Share

Sejuta fikiran
Sejuta fikiran
Penulis: Rinipus

Bab 1

Darr

Ledakan besar dengan api yang mulai bergejolak. Jeritan penumpang menggema meminta tolong. 

Pesawat jatuh kedalam laut menghilangkan api yang berkobar. 

Dar

Ledakan sekali lagi menyemburkan air dengan serpihan rangka yang bergelimpangan. Mayat berserakan dibawah air biru yang terdalam.

Senyum langka terbit dari arah langit. Menatap dengan puas apa yang telah dikerjakan. Pergi terbang membawa raga menjauh dari perairan.

*

Mata mengarah ke cermin besar yang ada dihadapan. Menatap wajah merah yang sudah mengeluarkan air mata berkali-kali.

Kehilangan seseorang memang menyakitkan. Tapi apakah pernah kau merasakan kehilangan hewan yang kau sayang? 

Mati mengenaskan di depan mata kepala. Berdarah dan tercabik seperti di makan binatang buas.

Rasa sesak mendominasi. Itu yang dirasakan wanita berparas cantik ini.

Berjam-jam hanya menangisi hewan kesayangan yang mati dengan tragis.

hiks hiks 

Argebi, wanita berkulit putih dengan sedikit luka bakar yang terlihat jelas di pipi kanannya.

Berjalan pergi kebelakang rumah untuk melihat makam marmut peliharaannya. Gundukan tanah kecil yang diberi buket bunga dan foto yang sudah di cuci.

Gila? tidak. Dia hanya terlalu sayang dengan hewan itu. Tidak rela jika kehilangan apalagi dengan cara yang mengenaskan.

Argebi melihat langit yang mulai tidak memancarkan cahaya matahari. Awan hitam mengepul siap untuk mengeluarkan gumpalan kecil air yang akan ditembakkan kebumi.

Kecil hingga besar. Sampai air terasa sakit jika menyentuh kulit. Angin bada melempar dedaunan yang masih terikat oleh pohon. Argebi masuk kedalam rumah memandang suasana dari jendela.

Asap hitam mengepul mengelilingi luar. Tampak seperti orang yang berterbangan tapi berbentuk uap.

Ctar

Petir menyambar, kilat menyilaukan. Gebi menutup tirai jendela berharap dunia akan bail-baik saja.

Naik ke kasur dengan sedikit suara gemercik kayu. Duduk disana seraya berkomat kamit menatap lurus dengan pandangan kosong.

Lagi. Gebi gila? tidak.

Dia tau apa yang akan terjadi. Semua ada didalam otaknya. Tapi tidak bisa dikatakan pada siapapun. Bukan tidak mau, tapi tidak akan ada yang percaya.

.

Argebi terbangun kala alaram yang dipasang bergetar memekakan telinga. Terduduk dengan spontan dan langsung berlari kearah jendela.

Membuka kaitan penutup dan menatap luar. Cuara mendung dan udara dingin karena hujan baru saja reda.

Argebi bergegas untuk mandi dan menyiapkan sarapan. Karena pagi ini dia akan kesekolah.

Bunyi denting sendok yang bertubrukan dengan piring bergema di kesunyian tempat tinggalnya.

Argebi gadis cantik yang tinggal sendiri. Tanpa keluarga dan orangtua, dia anak yang mandiri. Bukan merantau tapi keluarganya sudah lama pergi meninggalkan untuk selama lamanya.

Tragedi pesawat jatuh menewaskan seluruh keluarganya. Tapi dia selamat, itu yang masih di sesali nya sampai sekarang. 

Jika ia tau hidupnya tidak akan baik-baik saja. Maka kala itu ia akan memilih untuk mati bersama mereka.

Argebi mengelap bibirnya yang tersisa makanan. Sudah selesai bersiap, lalu pergi keluar.

Berjalan ke halte dengan tenang. Wanita ini mempunyai sifat yang teramat tenang, cenderung tidak terburu-buru.

Argebi melihat beberapa orang yang berlalu lalang. Mungkin karena hari yang mendukung untuk bermalas malasan. Jadi tidak ada yang berada diluar.

Argebi memakai masker. Karena ia menutupi wajahnya yang lebam karena luka bakar. Hanya tidak nyaman ditatap oleh banyak orang, apalagi cuma karena cacat dibagian wajah.

Argebi malas mengurusi orang bertanya tentang wajahnya ini. Karena menurutnya itu hanya membuat memori lama terbuka kembali.

Bis berhenti. Argebi menaiki dan langsung mendapati tempat duduk. Karena posisi sedang sepi

"Apa kau ingin kue?" Seorang lelaki duduk disamping Argebi dan menawarinya makanan. 

Argebi menatap sekilas dan menggeleng.

"Lalu, buah?" Tidak habis fikir lelaki itu tidak menyerah, terus menawarkan segala hal yang Argebi tidak inginkan.

"Tidak"Singkat Argebi mengayunkan tangan keudara untuk menolak

"Yakin?"

Gebi menatap lelaki di sampingnya. Seragam yang sama,itu artinya mereka satu sekolah. Tapi Gebi tidak tau. Tentu, karena Gebi hanyalah anak pendiam yang tidak banyak bicara apalagi dalam hal bergaul.

"Aku anak sekolah kita"

"ya"

"Aku ketua osis"

"mengada"

Gebi tau betul ketua osis di sekolahnya. Walau dia tidak bergaul setidaknya dia masih update dalam hal organisasi disekolah.

"Kalau tidak percaya,tanya saja dengan Mr.yante"

Argebi melototkan mata. Guru yang disebutkan olehnya sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Itu artinya lelaki ini jauh lebih kudet dari dirinya. (kurang update)

"Shutt, dia sudah tiada" Tegur Gebi tegas.

Dia tertawa dengan keras sampai membuat penumpang lainnya menatap kearah kami. Aku menundukkan kepala tanda meminta maaf

"Kau membuat malu"

"Tidak perduli"

Dia pergi mendahului, karena Bis sudah berhenti. Di sekolah SMAdra tapasty.

Argebi ikut turun. Saat ingin membayar, supir menggeleng keras dan menyuruhnya keluar cepat.

Dan pergi dengan kecepatan sedang. Argebi menatap uang ditangannya dan memasukkan kembali kesaku baju.

Menatap pagar sekolah. Ia heran, mengapa masih sepi. Padahal sudah lumayan siang.

Ruang pos satpam pun kosong. Tidak biasanya.

Lelaki tadi berdiri dilantai dua. Menatap Gebi dengan seksama. 

Bruk

Argebi menutup mulut dengan tangan. Kaget dengan segala yang dilihatnya

Bunuh diri. Didepan wajahnya.

Darah bergelimpangan. Dengan keadaan mengenaskan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status