Satu jam rapat telah berlalu tanpa jeda, akhirnya Reynand bisa duduk tenang di kursi kerjanya. Dengan gerakan lambat, ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi kulit yang dingin. Pikirannya masih berkutat pada laporan keuangan yang tadi telah dipresentasikan.
Namun, lebih daripada itu ada satu hal lain yang juga cukup mengganggu. Tidak lain mengenai reaksi Jihan saat menerima telepon entah dari siapa, dimana yang Reynand simpulkan itu pasti suatu masalah besar bagi seorang ibu. "Kenapa aku memikirkannya terus-menerus?" Reynand berbicara pelan, tidak habis pikir dengan keinginan-keinginan dalam dirinya, yang ingin tahu apa yang Jihan hadapi sekarang. Meraih hape di atas meja yang memperlihatkan beranda kontak Jihan, berulang kali Reynand membuka-tutup layar, memandangi dengan seksama. Haruskah ia meneleponnya? Di tengah kebimbangan yang melanda, tiba-tiba sebuah ketukan pintu terdengar nyaring. Segera Reynand mempersilakan masuk, dan membenarkan posisi duduknya agar terlihat formal. "Aku sudah menyelidiki lebih dalam, dan hasilnya sudah keluar, Pak," ucap Faris, asistennya, sembari duduk di kursi seberang. Mendengar itu, Reynand yang tidak sabaran dan memang kepo tentang kehidupan Jihan refleks mencondongkan tubuh ke depan, menunggu penjelasan detail dari informasi yang ia minta. "Apa yang kamu dapatkan?" "Bayi Jihan demam tinggi, dan saat ini sedang dibawa ke rumah sakit. Itulah kenapa tadi dia terlihat panik." "Demam tinggi?" Reynand mengernyit. "Benar. Dugaan lain mengatakan alasan bayinya demam karena Jihan tinggal di lingkungan kumuh, minim kebersihan, dan hanya berupa kontrakan kecil. Jadi ...." Suaranya terhenti saat melihat Reynand manggut-manggut, menandakan paham. "Dimana suaminya?" Untuk sesaat Faris terdiam, rasa ragu mendera benaknya untuk memberitahu kenyataan lain tentang Jihan. "Kenapa diam?" "Ah? Ee ... itu, Pak. Jihan belum lama bercerai dari suaminya, jadi saat ini ... statusnya single mom." Hening. Reynand tidak langsung bereaksi, ia hanya menatap kosong ke depan, seolah sedang mencerna semua informasi yang masuk. Dari lamunan itu, Reynand menyimpulkan bahwa dia sudah mendapat jawaban dari pertanyaan yang dipendam sejak awal kedatangan Jihan. 'Ternyata dia mengambil pekerjaan untuk menghidupi bayinya, bukan semata-mata demi memenuhi gaya hidup.' Entah mengapa, ia merasa kagum. Akan tetapi, menunjukkan rasa kagum secara terang-terangan bukan keahliannya. Layaknya turut bersedih atas duka seseorang tanpa bisa membantu lebih, seperti itulah yang Reynand rasakan sekarang. Dia bangga atas kekuatan yang Jihan miliki, tetapi bukan berarti dia akan peduli. "Baik, terima kasih infonya. Kamu boleh pergi," ketus Reynand mempersilakan. Faris menundukkan kepala, lalu beranjak dari ruangan itu. Persis ketika hendak menyentuh gagang pintu, tiba-tiba Reynand bersuara, "Bagaimana perkembangan pencarian bayiku?" Seketika itu juga langkah Faris terhenti, jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Bukan karena takut, tetapi pertanyaan itu lebih dari sekadar formalitas. Andaikata disuruh memilih antara pergi menghadiri meeting sangat penting atau mendatangi lokasi keberadaan bayinya, maka dengan tegas Reynand akan memilih opsi kedua. Nahasnya, sampai hari ini belum juga diketahui kemana bayinya itu menghilang. Faris berbalik perlahan, menatap atasannya yang masih duduk dengan tenang di balik meja besar. Ekspresi Reynand masih dingin, tetapi ada sesuatu di matanya, sesuatu yang sulit dibaca. "Maaf, belum ada informasi terbaru, Pak." Tidak ada reaksi yang Reynand tunjukkan, kecuali jemarinya yang bergerak mengetuk-ngetuk meja, nyaris tak terdengar. Lalu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia mengangkat satu tangan, membuat gerakan kecil dengan dua jari dan berkata, "Keluar!" Faris pun melangkah keluar sembari menutup pintu di belakangnya. Tersisa Reynand yang kembali dikelilingi suasana sunyi, sembari bersandar ke kursi. Kedua matanya menatap langit-langit, terlihat tenang, tetapi tidak dengan pikirannya. "Rangga, dimana kamu, Nak?" ** Jihan duduk di kursi tunggu rumah sakit. Kedua tangan menggenggam erat kertas kecil