubah tatkala melihat Jihan menjawab telepon seseorang. Drrrt! "Halo." "Jihan! Bayimu—" "Ba-bayiku? Ada apa dengan bayiku?"Suasana kamar mereka malam itu begitu syahdu. Tirai tipis berwarna krem melambai perlahan tertiup angin malam yang menyusup dari celah jendela. Cahaya kuning keemasan dari lampu tidur menciptakan bayangan lembut di dinding, seolah turut menjaga keintiman dua insan yang baru saja diikat oleh janji suci.Reynand duduk bersandar di kepala ranjang, mengenakan piyama sutra berwarna gelap. Di sampingnya, Jihan tampak masih mengenakan gaun tidur panjang berwarna putih gading, duduk dengan tangan bertaut di pangkuannya. Wajahnya redup dalam diam, namun matanya menyiratkan perasaan yang tak mampu didefinisikan hanya dengan kata.“Malam ini terasa seperti mimpi,” gumam Reynand pelan, memecah keheningan.Jihan menoleh, bibirnya tersenyum tipis. “Jika ini mimpi, maka aku tak ingin terbangun.”Reynand menatap lekat wajah istrinya. Ada sesuatu yang damai dalam tatapan itu, sesuatu yang selama ini ia kejar namun baru benar-benar ia temukan malam ini—kehadiran yang tidak hanya diterima, tetapi juga m
Hari itu langit begitu bersih seakan mengerti bahwa bumi tengah menyambut satu janji suci yang tak main-main. Di sebuah gedung bergaya arsitektur klasik modern, berbalut putih gading dan sentuhan emas di setiap lengkungannya, acara pernikahan Reynand dan Jihan berlangsung dengan anggun, tanpa cela. Lantunan instrumental dari grand piano mengisi ruangan dengan melodi lembut yang menyatu dengan aroma bunga segar yang menguar dari setiap sudut ruangan.Para tamu datang dengan pakaian formal bernuansa nude dan pastel, menambah kesan teduh dan elegan. Meja-meja bundar berhias lilin kaca dan buket mawar putih dikelilingi oleh kursi dengan pita emas yang diikat rapi. Cahaya lampu gantung kristal menari pelan di langit-langit, menciptakan atmosfer yang tidak hanya mewah, namun juga menghangatkan hati siapa pun yang hadir.Di tengah sorotan lembut, berdirilah Reynand dengan jas abu tua yang menjulang gagah, berdasi hitam polos dan sepatu mengilap. Wajahnya tenang namun matanya memancarkan sin
Jihan terdiam. Suara di seberang tidak segera menjawab, tapi Reynand tidak bisa lagi menahan desakan dalam dadanya. Kalimat itu mengalir begitu saja—tanpa rencana, tanpa konsep, namun penuh dengan keyakinan yang telah tumbuh dari kegelisahan dan cinta yang tak lagi bisa ia sembunyikan."Menikah... minggu depan?" ulang Jihan lirih, seolah kalimat itu terlalu asing untuk dicerna dalam sekejap."Ya," ujar Reynand mantap, suaranya rendah namun tak bergetar. “Kita sudah terlalu lama menangguhkan kebahagiaan. Aku tidak ingin menunda lagi, Jihan. Bukan karena ingin terlihat sempurna di mata orang. Bukan karena tekanan dari siapa pun. Tapi karena aku tahu... kamu adalah rumahku. Dan aku ingin Rangga merasa aman berada dalam rumah itu.”Di seberang, Jihan mulai terisak lagi. Tapi tangis itu berbeda. Tangis kali ini seperti air yang menetes perlahan dari gelas yang terlalu penuh—bukan karena luka, tapi karena keharuan. Karena perasaan tidak percaya bahwa setelah semua badai, seseorang bisa masi
Telepon itu berdering begitu pelan, namun di tengah malam yang sunyi, suara itu terdengar seperti denting lonceng dari kejauhan yang menggema ke relung dada Reynand. Jantungnya seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik, lalu berdegup kencang, hampir tak tertahankan. Dengan sigap, ia meraih ponsel dari meja kecil di sisi ranjang, menekan tombol hijau, dan segera menempelkannya ke telinga.“Assalamu’alaikum...” Suara Jihan terdengar lirih, nyaris seperti bisikan yang retak oleh tangis yang tak jadi pecah.“Wa’alaikumussalam, Jihan...” jawab Reynand, suaranya serak, seolah ia baru saja menelan pil yang terlalu besar—pahit dan menyumbat tenggorokannya.Hening.Sejenak hanya suara napas yang terdengar dari dua sisi. Tidak berat, tidak pula tenang—gelisah dan canggung. Reynand menahan desakan untuk langsung bertanya banyak hal. Ia tahu, satu kata kasar saja akan membuat perempuan itu kembali menutup diri.“Terima kasih sudah menghubungiku,” ucap Reynand lembut, mencoba menjembatani
Langit malam menggantung kelam di atas rumah kecil bergaya minimalis milik Nayla. Lampu temaram dari ruang tengah menyorot samar bayangan dua wanita yang duduk berdekapan di atas sofa berlapis kain abu-abu. Aroma teh chamomile menyebar hangat, namun tak mampu menyamarkan hawa getir yang menguar dari tubuh Jihan yang gemetar dalam tangis.Tangis itu bukan sekadar sedih. Ia mengandung luka, sesak, dan ketakutan yang tak terucapkan selama ini."Aku... aku benar-benar tidak kuat, Nayla…" Jihan terisak, bahunya terguncang hebat. "Tadi... saat kami bermain, Rangga menatapku dengan matanya yang polos dan bertanya... 'Bunda, Bunda beneran Bunda Rangga?'” Suaranya pecah, lamat-lamat, seakan satu kata pun menambah beban di dadanya yang nyaris meledak.Nayla, yang sedari tadi duduk di sampingnya, hanya bisa merengkuh tubuh sahabatnya ke dalam pelukan. Dibelainya punggung Jihan pelan-pelan, penuh kelembutan, seperti menenangkan seorang anak yang terluka."Jihan... Rangga tidak bermaksud menyakiti
Langit mulai menggelap saat mobil Reynand berhenti di gang sempit yang penuh kenangan. Hujan belum turun, tapi awan kelabu menggantung berat di atas kepalanya, seolah ikut merunduk bersama dadanya yang sesak.Ia turun dari mobil, langkahnya terburu, hampir tersandung batu kecil yang mencuat di jalan tanah. Nafasnya memburu. Jaketnya hanya menggantung separuh bahu karena tergesa keluar rumah tadi.Matanya menyapu barisan rumah-rumah kontrakan di kiri jalan. Matanya menangkap satu pintu yang tak asing, berwarna biru pudar dengan bekas goresan di sisi kanan.Di situlah dulu Jihan tinggal. Sendirian. Mengasuh anak. Bertahan hidup. Tanpa siapa pun.Tangannya mengepal."Kenapa kamu balik ke tempat ini, Jihan? Kalau pun iya, kenapa kamu gak bilang?"Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kontrakan. Ia mengetuk cepat. Sekali. Dua kali.Tak lama, daun pintu terbuka, menampakkan wajah seorang wanita paruh baya yang sudah akrab di ingatannya."Bu Rani?" sapanya buru-buru, suaranya terdengar be