Wulan Kirana memasuki rumah tangga dengan harapan akan cinta dan kebahagiaan, namun kenyataan berubah menjadi mimpi buruk. Di balik senyum manis ibu mertua dan adik iparnya, Ana, tersembunyi kebencian yang perlahan mulai terasa saat Dimas, suaminya, pergi bekerja. Setiap hari, Wulan dihadapkan pada sindiran, penghinaan, hingga perlakuan dingin yang semakin membuatnya merasa terasing di rumahnya sendiri. Awalnya, Wulan memilih untuk bertahan demi cintanya kepada Dimas, namun tak disangka, suaminya pun mulai ikut mempengaruhi oleh sikap keluarganya. Dimas berubah, mulai bersikap acuh, bahkan berani berselingkuh di depan mata Wulan. Dengan hati hancur, Wulan menahan semuanya dalam diam, menutupi luka batinnya dengan senyuman. Namun, di balik kesabaran itu, Wulan merencanakan sesuatu. Sebuah pembalasan yang akan mengungkap siapa dirinya sebenarnya, dan menghancurkan semua yang telah meremehkannya.
Lihat lebih banyakPagi itu, sinar matahari yang lembut menembus tirai jendela kamar Wulan, membuat ruangan kecil itu terasa lebih hangat. Wulan terbangun lebih awal dari biasanya, memandang sejenak ke arah Dimas yang masih tertidur di sampingnya. Ekspresi damai di wajah suaminya selalu membuat hati Wulan tenang. Sejak pernikahan mereka enam bulan lalu, ia merasakan cinta yang begitu mendalam. Setiap hari adalah anugerah, setidaknya itulah yang selalu ia yakini.
Wulan tersenyum kecil dan turun dari tempat tidur dengan lembut, berusaha agar tidak membangunkan Dimas. Seperti biasa, tugas pertamanya setiap pagi adalah menyiapkan sarapan untuk keluarganya, termasuk ibu mertuanya dan Ana, adik perempuan Dimas yang masih tinggal bersama mereka.
Saat berjalan ke dapur, Wulan merasakan keheningan di rumah itu. Suasana tenang di pagi hari selalu memberinya waktu untuk berpikir. Ia ingat saat pertama kali pindah ke rumah ini—rumah keluarga Dimas yang besar dan mewah. Awalnya, Wulan merasa disambut hangat oleh ibu mertua dan Ana. Senyum mereka tampak tulus, kata-kata mereka penuh perhatian. Namun, semakin lama, Wulan merasakan ada jarak yang perlahan-lahan tumbuh.
Di dapur, Wulan mulai memasak nasi goreng kesukaan Dimas. Bau harum bawang putih yang digoreng mulai memenuhi ruangan, menciptakan aroma yang hangat dan mengundang. Pikirannya melayang ke percakapan dengan ibunya beberapa hari yang lalu. Ibunya sempat bertanya apakah Wulan bahagia tinggal di rumah mertuanya. Wulan menjawab bahwa ia baik-baik saja, meski dalam hatinya ia tidak sepenuhnya yakin.
Sesekali, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ibu mertua dan Ana sering kali memberikan komentar yang terdengar lembut, tetapi selalu menyiratkan ketidakpuasan. Mereka tidak pernah kasar atau langsung menyinggung perasaan Wulan, tetapi kata-kata mereka kerap membuatnya merasa tidak nyaman. Wulan memilih untuk mengabaikan hal-hal kecil tersebut, meyakinkan dirinya bahwa ia sedang beradaptasi dengan lingkungan baru.
Sementara itu, suara langkah kaki Dimas terdengar dari arah kamar. "Wulan, sudah bangun pagi banget, ya?" tanya Dimas dengan suara serak, baru bangun tidur.
Wulan menoleh dan tersenyum hangat. "Iya, Mas. Aku lagi siapin sarapan. Mas mau kopi atau teh?"
"Kopi aja, Sayang. Kamu memang istri yang paling baik," jawab Dimas sambil memeluk Wulan dari belakang, mencium keningnya dengan lembut. Momen-momen seperti ini membuat Wulan merasa segala keraguan dan kegelisahan hilang sejenak. Dimas selalu mampu membuatnya merasa dihargai dan dicintai, meskipun ada hal-hal yang terkadang membuat hatinya resah.
