Pikiran Agatha tak pernah tenang, dia memikirkan bagaimana Pak Seno tadi menyentuh tubuhnya walau itu tak sengaja karena tadi rupanya bosnya itu ingin membantu resleting gaun Agatha yang belum sampai atas.
Namun karena sentuhan itu justru membuat Agatha selalu saja membayangkan hari pertama mereka bertemu dulu.
"Butuh tumpangan?" tanya seseorang pria yang tidak dia kenal.
Seorang wanita cantik yang tadi tengah menunggu bus datang namun tiba-tiba saja kedatangan seorang pria tampan dan kaya dengan menggunakan mobil mewah. Walau wajah pria itu terlihat seseorang yang suka merayu para wanita atau lebih tepat dikenal playboy namun jika dilihat-lihat dengan baik lagi pria itu adalah orang yang baik dan karena sudah meyakinkan dirinya sendiri membuat Agatha mengangguk menerima tawaran pria yang tidak dia kenal itu.
Selama perjalanan Agatha tak banyak bicara, dia hanya diam dan yang terus berbicara adalah pria yang saat ini duduk di sampingnya itu. "Kamu mau pergi kemana?" tanyanya.
"Saya mau pergi pulang," jawabnya dengan wajah yang datar.
"Pulang? Memangnya kamu dari mana?"
Terus saja mendapatkan pertanyaan membinar Agatha kesal, dia sangat tidak menyukai seseorang yang banyak bicara. "Saya tadi habis interview kerja."
"Benarkah? Saya ucapkan selamat kalau begitu, selamat ya," ucap pria asing itu dengan menyodorkan tangan untuk memberikan selamat kepada dirinya.
"Untuk apa? Untuk saya yang tak lolos?" tanyanya dengan wajah yang kesal.
Mendengar ucapan wanita itu membuat Seno terpaksa menarik tangannya kembali, dia menjadi merasa tidak enak karena sudah membuat wanita yang dihadapannya itu bersedih.
"Maaf, saya minta maaf. Saya tidak tahu jika kamu gagal. Dan bagaimana jika kita pergi jalan-jalan sebentar untuk menghapus kesedihan kamu?" tanya dia dengan mengajak Agatha pergi.
Agatha menganggukkan kepalanya, lagi pula dia harus mencari tempat menenangkan diri untuk dirinya karena Agatha benar bersedih. Entah apa yang kurang darinya itu karena hanya sebuah ucapan kalau Ibunya adalah mantan kupu-kupu malam. Lagi pula semua itu adalah masa lalu Ibunya, dan Ibunya pun sudah bertobat juga menerima hukuman.
***
Lampu remang-remang menerangi wajah mereka berdua. Terus saja meminum tanpa henti membuat kedua pipinya memerah.
"Aku mau nambah lagi!" ucapnya dengan mengangkat gelas kecil.
"Dengan senang hati," jawab Seno dengan menuangkan kembali minuman itu.
Mereka berdua sudah kehilangan kesadaran, pandangan yang sudah memburam dan bahkan meracau tidak jelas, hingga hal aneh terjadi pada keduanya.
"Arghhh... kenapa tubuhku panas sekali?" ucap Agatha dengan membuka satu kancing pada kemejanya.
"Tubuhku juga," jawab Seno. "Bagaimana kita menjadi tempat yang nyaman dan dingin agar tak kepanasan seperti ini," ucap Seno kembali dengan mengajak Agatha pergi. Dia hanya mengikuti saja, mereka berdua saling bergandengan satu sama lain seolah-seolah sudah sangat mengenal satu sama lain padahal keduanya tadi hanya berkenalan singkat saja.
Berjalan tak benar karena keduanya terlihat begitu kesulitan apalagi dengan kondisi mereka berdua yang mabuk. Seno membawa Agatha ke dalam suatu ruangan hotel yang berada di samping bar yang baru saja mereka kunjungi. Awalnya Seno memesan dua kamar namun karena semua kamar di sana penuh dan hanya tersisa satu saja sehingga membuat Seno terpaksa memesan satu kamar. Mereka berdua melangkah bersamaan dan banyak sekali orang yang menatapnya. Hingga akhirnya Agatha dan Seno telah sampai di kamar hotel.
Wajah tak tenang Agatha dan sedikit resah karena tubuhnya merasa kepanasan sehingga membuatnya melepaskan seluruh yang menutupi tubuhnya begitu juga dengan Seno.
