Share

Bab 3

Author: Melvii_SN
last update Last Updated: 2025-04-10 12:53:21

Satu jam rapat telah berlalu tanpa jeda, akhirnya Reynand bisa duduk tenang di kursi kerjanya. Dengan gerakan lambat, ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi kulit yang dingin. Pikirannya masih berkutat pada laporan keuangan yang tadi telah dipresentasikan.

Namun, lebih daripada itu ada satu hal lain yang juga cukup mengganggu. Tidak lain mengenai reaksi Jihan saat menerima telepon entah dari siapa, dimana yang Reynand simpulkan itu pasti suatu masalah besar bagi seorang ibu.

"Kenapa aku memikirkannya terus-menerus?" Reynand berbicara pelan, tidak habis pikir dengan keinginan-keinginan dalam dirinya, yang ingin tahu apa yang Jihan hadapi sekarang.

Meraih hape di atas meja yang memperlihatkan beranda kontak Jihan, berulang kali Reynand membuka-tutup layar, memandangi dengan seksama.

Haruskah ia meneleponnya?

Di tengah kebimbangan yang melanda, tiba-tiba sebuah ketukan pintu terdengar nyaring. Segera Reynand mempersilakan masuk, dan membenarkan posisi duduknya agar terlihat formal.

"Aku sudah menyelidiki lebih dalam, dan hasilnya sudah keluar, Pak," ucap Faris, asistennya, sembari duduk di kursi seberang.

Mendengar itu, Reynand yang tidak sabaran dan memang kepo tentang kehidupan Jihan refleks mencondongkan tubuh ke depan, menunggu penjelasan detail dari informasi yang ia minta.

"Apa yang kamu dapatkan?"

"Bayi Jihan demam tinggi, dan saat ini sedang dibawa ke rumah sakit. Itulah kenapa tadi dia terlihat panik."

"Demam tinggi?" Reynand mengernyit.

"Benar. Dugaan lain mengatakan alasan bayinya demam karena Jihan tinggal di lingkungan kumuh, minim kebersihan, dan hanya berupa kontrakan kecil. Jadi ...." Suaranya terhenti saat melihat Reynand manggut-manggut, menandakan paham.

"Dimana suaminya?"

Untuk sesaat Faris terdiam, rasa ragu mendera benaknya untuk memberitahu kenyataan lain tentang Jihan.

"Kenapa diam?"

"Ah? Ee ... itu, Pak. Jihan belum lama bercerai dari suaminya, jadi saat ini ... statusnya single mom."

Hening.

Reynand tidak langsung bereaksi, ia hanya menatap kosong ke depan, seolah sedang mencerna semua informasi yang masuk. Dari lamunan itu, Reynand menyimpulkan bahwa dia sudah mendapat jawaban dari pertanyaan yang dipendam sejak awal kedatangan Jihan.

'Ternyata dia mengambil pekerjaan untuk menghidupi bayinya, bukan semata-mata demi memenuhi gaya hidup.'

Entah mengapa, ia merasa kagum. Akan tetapi, menunjukkan rasa kagum secara terang-terangan bukan keahliannya. Layaknya turut bersedih atas duka seseorang tanpa bisa membantu lebih, seperti itulah yang Reynand rasakan sekarang. Dia bangga atas kekuatan yang Jihan miliki, tetapi bukan berarti dia akan peduli.

"Baik, terima kasih infonya. Kamu boleh pergi," ketus Reynand mempersilakan.

Faris menundukkan kepala, lalu beranjak dari ruangan itu.

Persis ketika hendak menyentuh gagang pintu, tiba-tiba Reynand bersuara, "Bagaimana perkembangan pencarian bayiku?"

Seketika itu juga langkah Faris terhenti, jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Bukan karena takut, tetapi pertanyaan itu lebih dari sekadar formalitas.

Andaikata disuruh memilih antara pergi menghadiri meeting sangat penting atau mendatangi lokasi keberadaan bayinya, maka dengan tegas Reynand akan memilih opsi kedua. Nahasnya, sampai hari ini belum juga diketahui kemana bayinya itu menghilang.

Faris berbalik perlahan, menatap atasannya yang masih duduk dengan tenang di balik meja besar. Ekspresi Reynand masih dingin, tetapi ada sesuatu di matanya, sesuatu yang sulit dibaca.

"Maaf, belum ada informasi terbaru, Pak."

Tidak ada reaksi yang Reynand tunjukkan, kecuali jemarinya yang bergerak mengetuk-ngetuk meja, nyaris tak terdengar. Lalu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia mengangkat satu tangan, membuat gerakan kecil dengan dua jari dan berkata, "Keluar!"

