Share

Bab 2.

Author: Melvii_SN
last update Last Updated: 2025-04-10 12:37:45

Seketika wajah Jihan pucat seperti kapur. Keringat dingin mulai membasahi pelipis, jemarinya bergetar hebat. Bahkan tumitnya sempat hendak berbalik arah, namun tubuhnya justru kaku di tempat.

"Sa-saya menyusui Bapak? Ta-tapi Bapak ... seorang pria dewasa?" Jihan tergagap. "Ba-Bapak bahkan sudah bisa ngopi sendiri," ujar Jihan benar-benar shock.

Namun, wajah Reynand tetap tak berubah. Tatapan matanya tajam dan serius. Tidak ada sedikit pun tanda bahwa ini adalah sebuah lelucon.

"Saya tidak suka mengulang hal yang sudah saya jelaskan."

Saat itu juga Jihan merasa dunianya runtuh, otaknya mendadak ngeblank untuk memikirkan penjelasan masuk akal, tetapi sulit.

"Tapi Pak, ini sangat tidak manusiawi. Ma-maksud saya, saya kira saya akan menyusui bayi. Bayi, Pak! Yang masih imut dan suka gumoh. Bukan Bapak, yang jelas-jelas punya kumis dan kemungkinan sudah vaksin booster tiga kali!" Tanpa sadar, Jihan mulai berceloteh karena panik.

Reynand menaikkan sebelah alis, lalu berdiri dari duduknya. Tubuh tegapnya mendekat pelan, membuat Jihan mundur tiga langkah sampai menabrak sofa. Tangannya langsung meremas ujung baju sendiri.

"Kalau kamu anggap ini tidak manusiawi, silakan keluar. Tapi ingat, kamu tadi sudah lihat kontraknya. Kalau membatalkan, siap-siap bayar lima ratus juta."

"Saya bahkan belum pernah pegang uang lima juta, Pak," keluh Jihan putus asa.

"Makanya jangan main-main dengan kontrak kerja. Dunia nyata itu keras, dan kamu sedang mengetuk pintu yang salah kalau berharap belas kasihan," tandas Reynand sebelum akhirnya kembali duduk.

Sedang Jihan ternganga, tungkai betisnya terasa ingin patah. Pandangannya turun ke bawah, tepat ke dada sendiri. 'Ya Allah, ini ASI untuk anak piatu, bukan om-om dewasa sudah berkumis kayak dia.'

"Pilihannya hanya dua, kamu menyusui saya, atau menyusui masalah finansialmu seumur hidup." Reynand kembali bersuara.

Menatap Reynand rasanya seperti menatap setan berahi. Jihan menyesal, sangat menyesal karena tidak memperjelas sesuatu lebih detail sejak awal. Sekarang dia sudah terjebak dalam lingkar kehidupan Reynand, dan tak ada celah untuk mundur.

"Bagaimana?"

"Baik, Pak. S-saya terima." Dengan berat hati Jihan menjawab.

"Bagus. Kalau begitu ganti pakaianmu dan mulailah bekerja."

Suara bernada perintah itu membuat Jihan ingin menghilang ke sekian kalinya, setiap kata-kata yang Reynand lontarkan membuat jantungnya berdegup kencang tanpa diminta.

"Kenapa masih diam? Perlu saya yang ganti?"

"Hah? Ti-tidak. Tidak, Pak. Jangan. S-saya bisa sendiri!"

Tanpa sepengetahuan Jihan, Reynand memerhatikan langkah juga gerak-geriknya yang penuh keterpaksaan. Tetapi, Reynand tidak ambil pusing. Begitu pintu kamar mandi tertutup, ia kembali membuka tablet yang menampilkan foto seorang bayi.

"Kamu dimana, Nak?"

Di sisi berlainan, Jihan menatap bayangannya di depan cermin besar. Lingkar mata sedikit menghitam, bibir pucat karena sering menangis, juga aura wajahnya mencerminkan kelelahan tak berujung.

"Rangga butuh aku, dia harus segera dioperasi agar dapat hidup lebih lama," lirih Jihan merapatkan mata, seiring genangan air berkumpul di pelupuknya. "Walaupun biayanya besar, tapi aku yakin aku bisa membawa Rangga ke tahap itu. Ya, aku pasti bisa, dan harus bisa!"

