Beranda / Rumah Tangga / Sekeping Hati yang Bertahan / Bab 2: Di Balik Senyum dan Kata

Share

Bab 2: Di Balik Senyum dan Kata

Penulis: Le Vant
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-14 14:53:26

Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang terasa sama. Wulan selalu bangun lebih awal dari yang lain, memastikan semuanya siap sebelum Dimas berangkat kerja. Sejak menikah, itulah perannya: istri yang berbakti, penuh perhatian, dan siap melayani. Namun, ada perasaan yang perlahan mulai muncul di dalam hatinya. Sebuah perasaan tidak nyaman, sebuah pertanyaan yang belum berani ia ungkapkan bahkan kepada dirinya sendiri. Ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali tipis, menjaga keseimbangan antara harapan dan kenyataan.

Pagi itu, seperti biasa, ia menyiapkan sarapan. Suara dentingan wajan dan aroma kopi segar memenuhi dapur kecil yang hangat. Saat ia sibuk menata piring di meja makan, Ana muncul dari kamar dengan wajah sedikit kusut. Ana, seperti biasanya, lebih suka tidur larut malam dan bangun ketika semua hal sudah hampir selesai.

"Selamat pagi, Mbak," sapa Ana dengan suara yang terdengar sedikit enggan. "Nasi goreng lagi, ya?"

Wulan menoleh dan tersenyum. "Iya, Ana. Kamu mau telur atau tambah sambal?"

Ana hanya mengangkat bahu dan duduk di meja. "Telurnya jangan terlalu matang, ya. Aku tidak terlalu suka yang keras."

Komentar sederhana itu seharusnya terdengar biasa. Namun, Wulan merasakan ada sesuatu di baliknya. Ada nada dingin, seolah-olah setiap permintaan yang diajukan Ana adalah sebuah kewajiban, bukan permintaan penuh rasa hormat. Wulan menahan napas sejenak, lalu melanjutkan memasak tanpa mengucapkan apa pun. Ia terbiasa dengan komentar seperti itu—komentar kecil yang seolah-olah tidak berarti, tetapi cukup membuat hatinya berdesir.

Setelah sarapan, Dimas muncul dengan senyum lebar di wajahnya. Pagi itu, ia terlihat lebih segar daripada biasanya. "Wulan, hari ini ada rapat penting, tapi setelah itu mungkin aku bisa pulang lebih awal. Kita mungkin bisa makan malam di luar?" tawarnya sambil merapikan dasinya.

Wulan menatap suaminya dengan penuh kasih. Di hadapan Dimas, ia merasa semuanya akan baik-baik saja. "Aku senang sekali kalau bisa makan di luar. Sudah lama kita tidak jalan-jalan berdua," jawab Wulan dengan senyum hangat.

Namun, di tengah obrolan mereka, Wulan menangkap sekilas pandang dari Ana. Mata Ana berkilat sejenak, ekspresinya sulit diartikan. Ada sesuatu dalam tatapan adik iparnya yang membuat Wulan merasa seakan-akan dia sedang dinilai—seakan apa pun yang dilakukannya salah di mata Ana. Wulan memilih untuk mengabaikannya dan melanjutkan percakapan dengan Dimas.

Setelah beberapa saat, Dimas pun pergi ke kantor. Seperti biasa, ia mencium kening Wulan dengan lembut sebelum berangkat. "Jaga diri baik-baik, ya," katanya. Saat pintu menutup dan suara deru mobil Dimas mulai menjauh, suasana rumah kembali berubah.

Wulan melanjutkan pekerjaannya, membersihkan meja, mencuci piring, dan membereskan dapur. Di belakangnya, Ana berjalan melintasi ruang tamu dengan langkah malas. Ibu mertua Wulan belum turun dari kamar, mungkin masih sibuk dengan hal-hal lain. Sementara itu, Wulan terus bergerak, seperti biasa, menyelesaikan pekerjaannya tanpa suara.