Faris pun melangkah keluar sembari menutup pintu di belakangnya. Tersisa Reynand yang kembali dikelilingi suasana sunyi, sembari bersandar ke kursi. Kedua matanya menatap langit-langit, terlihat tenang, tetapi tidak dengan pikirannya.

"Rangga, dimana kamu, Nak?"

**

Jihan duduk di kursi tunggu rumah sakit. Kedua tangan menggenggam erat kertas kecil hasil pemeriksaan yang baru saja diperbarui oleh dokter. Matanya terpaku menatap lembaran itu, tanpa sadar air mata mengalir jatuh ke pipi.

"Kasihan sekali nasibmu, Nak," lirih Jihan yang belum dapat melupakan momen saat pertama kali menemukan bayi itu, dalam keadaan tubuh lemah dan kulit pucat, tergeletak dalam tong sampah lengkap dengan secarik kertas hasil pemeriksaan rumah sakit.

Kelainan Jantung Bawaan.

Tiga kata yang tertulis di kertas membuat Jihan tidak tahu harus menangis atau marah. Kenapa orangtuanya tega membuang bayi sekecil itu? Seolah-olah nyawanya tidak berharga? Seakan-akan kehadirannya membawa petaka?

Menghela napas panjang, sekarang bayi tersebut sudah ada di dekapannya. Jihan berjanji akan memberi kehidupan yang baik semaksimal mungkin, sekalipun membutuhkan biaya besar, serta mengorbankan harga dirinya.

"Semoga aku bisa secepatnya mengumpulkan uang untuk melakukan operasi Rangga. Aamiin."

Jihan kembali menoleh ke dalam, melihat melalui jendela dimana bayinya sedang menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara berat familiar menyapa.

"Jihan?"

Jihan tersentak, matanya membelalak sebelum akhirnya menoleh ke sumber suara, "Pak Reynand?" sebutnya sembari menggenggam kertas di tangan lebih erat, takut rahasianya akan terbaca hanya dengan satu lirikan dari lelaki itu.

"Sedang apa kamu di sini?" tanya Reynand memindai penampilan Jihan dari atas sampai bawah, yang tidak ada perubahan.

Dia masih mengenakan baju yang sama saat tadi pagi menerima telepon, ditambah sedikit kucel. Artinya, dari tadi pagi sampai siang ini, Jihan belum sempat mandi apalagi bersilih pakaian.

"Bayi saya demam, Pak. Makanya saya di sini," jawab Jihan tak berani mengangkat wajah sedikitpun.

"Oh."

"Iya, Bapak sendiri ada tujuan apa ke sini?"

"Bukan urusan kamu. Kebetulan kita bertemu, saya ingin mengingatkan agar kamu tidak melupakan pekerjaan."

"Baik, Pak. Saya janji setelah pulang pemeriksaan ini, saya akan langsung ke rumah Bapak," jawab Jihan patuh.

"Bagus."

Setelah itu, Reynand pun berlalu menuju ruangan di paling ujung. Perlahan, Jihan beranikan diri melirik ke sana, dan seketika itu juga matanya memicing manakala membaca papan nama di atas ruangan.

"Itu, 'kan ruangan dokter spesialis jantung? Kenapa Pak Reynand ke sana?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 5

    Jihan menggenggam erat plastik asoy di tangannya, dengan ujung jari tampak memucat. Saat ini, ia sedang berdiri di depan meja administrasi, matanya kembali melirik angka yang tertera di lembar tagihan, lima juta. Selisih tiga juta rasanya seperti jurang tak bertepi. Ditambah lagi, uang yang ada di tangannya hanya 1,9 juta. Awalnya, Jihan terkejut mengapa bisa demikian, padahal jelas-jelas semalam ia diberi upah senilai dua juta. Tetapi setelah diingat-ingat kembali, Jihan sadar bahwa ia telah menggunakan seratus ribu uang itu, untuk membeli keperluan penting seperti popok, tisu basah, dan makanan sehat untuk dirinya sendiri. Bukan karena Jihan egois apalagi ingin memanjakan diri, melainkan karena ia butuh nutrisi yang cukup untuk menjaga kesehatan dan memastikan produksi ASI tetap lancar. "Ya Allah, uangku benar-benar kurang banyak. Bagaimana ini?" Tangan Jihan gemetar sambil merogoh saku celana, berharap menemukan uang terselip, tetapi hasilnya nihil. Hanya ada beberapa lembar