"Agatha kenapa melamun?" Tersentak kaget mendengar pertanyaan seseorang, padahal baru saja dia memutar memori mengenai apa yang terjadi antara mereka dulu. Agatha menatap wajah Seno, dia masih tidak yakin jika Seno tak mengingat dirinya. Jika benar, apa wajahnya sudah berubah? Lagi pula untuk bukankah lebih baik jika Seno melupakannya?
"Tidak, aku hanya sedang memikirkan bantuan apa yang Pak Seno perlukan," jawab Agatha.
"Aku minta tolong kepadamu untuk berpura-pura menjadi kekasihku."
"Ha? Kekasih Bapak?" Agatha terkejut, jika tahu inilah bantuan yang diminta Pak Seno untuk dirinya Agatha akan menolak mentah-mentah. "Tidak, saya tidak mau Pak."
"Tak ada penolakan Agatha, lagi pula kamu sudah memberikan tanda tangan untuk perjanjian kerja ini," jawabnya dengan memberikan selembar kertas. Agatha merasa tak asing dengan kertas itu, dia mengambil dari tangan Pak Seno dengan kasar. Kedua matanya kembali lagi membulat, dia terlihat kesal dan marah. "Bapak memanfaatkan saya," ucapnya dengan sorot mata yang tajam.
"Memanfaatkan? Justru kamu akan menjadi untung Agatha, uang itu akan bernilai besar di setiap kamu yang nanti akan berpura-pura menjadi pacar saya Agatha."
"Saya tak merasa menandatangani kertas perjanjian ini Pak," cetus Agatha karena memang tadi dia menandatangani itu semua tanpa sadar sebab dirinya tengah melamun tadi.
"Semua sudah tertulis dan kamu tahu jika kamu menolak maka.... "
"Oke," jawab Agatha dengan pasrah.
Bagaimana bisa dia menjadi pacar pura-pura seseorang yang sangat dirinya benci? Dan jika berdekatan dengan Pak Seno terus saja membuatnya emosi. Jika seperti ini apa dirinya bisa menjadi pasangan yang baik dihadapan orang tua Pak Seno nanti?
"Kita sudah sampai, ayo turun!" jawab Seno yang turun terlebih dahulu meninggalkan Agatha di dalam mobil.
Agatha ikut turun dari dalam mobil milik Pak Seno, walau ini semua hanyalah pura-pura namun dirinya tetap saja gugup.
"Kita ke dalam!" ucapnya dengan menggenggam tangan Agatha.
"Pak jangan bersikap tidak sopan!" cetus Agatha dengan menatap tajam Pak Seno.
"Hanya pura-pura Agatha, kita berdua harus terlihat seperti pasangan yang saling mencintai."
Kembali melangkah, keduanya memasuki restoran yang sudah dipesan khusus oleh keluarga Seno.
"Ayah perkenalkan ini Akira," ucap Seno memperkenalkan Agatha namun justru membuat Agatha menatap Seno dengan bingung karena namanya diganti.
"Akira? Rupanya Seno tak salah memilih pasangan. Ayo silahkan duduk!"
Agatha menganggukkan kepalanya atau saat ini dia tengah menjadi Akira kekasih Seno?
"Sudah berapa lama kamu dengan Seno?"
"Uhuk... uhuk.... " Tersedak ketika tengah makan karena pertanyaan Ayah Pak Seno.
"Minum sayang, hati-hati kalau sedang makan." Seno memberikan minuman kepada Agatha. Sikap bosnya berubah saat bersama dengan Ayahnya itu. Agatha menerima minuman yang diberikan oleh Seno.
"Ayah juga lagi makan jangan berbicara," jawab Seno karena dia tahu kalau Agatha pasti terkejut dan mereka belum sepakat jika ada pertanyaan yang keluar dari mulut Ayahnya.
"Maafkan Om ya Akira dan boleh tidak saya bertanya satu hal yang sangat penting," ucapnya sehingga membuat Agatha terpaksa mengangkat kepalanya.
"Apa Om?" tanya Agatha atau Akira, karena keduanya adalah orang yang sama.
"Apa kamu pernah tidur dengan seorang pria?"
"Pernah," menjawab dengan santai dan begitu cepat namun membuat Agatha sedikit panik dan menutup mulutnya.