Ketika keluarga berkumpul di meja makan, suasana tampak hangat. Dimas duduk dengan penuh selera, menikmati nasi goreng buatan Wulan. Ibu mertua dan Ana pun turut makan, meskipun Wulan bisa merasakan sedikit ketidakpuasan dalam sikap mereka.
"Wulan, masakanmu enak. Tapi lain kali mungkin garamnya dikurangi sedikit, ya," ujar ibu mertua Wulan dengan senyum yang tampak tulus. Namun, di balik senyuman itu, Wulan merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang selama ini ia coba abaikan.
Ana, adik Dimas yang lebih muda beberapa tahun darinya, hanya memberikan anggukan singkat sambil tetap fokus pada ponselnya. "Iya, Mbak, rasanya lumayan sih. Tapi lebih enak lagi kalau ada lauk tambahan."
Wulan mengangguk kecil, berusaha menelan komentar tersebut tanpa memperlihatkan kekecewaannya. "Iya, Bu, Ana, nanti saya coba perbaiki."
Komentar kecil seperti itu sering terdengar di rumah ini. Meski terdengar biasa, Wulan merasakan adanya jarak antara dirinya dengan keluarga Dimas. Namun, selama Dimas ada di sana, mereka tidak pernah menunjukkan perlakuan yang benar-benar dingin. Di hadapan Dimas, mereka tetap sopan, meski Wulan bisa merasakan bahwa penerimaan mereka terhadapnya belum sepenuhnya tulus.
Dimas tidak menyadari hal ini, atau mungkin memilih untuk tidak memperhatikan. Bagi Dimas, Wulan adalah istri yang sempurna, dan keluarganya selalu tampak mendukung pernikahan mereka. Tetapi bagi Wulan, perlahan-lahan muncul kekhawatiran yang ia simpan rapat-rapat. Ia tidak ingin membebani Dimas dengan keluhannya, apalagi mengganggu kedamaian pernikahan mereka yang masih baru.
Setelah sarapan, Dimas bersiap-siap untuk pergi bekerja. "Hari ini aku ada rapat penting di kantor, jadi mungkin pulang agak malam," katanya sambil mengenakan jas kerjanya.
Wulan membantu merapikan dasinya, lalu menatap suaminya dengan penuh kasih. "Hati-hati di jalan, Mas. Aku tunggu di rumah."
Dimas tersenyum dan mengecup kening Wulan sekali lagi sebelum pergi. Setelah pintu tertutup dan langkah kaki Dimas tak lagi terdengar, suasana rumah pun berubah. Kehangatan yang tadi ada di meja makan lenyap begitu saja.
Wulan menghela napas panjang dan melanjutkan pekerjaannya di dapur. Saat ia mulai mencuci piring, Ana masuk ke dapur dengan sikap acuh tak acuh. "Mbak, nanti tolong juga bersihin kamar tamu, ya. Aku lihat ada debu di sana," katanya tanpa menatap Wulan.
Wulan hanya mengangguk, berusaha tetap tersenyum meski hatinya mulai merasa sesak. Ia tahu bahwa ini adalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai istri Dimas, tetapi nada perintah dari Ana membuatnya merasa seperti pembantu di rumah ini.
Ibu mertua Wulan, yang duduk di ruang tamu sambil membaca majalah, tiba-tiba berkata, "Wulan, coba kamu lihat halaman belakang nanti. Rumputnya sudah mulai panjang. Jangan biarkan rumah ini kelihatan berantakan, ya."
Permintaan itu terdengar wajar, tetapi lagi-lagi, Wulan merasakan ada sesuatu di balik cara ibu mertuanya berbicara. Ia tak pernah bisa menghilangkan perasaan bahwa ibu mertuanya sebenarnya tidak benar-benar menyukainya.
Meski begitu, Wulan tetap menjalankan semua perintah tanpa mengeluh. Baginya, ini adalah bagian dari perjuangan dalam pernikahan. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi istri yang baik dan berbakti, dan itu berarti menerima apa pun yang diberikan kepadanya, baik itu pujian maupun kritik.
