Share

Bab 3. Semoga Hanya Mimpi

Reina memejamkan kedua matanya. Seketika ia menurunkan tangannya yang semula hendak membuka pintu di hadapannya. Gadis itu masih terdiam di tempatnya tanpa menoleh ke arah sang CEO. Dengan cepat ia mengumpulkan seluruh keberaniannya agar bisa menatap Regan kembali tanpa rasa takut.

Tanpa diduga Regan melangkah menghampirinya. Meski pelan, Reina bisa merasakan tiap derap langkah kakinya yang mengusik keheningan ruangan bernuansa monokrom itu.

“Kenapa hanya diam saja?” Suara berat dari Regan meruntuhkan keberanian Reina.

‘Astaga! Apalagi ini. Apasih maunya?’ batin gadis itu merasa kesal. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa selain memutar tubuhnya agar berhadapan kembali dengan Regan.

Di saat Reina sudah berbalik badan, ia sangat terkejut melihat posisi Regan sangat dekat dengannya. Aroma tubuh lelaki itu kembali merusak konsentrasinya. Bagaimana mungkin ia bisa dengan tiba-tiba teringat kembali peristiwa tadi malam? Iya, Reina sangat ingat jika dia dengan berani mengatakan kepada Regan bahwa dirinya sangat menyukai aroma tubuh lelaki itu.

“Kamu mengingat sesuatu?” bisik Regan di dekat telinga Reina. Lelaki itu sedikit merendahkan kepalanya. Hingga terpaan nafasnya sukses membuat tubuh gadis itu meremang seketika.

“Ma‒maksud Bapak apa? Saya tidak mengerti.”

Reina dengan berani mendongakkan kepalanya. Kali ini ia tidak boleh kalah. Ia yakin jika lelaki di hadapannya itu hanya ingin mengerjainya. ‘Tenang, Reina. Semua akan baik-baik saja.’

Baru saja Regan hendak berbicara, tiba-tiba ponselnya berdering dengan sangat kuat. Tentu ia dan Reina cukup terkejut. Gadis itu refleks menjauhkan diri dari Regan. Kemudian dengan gerakan cepat Reina berhasil kabur dari ruangan sang CEO.

Reina mengusap dadanya beberapa kali. Kini ia bisa bernafas dengan lega meski ada yang harus segera ia kerjakan. Bahkan nanti siang ia harus bertemu lagi dengan Regan.

Tiba-tiba gadis itu teringat kembali uang pemberian Regan yang sudah ia berikan semuanya kepada sang ibu. Bahkan ia berjanji akan mengembalikannya dengan cara apapun.

“Harusnya tadi aku tidak mengambilnya. Sekarang baru menyesal ‘kan?” Reina berceloteh seorang diri. Tak lama kemudian telepon di dekatnya berbunyi.

“Hallo, ada yang bisa saya bantu? Dengan Reina di sini.” Reina berusaha menjawab dengan intonasi sebaik dan selembut mungkin.

“Ehem!”

Terdengar bunyi deheman dari balik telepon itu. Seketika Reina merasa malu karena yang menelepon adalah Regan. Gadis itu tidak berani melihat ke ruangan CEO. Tentu lelaki tersebut bisa melihatnya karena dinding pemisah ruangan CEO dengan ruangan sekretaris memang dibuat dari kaca.

“Baik, Pak Regan. Saya akan segera mengerjakan tugas dari Bapak.”

“Apa kamu merasa tidak ada yang tertinggal?” tanya Regan dengan gaya santainya meski tak terlihat oleh Reina.

Gadis itu terdiam sejenak memastikan ucapan dari bos barunya tersebut. Sepertinya tidak ada yang tertinggal. Pasti itu hanya akal-akalan Regan saja. Pikirnya.

“Maaf, Pak. Menurut saya tidak ada yang tertinggal.”

Reina langsung menutup telepon tersebut tanpa ragu. Bahkan ia tidak takut jika Regan marah atau bahkan memecatnya saat itu juga. Padahal keluarganya saat ini membutuhkan banyak biaya untuk berbagai kebutuhan. Termasuk biaya perawatan sang ayah yang tak kunjung sembuh.

“Menyebalkan sekali. Aku akan balas dendam kepadamu, Pak Regan! Lihat saja nanti.” Reina kemudian duduk dan berusaha menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Sementara Regan justru semakin penasaran dengan sosok Reina. Ia memikirkan ide yang bagus untuk karyawan barunya itu.

CEO tampan itu menarik sebelah kanan sudut bibirnya. Ia yakin Reina tidak akan menolak karena membutuhkan banyak uang. Regan memang sudah memberikan tugas kepada manajer bagian pemasaran untuk menyelidiki semua tentang Reina.

Reina adalah seorang gadis biasa yang tinggal di sebuah rumah kecil dan sederhana. Namun satu yang tak bisa Regan pungkiri. Ada rasa yang berbeda saat ia mengingat kembali peritiwa malam itu.

