"Satu juta per sesi."
Glek! Jihan Andari menelan ludah mendengar ucapan pria itu. Berdiri di sisi ranjang, tubuhnya tiba-tiba terasa kebas. Ia menatap pria yang duduk bersandar itu dengan rasa takut. Pasalnya Reynand Davidson bukanlah pria biasa, melainkan CEO dari perusahaan start up bergengsi lagi terkemuka. Bukan tanpa alasan mengapa Jihan berada di sana, semua tidak terlepas dari tuntutan hidup serta tanggung jawab sebagai orangtua. Sebenarnya, Jihan sudah menikah dan memiliki seorang buah hati, nahasnya Tuhan lebih menyayangi putranya dengan mengambil kembali tepat di usia tiga bulan. Saat itu, Jihan sangat terpuruk, syukurnya tidak berlangsung lama setelah dia menemukan bayi lain, terlantar dalam tong sampah, nyaris tak bernapas, juga kedinginan. Naluri seorang ibu membuatnya mengambil dan mengasuh bayi tersebut, walau dengan harus mengorbankan pernikahan. Jihan diceraikan karena suaminya tak menyukai keberadaan bayi, yang divonis mengidap penyakit kelainan jantung tersebut. Itulah alasan Jihan banting tulang, meski harus dengan mengorbankan harga dirinya. "Bagaimana?" "Y-ya?" Jihan mengerjap-ngerjapkan mata, tersadar dari lamunan nasib malangnya. "Satu juta per sesi, deal?" ulang Reynand, walau sebenarnya mengulang kalimat yang sama bukan dirinya sekali. "Sa-satu juta ... untuk sekali menyusui?" Seperti orang linglung, Jihan masih saja bertanya. Padahal, sebelum melamar ia sudah tahu bahwa pekerjaan ini memang harus menyusui. "Kenapa? Kurang?" "Tidak." Jihan menggeleng cepat, "Tidak, Pak. Bu-bukan kurang, tapi ... i-itu lebih dari cukup. Bapak serius akan menggaji saya per sesi? Bukan per bulan?" TAK! Reynand menutup tablet di atas paha, kemudian melirik Jihan yang menekuk wajah. "Saya tidak suka mengulang ucapan saya. Apalagi, itu sudah jelas tertera di brosur lowongan. Seharusnya kamu sudah tahu itu sebelum datang ke sini," cecarnya panjang lebar. Jihan tergemap, berusaha menahan diri agar tidak menjawab secara lancang. Dingin dan judes, itulah kesan pertama yang ia simpulkan dari sosok Reynand. "Dengar baik-baik," Reynand mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, "Saya tidak punya waktu untuk berbasa-basi. Jika kamu tidak sanggup atau berubah pikiran, pintu keluar ada di belakang. Tapi kalau memilih tetap di sini, artinya kamu setuju dengan syarat-syarat saya tanpa drama tambahan." Satu sampai dua menit berlalu, Jihan masih membeku. Kata-kata Reynand sangat tajam dan menusuk hati, padahal Jihan tidak bermaksud seperti yang dituduhkan. Justru dia terharu sekaligus bahagia, karena Reynand tidak berbohong terkait pekerjaan dan bayaran tinggi seperti yang tertera di brosur. "Jadi? Kamu pilih bekerja atau keluar dari ruangan ini?" "Bekerja, Pak," jawabnya cepat, "Jelas pilih bekerja karena saya butuh. Maaf kalau tadi saya terkesan lancang, saya tidak bermaksud seperti yang Bapak pikirkan, kok. Serius," imbuh Jihan menekankan. Reynand terlihat manggut-manggut, sebelum akhirnya menyodorkan seberkas dokumen dengan sampul putih elegan ke arah Jihan. “Ini kontraknya. Baca dan tanda tangani kalau kamu benar-benar siap.” Perlahan, Jihan ambil dan mulai membaca isi dokumen itu dengan telapak tangan gemetar. Halaman pertama berisi rincian tugas, jadwal menyusui, serta nominal gaji satu juta per sesi, total tiga sesi per hari. Ada pula klausul kerahasiaan