Mengembus napas lega diakhiri senyuman lebar, Jihan menggenggam erat ujung roknya, menekankan kalimat itu dalam hati berulang kali, seperti mantra yang harus diyakini. Ini bukan keinginannya, bukan pula sesuatu yang ia harapkan, tetapi demi bayi kecil yang membutuhkan campur tangan medis, ia harus menyingkirkan harga diri beserta perasaan malunya.

Dengan tangan bergetar, Jihan melepas blus lama lalu mengganti dengan baju tidur berkancing depan yang telah disiapkan. Sekali lagi ia mematut diri di depan cermin, mencoba meyakinkan diri. Kemudian, dengan satu tarikan napas panjang, ia membuka pintu—kembali ke dalam kamar.

Suara pintu terbuka membuat fokus Reynand langsung teralihkan, matanya tak berkedip melihat Jihan berjalan lamban, dan wajah sedikit ditekuk. Walaupun tak ada ekspresi yang Reynand tunjukkan, namun jauh di lubuk hatinya, ia terpesona, hanya saja ditutupi rasa itu dengan berlagak dingin.

"Duduk di sini," perintahnya.

Tidak ada jawaban terdengar, namun Jihan langsung mendekat. Lututnya terasa lemas, setiap langkah terasa seperti menuju jurang. Meski demikian, Jihan tetap patuh dengan mengambil posisi duduk di sisi ranjang kosong di sebelah Reynand.

"Lepas kancing bajumu."

Jihan kian tertunduk, jari-jari yang bertumpu di pangkuan mulai gemetar. Tubuhnya kaku, napasnya tercekat di kerongkongan. Padahal, Jihan sudah tahu risikonya, tapi tetap saja udara dalam ruangan itu terasa lebih berat dan menekan jiwa. Satu tarikan napas panjang yang bergetar terdengar, sebelum akhirnya Jihan benar-benar melepas kancing piyama.

Untuk beberapa saat, Reynand tertegun melihat pemandangan yang sangat menggoda jiwa kelaki-lakiannya. Perlahan, Reynand mendekat hingga tak ada jarak lagi di antara mereka, persis ketika ia ingin mengecup leher Jihan tiba-tiba

Bruk!

Jihan lunglai dan tergeletak di lantai, tidak ada pergerakan sedikitpun, menandakan ia pingsan. Melihat itu, Reynand pun segera berjongkok dan membawanya ke pangkuan.

"Hey, bangun. Jihan, bangunlah."

Namun, hingga di panggilan kelima, Jihan tak bergeming. Ia benar-benar pingsan, membuat Reynand dengan terpaksa menghentikan aksinya.

"Ck, pekerja macam apa kamu ini?" dumelnya seraya menggendong—memindahkan Jihan ke tempat tidur. Sementara Reynand sendiri memilih tidur di sofa.

**

Malam berlalu sangat cepat bagi Reynand, rasanya baru saja tidur lima menit, namun kembali disuruh buka mata karena tuntutan pekerjaan.

Pagi itu, sinar matahari menghangatkan teras rumah megah miliknya. Udara masih sejuk, burung-burung berkicau di kejauhan, tetapi tidak dengan Jihan.

Di sudut teras rumah, wanita itu berdiri dengan kepala tertunduk. Jihan tidak ingat betul apa yang terjadi setelah dirinya pingsan kemarin, yang disebabkan karena kelelahan. Yang pasti, tidak ada tanda-tanda maupun rasa kurang nyaman di area payudara—menandakan gunung kembarnya tak terjamah sedikitpun.

Bukan hanya itu, pengakuan Reynand juga menjadi bukti kuat bahwa memang tak terjadi apa-apa semalam. Tetapi, anehnya Reynand tetap memberikan upah senilai dua juta, yang disebut bentuk penyemangat di awal-awal bekerja. Jihan tak mengerti sepenuhnya, namun jelas ia bahagia.

"Selamat pagi, Pak Reynand."

"Pagi, Pak."

Sambutan hangat itu berasal dari dua pengawal yang berjaga di ambang pintu, tepat saat Reynand melangkah keluar. Dia terlihat rapi dengan setelan formal abu-abu, seperti biasa tampan dan berwibawa.

