Share

Bab 7

Author: Melvii_SN
last update Last Updated: 2025-05-21 14:00:38

"Jihan? Kenapa bengong?" tegur Bu Rani ternyata mengikuti dari belakang.

Jihan menoleh, "I-itu Bu, saya cuma kaget lihat bos ada di depan kontrakan."

"Mana? Tidak ada tuh?"

Jihan pun terkejut saat melirik ke sana lagi, memang tidak ada siapa-siapa.

"Loh. Tadi ada kok, Bu. Beneran, saya lihat bos saya berdiri di—"

"Mending kamu cepat masuk dan istirahat, Han. Kamu pasti kecapean banget sampai berhalusinasi gitu," potong Bu Rani.

"I-iya, Bu."

Jihan pun segera masuk membawa perasaan campur aduk. Sesampainya di dalam kontrakan kecilnya, Jihan langsung duduk bersandar di tepi kasur tipis. Kemudian mengusap pipi mungil Baby Rangga yang menggeliat dalam pelukan.

Dalam dekapannya, Baby Rangga berusaha menyusu dengan mencekeram kain daster. Melihat itu, Jihan tersenyum meski hatinya seperti diremas, karena napas bayinya terdengar pendek-pendek, seperti sedang berjuang hanya untuk menghirup udara.

"Nak, tidak usah buru-buru. Minum susunya pelan-pelan aja, ya," bisiknya sambil mengelus lembut kepala Baby Rangga.

Namun, tak berselang lama bayi itu tersedak. Tubuh kecilnya menggeliat, terbatuk-batuk pelan. Bibir yang biasanya kemerahan, kini tampak pucat disertai napas memburu.

"Ya Allah, Rangga ... jangan gitu, Nak. Jangan bikin Bunda takut," panik Jihan langsung mengangkat tubuh bayinya ke bahu, menepuk-nepuk pelan punggung mungil itu.

Hingga tanpa sadar, air matanya jatuh membasahi pipi. Jihan mendekap Baby Rangga lebih erat, seolah ingin menyalurkan kekuatan hidup ke tubuh kecil putranya.

"Maaf, ya, Nak ... Bunda belum bisa bawa kamu ke rumah sakit lagi. Uangnya belum cukup. Bunda belum sanggup menghadapi konsekuensi seperti kemarin," ucapnya dengan suara bergetar.

Seakan mengerti kesedihan ibunya, Baby Rangga juga terisak, napasnya sesak. Setiap desahannya, terdengar seperti suara pisau yang menggores dada Jihan.

“Kenapa kamu harus lahir dengan penyakit kelainan jantung, sayang? Kenapa bukan orangtua yang tega membuang mu saja? Kamu masih bayi ... kamu belum tahu dunia ... belum tahu bahagianya hidup."

Beberapa menit setelah Baby Rangga tampak lebih tenang, dengan tangan gemetar Jihan kembali menyusui, berharap bayi itu masih cukup kuat untuk mengisap ASI-nya.

"Bunda janji, Bunda akan cari cara. Apa pun itu, menjual apa pun, kerja di mana pun, asal kamu sembuh, Nak. Bunda mohon jangan nyerah, ya ... jangan tinggalkan Bunda," lirihnya seraya mengecup kening Baby Rangga.

Samar, suara hujan mulai terdengar di luar, seolah langit ikut menangisi kehidupannya. Tapi Jihan tahu, tak ada hujan yang bisa menyembuhkan luka di dada bayinya, kecuali pertolongan nyata.

**

Di belahan bumi lain, Reynand duduk bersandar di kursinya, menatap layar ponsel yang menampilkan foto bayi. Jemarinya menyusuri wajah mungil di layar itu dengan pelan, seolah takut sentuhan terlalu keras akan membuat gambarnya lenyap.

Matanya nanar, dan benaknya perlahan disusupi kenangan yang begitu menyakitkan.

"Oeeeek ... Oeeek ... Oeeek ..."

Tangis bayi itu kembali terngiang di telinga, seolah baru kemarin ia mendengarnya untuk pertama kali.

Wajah istrinya yang tampak pucat, keringat membanjiri pelipis, tapi tetap menyunggingkan senyuman lemah setelah berhasil memberikan gelar baru untuknya.