hasil pemeriksaan yang baru saja diperbarui oleh dokter. Matanya terpaku menatap lembaran itu, tanpa sadar air mata mengalir jatuh ke pipi. "Kasihan sekali nasibmu, Nak," lirih Jihan yang belum dapat melupakan momen saat pertama kali menemukan bayi itu, dalam keadaan tubuh lemah dan kulit pucat, tergeletak dalam tong sampah lengkap dengan secarik kertas hasil pemeriksaan rumah sakit. Kelainan Jantung Bawaan. Tiga kata yang tertulis di kertas membuat Jihan tidak tahu harus menangis atau marah. Kenapa orangtuanya tega membuang bayi sekecil itu? Seolah-olah nyawanya tidak berharga? Seakan-akan kehadirannya membawa petaka? Menghela napas panjang, sekarang bayi tersebut sudah ada di dekapannya. Jihan berjanji akan memberi kehidupan yang baik semaksimal mungkin, sekalipun membutuhkan biaya besar, serta mengorbankan harga dirinya. "Semoga aku bisa secepatnya mengumpulkan uang untuk melakukan operasi Rangga. Aamiin." Jihan kembali menoleh ke dalam, melihat melalui jendela dimana bayinya sedang menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara berat familiar menyapa. "Jihan?" Jihan tersentak, matanya membelalak sebelum akhirnya menoleh ke sumber suara, "Pak Reynand?" sebutnya sembari menggenggam kertas di tangan lebih erat, takut rahasianya akan terbaca hanya dengan satu lirikan dari lelaki itu. "Sedang apa kamu di sini?" tanya Reynand memindai penampilan Jihan dari atas sampai bawah, yang tidak ada perubahan. Dia masih mengenakan baju yang sama saat tadi pagi menerima telepon, ditambah sedikit kucel. Artinya, dari tadi pagi sampai siang ini, Jihan belum sempat mandi apalagi bersilih pakaian. "Bayi saya demam, Pak. Makanya saya di sini," jawab Jihan tak berani mengangkat wajah sedikitpun. "Oh." "Iya, Bapak sendiri ada tujuan apa ke sini?" "Bukan urusan kamu. Kebetulan kita bertemu, saya ingin mengingatkan agar kamu tidak melupakan pekerjaan." "Baik, Pak. Saya janji setelah pulang pemeriksaan ini, saya akan langsung ke rumah Bapak," jawab Jihan patuh. "Bagus." Setelah itu, Reynand pun berlalu menuju ruangan di paling ujung. Perlahan, Jihan beranikan diri melirik ke sana, dan seketika itu juga matanya memicing manakala membaca papan nama di atas ruangan. "Itu, 'kan ruangan dokter spesialis jantung? Kenapa Pak Reynand ke sana?"Suasana kamar mereka malam itu begitu syahdu. Tirai tipis berwarna krem melambai perlahan tertiup angin malam yang menyusup dari celah jendela. Cahaya kuning keemasan dari lampu tidur menciptakan bayangan lembut di dinding, seolah turut menjaga keintiman dua insan yang baru saja diikat oleh janji suci.Reynand duduk bersandar di kepala ranjang, mengenakan piyama sutra berwarna gelap. Di sampingnya, Jihan tampak masih mengenakan gaun tidur panjang berwarna putih gading, duduk dengan tangan bertaut di pangkuannya. Wajahnya redup dalam diam, namun matanya menyiratkan perasaan yang tak mampu didefinisikan hanya dengan kata.“Malam ini terasa seperti mimpi,” gumam Reynand pelan, memecah keheningan.Jihan menoleh, bibirnya tersenyum tipis. “Jika ini mimpi, maka aku tak ingin terbangun.”Reynand menatap lekat wajah istrinya. Ada sesuatu yang damai dalam tatapan itu, sesuatu yang selama ini ia kejar namun baru benar-benar ia temukan malam ini—kehadiran yang tidak hanya diterima, tetapi juga m
Hari itu langit begitu bersih seakan mengerti bahwa bumi tengah menyambut satu janji suci yang tak main-main. Di sebuah gedung bergaya arsitektur klasik modern, berbalut putih gading dan sentuhan emas di setiap lengkungannya, acara pernikahan Reynand dan Jihan berlangsung dengan anggun, tanpa cela. Lantunan instrumental dari grand piano mengisi ruangan dengan melodi lembut yang menyatu dengan aroma bunga segar yang menguar dari setiap sudut ruangan.Para tamu datang dengan pakaian formal bernuansa nude dan pastel, menambah kesan teduh dan elegan. Meja-meja bundar berhias lilin kaca dan buket mawar putih dikelilingi oleh kursi dengan pita emas yang diikat rapi. Cahaya lampu gantung kristal menari pelan di langit-langit, menciptakan atmosfer yang tidak hanya mewah, namun juga menghangatkan hati siapa pun yang hadir.Di tengah sorotan lembut, berdirilah Reynand dengan jas abu tua yang menjulang gagah, berdasi hitam polos dan sepatu mengilap. Wajahnya tenang namun matanya memancarkan sin