dan pernyataan bahwa dia tidak bisa membatalkan kerja sepihak sebelum kontrak habis. Jika melakukan pembatalan, maka penerima kerja wajib membayar penalti senilai lima ratus juta. "Li-lima ratus juta?" celetuk Jihan terkejut melihat nominal penalti yang tertera. "Ya." "Se-sebesar itu?" “Kamu bisa memilih, uang atau komitmen. Tapi begitu tanda tangan, jangan merengek untuk mundur. Saya tidak suka pekerja plin-plan," tegas Reynand menekan setiap kata, nadanya seperti palu yang menghantam logam dingin. Jihan menelan ludah. Ia menunduk, menatap dokumen di genggaman. Suara detak jantungnya menggema keras di telinga sendiri, seperti genderang perang. Kalau bukan karena rasa sayang dan tanggung jawab, jelas ia akan menolak pekerjaan tersebut. Mata Jihan berkaca-kaca, tapi cepat-cepat ia mengedipkan air itu agar tak jatuh. 'Bismillah, semoga niat baik ini menjadi ladang amal untukku. Aku merawat bayi malang, lalu menghidupinya dengan cara menjual ASI kepada bayi lain yang juga membutuhkan asupan sehat. Manusia memang ditakdirkan untuk menolong satu sama lain, mungkin inilah caraku menolong mereka.' Setelah berpikir panjang serta menimbang-nimbang keraguan, akhirnya Jihan membuat keputusan final. Perlahan, tangannya meraih pulpen di atas meja. Dengan tangan gemetar dan napas berat, ia membubuhkan tanda tangan di kolom kanan bawah pada lembar terakhir. Tanda tangannya mengukuhkan satu hal, sejak hari itu, tubuhnya bukan sepenuhnya milik sendiri lagi. "Sudah, Pak," ucap Jihan menyodorkan kembali dokumen ke depan Reynand. Reynand menerimanya, membuka lembaran terakhir untuk memastikan tanda tangan kontrak kerja sama selama setahun tersebut. "Bagus, dengan tanda tangan ini saya tidak perlu menjelaskan ulang job desk-mu, 'kan?" "Iya, Pak. Saya sudah baca dan memahami semuanya. Hanya saja masih ada beberapa yang mau saya tanyakan." "Apa itu?" "Untuk bayi yang saya susui, apakah dia lebih suka menyusu secara langsung atau menggunakan dot khusus?" Kembali Reynand melirik Jihan, menatap datar tanpa ekspresi, membuat wanita itu serasa ingin menghilang daripada bertemu pandang dengannya. Selain terhadap cacing, sepertinya ditatap atau menatap Reynand akan menjadi phobia baru Jihan. "Secara langsung." Jihan menelan ludah kasar, ragu-ragu ia mengangguk, "O-oh, baik, Pak. Lalu, kapan saya bisa mulai bekerja?" "Hari ini." Rasa lega merayap di dada Jihan, akhirnya setelah penderitaan beruntun kemarin, sekarang ada secercah harapan yang dapat menolong hidupnya bersama sang bayi. Dengan gaji satu juta per sesi, kali tiga dalam sehari, maka tiga juta sudah jelas ia kantongi. Uang sebanyak itu pasti cukup untuk membayar sewa kontrakan, membeli makanan, pemeriksaan sang bayi, juga kehidupan yang lebih baik bagi bayinya. Dengan senyum tipis penuh rasa syukur, Jihan membungkukkan tubuh. "Terima kasih, Pak. Terima kasih sudah menerima saya. Oh ya, di mana bayi yang akan saya beri ASI?" "Di depanmu," jawab Reynand, mata tajamnya tak beranjak dari wajah Jihan. Sementara itu, kening Jihan tampak mengerut, pikirannya berputar cepat. Kepalanya bergerak menoleh sekeliling ruang kamar, mencari keberadaan box, tempat tidur bayi, atau seorang pengasuh yang mungkin membawa si kecil. Akan tetapi, yang ia temukan hanyalah kesunyian dan tatapan Reynand yang menusuk. "Huh?" Jihan tertawa kecil, meski