Reynand yang menemani, langsung menggenggam tangan istrinya erat-erat. Hatinya diliputi rasa syukur, sebab mimpi untuk menyandang status 'ayah' telah terkabul.

"Terima kasih, Sayang. Terima kasih," bisiknya lembut, lalu mengecup kening sang istri yang basah oleh keringat, "Kamu benar-benar mengabulkan keinginanku."

"Sama-sama, Mas. Aku juga senang sekali, karena bisa melahirkan normal," jawab perempuan bernama Livia itu diakhiri senyum lemah.

"Kamu luar biasa," bisik Reynand lagi, matanya berkaca-kaca. "Hm, apa nama yang akan kamu beri untuk bayi kita?"

"Aku mengikut Mas aja, aku cuma pengen kita foto bertiga untuk kenang-kenangan."

"Baiklah, aku akan memberinya nama Rangga Wiranu Davidson," ucap Reynand dan disetujui oleh Livia.

Lalu mereka pun foto bersama dengan bantuan suster yang mengambil gambar.

Malam itu, Reynand memutuskan untuk tetap di rumah sakit, menemani Livia dan buah hati mereka. Ia sempat tertidur di kursi penjaga, tubuhnya kelelahan setelah seharian berjaga. Namun, ketika terbangun dunia seolah runtuh. Ranjang bayinya kosong.

"Dimana bayiku?!" Reynand berdiri tergagap, matanya liar mencari, "Suster! Di mana bayi saya? Bukankah tadi dia di dalam box ini? Kenapa sekarang kosong?!"

Perawat yang ditanya terlihat panik mendengar nada tinggi Reynand, seorang dokter datang berusaha menenangkan tapi tidak berhasil.

"Dimana anak saya, Dok?! Tadi dia di sana! Kenapa sekarang tidak ad—"

"Jangan cari bayi itu lagi, Reynand! Itu yang terbaik untuk keluarga kita!"

Sebuah suara lantang, dingin, dan kejam memotong ucapan Reynand, tidak lain ialah Hera, ibunya.

"Mama?" Reynand berbalik dan tak percaya, "Jadi Mama yang mengambil bayiku? Kenapa, Ma? Apa salah bayiku?!"

"Dia bukan bagian dari kita, Reynand! Kamu sendiri tahu keluarga Davidson tidak sudi punya keturunan yang mengidap penyakit jantung! Bayi itu cacat! Daripada suatu saat membawa kesialan, lebih baik disingkirkan dari sekarang!"

Wajah Reynand memerah, napasnya memburu, kepalan tangannya gemetar, "Mama tidak layak disebut orangtua! Katakan! Dimana Mama membuang bayiku?! Katakan, Ma!!!!"

"Mama tidak peduli! Mama buang dia ke dalam tong sampah lengkap dengan surat hasil pemeriksaannya! Mungkin sekarang dia sudah di TPA ... mati tertimbun sampah, dan itulah tempat yang pantas!"

"MAMAAAAA!!!" Reynand meraung, tubuhnya mengguncang hebat oleh amarah. "Aku kecewa! Aku akan cari bayiku, sampai ketemu! Sampai kapan pun!"

Bruk!

Semua menoleh ke arah pintu. Di sana, Livia terjatuh. Wajahnya pucat, tubuhnya kejang-kejang, napasnya sesak mendengar percakapan mereka.

Kian terluka lah hati Reynand melihatnya, ia langsung menopang sambil mengguncang tubuh sang istri. "LIVIA!! Livia, bangun, Sayang! LIVIAAAA!"

"Maaf, Pak. Nyonya Livia Pendarahan, tekanan darahnya drop. Kami akan membawanya ke ICU sekarang!"

Reynand terdiam kaku, tangannya gemetar saat membiarkan istrinya dibawa keluar, meninggalkan jejak darah di lantai. Setelah 20 menit menunggu, seorang dokter keluar dengan wajah muram.

"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Bu Livia mengalami shock hemorrhagic akibat pendarahan hebat. Kami tidak bisa menyelamatkannya …. Saya turut berduka, Pak Reynand.”

Detik itu juga Reynand merasa dunia sungguh tidak adil. Dalam waktu kurang dari 24 jam, ia kehilangan segalanya. Anaknya, dan cinta sejatinya.

Dan sejak itu pula, Reynand pergi meninggalkan rumah, tak pernah kembali. Ia memilih hidup dalam pengasingan, memutus semua hubungan dengan keluarga, terutama ibunya.