Sore harinya, setelah semua pekerjaan rumah selesai, Wulan duduk di taman belakang. Angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya yang lelah, memberikan sedikit ketenangan di tengah kepenatannya. Dalam kesendirian, ia sering merenung tentang keputusannya menikah dengan Dimas. Cintanya pada suaminya tidak pernah diragukan, tetapi ia mulai bertanya-tanya apakah kehidupan pernikahan ini akan selalu seperti ini—diwarnai dengan sikap dingin dari keluarganya.
Wulan menatap langit yang perlahan mulai memerah, berharap bahwa waktu akan memperbaiki segalanya. Ia masih memiliki harapan, bahwa suatu hari nanti ibu mertuanya dan Ana akan menerima dirinya sepenuhnya, bukan hanya karena ia adalah istri Dimas, tetapi juga karena mereka melihat kebaikan dalam dirinya.
Namun, jauh di dalam hatinya, Wulan tahu bahwa ia harus bersiap untuk menghadapi apa pun yang terjadi. Karena, meski cinta pada Dimas begitu kuat, ada bagian dari dirinya yang mulai merasakan bahwa cinta saja mungkin tidak cukup untuk bertahan di tengah ketidakadilan yang ia alami setiap hari.
Wulan menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil pada dirinya sendiri. Ia akan terus bertahan, setidaknya untuk hari ini. Dan besok, ia akan kembali menghadapi dunia dengan senyuman yang sama—meskipun hatinya mungkin tidak selalu seteguh itu.
Keesokan harinya, setelah merayakan keberhasilan mereka, Wulan terbangun dengan perasaan segar. Namun, saat menyiapkan sarapan, bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya. Ia teringat pada perlakuan dingin keluarga Dimas, yang tak kunjung hilang dari ingatannya. Bagaimana mereka selalu terlihat baik di depan Dimas, sementara di belakangnya, mereka memperlakukannya dengan sinis.Saat Dimas masuk ke dapur, Wulan berusaha menyembunyikan pikirannya. “Selamat pagi! Apa kamu siap untuk hari ini?” tanya Dimas dengan semangat.“Selamat pagi. Tentu saja, aku sudah menyiapkan rencana kerja untuk minggu ini,” jawab Wulan, berusaha menunjukkan antusiasme.Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk mengunjungi lokasi pelatihan mereka. Wulan merasakan semangat di dalam dirinya. Namun, saat mereka melangkah keluar, matanya tertangkap oleh sosok familiar yang melintas di jalan. Itu adalah Ibu Dimas, berjalan dengan angkuh, seolah tak pernah melihat mere
Hari-hari setelah presentasi itu menjadi lebih dinamis bagi Wulan dan Dimas. Mereka berdua semakin sering berdiskusi tentang rencana masa depan usaha pelatihan yang mereka jalankan. Wulan merasa optimis, namun di sisi lain, bayang-bayang keraguan dan ketidakpastian masih menghantui pikirannya.Suatu pagi, saat mereka duduk di meja makan, Dimas terlihat lebih bersemangat dari biasanya. “Aku mendapat kabar baik! Salah satu sponsor besar ingin bertemu dengan kita,” katanya dengan senyum lebar.Wulan menatap Dimas dengan rasa ingin tahu. “Sponsor besar? Siapa mereka?”“Perusahaan alat olahraga terkenal. Mereka tertarik untuk mendukung program kita,” Dimas menjelaskan, matanya berbinar. “Ini kesempatan bagus untuk mengembangkan usaha kita lebih jauh.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Meskipun senang dengan berita ini, ketakutan akan penolakan masih ada. “Tapi, apa mereka benar-benar tertarik pad
