Hari-hari setelah kejadian itu berlalu, Tari tetap bekerja seperti biasa. Menjalankan segala aktifitasnya dengan santai walau bisik-bisik negatif dari beberapa orang terdengar. Entah siapa yang mengembuskan kabar miring tentang hubungan terlarang antara dirinya dan si bos, Tari tidak tahu.
Sedikit risih tentu dirasakan gadis berjilbab itu. Seperti saat ini, dia baru saja datang, tetapi beberapa karyawan di pabrik makanan frozen itu sudah mulai berbisik-bisik.
"Pagi, Mbak. Sebaiknya segera bekerja sebelum si bos datang. Tidak ingin diberi surat peringatan oleh beliau, kan?" kata Tari memperingatkan mereka. Dia dan karyawan lain sedang mengantri di depan finger print.
"Duh, sok banget. Mentang-mentang Deket sama si bos main lapor aja. Kayak nggak ada kerjaan lain. Situ nyari muka?" sahut perempuan berambut sedikit kecokelatan.
"Di kasih tahu malah ngatain yang enggak-enggak. Gimana, sih, Bu," timpal pria yang perutnya buncit. Tari mengenalnya sebagai karyawan bagian divisi pengemasan barang. Beberapa kali sempat bertemu ketika sedang inspeksi bersama Andrian.
"Dasar, ya. Semua lelaki itu sama saja. Selalu ngebelain cewek cantik walau salah. Duh!" Perempuan tadi melirik sinis ke arah Tari.
Malas berdebat, Tari meninggalkan semua orang tanpa berpamitan seperti sebelum-sebelumnya. Perempuan itu memang terkenal ramah. Namun, ketika kabar berembus tentang hubungannya dengan si bos. Dia membatasi diri.
"Tuh, kan. Mulai dah sombongnya. Padahal dulu enggak gitu," sambung yang lain.
Semua pekerjaan lelaki berambut cepak dengan bagian kiri sedikit naik itu telah selesai. Senyuman Andrian mengembang. Dari CCTV yang ada di ruangannya, dia mengamati setiap gerak-gerik Tari.
Tak ada satu pun yang luput dari pengamatan. Luapan kebahagian itu semakin jelas saat dia teringat wajah ketakutan Tari kala mereka menginap di hotel. Ketika terbangun di pagi hari dan melihat Andrian sedang bertelanjang dada. Jika perempuan lain yang ada di posisi waktu itu mungkin akan menatap tubuh si bos tanpa berkedip, tetapi tidak dengan Tari itu. Si gadis malah membuang muka. Menunduk serta memejamkan mata, gemas sekali Andrian dengan kelakuan sang sekretaris.
Pantauan CCTV di layar Andrian, memperlihatkan karyawan yang mulai berhamburan keluar ruangan masing-masing. Kepalanya menoleh ke arah dinding yang terdapat jam, ternyata sudah waktunya makan siang. Namun aneh, Tari malah duduk diam. Dia, hanya membereskan berkas-berkas dan laporan yang ada di mejanya.
Andrian semakin fokus mengamati Tari, biasanya gadis itu paling tidak tahan dengan rasa lapar. Namun kali ini lain, dia terlihat lebih santai dari biasanya. Ada apa dengannya?
Tari beranjak dari duduk, dia mengambil sebuah tas kecil, perlahan. Lalu mengeluarkan isinya. Sebuah kotak makanan tampak oleh indera lelaki yang mengamatinya. Andrian mengernyitkan dahi. Sekretarisnya itu jarang sekali membawa bekal ke kantor untuk makan siang. Rasa penasaran membuatnya melangkah ke luar dan menuju ruangan Tari.
Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dia segera masuk. Tari yang baru saja membuka kotak bekalnya menoleh disertai mata yang membulat. Perutnya sudah mulai keroncongan, tetapi si bos malah datang ke ruangannya langsung.