Ironisnya adalah, dia bersikap tidak acuh termasuk kepada Jihan, padahal tadi subuh mereka sempat berbincang meski sekilas. Jihan mengangkat kepalanya sedikit, berharap setidaknya ada satu tatapan, satu kata, atau bahkan satu senyuman, tetapi nihil. Reynand berlalu begitu saja. Tanpa ragu, tanpa sedikit pun meliriknya.

"Apa sih yang kamu harapkan, Han? Berharap dia ada rasa setelah berbaik hati memberi upah tanpa bekerja? Ya, tidak mungkinlah," lirih Jihan menyadarkan diri, rasanya sakit karena diacuhkan seperti tadi.

Tanpa Jihan sadari diam-diam Reynand meliriknya diselipi senyum tipis. Sepersekian detik kemudian, raut wajahnya berubah tatkala melihat Jihan menjawab telepon seseorang.

Drrrt!

"Halo."

"Jihan! Bayimu—"

"Ba-bayiku? Ada apa dengan bayiku?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 76

    Jihan terdiam. Suara tawa yang sejak tadi memenuhi ruangan kini menguap, digantikan senyap yang mencekam dan aneh. Pertanyaan polos itu, yang terucap ringan dari bibir mungil Rangga, menghantamnya lebih keras dari pukulan mana pun."Bunda beneran Bunda Rangga?"Tidak ada yang salah dengan pertanyaannya. Tidak ada nada tuduh, tidak ada makna tersembunyi. Tapi di telinga Jihan, itu terdengar seperti dunia yang menanyakan hakikat dirinya. Menanyakan keberadaannya. Menanyakan apakah cinta yang ia berikan selama ini sah?Ia menunduk, memandang wajah polos Rangga yang penuh harap menanti jawaban. Jihan ingin menjawab “ya,” ingin memeluk anak itu dan meyakinkan bahwa dirinya adalah tempat paling aman di dunia ini. Tapi suara itu tak sanggup keluar. Tenggorokannya tercekat. Jiwanya gamang.Air matanya tak tumpah, tapi dadanya basah oleh duka yang tak memiliki bentuk."Rangga masih kecil, dia tidak tahu," batinnya mencoba menenangkan diri. Tapi justru karena Rangga masih kecil, karena ia belu

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 75

    Riko membuka map di tangannya—memperlihatkan beberapa lembar bukti cetak dan dokumen digital yang ia lampirkan. Ia menarik napas sebelum menjelaskan."Berdasarkan hasil penyelidikan lanjutan yang saya lakukan bersama tim, kami menemukan beberapa hal yang mencurigakan terkait penyebaran isu plagiarisme terhadap Ibu Jihan."Reynand mengangguk pelan, menyimak dengan saksama."Awalnya, kami kira penyebar isu ini hanyalah akun-akun anonim biasa. Namun setelah kami telusuri lebih dalam, ternyata terdapat pola konsisten pada waktu unggahan, gaya bahasa, serta kemiripan struktur konten yang disebarkan. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka tidak bekerja sendiri, melainkan terorganisir."Ia menyodorkan satu lembar grafik pada Reynand, "Dari penelusuran alamat IP serta riwayat perangkat, ditemukan bahwa sebagian besar aktivitas berasal dari satu kelompok jaringan yang saling berkaitan. Bahkan, kami mendapati salah satu akun tersebut memiliki koneksi transaksi digital dengan nama yang tidak asing

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 74

    "Kenapa, Sayang? Apa hasratmu mulai bangkit, hm?" Alira merasa ini akan jadi kemenangan baginya, ia pun tersenyum miring. Namun tepat saat bibir Alira nyaris menyentuhnya, Reynand mencengkeram kedua bahunya dan menahan tubuh itu agar menjauh."Berhenti!" desisnya keras.Alira terpaku, terengah, matanya menyiratkan keterkejutan dan kekecewaan.Reynand menatap tajam wajah itu, suaranya kini berat dan penuh luka, "Aku memang laki-laki. Tapi bukan yang bisa kau kendalikan dengan tubuhmu. Dulu mungkin iya... tapi sekarang, tidak lagi."Ia meraih jaketnya, membuka pintu, dan menatap wanita itu untuk terakhir kalinya.“Simpan kehormatanmu, Alira, sebelum kau benar-benar kehilangan semuanya.”Lalu ia pergi, meninggalkan aroma godaan dan kenangan yang nyaris menjerumuskannya ke jurang yang sama—jurang yang dulu nyaris menghancurkannya.Begitu pintu tertutup, bunyinya membelah sunyi seperti palu godam yang menghantam jiwanya.Alira berdiri mematung. Lingerie tipis di tubuhnya berkibar tertiup