Namun, kesedihan tak membuatnya menyerah. Ia bangkit. Setiap hari dijalani untuk satu tujuan, menemukan darah dagingnya kembali.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan pintu sukses menyadarkan Reynand dari lamunannya. Ponsel di tangan terjatuh ke pangkuan, layar masih menampilkan foto bayi mungil yang tak pernah ia lupakan.

"Masuk."

Pintu terbuka, menampakkan sosok Faris yang berdiri kaku di ambang pintu, ekspresi wajahnya seperti menyimpan sesuatu yang berat.

"Maaf, Pak. Aku tidak bermaksud mengganggu," ujar Faris, melangkah masuk perlahan, kemudian menutup pintu di belakangnya.

"Ada apa?"

"Itu, aku baru saja diberitahu detektif swasta, yang Bapak tugaskan untuk mencari keberadaan Baby Rangga."

Reynand menegang, tampak tidak sabar, "Lalu?"

Faris terlihat ragu, seperti sedang memilih kata-kata yang paling aman. "Beliau menyerah, Pak. Sudah lima bulan beliau menelusuri setiap kemungkinan. Rumah sakit, panti asuhan, catatan adopsi ilegal ... tapi hasilnya nihil. Semua jalur susah buntu."

"Dimana detektif itu sekarang?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 80

    Jihan terdiam. Suara di seberang tidak segera menjawab, tapi Reynand tidak bisa lagi menahan desakan dalam dadanya. Kalimat itu mengalir begitu saja—tanpa rencana, tanpa konsep, namun penuh dengan keyakinan yang telah tumbuh dari kegelisahan dan cinta yang tak lagi bisa ia sembunyikan."Menikah... minggu depan?" ulang Jihan lirih, seolah kalimat itu terlalu asing untuk dicerna dalam sekejap."Ya," ujar Reynand mantap, suaranya rendah namun tak bergetar. “Kita sudah terlalu lama menangguhkan kebahagiaan. Aku tidak ingin menunda lagi, Jihan. Bukan karena ingin terlihat sempurna di mata orang. Bukan karena tekanan dari siapa pun. Tapi karena aku tahu... kamu adalah rumahku. Dan aku ingin Rangga merasa aman berada dalam rumah itu.”Di seberang, Jihan mulai terisak lagi. Tapi tangis itu berbeda. Tangis kali ini seperti air yang menetes perlahan dari gelas yang terlalu penuh—bukan karena luka, tapi karena keharuan. Karena perasaan tidak percaya bahwa setelah semua badai, seseorang bisa masi

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 79

    Telepon itu berdering begitu pelan, namun di tengah malam yang sunyi, suara itu terdengar seperti denting lonceng dari kejauhan yang menggema ke relung dada Reynand. Jantungnya seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik, lalu berdegup kencang, hampir tak tertahankan. Dengan sigap, ia meraih ponsel dari meja kecil di sisi ranjang, menekan tombol hijau, dan segera menempelkannya ke telinga.“Assalamu’alaikum...” Suara Jihan terdengar lirih, nyaris seperti bisikan yang retak oleh tangis yang tak jadi pecah.“Wa’alaikumussalam, Jihan...” jawab Reynand, suaranya serak, seolah ia baru saja menelan pil yang terlalu besar—pahit dan menyumbat tenggorokannya.Hening.Sejenak hanya suara napas yang terdengar dari dua sisi. Tidak berat, tidak pula tenang—gelisah dan canggung. Reynand menahan desakan untuk langsung bertanya banyak hal. Ia tahu, satu kata kasar saja akan membuat perempuan itu kembali menutup diri.“Terima kasih sudah menghubungiku,” ucap Reynand lembut, mencoba menjembatani

