Langkah Reynand cepat dan berat. Dalam hitungan detik, ia sudah berdiri di depan sang detektif yang menunduk dengan wajah penuh rasa bersalah. Tanpa peringatan, Reynand menarik kerah jas pria itu dengan kasar.
"APA MAKSUDMU MENYERAH SEMUDAH ITU, HAH?! KAU TAU BERAPA UANG YANG KU KELUARKAN UNTUKMU?! BERBULAN-BULAN AKU MENUNGGU DAN SEKARANG KAU BILANG 'MENYERAH'?!" amuk Reynand menggertakkan gigi, matanya merah disertai urat-urat leher menegang. Sementara detektif yang dimarahinya hanya bisa terdiam, menerima serangan dengan tubuh gemetar dalam cengkeraman kemarahan. "Aku minta maaf, Rey." Hanya itu yang bisa Detektif Bryan ucapkan, dia benar-benar menyerah dan tak peduli konsekuensinya. Kian murka lah Reynand mendengarnya, rahangnya mengeras. Di bawah sana, tangannya mengepal erat dan hendak melayangkan sebuah tinju, tetapi gerakan itu menggantung di udara. Samar-samar terdengar desisan halus dari mulutnya. Besar keinginan Reynand untuk melampiaskan emosi lewat bogeman, tapi rasa tak tega menyelinap. Bagaimanapun juga, detektif itu sudah berusaha, dan tidak sepantasnya ia bertindak agresif. Akhirnya, Reynand melepaskan cengkeraman kerah dan mundur beberapa langkah. Dadanya naik-turun, lalu menghantamkan kepalan tangan ke dinding di sampingnya berkali-kali, hingga darah merembes dari buku-buku jari. "Sialan! Brengsek! Mati kau!" "Pak Rey! Sudah, Pak!" pekik Faris berusaha menghentikan. Awalnya cukup kesulitan karena Reynand masih membabi buta, tapi setelah beberapa saat ia tampak lebih tenang. Tak ada lagi suara gedebug yang terdengar. Reynand terdiam, matanya kosong menatap dinding yang ternodai darah. Tubuhnya limbung, seolah semua amarah dan kekuatan tadi menguap begitu saja. "Jangan berlebihan seperti ini, Pak. Ingat kata dokter." Faris kembali berkata, namun Reynand tetap diam. Ia duduk perlahan di lantai, pandangannya mulai buram oleh air mata. Tetapi bukan hanya itu, karena tiba-tiba rasa sakit menusuk dada kirinya, seperti ada yang menghimpit paru-paru dari dalam. “Ugh …!” "Pak?! PAK REYNAND!" pekik Faris langsung berlutut panik. Ia mencoba menopang tubuh bosnya yang kembali ambruk dengan dibantu detektif. "Ada apa dengan Pak Rey, Ris? Apakah beliau—" "Sesak .... A ... aku tidak bisa ... ber-napas," desis Reynand diantara hela yang terputus-putus, keringat dingin membanjiri pelipisnya disertai tubuh menggigil. "Pak Bryan, tolong bantu siapkan mobil. Kita tidak punya banyak waktu," minta Faris. "Pakai mobil saya saja, Ris. Ayo." Malam itu juga, mobil Detektif Bryan melaju kencang menembus jalanan sunyi. Faris memeluk tubuh Reynand yang semakin lemah di jok belakang, sambil terus memanggil nama bayinya lirih. Sesampainya di rumah sakit, dokter segera mengambil tindakan. Beberapa jam kemudian, kondisinya pun mulai membaik. Cahaya redup dari lampu sudut ruangan menyinari wajah pucat Reynand yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Selang infus menancap di pergelangan tangannya, sementara alat monitor detak jantung terus berbunyi pelan namun stabil. Pintu terbuka perlahan. Sosok berjas putih masuk dengan langkah mantap namun hati-hati. Dokter Ardiansyah, spesialis jantung yang beberapa waktu lalu Reynand kunjungi, mendekat dan menatap data dari alat pemantau. “Sudah siuman, Rey?" panggilnya