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 4

    Rasa penasaran dan tidak enak menjalar ke dalam hati Jihan. Pun berbagai pertanyaan satu per satu bermunculan. "Apa mungkin Pak Reynand punya penyakit jantung, ya? Atau ini hari konsultasi pertamanya? Tidak mungkin 'kan, seseorang menemui spesialis tertentu hanya untuk ngobrol biasa?" Spekulasi-spekulasi berputar dalam kepala Jihan. Jika benar Reynand memiliki masalah jantung, kenapa dia tidak memberitahu? Andaikata tahu, maka Jihan bisa menawarkan diri untuk jadi pelayan yang melayani secara lahir saja, dibanding batin. "Kasihan sekali kalau memang Pak Reynand punya riwayat penyakit jantung," ucapnya pelan. Menghela napas panjang untuk menepis rasa penasaran yang dirasa kurang berguna. Jihan pun memutuskan melihat ke dalam ruang pemeriksaan sekali lagi, lalu mondar-mandir sambil meremas jari-jemari. Hatinya berdebar tidak karuan, rasa cemas menggumpal di dada dan terasa berat seiring waktu berjalan. "Ya Allah, kalau ternyata uang ini tidak cukup bagaimana? Semalam aku hanya

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 3

    Satu jam rapat telah berlalu tanpa jeda, akhirnya Reynand bisa duduk tenang di kursi kerjanya. Dengan gerakan lambat, ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi kulit yang dingin. Pikirannya masih berkutat pada laporan keuangan yang tadi telah dipresentasikan. Namun, lebih daripada itu ada satu hal lain yang juga cukup mengganggu. Tidak lain mengenai reaksi Jihan saat menerima telepon entah dari siapa, dimana yang Reynand simpulkan itu pasti suatu masalah besar bagi seorang ibu. "Kenapa aku memikirkannya terus-menerus?" Reynand berbicara pelan, tidak habis pikir dengan keinginan-keinginan dalam dirinya, yang ingin tahu apa yang Jihan hadapi sekarang. Meraih hape di atas meja yang memperlihatkan beranda kontak Jihan, berulang kali Reynand membuka-tutup layar, memandangi dengan seksama.Haruskah ia meneleponnya? Di tengah kebimbangan yang melanda, tiba-tiba sebuah ketukan pintu terdengar nyaring. Segera Reynand mempersilakan masuk, dan membenarkan posisi duduknya agar terlihat

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 2.

    Seketika wajah Jihan pucat seperti kapur. Keringat dingin mulai membasahi pelipis, jemarinya bergetar hebat. Bahkan tumitnya sempat hendak berbalik arah, namun tubuhnya justru kaku di tempat. "Sa-saya menyusui Bapak? Ta-tapi Bapak ... seorang pria dewasa?" Jihan tergagap. "Ba-Bapak bahkan sudah bisa ngopi sendiri," ujar Jihan benar-benar shock. Namun, wajah Reynand tetap tak berubah. Tatapan matanya tajam dan serius. Tidak ada sedikit pun tanda bahwa ini adalah sebuah lelucon. "Saya tidak suka mengulang hal yang sudah saya jelaskan." Saat itu juga Jihan merasa dunianya runtuh, otaknya mendadak ngeblank untuk memikirkan penjelasan masuk akal, tetapi sulit. "Tapi Pak, ini sangat tidak manusiawi. Ma-maksud saya, saya kira saya akan menyusui bayi. Bayi, Pak! Yang masih imut dan suka gumoh. Bukan Bapak, yang jelas-jelas punya kumis dan kemungkinan sudah vaksin booster tiga kali!" Tanpa sadar, Jihan mulai berceloteh karena panik. Reynand menaikkan sebelah alis, lalu berdiri dar

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 1.

    "Satu juta per sesi." Glek!Jihan Andari menelan ludah mendengar ucapan pria itu. Berdiri di sisi ranjang, tubuhnya tiba-tiba terasa kebas. Ia menatap pria yang duduk bersandar itu dengan rasa takut. Pasalnya Reynand Davidson bukanlah pria biasa, melainkan CEO dari perusahaan start up bergengsi lagi terkemuka. Bukan tanpa alasan mengapa Jihan berada di sana, semua tidak terlepas dari tuntutan hidup serta tanggung jawab sebagai orangtua. Sebenarnya, Jihan sudah menikah dan memiliki seorang buah hati, nahasnya Tuhan lebih menyayangi putranya dengan mengambil kembali tepat di usia tiga bulan. Saat itu, Jihan sangat terpuruk, syukurnya tidak berlangsung lama setelah dia menemukan bayi lain, terlantar dalam tong sampah, nyaris tak bernapas, juga kedinginan. Naluri seorang ibu membuatnya mengambil dan mengasuh bayi tersebut, walau dengan harus mengorbankan pernikahan. Jihan diceraikan karena suaminya tak menyukai keberadaan bayi, yang divonis mengidap penyakit kelainan jantung terse

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status