nada suaranya terdengar lebih seperti kepanikan. "M-maksud Bapak gimana? S-saya tanya di mana bayinya?" Sebelah alis tebal Reynand terangkat tinggi, seolah heran melihat kebingungan Jihan. "Kamu masih belum paham juga?" Mendadak udara di ruang itu terasa lebih dingin, sedingin kutub utara. Begitu banyak keanehan yang Jihan rasakan, sesuatu yang membuat tengkuknya meremang tanpa alasan. Merasa ada yang tidak beres dengan Reynand, namun lidahnya terasa kelu untuk bertanya lebih banyak. "Bukan belum paham, tapi ...." Jihan mengangkat tangan, mencoba mengatur napasnya yang mulai memburu. "Sebenarnya siapa yang akan saya beri ASI?" "Saya."Malam merangkak lambat di sebuah kafe semi-terbuka yang terletak di sudut kota. Lampu-lampu temaram menggantung di atas meja-meja kayu, menciptakan nuansa hangat yang bertolak belakang dengan kegelisahan yang bergulir di dada Reynand.Ia duduk dengan punggung tegap, namun wajahnya suram. Di depannya, seorang pria bersetelan kasual—rekan bisnis yang sudah lama ia kenal—mencoba mengimbangi suasana dengan obrolan ringan. Tapi sejak lima belas menit terakhir, jelas bahwa pikiran Reynand tak benar-benar hadir di sana.“You okay, Rey?” tanya pria itu akhirnya, menyesap kopinya perlahan. “Kau kelihatan kayak lagi mikirin perang dunia ketiga.”Reynand menarik napas panjang, menatap cangkir kopinya yang sudah mendingin.“Mungkin bukan perang dunia. Tapi perang hati,” gumamnya pelan.Pria itu mengangkat alis. “Ada masalah sama Jihan?”Reynand tak langsung menjawab. Ia memutar cangkirnya pelan, seolah sedang menimbang jawaban di dasar porselen itu.“Seseorang menjatuhkannya. Karyanya dituduh pla
Ruang kerja Jihan masih sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar samar, berpadu dengan isak pelan yang tak mampu disembunyikan. Jihan terduduk di sofa kecil, wajahnya terbenam dalam kedua telapak tangan. Matanya sembab, napasnya tidak teratur. Air mata masih jatuh tanpa permisi. Hatinya remuk. Dunia seolah membencinya. Fitnah menjiplak—hal yang tak pernah terlintas untuk ia lakukan—menyeretnya ke jurang ketakutan yang membuat tubuhnya menggigil.Ceklek!Pintu ruangan terbuka, menampakkan sosok paling dikenalnya. Tidak lain ialah Reynand, yang ia duga baru kembali setelah menegur staf yang menginterogasi tanpa sepengetahuannya. Pria itu mendekat perlahan. Lalu berlutut di hadapannya. Mata mereka bertemu—mata Jihan merah, basah, kehilangan daya. Sementara mata Reynand menyimpan badai yang ditahan, amarah yang teredam, juga rasa bersalah yang tak bisa ditepis."Sayang ... jangan menangis lagi, kamu tidak sendirian," bisik Reynand serak, nyaris berbisik. Jihan menggeleng lemah. Ai
Bias cahaya lampu gantung jatuh samar ke lantai marmer, memantulkan siluet sepatu hak rendah yang gemetar. Di balik salah satu pintu bilik toilet, suara isakan tertahan terdengar pelan namun memilukan. Sesekali suara itu bergetar—rapuh, seperti benang kusut yang siap putus kapan saja.Jihan duduk di penutup kloset dengan lutut ditekuk, wajahnya terkubur dalam kedua telapak tangan. Bahunya naik turun, napasnya tercekik, dan tangisnya—meski diusahakan pelan—tak mampu ditahan. Bibirnya bergetar, dan kalimat-kalimat penuh kepedihan pun meluncur tanpa sadar dari mulutnya.“Aku tidak menjiplak ... sumpah demi Allah, bukan aku ....” suaranya gemetar, seperti ranting kecil digoyang angin badai. “Jangan ... jangan suspend aku ... kumohon ...”Air matanya jatuh deras, mengalir melintasi pipinya yang kini pucat. Matanya sembab, bibirnya kering. Ia bicara seolah sedang berdialog dengan takdir yang tiba-tiba menusuk dari belakang.Di luar, pintu utama toilet terbuka dengan bunyi klik pelan. Sepatu