"Siang, Pak," sapa Tari disertai gerakan alis ke atas. Makanan yang akan dibuka, di singkirkan dan ditaruh begitu saja. Gadis itu menegakkan tubuh, bersiap menerima perintah atasannya.
"Kenapa makan siang di ruangan?" Andrian melirik menu yang dibawa Tari.
Tak terlihat tanda-tanda bahwa bosnya akan memberi perintah, Tari berkata, "Lagi malas ke kantin saja, Pak. Bapak ada perlu dengan saya?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar. Si gadis berdiri untuk menghormati bosnya.
"Nggak ada, saya heran saja. Biasanya kamu selalu makan di luar, hampir nggak pernah bawa bekal, tapi hari ini lain. Kamu seperti enggan untuk bertemu karyawan lainnya. Apa kamu ada masalah?" Andrian menyeret kursi di depan meja sekretarisnya, lalu duduk dengan kaki menyilang.
"Tidak ada masalah apa pun, Pak. Kebetulan Ibu saya datang menjenguk, jadi tadi pagi masak buat sarapan. Sekalian saja, saya bawa bekal. Hitung-hitung penghematan." Tari masih mempertahankan posisi berdiri. Tidak juga melanjutkan makan, padahal perutnya semakin terasa perih.
"Oh, begitu. Duduklah dan lanjutkan saja makanmu!" Tangan Andrian mempersilakan sang gadis untuk duduk kembali, tetapi tak ditanggapi apa apa.
"Nanti saja, Pak," sahut Tari. Melirik sebentar pada bekal yang dibawa, berharap Andrian mengerti rasa lapar yang tak tertahankan.
"Kalau tidak segera dimakan, saya yang akan makan, lho." Andrian mengerlingkan mata sebelah kiri. Dia meraih kotak bekal yang hampir dibuka oleh Tari. Lalu dengan santai membukanya.
"Bapak bisa saja. Masakan saya tidak level dengan selera Bapak." Jantung Tari berdetak lebih cepat, bukan karena ada getar-getar cinta pada lelaki di depannya kini. Namun, bayangan ketakutan menghampiri. Jika dilihat oleh rekan-rekan kerjanya, pasti mereka akan semakin menggunjing saat mengetahui sang pimpinan berperilaku seperti ini.
Tanpa diduga oleh Tari. Andrian mengambil sendok yang tadi dipegang dan kini tergeletak begitu saja di dekat siku kiri. Lalu memasukkan nasi beserta chicken katsu disertai oseng buncis dan jagung manis ke dalam mulutnya.
Tari bergeming di tempatnya berdiri, matanya menatap Andrian tak percaya. Sementara yang ditatap malah asyik menikmati bekal miliknya. Tak terusik sama sekali dengan tatapan sang sekretaris. Tari sempat mengumpat dalam hati.
"Kamu masak sendiri, Tar? Rasanya lumayan enak, lho," tanya Andrian ketika makanan yang disuapkan tadi mulai masuk kerongkongan.
"Iya, Pak. Mengapa Bapak memakan bekal saya?" tanya Tari bingung.
Namun, dia terlihat panik saat melihat Andrian mendesis. Si gadis dengan cekatan mengambilkan segelas air putih kemasan tak jauh, di belakang kursi Andrian. Lalu menyodorkan pada bosnya.
"Bapak kenapa?" Menyodorkan minuman kemasan yang diambil tadi.
Andrian meneguk air yang diberikan Tari. Bibirnya memerah, dari wajah si bos terlihat bulir-bulir air yang mulai menetes.
"Kamu suka pedas, ya, Tar?" tanya sang atasan, Tari mengangguk. Dia memberikan sehelai tisu untuk mengusap keringat Andrian. Sengaja tadi, si gadis memberikan banyak cabe agar sensasinya lebih menggetarkan untuk menghilangkan pening yang akhir-akhir ini melandanya.