Memang belum berdiskusi sebelumnya sehingga jawaban yang seharusnya tidak diucapkan justru terucap. Agatha gugup karena mulutnya yang dengan mudah sekali berbicara jujur seperti tadi. Dia bingung bagaimana dirinya harus menjelaskan apa yang telah dia ucapkan tadi, Agatha hanya bisa memandangi Pak Seno berharap kalau bosnya itu membantunya karena saat ini hubungan mereka menjadi sepasang kekasih. "Jadi kamu pernah tidur dengan seorang pria? Lalu apa putra saya mengetahuinya?" tanya Ayah Pak Seno. "Ayah sudah cukup! Maksudnya Akira dia pernah tidur dengan seorang pria dan pria itu aku Ayah," jawab Seno dengan menatap Agatha yang kini mengangguk. Nafas lega terdengar setelah mengetahui semua perkataan Pak Seno, baru saja dia tadi ingin marah besar karena putranya Seno membawa seorang wanita murahan ke dalam keluarga. Mereka semua kembali menikmati makanan dan setelah selesai semuanya berakhir. Agatha sudah tak menjawab kembali pertanyaan-pertanyaan yang membuat jantungnya berdetak.
Entah sudah berapa banyak tisu yang dia habiskan hanya untuk menghapus air matanya yang mengalir tak henti-henti. Wajahnya yang membengkak begitu juga dengan kedua matanya. Rambutnya tak beraturan bahkan dia terlihat sangat lusuh. Kesengsaraan yang terjadi dalam hidupnya disebabkan oleh pria yang sama. Bukan hanya menjadi seorang pembunuh Ibunya namun pria itu juga pernah merebut mahkota berharga Agatha sehingga membuat Agatha terpaksa mengambil sebuah keputusan yang salah. "Hiks... hiks... seharusnya aku mencari tahu siapa dia," ucapnya menyesal menerima tawaran seorang Kakek-kakek yang sempat dia bantu saat itu. Seolah-olah hari yang selalu saja Agatha lewati memiliki sebuah kesialan yang datang tanpa diundang. Tok! Tok! "Agatha keluar ada yang ingin berbicara dengan kamu!" ucap seseorang mengetuk-ngetuk pintu kamar milik Agatha. "Aku sedang tak ingin bicara Nek," jawab Agatha dari dalam kamarnya. Dia tak ingin ada yang melihat kondisi rapuhnya karena kehilangan sang Ibu saat
Dia masih saja diam membisu dalam kamarnya dengan Pak Seno yang setia menatap untuk menunggu jawaban Agatha. Apa yang harus Agatha katakan? Dia memang berencana mengatakan sejujurnya namun bagaimana jika nanti Pak Seno justru menganggap dirinya bohong. "Kenapa tak menjawab saya Agatha?" tanya Pak Seno dengan bentakan yang membuat Agatha terkejut. "Bapak tahu kan Ibu saya meninggal dunia dan semua karena Bapak. Mau tahu kenapa?" tanya Agatha yang justru memilih untuk menjawab pertanyaan sebelumnya dan semoga saja Seno lupa akan pertanyaan yang baru saja diucapkan. "Kenapa?" tanyanya dengan wajah yang datar. "Kenapa Bapak tak mengangkat telepon saya tadi malam? Bapak tahu tidak kalau itu adalah hal yang penting, saya ingin menyetujui mengenai perjanjian kontrak untuk menjadi pacar pura-pura Pak Seno dalam waktu yang lama dan saya ingin meminta uangnya terlebih dahulu karena butuh untuk biaya operasi Ibu saya. Tapi Bapak tak jawab, jadi sudah tahu kan? " cetus Agatha tanpa henti
Kedatangan Pak Broto membuat Agatha terdiam, dia bahkan bingung dan takut jika dirinya dikenali walau dengan make up tipis dan cara bicara yang sedikit berbeda."Apa yang sedang kalian berdua sembunyikan?" tanya Pak Broto yang merupakan Ayah Pak Seno."Kenapa Ayah datang tak memberi kabar dulu kepadanya Seno?" tanya Seno, sedangkan Agatha hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata sedikit pun."Untuk apa Ayah memberikan kabar jika datang ke kantor kamu karena ini juga kantor Ayah bukan?" Jadi tak ada penjelasan ini?""Ucapan Agatha tadi tak ada sangkut pautnya dengan masalah pekerjaan, jadi biarkan saja. Dan kamu Agatha silahkan pergi keluar karena saya harus berbicara empat mata dengan Ayah saya!" ucapnya dengan memerintahkan Agatha untuk pergi dari ruangannya lagi pula Agatha saat ini sedang panik ketakutan dengan status mereka.Agatha mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan Pak Seno. Dia bahkan bernafas lega karena diiring telah terhindar dari Pak Broto.Namun Agatha tidak benar-