Regan kembali ke tempat duduknya. Tiba-tiba ia teringat kenangan di masa kecilnya. “Ke mana dia sekarang? Apakah mungkin aku bisa kembali bertemu dengannya?”

***

Tepat pukul satu siang hari, Reina telah berhasil menyelesaikan tugasnya. Ia menunggu kabar dari Regan dengan tetap duduk di tempatnya.

Namun beberapa saat kemudian seorang lelaki menemuinya. Dia merupakan asisten pribadi Pak Regan.

“Selamat siang Ibu Reina. Segera hubungi Pak Regan jika sudah berhasil menyelesaikan tugas Anda. Ini nomor yang bisa dihubungi.”

Lelaki itu memberikan catatan di sebuah kertas.

“Apa?” Mulut Reina menganga membaca pesan itu. “Jadi aku harus menghubungi lelaki itu?”

Seketika gadis itu merasa kesal. Bukankah ini artinya ia akan terus berinteraksi dengan CEO menyebalkan itu? Padahal jelas-jelas ia hanya menggantikan pekerjaan sang sekretaris sehari saja. Tidak ada pilihan lain. Reina segera mengirimkan sebuah pesan kepada Pak Regan.

Beberapa menit berlalu. Pesan itu tidak terbalas. Reina menjadi resah.

Gadis itu menghela nafas berat. Ia berdiri dari tempat duduknya lalu mengambil dokumen yang telah ia kerjakan dan ia pelajari. Setelah itu Reina bergegas menemui sang CEO di ruangannya.

Tangan itu hendak mengetuk pintu. Tetapi ternyata sosok Regan sudah muncul setelah pintu ruangan di depannya terbuka.

“Kenapa hanya berdiri dan diam saja?” tanya Regan sedikit meninggikan suaranya. Bertindak seolah sedang memarahi bawahannya yang melakukan kesalahan fatal.

“I‒itu karena. Jadi begini, Pak.”

“Sudahlah. Sebaiknya kita segera berangkat.” Regan berjalan di depan Reina. Namun saat berbelok arah, tiba-tiba lelaki itu menghentikan langkahnya. Membuat Reina yang masih melangkahkan kakinya seketika menabrak punggung tegap Regan.

“Aduh!” Reina mengusap cepat kepalanya. “Mengapa berhentinya dadakan sih, Pak?” gerutu Rania kesal.

Gadis itu tidak menyadari jika Regan sedang memandanginya dengan tatapan yang sangat tajam.

“Kamu memarahi saya?” ujar Regan bernada tegas.

“Eh, tidak, Pak. Bukan begitu. Saya minta maaf. Saya yang salah karena berjalan tanpa memperhatikan keadaan atau situasi yang ada.”

Reina berbicara panjang lepar. Berharap Regan tidak akan mempermasalahkan soal itu.

“Kalau begitu, tolong benarkan letak dasi saya. Tiba-tiba saya lupa cara merapikannya.” Lelaki tampan itu berucap dengan sangat enteng.

“Apa? Maksudnya?” Reina tidak mengerti.

“Saya tidak bisa merapikan dasi saya jika tidak bercermin secara langsung di depan kaca yang besar.”

“Kan Bapak bisa ke toilet dulu,” sangkal Reina masih berusaha untuk membantah.

Regan melihat jam di tangannya. “Tidak ada waktu lagi, Reina. Kita harus segera menemui klien. Kamu mau melawan saya?”

“Ba‒baiklah, Bapak Regan yang terhormat. Saya akan melaksanakan tugas dari Bapak.”

Reina tidak punya pilihan lain. Ia ingin waktu ini segera berakhir dan besok bekerja lagi seperti biasanya. Bersama teman-teman seperjuangannya.

“Cepat, Reina! Kenapa lambat sekali.” Regan langsung protes.

“Tapi Bapak terlalu tinggi. Bagaimana saya bisa melakukannya?” tanya Reina dengan polosnya.

Tanpa berkata lagi Regan meletakkan kedua tangannya pada bahu Reina. Kemudian memutar tubuh gadis itu dan menyandarkannya ke dinding di dekat mereka.

Setelah itu Regan menyandarkan tangan kanannya ke dinding. Ia sedikit menunduk ke arah Reina sambil netranya menatap wajah gadis itu lekat-lekat.

Reina berusaha untuk tetap tenang. Meski tangannya sibuk membetulkan dasi milik Regan, tetapi otaknya memikirkan hal lain.

“Astaga! Semoga ini hanya mimpi,” lirih Reina tanpa sadar. Tiba-tiba gadis itu merasakan sesuatu pada bagian tubuhnya.

Rich Mama

Kira-kira mimpi atau kenyataan ya????

| Like
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Herlidah
lanjut ,berarti regan itu tahu tentang reina apa teman kecil nya dulu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status