"Bapak aneh. Jika tidak menyukai rasa pedas, mengapa memakan makanan saya? Terus saya makan siang pake apa? Padahal saya lagi malas ke kantin." Tari duduk dengan lemas di depan Andrian. Walau dalam hati, merasa senang juga karena masakannya dipuji oleh sang atasan. Namun, gosip dan gunjingan tentangnya membuat malas mengisi perut ke kantin.
"Kamu pengen makan apa? Saya pesankan online, ya, atau mau makan di luar bareng?" Andrian memberi tawaran. Sedih juga melihat wajah karyawannya lemas seperti sekarang.
Tari tampak berpikir jika dia terlihat makan siang bersama Andrian. Maka, gosip yang beredar akan semakin berkembang.
'Bagaimana ini? Perutku makin perih. Kalau pingsan gara-gara tidak makan siang kan lucu.' Dalam hati, Tari mulai bimbang.
Happy Reading*****Sebelum menjawab salam dari perempuan di hadapannya, Tari meneliti tampilan orang tersebut dari atas ke bawah. Rentang waktu setahun telah mengubah perempuan itu menjadi jauh lebih baik. Pakaian yang semuanya tertutup serta tutur kata lembut saat menyapa. Mencerminkan adanya perubahan dalam dirinya."Waalaikumsalam. Apa kabar, Bu?" sapa Tari berusaha menghormati perempuan itu."Jangan panggil aku ibu. Saya bukan suami atasan kamu lagi," ucap perempuan itu yang tak lain adalah Lita. Tari sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi pada Lita hingga merubahnya seperti sekarang. Walau jelas tahu bahwa perempuan itu sudah tidak bersama Andrian, tetapi Tari tetap berusaha menghormatinya. Terlepas dari segala ancaman dan teror yang pernah dilakukan, istri Andrian sudah memaafkan semua kesalahan itu.Baru akan menjawab perkataan Lita, dari arah belakang Andrian memanggil nama Tari. "Sayang, belanjanya sudah selesai belum." Lita dengan cepat menundukkan pandangan dari l
Happy Reading*****Ingin rasanya Tari menghilang saat ini juga. Bagaimana bisa dia sebrutal itu. Sungguh, si perempuan tidak menyadari aksinya sudah meninggalkan begitu banyak jejak pada suaminya.Andrian yang tahu jika istrinya terkejut dengan hasil perbuatannya sendiri, hanya bisa mengulas senyum. Hatinya berbunga-bunga, ternyata Tari juga bisa seganas tadi. Sebelum sang istri menjawab perkataan putranya, lelaki itu berbisik."Kamu hebat, Sayang. Mas ketagihan dengan yang tadi." Lalu, lelaki itu membuka selimutnya dan menjejakkan kaki ke lantai.Tari menghela napas panjang. Benar-benar jahil suaminya itu. Tidak tahukah Andrian jika dirinya malu setengah mati dengan kebrutalan itu. Melihat begitu banyak jejak di bagian tubuh sang suami yang lain, Tari menggelengkan kepala. Dia kemudian fokus pada Akmal sebelum si kecil bertanya macam-macam."Iya, Sayang. Nanti, Mama pasti obati bekas gigitan serangga di leher Ayah," jawab Tari pada akhirnya.Perempuan itu merutuki dirinya sendiri ya