pelan, menatap lelaki itu yang membuka mata dengan lemah. "Aku di mana?" Suara Reynand terdengar serak dan kering. “Di rumah sakit. Tadi malam kamu pingsan, dibawa masuk dalam keadaan sesak napas hebat dan tensi drop. Untung saja cepat ditolong,” jawab dokter Ardi sambil duduk di samping ranjang, memasang wajah serius. “Aku tidak apa-apa, hanya marah biasa. Rasanya dada ini penuh sekali, sulit untuk ditahan." Dokter Ardi menarik napas pelan, “Aku tahu kamu sedang dalam tekanan. Tapi kamu harus dengar ini baik-baik," ujarnya seraya membuka map dan menunjukkannya sebentar. “Hasil pemeriksaan menunjukkan kamu mengalami gejala angina pektoris tidak stabil. Itu kondisi serius. Kalau terus-terusan menahan emosi, stres berlebihan, meledak-ledak seperti kemarin, maka risiko serangan jantung sangat besar. Bisa fatal. Kamu sudah kehilangan banyak hal, Rey. Jangan biarkan tubuhmu ikut menyerah karena keadaan." Sunyi. Hanya suara monitor jantung yang terdengar. "Aku tidak menyerah, aku hanya marah karena mendengar jawaban detektif. Gara-gara pengunduran dirinya, aku semakin overthinking bahwa kesempatan menemukan bayiku memang tidak ada." Dokter Ardi menatapnya dalam-dalam, lalu berkata, “Jangan menyerah hanya karena satu orang yang mundur, kamu bisa mencari detektif baru atau koneksi-koneksi tertentu yang sekiranya dapat membantu. Dan untuk memperjuangkan itu, tubuh dan jiwamu harus bertahan." "Begini saja. Mulai besok, kita jalani terapi fisik ringan. Aku akan arahkan kamu ke psikolog trauma. Ini bukan hanya soal jantung, tapi luka yang belum sembuh." Perlahan, Reynand menoleh. Menatap sendu Dokter Ardi yang begitu tulus kepadanya. Dari banyaknya teman seperjuangan yang dimiliki, hanya Ardi lah yang selalu ada. "Terima kasih, Dok." "Ah, jangan terlalu formal kalau hanya berdua seperti ini," kekeh Dokter Ardi. ** Setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Reynand duduk bersandar di sofa yang menghadap langsung ke pemandangan luar. Tubuhnya terbungkus bayang-bayang kelam, tangan yang terbalut perban bergerak menekan kening, menahan denyut sakit yang seakan menari bersama sesak di dada. "Sudah cukup. Mungkin, memang sudah waktunya aku berhenti mencari," bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Ia memejamkan mata, mencoba memutar ulang segalanya. Dan saat itu, Reynand merasa kalah telah dipermainkan takdir, dibungkam waktu, dan dijauhkan dari satu-satunya hal yang ia perjuangkan. Detektif menyerah. Ibunya sendiri membungkam semua jalur pencarian. Dan dirinya? Kini hanya pecahan dari pria bernama Reynand. Tok. Tok. Tok. Ketukan pelan di pintu membuatnya kembali buka mata. "Masuk." Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Faris berdiri ragu di ambang pintu. Ada sesuatu dalam ekspresi pria itu yang tak biasa, seperti gugup yang ditahan. "Pak, maaf mengganggu. Aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi ... ada seseorang yang ingin bertemu," ucap Faris hati-hati. Reynand tak langsung merespons. Hanya matanya yang menatap Faris tajam. Beberapa detik kemudian, baru bersuara, "Siapa? Laki-laki atau perempuan?" “Seorang perempuan. Dia mengaku pernah magang di rumah sakit tempat Nyonya Livia dulu bersalin. Perempuan itu juga mengaku bahwa dia tahu sesuatu soal