Beberapa jam kemudian, ketika Wulan sedang membersihkan lantai ruang tamu, ia mendengar suara ibu mertuanya turun dari tangga. Ibu Dimas selalu tampil rapi, dengan gaun elegan dan rambut yang ditata sempurna. Wajahnya yang dingin dan tegas mencerminkan kepribadian yang perfeksionis, selalu ingin segala sesuatunya terlihat sempurna, termasuk menantu yang ia pilih untuk anaknya.

"Wulan, bisa kamu panggil tukang kebun untuk merapikan taman belakang? Aku lihat rumputnya mulai tumbuh terlalu panjang. Rumah ini harus tetap rapi, ya. Lagipula, Dimas sudah bekerja keras untuk kita semua," ucapnya dengan nada yang seolah memerintah, tetapi disamarkan dengan perhatian.

Wulan menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menatap ibu mertuanya dengan lembut. "Baik, Bu. Nanti saya hubungi tukang kebun."

Ibu mertua Wulan mendesah kecil, seolah tidak sepenuhnya puas dengan jawaban Wulan. "Dan jangan lupa, kalau bisa, kamu pastikan juga kamar tamu selalu bersih. Kita tidak pernah tahu kapan tamu penting bisa datang, kan?"

Meski permintaan itu terdengar masuk akal, Wulan merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar arahan biasa. Seolah-olah setiap langkahnya dipantau, setiap tugas yang ia lakukan harus selalu sempurna, tanpa celah sedikit pun. Wulan mengangguk dengan sopan, meski di dalam hatinya, ia mulai merasakan kelelahan yang perlahan menumpuk.

"Aku juga mau kamarku dibersihkan nanti, Mbak," Ana menambahkan dari sudut ruangan sambil menatap layar ponselnya. "Tapi tolong jangan terlalu lama, soalnya nanti aku ada rapat Zoom."

Wulan menelan komentar itu tanpa protes. Ia tahu bahwa mengeluh tidak akan membawa perubahan apa pun. Sebagai istri yang baik, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk melakukan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin.

Siang itu, setelah semua tugas rumah selesai, Wulan duduk sejenak di ruang tamu. Hatinya terasa penuh, meski ia tidak bisa menjelaskan apa yang mengganggunya. Ia mencintai Dimas, itu tidak pernah diragukan. Tapi mengapa rasanya begitu berat menjalani hari-hari seperti ini? Mengapa ada perasaan bahwa ia selalu harus membuktikan sesuatu, selalu harus berusaha keras untuk diterima?

Wulan memandang jendela, melihat taman belakang yang kini mulai tertutupi bayangan pepohonan. Sejak menikah, ia sudah menyesuaikan hidupnya dengan ritme keluarga Dimas. Dulu, sebelum menikah, ia adalah seorang wanita mandiri yang mengelola hidupnya dengan caranya sendiri. Namun, sekarang, segalanya terasa berbeda.

Di rumah besar ini, ia merasa kecil. Seolah identitasnya hanya ditentukan oleh bagaimana ia melayani keluarganya, bagaimana ia menjaga rumah ini tetap rapi, dan bagaimana ia memenuhi ekspektasi ibu mertuanya. Tidak ada ruang untuk dirinya sendiri, untuk mimpinya, atau bahkan sekadar waktu untuk berhenti sejenak dan menghirup napas dalam-dalam.

Namun, Wulan berusaha mengabaikan perasaan itu. Ia tidak ingin terlihat lemah, apalagi di mata ibu mertuanya dan Ana. Bagi mereka, Wulan harus menjadi istri yang sempurna, menantu yang sempurna, tanpa cela.

Sore itu, Dimas pulang lebih awal seperti yang ia janjikan. Wulan menyambutnya di depan pintu dengan senyum lebar, berusaha menyembunyikan kepenatan yang mulai menyerangnya. "Mas pulang cepat," katanya sambil memeluk Dimas dengan lembut.

"Iya, rapatnya selesai lebih cepat dari yang aku duga. Jadi kita bisa makan malam di luar, ya?" jawab Dimas sambil tersenyum, membalas pelukan istrinya.