Hening.Hanya suara detik jam digital dan desiran AC yang terdengar di ruang kerja Jihan. Matanya terpaku pada layar monitor, jari-jarinya bergerak ragu di atas mouse. Raut wajahnya tegang. Ia sedang menyusun laporan terakhir dari hasil analisis kebutuhan pasar yang ia serap selama dua bulan terakhir—hasil observasi dan diskusi diam-diam dari ruang-ruang pertemuan tempat ia selalu duduk sebagai pendengar diam. Ia tidak menonjolkan diri. Ia hanya menyimak, mencatat, lalu menyusun simpulan.Itu sebabnya Reynand dan tim pemilik proyek mempercayainya mengolah data lintas divisi—karena Jihan, tak seperti yang lain, tidak pernah menuntut sorotan.Namun hari itu, nalurinya terusik. Ada sesuatu yang tak sinkron dalam sistem. File mentah idenya yang ia simpan dalam folder terenkripsi... lenyap.Klik. Klik. Klik. Tidak ada.Napasnya sedikit tercekat. “Apa mungkin aku salah simpan?" Ia bergumam lirih. Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk cepat. Tak lama kemudian sosok itu masuk yang ternyata ad
Gedung Raicore Technology, Lantai 52Suara high heels Alira Rachman bergema di sepanjang lorong kaca, seperti palu hakim yang mengetuk palu vonis. Setiap langkahnya mengandung ritme yang tidak hanya menggetarkan ubin marmer, tapi juga menyiratkan sesuatu yang lebih gelap—sebuah keputusan yang telah bulat, tanpa ruang untuk negosiasi. Ia tak sekadar datang. Ia menyerbu.Penampilannya tampak seperti potongan dari halaman majalah mode ternama—gaun midi berwarna marun membungkus tubuh semampainya dengan presisi tajam, kontras dengan mantel panjang berwarna hitam yang berkibar setiap kali ia melangkah. Rambutnya ditata ketat, terikat tinggi, mempertegas rahangnya yang kaku dan ekspresi wajah tanpa cela: dingin, penuh kontrol, dan menyimpan bara yang belum padam.Ia tidak sekadar memancarkan aura kekuasaan. Ia adalah kekuasaan itu sendiri—berwujud dalam sosok wanita yang tahu apa yang ia inginkan, dan lebih tahu lagi cara mendapatkannya.Sesampainya di ruang eksekutif lantai atas, pintu ot
Begitu pintu rumah tertutup kembali setelah kepergian kedua orangtuanya, suasana seketika terasa lebih senyap, namun bukan berarti lebih tenang. Yang tersisa hanyalah denting waktu yang lambat, dan napas kecil di pelukan Reynand—napas Rangga yang belum juga kembali stabil. Tubuh mungil itu masih melekat erat pada dada ayahnya, seolah takut kehilangan tempat berlindung.Reynand tak bergeming. Bahkan tak sedikit pun menoleh ke arah pintu yang baru saja tertutup. Matanya hanya menatap rambut lembut putranya yang menyentuh dagunya. Tangannya terangkat pelan, membelai ubun-ubun Rangga dengan ritme penuh kasih, berusaha mengusir sisa takut yang mungkin masih bersarang di hati anaknya.“Tidak apa-apa, Nak,” bisiknya lembut, seperti doa yang terlepas dari relung paling dalam. “Ayah di sini.”Ia duduk perlahan di sofa, menggendong Rangga di pangkuannya, mendekapnya seperti menahan dunia agar tidak menyentuh bocah itu terlalu keras. Di balik pelukan itu, terbit sebuah rasa bersalah yang tak te