Happy Reading*****Sesampainya di kamar, Tari membuka pintu dengan tergesa. Takut juga jika sang suami sampai salah paham dengan perkataannya tadi. "Mas, jangan salah paham, dong," ucapnya.Sekarang, Andrian sedang mengganti pakaiannya dengan kaos serta celana pendek. Dia melirik sang istri sebentar. "Gimana nggak salah paham. Kamu membandingkan lelaki lain di depan suamimu. Aku itu cemburuan, Sayang. Bukankah kamu sudah tahu sejak dulu?" Sang suami melanjutkan aktifitasnya melipat sarung dan menggantung baju koko, tiba-tiba saja suasana hati Andrian berubah jelek."Membandingkan gimana, Mas?" Sepertinya, Tari memang salah memilih kata. Padahal maksudnya tadi bukan membandingkan Andrian dengan Pamungkas. "Kalau nggak membandingkan terus apa? Bukankah kamu mengatakan kasus kami berbeda. Maksudmu pasti si Pamungkas pasti jauh lebih baik dari Mas, kan?" Andrian duduk di tepi ranjang dan memajukan bibir. Setelah menjadi suami Tari, lelaki itu makin manja saja. Tidak ingat sama umur.Sek
Happy Reading *****Andrian tidak pernah bosan dengan ibadah menyenangkan bersama sang istri. Sekali lagi, mereka melakukannya dan setelahnya tertidur hingga suara azan Zuhur membangunkan. Tari melenguh dan meregangkan tangan. Kemudian menatap lelaki di sebelahnya yang masih menutup mata."Mas, bangun. Sudah Zuhur," kata Tari pelan disertai guncangan pelan pada lengan Andrian."Hmm," jawab Andrian, tetapi matanya masih tertutup. "Boleh nggak kalau Mas salatnya di rumah saja?""Tidak boleh. Memangnya Mas Andri mau disebut salihah?" kata Tari cepat.Seketika Andrian membuka mata dan menatap sang istri. "Kok bisa salihah, Yang?"Memutar bola mata dan tersenyum, Tari berkata, "Ya, kan. Seorang perempuan itu lebih baik salat di rumah. Nah, jika seorang lelaki tidak salat di masjid tanpa uzur yang jelas, kan, namanya salihah." "Ih, jadi kamu ngatain Mas, ya?" Andrian gemas sendiri melihat wajah sang istri. Dia menggelitik pinggang perempuan itu sampai minta ampun setelahnya."Sudah ... su
Happy Reading*****Tari menengok pada suaminya. Indera Andrian sudah dipenuhi kabur gairah. Tak akan bisa lagi perempuan itu beralasan lain apalagi anak-anak tidak berada di kamar lagi. "Mas mau sarapan apa? Biar aku siapkan dulu," katanya berusaha lepas dari pelukan Andrian yang makin erat dan menggebu."Sarapan kamu boleh, Sayang?" Andrian semakin berani. Mulai menciumi leher dan juga pundak sang istri."Jangan dulu, masih ada anak-anak di rumah. Jika mereka tiba-tiba ketuk pintu kayak kemarin, malah tidak nyaman. Lebih baik, biarkan aku masak supaya cepat sarapan dan meminta bantuan Bapak sama Ibu untuk menjaga anak-anak," kata Tari mencoba bernegosiasi. Dia, hanya perlu sedikit waktu untuk melayani suaminya. Menata jantung yang terus saja bertalu."Anak-anak sudah dibawa ngungsi sama Mas Radit. Di rumah ini tinggal kita berdua, Sayang. Mas sudah nggak sabar menantikan hari ini, apalagi melihat wajah cantikmu. Mas semakin nggak kuat menahannya." Andrian mulai melancarkan rayuan ke
Happy Reading*****Siang berlalu dan berganti sore. Sudah tidak ada tamu lagi di rumah Radit. Namun, ketiga buah hati Andrian dan juga ponakannya Tari tidak mau beranjak dari kamar pengantin. Mereka memonopoli perempuan yang baru saja menjadi istri Andrian.Sekarang, keempat anak-anak itu malah tidur di ranjang dengan Tari di tengah. Andrian yang duduk di sofa depan tempat tidur menatap malas pada anak-anak tersebut."Kenapa selalu saja ada gangguan saat aku ingin berduaan dengan istriku. Radit sama Haura memangnya nggak nyariin anaknya? Enak sekali mereka berdua. Bukan mereka yang jadi pengantin, tapi malah mereka yang berduaan," gerutu Andrian.Matanya mengawasi anak-anak dengan sangat iri karena mereka bisa tidur dipeluk oleh Tari. Jengkel dengan keadaan di kamarnya, Andrian keluar tanpa pamit pada sang istri. Turun, di ruang keluarga, terlihat Radit dan juga Ibrahim tengah berbincang, entah membahas apa. Andrian pun berniat untuk bergabung daripada suntuk memikirkan malam pertama