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 78

    Langit malam menggantung kelam di atas rumah kecil bergaya minimalis milik Nayla. Lampu temaram dari ruang tengah menyorot samar bayangan dua wanita yang duduk berdekapan di atas sofa berlapis kain abu-abu. Aroma teh chamomile menyebar hangat, namun tak mampu menyamarkan hawa getir yang menguar dari tubuh Jihan yang gemetar dalam tangis.Tangis itu bukan sekadar sedih. Ia mengandung luka, sesak, dan ketakutan yang tak terucapkan selama ini."Aku... aku benar-benar tidak kuat, Nayla…" Jihan terisak, bahunya terguncang hebat. "Tadi... saat kami bermain, Rangga menatapku dengan matanya yang polos dan bertanya... 'Bunda, Bunda beneran Bunda Rangga?'” Suaranya pecah, lamat-lamat, seakan satu kata pun menambah beban di dadanya yang nyaris meledak.Nayla, yang sedari tadi duduk di sampingnya, hanya bisa merengkuh tubuh sahabatnya ke dalam pelukan. Dibelainya punggung Jihan pelan-pelan, penuh kelembutan, seperti menenangkan seorang anak yang terluka."Jihan... Rangga tidak bermaksud menyakiti

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 77

    Langit mulai menggelap saat mobil Reynand berhenti di gang sempit yang penuh kenangan. Hujan belum turun, tapi awan kelabu menggantung berat di atas kepalanya, seolah ikut merunduk bersama dadanya yang sesak.Ia turun dari mobil, langkahnya terburu, hampir tersandung batu kecil yang mencuat di jalan tanah. Nafasnya memburu. Jaketnya hanya menggantung separuh bahu karena tergesa keluar rumah tadi.Matanya menyapu barisan rumah-rumah kontrakan di kiri jalan. Matanya menangkap satu pintu yang tak asing, berwarna biru pudar dengan bekas goresan di sisi kanan.Di situlah dulu Jihan tinggal. Sendirian. Mengasuh anak. Bertahan hidup. Tanpa siapa pun.Tangannya mengepal."Kenapa kamu balik ke tempat ini, Jihan? Kalau pun iya, kenapa kamu gak bilang?"Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kontrakan. Ia mengetuk cepat. Sekali. Dua kali.Tak lama, daun pintu terbuka, menampakkan wajah seorang wanita paruh baya yang sudah akrab di ingatannya."Bu Rani?" sapanya buru-buru, suaranya terdengar be

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 76

    Jihan terdiam. Suara tawa yang sejak tadi memenuhi ruangan kini menguap, digantikan senyap yang mencekam dan aneh. Pertanyaan polos itu, yang terucap ringan dari bibir mungil Rangga, menghantamnya lebih keras dari pukulan mana pun."Bunda beneran Bunda Rangga?"Tidak ada yang salah dengan pertanyaannya. Tidak ada nada tuduh, tidak ada makna tersembunyi. Tapi di telinga Jihan, itu terdengar seperti dunia yang menanyakan hakikat dirinya. Menanyakan keberadaannya. Menanyakan apakah cinta yang ia berikan selama ini sah?Ia menunduk, memandang wajah polos Rangga yang penuh harap menanti jawaban. Jihan ingin menjawab “ya,” ingin memeluk anak itu dan meyakinkan bahwa dirinya adalah tempat paling aman di dunia ini. Tapi suara itu tak sanggup keluar. Tenggorokannya tercekat. Jiwanya gamang.Air matanya tak tumpah, tapi dadanya basah oleh duka yang tak memiliki bentuk."Rangga masih kecil, dia tidak tahu," batinnya mencoba menenangkan diri. Tapi justru karena Rangga masih kecil, karena ia belu

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 75

    Riko membuka map di tangannya—memperlihatkan beberapa lembar bukti cetak dan dokumen digital yang ia lampirkan. Ia menarik napas sebelum menjelaskan."Berdasarkan hasil penyelidikan lanjutan yang saya lakukan bersama tim, kami menemukan beberapa hal yang mencurigakan terkait penyebaran isu plagiarisme terhadap Ibu Jihan."Reynand mengangguk pelan, menyimak dengan saksama."Awalnya, kami kira penyebar isu ini hanyalah akun-akun anonim biasa. Namun setelah kami telusuri lebih dalam, ternyata terdapat pola konsisten pada waktu unggahan, gaya bahasa, serta kemiripan struktur konten yang disebarkan. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka tidak bekerja sendiri, melainkan terorganisir."Ia menyodorkan satu lembar grafik pada Reynand, "Dari penelusuran alamat IP serta riwayat perangkat, ditemukan bahwa sebagian besar aktivitas berasal dari satu kelompok jaringan yang saling berkaitan. Bahkan, kami mendapati salah satu akun tersebut memiliki koneksi transaksi digital dengan nama yang tidak asing

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status