Hari-hari setelah acara presentasi itu membawa perubahan yang signifikan bagi Wulan. Keluarga Dimas, terutama ibunya, mulai menunjukkan tanda-tanda ketertarikan terhadap program pelatihan yang dijalankannya. Wulan merasa sedikit lega, tetapi di sudut hatinya, dia tahu bahwa ini baru permulaan.Dimas mendukung penuh setiap langkah Wulan. Dia sering pulang lebih awal dari kerja untuk membantu Wulan mempersiapkan sesi pelatihan berikutnya. “Aku ingin memastikan bahwa semua orang di keluarga kita melihat betapa pentingnya ini,” kata Dimas dengan semangat.Suatu malam, setelah makan malam, Wulan dan Dimas duduk di sofa, membahas langkah selanjutnya. “Sayang, bagaimana kalau kita mengadakan sesi khusus untuk keluarga? Aku ingin mereka merasakan langsung dampak dari apa yang kita lakukan,” usul Wulan.Dimas mengangguk, “Itu ide yang bagus! Mungkin kita bisa mengundang mereka ke sesi pelatihan berikutnya dan menunjukkan bagaimana peserta be
Keesokan harinya, Wulan merasa bersemangat. Dia sudah merencanakan sesi pelatihan baru yang berfokus pada keterampilan kewirausahaan. Dia ingin peserta merasakan langsung bagaimana memulai usaha mereka sendiri, bahkan dari hal-hal kecil. Saat dia memasuki ruang pelatihan, senyum lebar menghiasi wajahnya.“Selamat pagi, semuanya!” sapanya ceria, dan para peserta membalas dengan antusias. Mereka duduk melingkar, penuh harapan.“Saya ingin kita berbagi ide tentang produk apa yang bisa kita jual. Kalian semua memiliki keahlian masing-masing, dan saya percaya kita bisa menemukan peluang yang tepat!” Wulan melihat semangat di wajah-wajah mereka dan merasa energinya meningkat.Mira, yang sudah mulai menjual kue, mengangkat tangan. “Saya bisa membantu mengajarkan cara membuat kue yang enak dan mudah!” Wulan tersenyum bangga. “Itu ide yang luar biasa, Mira! Siapa lagi yang punya ide?”Satu per satu, peserta mulai ber
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan program pelatihan yang Wulan jalankan semakin menarik perhatian. Para peserta tidak hanya datang untuk belajar, tetapi juga membawa harapan baru ke dalam hidup mereka. Wulan merasa semakin terhubung dengan mereka, berbagi tawa dan cerita, namun di balik kebahagiaan itu, keraguan dari keluarga Dimas tetap menghantuinya.Suatu pagi, Wulan menerima telepon dari Dimas. “Sayang, aku mau mengajakmu makan siang bersama keluargaku. Mereka ingin berbicara tentang program yang kau jalankan.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu ini adalah kesempatan untuk menunjukkan hasil kerjanya, tetapi bayangan skeptisisme keluarga Dimas membuatnya cemas. “Baiklah, aku akan siap-siap,” jawabnya, berusaha terdengar tenang.Saat tiba di rumah Dimas, Wulan disambut dengan senyuman hangat, tetapi dia merasakan ketegangan di udara. Keluarga Dimas sudah berkumpul di meja makan. Dimas mengisyaratkan Wulan untuk dudu
Dengan semangat baru, Wulan mulai mengatur program pelatihan dengan lebih serius. Setiap hari, ia menghabiskan waktu untuk merancang materi pelajaran dan mencari narasumber yang berpengalaman. Dalam benaknya, ia membayangkan para peserta akan merasakan perubahan positif dalam hidup mereka setelah mengikuti pelatihan ini.Pagi itu, Wulan menerima telepon dari seorang pakar pelatihan keterampilan yang bersedia membantu. Ia segera menjadwalkan pertemuan untuk mendiskusikan detail lebih lanjut. Setelah panggilan berakhir, Wulan merasa berenergi. Ini adalah langkah yang tepat untuk mewujudkan cita-citanya.Ketika bertemu dengan peserta pertama program, suasana terasa hangat. Wulan melihat wajah-wajah penuh harapan. Mereka adalah ibu-ibu dari berbagai latar belakang, masing-masing membawa cerita dan impian. Dalam pertemuan itu, Wulan memperkenalkan diri dan menjelaskan visi program.“Saya percaya bahwa setiap dari kita memiliki potensi yang bisa dikembangkan,&rd
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen