Sementara itu di kamar yang temaram, Harika masih terduduk di tepi ranjang. Rasa gelisah itu belum juga mereda. Ia mengambil ponsel, membuka galeri foto, dan tanpa sadar menatap foto masa kecilnya di panti bermain bersama anak-anak di sana, jika ia dan keluarganya sedang liburan di villa. Foto itu buram, tapi jelas sekali mengingatkannya pada hari-hari berat yang seharusnya terkubur. "Kenapa aku merasa ini belum selesai…." gumamnya, menggigit bibir. Belum sempat ia menenangkan diri, ponselnya bergetar. Layarnya menyala dan tertera nomor tak dikenal di layar ponselnya Harika mengernyit. "Apa ini Alister lagi? Tapi tadi nomornya lain." Ia ragu beberapa detik sebelum akhirnya menggeser tombol hijau. "Halo?" suaranya pelan dan nyaris berbisik. Dari seberang, suara yang begitu familiar tapi dingin menusuk telinga membuat Harika tertegun. "Harika." Tubuhnya seketika menegang. "Adeline?" Hening selama sesaat, lalu suara Adeline terdengar lirih, nyaris serak, tapi ada nada yang membua
Dalam perjalanan, hujan menampar kaca depan mobil, wipernya bergerak cepat. Pikiran Alister masih berputar pada wajah Adeline yang histeris, namun hatinya justru semakin mantap. Ia menekan tombol di setir, mencari nama yang sudah lama tersimpan di ponselnya. Harika.Nada sambung terdengar beberapa kali, sampai akhirnya suara riang itu menjawab.“Halo? Eh, siapa ini? Jangan bilang debt collector, soalnya saya sudah miskin dari lahir nggak usah ditagih lagi."Alister mengembuskan napas, meski bibirnya tersungging tipis. "Harika, ini aku. Alister."Hening sejenak di seberang. Harika hampir menjatuhkan ponselnya. Jantungnya berdegup kencang, soalnya nomor yang menghubunginya adalah nomor yang tidak dikenal, Harika tidak tahu kenapa Alister memakai nomor lain, tetapi ia cepat-cepat mengatur nada suaranya agar terdengar biasa."Eh? Pak Bos? Kok tumben nelpon saya?"Alister menatap lurus ke jalan basah di depannya, suaranya tegas. "Aku tahu semuanya, Harika. Tentang fitnah yang pernah ditimp
"DITUTUP?!" serunya. "Bagaimana mungkin aku menutup mata, sementara Harika yang tidak pernah bersalah hampir masuk penjara karena fitnah yang diciptakan oleh Adeline."Adeline terperanjat, tubuhnya bergetar. “A-Alister, aku tidak....""Cukup!" potong Alister, menepuk map di meja hingga kertas-kertas di dalamnya berhamburan. "Kalau saja bukti tambahan itu tidak ditemukan saat itu, Harika sudah mendekam di balik jeruji besi sampai sekarang!"Adeline terisak, wajahnya pucat. "Aku hanya ingin menyelamatkan diriku. Aku takut, Alister. Aku tidak punya pilihan!"Alister melangkah maju, menatapnya dingin. "Kau punya pilihan, Adeline. Pilihan untuk berkata jujur, tapi yang kamu pilih adalah menghancurkan hidup orang lain. Kamu mencoreng nama Harika, kamu mencoreng masa lalunya hanya agar kamu bisa hidup nyaman dengan identitas barumu."Tangis Adeline pecah. Ia terjatuh berlutut di lantai, memegang lengan jas Alister. "Jangan bicara begitu! Kamu tetap mencintaiku, kan? Semua ini hanya ujian, ka
Keesokan paginya, langit Jakarta mendung. Hujan gerimis masih menempel di kaca mobil hitam yang berhenti tepat di depan rumah besar keluarga Ranjaya. Alister turun, jasnya rapi, dan wajahnya dingin. Map cokelat itu ia bawa erat di tangan, seperti pedang yang siap menebas kebohongan. Di ruang tamu rumah Ranjaya, Adeline duduk anggun di sofa, ditemani kedua orang tuanya. Ibunya sedang menyesap teh, sementara ayahnya membaca koran. Bunyi bel terdengar di pintu. Seorang pelayan buru-buru membukakan, menunduk hormat ketika melihat Alister. "Pak Alister," sapanya canggung. Alister melangkah masuk tanpa menunggu dipersilakan. Sorot matanya membuat seluruh ruangan seketika menegang. Adeline menoleh, wajahnya sempat pucat sesaat sebelum ia buru-buru tersenyum manis. "Alister?" suaranya berusaha terdengar tenang. "Kenapa mendadak datang tanpa kabar?" Alister tidak menjawab. Ia meletakkan map cokelat itu di meja, lalu mendorongnya pelan ke arah ayah Adeline. "Tolong, Pak Revan, baca i
Harika menunduk dalam, wajahnya memanas. Ia tahu ia baru saja membuat kecerobohan yang mungkin akan sulit ditarik kembali. Untuk menutupi rasa gugupnya, ia tiba-tiba bersuara dengan nada lebih ceria dari seharusnya, "I-iya, Kek. Maksudku rahasia itu kan kayak… kayak nasi goreng. Kalau kepanasan, ya lama-lama gosong sendiri. Jadi nggak perlu dibuka-buka lagi, biarin aja gosong, nanti juga habis sendiri!" Ratih spontan menoleh dengan wajah tercengang. "Nasi goreng apa?" Harika langsung menepuk dahinya. "Astaga, maksudku bukan nasi goreng, maksudku rahasia! Rahasia itu kayak… eh… kayak… eeeh...balon! Kalau ditiup terus nanti meledak! Nah itu maksudku, Kek!" Pak Gunawan menaikkan alisnya, menatap cucunya lama. "Kamu ini bicara makin ngawur." Harika cengar-cengir kikuk, "Hehe iya, kan aku lapar, Kek. Jadi kepikiran nasi goreng." "Padahal tadi kamu baru saja makan sepiring penuh," sela ibunya lirih sambil menggeleng. Wajah Harika makin merah, kali ini karena malu. "Iya sih, tapi kan e
Malam mulai turun. Lampu-lampu gedung perkantoran berpendar seperti bintang buatan, namun di salah satu lantai tertinggi, suasana terasa jauh lebih dingin daripada pemandangan indah di luar sana. Alister duduk di balik mejanya, tatapannya kosong pada layar laptop yang menampilkan foto-foto lama. Celina kecil dengan rambut hitam dan gaun sederhana, lalu Adeline muda dengan gaun biru muda dan senyum serupa. Dua nama, dua identitas, tapi hanya satu wajah. Ia mengetuk meja kayu perlahan dengan jarinya, berulang-ulang, ritme yang menandakan pikirannya sedang bekerja keras. Akhirnya ia meraih ponsel, menekan nomor yang jarang ia pakai kecuali untuk urusan yang sangat penting. Suara berat seorang pria terdengar dari seberang."Ya, Pak?" "Dengar baik-baik!" Suara Alister terdengar rendah tapi penuh tekanan. "Aku ingin kau mencari arsip resmi dari kota, terutama perubahan nama. Fokus pada satu hal, aku ingin dokumen yang membuktikan perubahan identitas Celina Diandra menjadi Adeline Ranjaya