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 73

    Pagi itu, langit cerah menyambut keheningan yang jarang sekali dinikmati oleh Reynand. Hamparan pasir putih membentang luas di hadapannya, ombak menggulung pelan memecah keheningan, menyuguhkan irama alami yang menenangkan. Ia duduk bersandar pada kursi pantai, kemeja putih lengan panjang digulung hingga siku, dua kancing atas terbuka santai. Kacamata hitam bertengger manis di hidung mancungnya, membiarkan sebagian besar cahaya pagi teredam oleh lensa gelap.Di tangannya, segelas kopi hitam masih mengepul. Ia tak menyentuhnya. Hanya menatap jauh ke arah cakrawala, seolah tengah mencari jawaban yang tak kunjung ditemukan di hiruk-pikuk kantor, atau bahkan dalam keheningan rumah yang sekarang terasa berbeda semenjak Jihan terpuruk.Namun ketenangan itu tak bertahan lama.Suara langkah kaki di atas pasir mengusik pikirannya. Tanpa menoleh, Reynand sudah tahu siapa yang mendekat. Aroma parfum manis dengan sentuhan vanila dan melati yang khas itu terlalu familiar untuk dilupakan."Tempatmu

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 72

    Malam merangkak lambat di sebuah kafe semi-terbuka yang terletak di sudut kota. Lampu-lampu temaram menggantung di atas meja-meja kayu, menciptakan nuansa hangat yang bertolak belakang dengan kegelisahan yang bergulir di dada Reynand.Ia duduk dengan punggung tegap, namun wajahnya suram. Di depannya, seorang pria bersetelan kasual—rekan bisnis yang sudah lama ia kenal—mencoba mengimbangi suasana dengan obrolan ringan. Tapi sejak lima belas menit terakhir, jelas bahwa pikiran Reynand tak benar-benar hadir di sana.“You okay, Rey?” tanya pria itu akhirnya, menyesap kopinya perlahan. “Kau kelihatan kayak lagi mikirin perang dunia ketiga.”Reynand menarik napas panjang, menatap cangkir kopinya yang sudah mendingin.“Mungkin bukan perang dunia. Tapi perang hati,” gumamnya pelan.Pria itu mengangkat alis. “Ada masalah sama Jihan?”Reynand tak langsung menjawab. Ia memutar cangkirnya pelan, seolah sedang menimbang jawaban di dasar porselen itu.“Seseorang menjatuhkannya. Karyanya dituduh pla

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 71

    Ruang kerja Jihan masih sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar samar, berpadu dengan isak pelan yang tak mampu disembunyikan. Jihan terduduk di sofa kecil, wajahnya terbenam dalam kedua telapak tangan. Matanya sembab, napasnya tidak teratur. Air mata masih jatuh tanpa permisi. Hatinya remuk. Dunia seolah membencinya. Fitnah menjiplak—hal yang tak pernah terlintas untuk ia lakukan—menyeretnya ke jurang ketakutan yang membuat tubuhnya menggigil.Ceklek!Pintu ruangan terbuka, menampakkan sosok paling dikenalnya. Tidak lain ialah Reynand, yang ia duga baru kembali setelah menegur staf yang menginterogasi tanpa sepengetahuannya. Pria itu mendekat perlahan. Lalu berlutut di hadapannya. Mata mereka bertemu—mata Jihan merah, basah, kehilangan daya. Sementara mata Reynand menyimpan badai yang ditahan, amarah yang teredam, juga rasa bersalah yang tak bisa ditepis."Sayang ... jangan menangis lagi, kamu tidak sendirian," bisik Reynand serak, nyaris berbisik. Jihan menggeleng lemah. Ai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status