Jihan terdiam. Suara di seberang tidak segera menjawab, tapi Reynand tidak bisa lagi menahan desakan dalam dadanya. Kalimat itu mengalir begitu saja—tanpa rencana, tanpa konsep, namun penuh dengan keyakinan yang telah tumbuh dari kegelisahan dan cinta yang tak lagi bisa ia sembunyikan."Menikah... minggu depan?" ulang Jihan lirih, seolah kalimat itu terlalu asing untuk dicerna dalam sekejap."Ya," ujar Reynand mantap, suaranya rendah namun tak bergetar. “Kita sudah terlalu lama menangguhkan kebahagiaan. Aku tidak ingin menunda lagi, Jihan. Bukan karena ingin terlihat sempurna di mata orang. Bukan karena tekanan dari siapa pun. Tapi karena aku tahu... kamu adalah rumahku. Dan aku ingin Rangga merasa aman berada dalam rumah itu.”Di seberang, Jihan mulai terisak lagi. Tapi tangis itu berbeda. Tangis kali ini seperti air yang menetes perlahan dari gelas yang terlalu penuh—bukan karena luka, tapi karena keharuan. Karena perasaan tidak percaya bahwa setelah semua badai, seseorang bisa masi
Telepon itu berdering begitu pelan, namun di tengah malam yang sunyi, suara itu terdengar seperti denting lonceng dari kejauhan yang menggema ke relung dada Reynand. Jantungnya seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik, lalu berdegup kencang, hampir tak tertahankan. Dengan sigap, ia meraih ponsel dari meja kecil di sisi ranjang, menekan tombol hijau, dan segera menempelkannya ke telinga.“Assalamu’alaikum...” Suara Jihan terdengar lirih, nyaris seperti bisikan yang retak oleh tangis yang tak jadi pecah.“Wa’alaikumussalam, Jihan...” jawab Reynand, suaranya serak, seolah ia baru saja menelan pil yang terlalu besar—pahit dan menyumbat tenggorokannya.Hening.Sejenak hanya suara napas yang terdengar dari dua sisi. Tidak berat, tidak pula tenang—gelisah dan canggung. Reynand menahan desakan untuk langsung bertanya banyak hal. Ia tahu, satu kata kasar saja akan membuat perempuan itu kembali menutup diri.“Terima kasih sudah menghubungiku,” ucap Reynand lembut, mencoba menjembatani
Langit malam menggantung kelam di atas rumah kecil bergaya minimalis milik Nayla. Lampu temaram dari ruang tengah menyorot samar bayangan dua wanita yang duduk berdekapan di atas sofa berlapis kain abu-abu. Aroma teh chamomile menyebar hangat, namun tak mampu menyamarkan hawa getir yang menguar dari tubuh Jihan yang gemetar dalam tangis.Tangis itu bukan sekadar sedih. Ia mengandung luka, sesak, dan ketakutan yang tak terucapkan selama ini."Aku... aku benar-benar tidak kuat, Nayla…" Jihan terisak, bahunya terguncang hebat. "Tadi... saat kami bermain, Rangga menatapku dengan matanya yang polos dan bertanya... 'Bunda, Bunda beneran Bunda Rangga?'” Suaranya pecah, lamat-lamat, seakan satu kata pun menambah beban di dadanya yang nyaris meledak.Nayla, yang sedari tadi duduk di sampingnya, hanya bisa merengkuh tubuh sahabatnya ke dalam pelukan. Dibelainya punggung Jihan pelan-pelan, penuh kelembutan, seperti menenangkan seorang anak yang terluka."Jihan... Rangga tidak bermaksud menyakiti
Langit mulai menggelap saat mobil Reynand berhenti di gang sempit yang penuh kenangan. Hujan belum turun, tapi awan kelabu menggantung berat di atas kepalanya, seolah ikut merunduk bersama dadanya yang sesak.Ia turun dari mobil, langkahnya terburu, hampir tersandung batu kecil yang mencuat di jalan tanah. Nafasnya memburu. Jaketnya hanya menggantung separuh bahu karena tergesa keluar rumah tadi.Matanya menyapu barisan rumah-rumah kontrakan di kiri jalan. Matanya menangkap satu pintu yang tak asing, berwarna biru pudar dengan bekas goresan di sisi kanan.Di situlah dulu Jihan tinggal. Sendirian. Mengasuh anak. Bertahan hidup. Tanpa siapa pun.Tangannya mengepal."Kenapa kamu balik ke tempat ini, Jihan? Kalau pun iya, kenapa kamu gak bilang?"Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kontrakan. Ia mengetuk cepat. Sekali. Dua kali.Tak lama, daun pintu terbuka, menampakkan wajah seorang wanita paruh baya yang sudah akrab di ingatannya."Bu Rani?" sapanya buru-buru, suaranya terdengar be