Kehadiran Dimas selalu membawa kehangatan bagi Wulan, meski di balik senyum itu, Wulan tahu ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan dari suaminya. Sesuatu yang perlahan-lahan mulai menggerogoti hatinya. Tapi ia tidak pernah ingin membebani Dimas dengan masalah-masalah kecil seperti ini. Wulan tahu betapa kerasnya Dimas bekerja, dan ia ingin menjaga kedamaian rumah tangga mereka.

Malam itu, mereka pergi makan malam di sebuah restoran kecil yang nyaman, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama sebelum menikah. Di sana, di bawah cahaya lilin yang redup, Wulan merasakan sejenak kebahagiaan yang hampir ia lupakan. Bersama Dimas, segalanya terasa lebih mudah. Namun, jauh di dalam hatinya, Wulan tahu bahwa kehidupan nyata tidak selalu seindah malam ini. Ada masalah-masalah yang masih harus ia hadapi, dan semakin hari, masalah itu terasa semakin mendesak.

Namun, untuk malam ini, Wulan memilih untuk menunda kekhawatiran itu. Ia akan menikmati waktu bersama Dimas, berharap bahwa esok hari, semuanya akan terasa lebih baik.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 176: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Keesokan harinya, setelah merayakan keberhasilan mereka, Wulan terbangun dengan perasaan segar. Namun, saat menyiapkan sarapan, bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya. Ia teringat pada perlakuan dingin keluarga Dimas, yang tak kunjung hilang dari ingatannya. Bagaimana mereka selalu terlihat baik di depan Dimas, sementara di belakangnya, mereka memperlakukannya dengan sinis.Saat Dimas masuk ke dapur, Wulan berusaha menyembunyikan pikirannya. “Selamat pagi! Apa kamu siap untuk hari ini?” tanya Dimas dengan semangat.“Selamat pagi. Tentu saja, aku sudah menyiapkan rencana kerja untuk minggu ini,” jawab Wulan, berusaha menunjukkan antusiasme.Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk mengunjungi lokasi pelatihan mereka. Wulan merasakan semangat di dalam dirinya. Namun, saat mereka melangkah keluar, matanya tertangkap oleh sosok familiar yang melintas di jalan. Itu adalah Ibu Dimas, berjalan dengan angkuh, seolah tak pernah melihat mere

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 175: Langkah Menuju Impian

    Hari-hari setelah presentasi itu menjadi lebih dinamis bagi Wulan dan Dimas. Mereka berdua semakin sering berdiskusi tentang rencana masa depan usaha pelatihan yang mereka jalankan. Wulan merasa optimis, namun di sisi lain, bayang-bayang keraguan dan ketidakpastian masih menghantui pikirannya.Suatu pagi, saat mereka duduk di meja makan, Dimas terlihat lebih bersemangat dari biasanya. “Aku mendapat kabar baik! Salah satu sponsor besar ingin bertemu dengan kita,” katanya dengan senyum lebar.Wulan menatap Dimas dengan rasa ingin tahu. “Sponsor besar? Siapa mereka?”“Perusahaan alat olahraga terkenal. Mereka tertarik untuk mendukung program kita,” Dimas menjelaskan, matanya berbinar. “Ini kesempatan bagus untuk mengembangkan usaha kita lebih jauh.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Meskipun senang dengan berita ini, ketakutan akan penolakan masih ada. “Tapi, apa mereka benar-benar tertarik pad

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 174: Menghadapi Kebenaran

    Hari-hari setelah acara presentasi itu membawa perubahan yang signifikan bagi Wulan. Keluarga Dimas, terutama ibunya, mulai menunjukkan tanda-tanda ketertarikan terhadap program pelatihan yang dijalankannya. Wulan merasa sedikit lega, tetapi di sudut hatinya, dia tahu bahwa ini baru permulaan.Dimas mendukung penuh setiap langkah Wulan. Dia sering pulang lebih awal dari kerja untuk membantu Wulan mempersiapkan sesi pelatihan berikutnya. “Aku ingin memastikan bahwa semua orang di keluarga kita melihat betapa pentingnya ini,” kata Dimas dengan semangat.Suatu malam, setelah makan malam, Wulan dan Dimas duduk di sofa, membahas langkah selanjutnya. “Sayang, bagaimana kalau kita mengadakan sesi khusus untuk keluarga? Aku ingin mereka merasakan langsung dampak dari apa yang kita lakukan,” usul Wulan.Dimas mengangguk, “Itu ide yang bagus! Mungkin kita bisa mengundang mereka ke sesi pelatihan berikutnya dan menunjukkan bagaimana peserta be