bayi, yang dibuang di hari yang sama." Sontak saja Reynand menegakkan tubuhnya, alisnya bertaut. "Apa maksudmu?" Tanpa diminta, Faris segera maju menyerahkan secarik kartu nama dan selembar kertas lusuh yang diremas. “Namanya Aluna. Katanya dia sudah lama ingin bicara, tapi baru berani sekarang." Deg. Dada Reynand seolah tertusuk sesuatu yang dingin dan panas sekaligus. Sepercik cahaya menyelinap di celah tergelap jiwanya. "Dia ada di bawah, tapi kalau Bapak belum mau bertemu, saya akan—" "Suruh dia menemuiku."Suasana kamar mereka malam itu begitu syahdu. Tirai tipis berwarna krem melambai perlahan tertiup angin malam yang menyusup dari celah jendela. Cahaya kuning keemasan dari lampu tidur menciptakan bayangan lembut di dinding, seolah turut menjaga keintiman dua insan yang baru saja diikat oleh janji suci.Reynand duduk bersandar di kepala ranjang, mengenakan piyama sutra berwarna gelap. Di sampingnya, Jihan tampak masih mengenakan gaun tidur panjang berwarna putih gading, duduk dengan tangan bertaut di pangkuannya. Wajahnya redup dalam diam, namun matanya menyiratkan perasaan yang tak mampu didefinisikan hanya dengan kata.“Malam ini terasa seperti mimpi,” gumam Reynand pelan, memecah keheningan.Jihan menoleh, bibirnya tersenyum tipis. “Jika ini mimpi, maka aku tak ingin terbangun.”Reynand menatap lekat wajah istrinya. Ada sesuatu yang damai dalam tatapan itu, sesuatu yang selama ini ia kejar namun baru benar-benar ia temukan malam ini—kehadiran yang tidak hanya diterima, tetapi juga m
Hari itu langit begitu bersih seakan mengerti bahwa bumi tengah menyambut satu janji suci yang tak main-main. Di sebuah gedung bergaya arsitektur klasik modern, berbalut putih gading dan sentuhan emas di setiap lengkungannya, acara pernikahan Reynand dan Jihan berlangsung dengan anggun, tanpa cela. Lantunan instrumental dari grand piano mengisi ruangan dengan melodi lembut yang menyatu dengan aroma bunga segar yang menguar dari setiap sudut ruangan.Para tamu datang dengan pakaian formal bernuansa nude dan pastel, menambah kesan teduh dan elegan. Meja-meja bundar berhias lilin kaca dan buket mawar putih dikelilingi oleh kursi dengan pita emas yang diikat rapi. Cahaya lampu gantung kristal menari pelan di langit-langit, menciptakan atmosfer yang tidak hanya mewah, namun juga menghangatkan hati siapa pun yang hadir.Di tengah sorotan lembut, berdirilah Reynand dengan jas abu tua yang menjulang gagah, berdasi hitam polos dan sepatu mengilap. Wajahnya tenang namun matanya memancarkan sin
Jihan terdiam. Suara di seberang tidak segera menjawab, tapi Reynand tidak bisa lagi menahan desakan dalam dadanya. Kalimat itu mengalir begitu saja—tanpa rencana, tanpa konsep, namun penuh dengan keyakinan yang telah tumbuh dari kegelisahan dan cinta yang tak lagi bisa ia sembunyikan."Menikah... minggu depan?" ulang Jihan lirih, seolah kalimat itu terlalu asing untuk dicerna dalam sekejap."Ya," ujar Reynand mantap, suaranya rendah namun tak bergetar. “Kita sudah terlalu lama menangguhkan kebahagiaan. Aku tidak ingin menunda lagi, Jihan. Bukan karena ingin terlihat sempurna di mata orang. Bukan karena tekanan dari siapa pun. Tapi karena aku tahu... kamu adalah rumahku. Dan aku ingin Rangga merasa aman berada dalam rumah itu.”Di seberang, Jihan mulai terisak lagi. Tapi tangis itu berbeda. Tangis kali ini seperti air yang menetes perlahan dari gelas yang terlalu penuh—bukan karena luka, tapi karena keharuan. Karena perasaan tidak percaya bahwa setelah semua badai, seseorang bisa masi
