Sore mulai menua, cahaya jingga menyelinap lewat celah-celah kaca tinggi gedung lantai tiga. Kantor sudah hampir kosong, suara printer dan langkah kaki berganti dengan detak jam dinding yang tak tergesa.Di ruang pantry, Jihan masih duduk di kursi bar kecil, menggenggam cangkir teh yang kini hanya berisi ampas. Tangannya dingin, bukan karena cuaca—melainkan karena rasa yang belum sempat ia beri nama.Langkah itu datang tanpa suara. Tapi entah kenapa, Jihan tahu siapa yang datang bahkan sebelum ia menoleh.“Sudah waktunya pulang,” suara itu lembut, tapi dalam.Reynand berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja hitam yang lengan panjangnya telah digulung, seperti biasa saat bekerja serius. Hanya kali ini, ekspresinya tak setegang biasanya.Jihan tersenyum kecil. “Aku hanya ingin duduk sebentar. Rasanya baru sekarang aku bisa benar-benar menghela napas.”Reynand melangkah masuk. Ia tidak langsung duduk. Ia hanya bersandar di meja dekat Jihan, memandangi wajah perempuan yang hari ini bers
Keesokan harinya di lantai eksekutif perusahaan milik keluarga Reynand.Jam menunjukkan pukul 08.55. Tapi ruangan rapat utama sudah penuh. Kepala-kepala divisi, manajer senior, bahkan dua dewan pengawas sudah duduk dengan ekspresi penuh tanya. Tidak biasanya ada rapat mendadak dengan perintah langsung dari Reynand sendiri.Pintu ruang rapat terbuka dengan tenang. Reynand masuk, mengenakan setelan hitam klasik dengan dasi abu tua. Di belakangnya, melangkah seorang wanita dengan setelan krem elegan. High heels-nya berdetak pelan di lantai kayu, menandakan kehadirannya yang tak bisa diabaikan.Itu Jihan. Tapi kali ini—bukan sebagai istri atau kekasih tersembunyi. Melainkan sebagai rekan profesional. Reynand berdiri di depan layar presentasi, pandangannya menyapu seluruh ruangan.“Selamat pagi." Suara baritonnya khas, datar namun menguasai.“Terima kasih sudah datang. Hari ini, saya ingin menyampaikan dua hal penting.”Para manajer menoleh, siap mencatat. Reynand menatap mereka dengan eks
Jihan tercekat. Ia ingin menunduk, menyembunyikan wajahnya yang lemah dan basah. Tapi Reynand lebih dulu menangkup wajahnya dengan kedua tangan dan memaksanya menatap.“Mata kamu indah,” katanya pelan. “Sekalipun sedang menangis.”Air mata Jihan tumpah lebih deras. Ia menggigit bibir, menahan suara tangis yang nyaris meledak. Tapi Reynand tak berpaling sedikit pun. Tatapannya tenang, dalam, dan hangat seperti pelukan yang tak butuh kata-kata.“Kenapa kamu selalu menahan semuanya sendirian, Han?” tanyanya lirih, seolah pertanyaan itu bukan tuduhan, tapi pelukan yang lain—untuk luka yang belum berani disuarakan.Jihan terisak. “Karena aku nggak mau jadi beban siapapun, Mas.”Reynand menggeleng pelan, ibu jarinya menyeka air mata yang turun ke pipi Jihan. “Aku lebih takut kamu banyak diam, daripada kamu menyusahkan aku dengan kejujuranmu.”Jihan memejamkan mata, dan ketika membukanya lagi, wajah Reynand masih di sana—begitu dekat, begitu teduh. Ia merasa dadanya perlahan runtuh. Tak bisa
Jihan tercekat. Ia ingin menunduk, menyembunyikan wajahnya yang lemah dan basah. Tapi Reynand lebih dulu menangkup wajahnya dengan kedua tangan dan memaksanya menatap.“Mata kamu indah,” katanya pelan. “Sekalipun sedang menangis.”Air mata Jihan tumpah lebih deras. Ia menggigit bibir, menahan suara tangis yang nyaris meledak. Tapi Reynand tak berpaling sedikit pun. Tatapannya tenang, dalam, dan hangat seperti pelukan yang tak butuh kata-kata.“Kenapa kamu selalu menahan semuanya sendirian, Han?” tanyanya lirih, seolah pertanyaan itu bukan tuduhan, tapi pelukan yang lain—untuk luka yang belum berani disuarakan.Jihan terisak. “Karena aku nggak mau jadi beban siapapun, Mas.”Reynand menggeleng pelan, ibu jarinya menyeka air mata yang turun ke pipi Jihan. “Aku lebih takut kamu banyak diam, daripada kamu menyusahkan aku dengan kejujuranmu.”Jihan memejamkan mata, dan ketika membukanya lagi, wajah Reynand masih di sana—begitu dekat, begitu teduh. Ia merasa dadanya perlahan runtuh. Tak bisa
Senja baru saja turun, menyisakan langit jingga yang perlahan memudar di balik tirai ruang keluarga. Wangi masakan masih samar-samar tercium dari dapur, berpadu dengan harum kopi hangat yang baru saja diseduh. Reynand duduk santai di sofa, laptop menyala di pangkuannya, meski matanya lebih sering mencuri pandang ke arah jam dinding. Sesekali ia melirik pintu, berharap suara derit kunci segera terdengar.Dan harapannya terwujud.Klek.Pintu terbuka perlahan. Jihan masuk dengan langkah tenang, menenteng tas belanja kecil di tangan kanan dan menyampirkan tote bag di bahu kirinya. Wajahnya tenang, tapi tak seperti biasanya. Ada sorot sayu yang tak bisa ditutupi, meski senyum tipis masih tersungging di bibirnya.Reynand langsung bangkit. “Hei, sudah pulang.” Ia menghampiri, mencium kening Jihan sekilas. “Dari mana aja, hm?”Jihan meletakkan tas belanjanya di atas meja kecil dekat pintu. Gerakannya sedikit lambat, dan jawabannya terdengar pelan. “Ketemu Nayla. Teman lamaku. Dulu kami seperj
Senja mulai menjingga, membalut langit kota dengan rona lembut yang sendu. Cahaya keemasan memantul di permukaan jendela kafe, menciptakan guratan-guratan hangat di wajah Jihan yang sedang termenung, sementara uap kopi di depannya sudah mulai menipis.Nayla mengaduk minumannya perlahan, matanya tak lepas dari Jihan."Jihan." ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan."Hmm?" Jihan menoleh, sedikit terkejut karena suara itu terdengar begitu tulus."Boleh nggak kita bikin ini jadi rutinitas?"Nayla tersenyum, senyumnya lembut tapi mengandung sesuatu yang dalam—kerinduan, mungkin."Ini?" Jihan mengangkat alis. "Ngopi berdua gini maksudmu?""Ngopi. Ngobrol. Nggak usah topik berat. Bisa cerita soal kucing, kerjaan, bahkan soal penjual gorengan depan rumah. Pokoknya kamu nggak sendiri, Ji."Jihan terdiam. Kata-kata itu seperti embun di hati yang mengering. Tak mewah, tapi menghidupkan."Kamu tahu nggak," katanya pelan, "selama ini aku tuh kayak hidup di tengah keramaian, tapi merasa sepi. Rumahk