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 173: Terjebak dalam Jaringan Harapan

    Keesokan harinya, Wulan merasa bersemangat. Dia sudah merencanakan sesi pelatihan baru yang berfokus pada keterampilan kewirausahaan. Dia ingin peserta merasakan langsung bagaimana memulai usaha mereka sendiri, bahkan dari hal-hal kecil. Saat dia memasuki ruang pelatihan, senyum lebar menghiasi wajahnya.“Selamat pagi, semuanya!” sapanya ceria, dan para peserta membalas dengan antusias. Mereka duduk melingkar, penuh harapan.“Saya ingin kita berbagi ide tentang produk apa yang bisa kita jual. Kalian semua memiliki keahlian masing-masing, dan saya percaya kita bisa menemukan peluang yang tepat!” Wulan melihat semangat di wajah-wajah mereka dan merasa energinya meningkat.Mira, yang sudah mulai menjual kue, mengangkat tangan. “Saya bisa membantu mengajarkan cara membuat kue yang enak dan mudah!” Wulan tersenyum bangga. “Itu ide yang luar biasa, Mira! Siapa lagi yang punya ide?”Satu per satu, peserta mulai ber

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 172: Ujian Pertama

    Hari-hari berlalu dengan cepat, dan program pelatihan yang Wulan jalankan semakin menarik perhatian. Para peserta tidak hanya datang untuk belajar, tetapi juga membawa harapan baru ke dalam hidup mereka. Wulan merasa semakin terhubung dengan mereka, berbagi tawa dan cerita, namun di balik kebahagiaan itu, keraguan dari keluarga Dimas tetap menghantuinya.Suatu pagi, Wulan menerima telepon dari Dimas. “Sayang, aku mau mengajakmu makan siang bersama keluargaku. Mereka ingin berbicara tentang program yang kau jalankan.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu ini adalah kesempatan untuk menunjukkan hasil kerjanya, tetapi bayangan skeptisisme keluarga Dimas membuatnya cemas. “Baiklah, aku akan siap-siap,” jawabnya, berusaha terdengar tenang.Saat tiba di rumah Dimas, Wulan disambut dengan senyuman hangat, tetapi dia merasakan ketegangan di udara. Keluarga Dimas sudah berkumpul di meja makan. Dimas mengisyaratkan Wulan untuk dudu

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 171: Langkah Awal yang Menjanjikan

    Dengan semangat baru, Wulan mulai mengatur program pelatihan dengan lebih serius. Setiap hari, ia menghabiskan waktu untuk merancang materi pelajaran dan mencari narasumber yang berpengalaman. Dalam benaknya, ia membayangkan para peserta akan merasakan perubahan positif dalam hidup mereka setelah mengikuti pelatihan ini.Pagi itu, Wulan menerima telepon dari seorang pakar pelatihan keterampilan yang bersedia membantu. Ia segera menjadwalkan pertemuan untuk mendiskusikan detail lebih lanjut. Setelah panggilan berakhir, Wulan merasa berenergi. Ini adalah langkah yang tepat untuk mewujudkan cita-citanya.Ketika bertemu dengan peserta pertama program, suasana terasa hangat. Wulan melihat wajah-wajah penuh harapan. Mereka adalah ibu-ibu dari berbagai latar belakang, masing-masing membawa cerita dan impian. Dalam pertemuan itu, Wulan memperkenalkan diri dan menjelaskan visi program.“Saya percaya bahwa setiap dari kita memiliki potensi yang bisa dikembangkan,&rd

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status