Telepon itu berdering begitu pelan, namun di tengah malam yang sunyi, suara itu terdengar seperti denting lonceng dari kejauhan yang menggema ke relung dada Reynand. Jantungnya seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik, lalu berdegup kencang, hampir tak tertahankan. Dengan sigap, ia meraih ponsel dari meja kecil di sisi ranjang, menekan tombol hijau, dan segera menempelkannya ke telinga.“Assalamu’alaikum...” Suara Jihan terdengar lirih, nyaris seperti bisikan yang retak oleh tangis yang tak jadi pecah.“Wa’alaikumussalam, Jihan...” jawab Reynand, suaranya serak, seolah ia baru saja menelan pil yang terlalu besar—pahit dan menyumbat tenggorokannya.Hening.Sejenak hanya suara napas yang terdengar dari dua sisi. Tidak berat, tidak pula tenang—gelisah dan canggung. Reynand menahan desakan untuk langsung bertanya banyak hal. Ia tahu, satu kata kasar saja akan membuat perempuan itu kembali menutup diri.“Terima kasih sudah menghubungiku,” ucap Reynand lembut, mencoba menjembatani
Langit malam menggantung kelam di atas rumah kecil bergaya minimalis milik Nayla. Lampu temaram dari ruang tengah menyorot samar bayangan dua wanita yang duduk berdekapan di atas sofa berlapis kain abu-abu. Aroma teh chamomile menyebar hangat, namun tak mampu menyamarkan hawa getir yang menguar dari tubuh Jihan yang gemetar dalam tangis.Tangis itu bukan sekadar sedih. Ia mengandung luka, sesak, dan ketakutan yang tak terucapkan selama ini."Aku... aku benar-benar tidak kuat, Nayla…" Jihan terisak, bahunya terguncang hebat. "Tadi... saat kami bermain, Rangga menatapku dengan matanya yang polos dan bertanya... 'Bunda, Bunda beneran Bunda Rangga?'” Suaranya pecah, lamat-lamat, seakan satu kata pun menambah beban di dadanya yang nyaris meledak.Nayla, yang sedari tadi duduk di sampingnya, hanya bisa merengkuh tubuh sahabatnya ke dalam pelukan. Dibelainya punggung Jihan pelan-pelan, penuh kelembutan, seperti menenangkan seorang anak yang terluka."Jihan... Rangga tidak bermaksud menyakiti
Langit mulai menggelap saat mobil Reynand berhenti di gang sempit yang penuh kenangan. Hujan belum turun, tapi awan kelabu menggantung berat di atas kepalanya, seolah ikut merunduk bersama dadanya yang sesak.Ia turun dari mobil, langkahnya terburu, hampir tersandung batu kecil yang mencuat di jalan tanah. Nafasnya memburu. Jaketnya hanya menggantung separuh bahu karena tergesa keluar rumah tadi.Matanya menyapu barisan rumah-rumah kontrakan di kiri jalan. Matanya menangkap satu pintu yang tak asing, berwarna biru pudar dengan bekas goresan di sisi kanan.Di situlah dulu Jihan tinggal. Sendirian. Mengasuh anak. Bertahan hidup. Tanpa siapa pun.Tangannya mengepal."Kenapa kamu balik ke tempat ini, Jihan? Kalau pun iya, kenapa kamu gak bilang?"Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kontrakan. Ia mengetuk cepat. Sekali. Dua kali.Tak lama, daun pintu terbuka, menampakkan wajah seorang wanita paruh baya yang sudah akrab di ingatannya."Bu Rani?" sapanya buru-buru, suaranya terdengar be