Happy Reading*****Ingin rasanya Andrian menghilang saat ini juga. Kenapa obrolan yang harusnya cuma untuknya dan sang istri harus didengar oleh ibu mertua. Jadi, tidak bisa menjalankan misi. "Saya nggak modus, Bu. Tari memang terlihat capek. Kasihan kalau sampai siang harus berdiri sampai sore," alibi Andrian."Tidak mungkin sampai sore. Sebelum Zuhur saja sudah habis. Lebay banget kamu."Ibrahim menatap istri dan menantunya bergantian. "Kalian berdua ini, kok, tidak pernah akur," katanya, "kalau Nak Andri mau istirahat duluan saja sana, tapi jangan lama-lama."Lelaki yang baru saja menjadi suami Tari itu memutar bola mata malas. Mana ada istirahat sendiri. Lebih baik di sini menemani sang istri. Tujuan utama istirahat Andrian adalah untuk melepas kerinduan jika sendirian mana bisa. Seketika, wajah gadis yang sudah dihalalkannya tersenyum. Tari seperti mengerti kekecewaan sang suami. "Lagian, Mas itu kenapa tidak sabaran banget.""Rinduku itu sudah seperti puncak Himalaya, Sayang
Happy Reading*****Selesai salat berjemaah di masjid, Andrian bersiap-siap. Keluarga Ustaz Muhammad diminta menginap di rumahnya karena lelaki itu memang sudah tak memiliki keluarga di kota tersebut. Semua adiknya tinggal di pulau seberang bahkan si bungsu tinggal di negara sebelah sehingga mereka tidak bisa datang pada pernikahan ketiga Andrian.Anak-anak beserta istri sang Ustaz sedang dirias oleh MUA yang disewa terpisah oleh Andrian dari WO yang digunakan. Lelaki itu sudah siap dengan setelan jas serta kopiah. Dia duduk di ruang keluarga bersama Ustaz Muhammad menunggu yang lain untuk berangkat ke rumah Tari."Sudah siap Pak Andri?" tanya sang Ustaz."Insya Allah, sudah. Lahir batin sudah siap, Taz. Rasanya, pernikahan kali ini sangat menegangkan. Semalam hampir nggak tidur mikirin hari ini," jujur Andrian mengakui semua kegundahan hatinya.Sang ustaz tertawa. "Mungkin karena gadis yang Pak Andri nikahi sangat spesial. Makanya, mikirin terus.""Sepertinya begitu, Taz. Entahlah."
Happy Reading*****Kembali dengan wajah ditekuk-tekuk, suasana hati Andrian memburuk. Pertemuan dengan WO yang dia sewa untuk pesta pernikahannya pun kurang bersemangat seperti hari sebelumnya. Semua karena kejujurannya yang menceritakan kejadian kemarin pada sang pujaan."Atur semua dengan baik, Pak. Saya percaya pada WO yang Bapak pimpin. Lagian tamu yang saya undang juga tidak banyak," kata Andrian pada pemilik organizer."Baik, Pak. Kami sudah menyiapkan dengan baik dan persiapan sudah hampir 50%," ucap sang organizer."Bagus, kita langsung ketemu di tempat acara saja karena mulai besok saya nggak bisa datang ke tempat tersebut.""Jadi, saya harus koordinasi dengan siapa, Pak?""Mungkin saudara kandung calon istri saya. Nanti, saya kirim nomor beliau. Tolong berikan yang terbaik dan turuti permintaan calon istri saya.""Baik, Pak. Saya bisa bergerak dari sekarang jika seperti itu.""Silakan." Andrian meninggalkan restoran cepat saji tempat janjian mereka. Dia kembali ke kantor de