Lelah karena harus menanggung semuanya. Agatha kini tengah dihukum untuk membersihkan seluruh aula bahkan rekan kerjanya yang melakukan kesalahan yang sama pun tak mendapatkan hukuman dan justru dia lah yang diberikan hukuman tanpa bantuan orang lain pun.Wajahnya menekuk dan seluruh tubuhnya begitu juga wajahnya penuh dengan keringat. Dia bekerja sebagai sekertaris bukan tukang bersih-bersih."Ccckkk... Ayah sama anak sama saja," ucapnya dengan kesal karena dia yang mendapatkan hukuman sendiri. Memang istilah buah jatuh tak jauh dari pohonnya itu benar, sama seperti Pak Seno yang memiliki sikap sama dengan Pak Broto.Agatha yang tak bisa membantah karena baginya itu semua sia-sia dan jelas saja dia hanya seorang sekertaris sedangkan Pak Broto pemilik perusahaan pertama sebelum diberikan kepada Pak Seno anaknya sendiri.Sudah tiga puluh menit dan tubuh Agatha terlihat sangat lelah. Aula yang sudah bersih walau sebelumnya memang tak kotor. Bahkan Agatha terheran untuk apa dia membersih
Agatha tahu apa yang akan dibicarakan oleh Pak Seno, pasti mengenai gosip tersebut. Sebenarnya dia sangat malas jika harus bertemu dengan bosnya itu. Alasannya pasti karena gosip yang sudah tersebar itu. Tok! Tok! "Masuk!" Setelah mendengarkan perintah dari dalam ruangan Agatha langsung saja masuk.Matanya tak berhenti menatap Pak Seno dengan sinis. Entahlah dia sudah menunjukkan sikapnya yang seperti ini dengan Pak Seno, bahkan Pak Seno pun tak mempermasalahkan sikap Agatha namun jika karyawan lain tahu tentu saja dia akan marah. "Kenapa Bapak panggil saya?" tanya Agatha dengan wajah sinisnya. "Tidak usah pura-pura kamu, saya tahu apa yang sedang terjadi di kantor ini," jawab Pak Seno tanpa menatap wajah Agatha karena dia terfokus pada layar komputer. "Ya saya tahu, tapi itu salah Bapak loh kan semua perbuatan Bapak," jawabnya dengan kesal karena hanya dia yang disalahkan. Pak Seno menghentikan aktivitasnya ketika mendengar ucapan Agatha.Keduanya saling bertatapan tajam deng
Wajahnya memerah karena malu dengan perbuatannya sendiri, dia terjatuh tepat ketika melangkahkan kakinya dua langkah memasuki ruangan rapat.Dalam hati Agatha bergumam, "Bagaimana ini aku sudah malu dan apa aku harus berpura-pura pingsan saja?" tanyanya dalam hati namun rapat ini sangatlah penting. Lagi pula Agatha seharusnya terlihat santai saja karena rapat ini hanya ada dirinya, Pak Seno dan beberapa orang Angga.Namun saat Agatha hendak berdiri tiba-tiba saja dia melihat sebuah tangan kekar yang terulur untuk membantunya.Agatha pun mendongakkan kepalanya dan tersenyum malu menatap Angga. Dia menerima bantuan Angga. "Kamu baik-baik saja Agatha?" tanya Angga.Tatapan beberapa orang yang berada di dalam ruangan menatap dirinya dan Angga. "Aku baik-baik saja Angga, terimakasih," jawab Agatha dan membuat Angga mengangguk.Mereka berdua pun berjalan berdampingan karena Angga menuntun Agatha untuk menuju kursinya.Melihat kejadian apa yang baru saja Teja membuat seseorang terlihat sini
Terkejut dan panik membuat Agatha langsung saja pergi berlari mendekati Pak Seno yang telah menyelamatkan nyawanya."Pak, bangun Pak!" ucapnya dengan menggoyangkan lengan Pak Seno agar membuka kedua matanya. Hingga akhirnya ambulan datang.Agatha yang sangat takut jika terjadi sesuatu yang buruk oleh Pak Seno terus saja memburu-buru para petugas medis yang membawa Pak Seno menunjuk ke rumah sakit. Ya, Agatha saat ini tengah berada di dalam ambulan karena dia harus bertanggung jawab sebab Pak Seno bisa terjadi seperti ini karena dirinya.Hingga akhirnya dia sampai di sebuah rumah sakit, selama perjalanan Agatha terus saja menangis tersedu-sedu karena merasa bersalah.Dia ikut mendorong brankar yang dimana ada Pak Seno yang tak sadarkan diri."Maaf Bu mohon untuk menunggu diluar saja," ucap perawat rumah sakit tersebut.Agatha yang terus saja melangkah dan bahkan dia ingin ikut masuk ke dalam untuk melihat keadaan Pak Seno. Dan kini dia tengah menunggu di luar untuk mengetahui keadaan P