Hari ini, Stella dan Dafina bersiap untuk perjalanan bisnis yang penting. Stella telah menyiapkan kopernya dengan cermat, memastikan semua dokumen dan peralatan yang diperlukan berada di dalamnya. Ia mengenakan setelan blazer biru tua yang modis dengan celana panjang hitam yang serasi. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan indah di sepanjang bahunya, memberikan kesan profesional dan anggun.Sementara itu, Dafina menunggu dengan sabar di depan kantor, menatap sisi jalan yang sibuk sambil mengecek ponselnya sekali-kali. Dia mengenakan setelan jas abu-abu yang elegan dengan blus putih yang simpel, namun berkelas. Rambutnya dikuncir rapi ke belakang, menambah kesan tegas dan percaya diri pada penampilannya.Di sekitar mereka, suasana di kantor terasa sibuk dan penuh antusiasme. Karyawan yang lain mulai datang, beberapa dari mereka tampak sibuk memeriksa email terakhir sebelum pertemuan penting. “Ck, lama sekali,” gerutu Stella ketika Tristan tak kunjung datang.10 menit kemudian, Tristan,
“Hai, siapa wanita cantik satu ini?” tanya Paman Dul ketika melihat ada wanita cantik lagi di samping Tristan.“Saya Dafina, Paman, sekretaris Tuan Tristan,” jawab Dafina dengan senyum ramah.Paman Dul sedikit khawatir saat bertanya, “Kalau kamu sekretarisnya, lalu bagaimana dengan posisi Stella?”Tristan menjawab dengan santai, “Stella juga menjadi sekretarisku, Paman.”Paman Dul tertawa. “Bagus, bagus kalau begitu. Begitulah hebatnya keponakanku ini,” puji Paman Dul dengan bangga.Tristan tersenyum bangga melihat Paman Dul mengakui kehebatannya. Suasana hangat keluarga pun semakin terasa di antara mereka.“Sudah, ayo masuk. Kalian pasti lelah setelah perjalanan jauh,” ajak Bibi Ani kepada mereka.Mereka pun langsung masuk ke dalam rumah Bibi Ani dan Paman Dul. Meskipun sederhana, rumah itu terbuat dari bambu dan kayu, namun dengan sentuhan cinta dan kehangatan, rumah tersebut terlihat sangat cantik.Suasana rumah itu menyambut mereka dengan kehangatan. Terdapat aroma wangi dari bung
“Stella, lihatlah bajumu basah. Hati-hati kalau minum,” ujar Bibi Ani sambil meraih sebuah tisu dari meja dan membantu Stella membersihkan pakaiannya. Stella tersenyum sambil mengangguk. “Terima kasih, Bibi.” “Kamu tidak perlu berterima kasih, pamanmu itu selalu bercanda, jangan dimasukin ke dalam hati, ya,” pesan Bibi Ani yang diangguki Stella.***Setelah membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaian santai, Stella keluar dari kamarnya. Wangi harum dari dapur menusuk indra penciumannya. Wanita yang mengikat rambut asal itu berjalan ke dapur dan melihat Bibi Ani sedang sibuk memasak.“Bibi, masak apa?” tanya Stella.“Malam ini, bibi masak sup ayam sama beberapa sayuran lainnya lagi,” jawab Bibi Ani sambil tetap sibuk dengan kegiatannya.“Stella bantuin, ya?” Stella mencoba menawarkan diri, merasa kasihan melihat Bi Ani yang sedang memasak sendiri.“Boleh, kamu iris-iris bawang dan cabai,” perintah Bi Ani.Stella mengangguk. “Baiklah.”Stella segera mengambil bawang dan cabai dari meja
Tristan dan Stella saling terdiam sejenak, membiarkan suasana kamar menjadi hening. Tristan merasa bingung mengapa Stella memilih untuk tidur di kamar Bibi Ani dan Paman Dul.“Kenapa kamu di sini?” tanya Tristan, rasa penasaran tergambar jelas di wajahnya.“Aku tidur di sini, Bibi sama Paman tidur di lantai atas,” jelas Stella dengan tenang.Tristan mengangguk mengerti, tetapi kemudian tindakannya mengejutkan Stella. Lelaki itu langsung mendorong tubuh Stella masuk ke dalam kamar, begitu juga dengan dirinya yang langsung mengunci pintu kamar. Stella terkejut dengan perilaku Tristan yang tiba-tiba.“Tristan, apa yang kamu lakukan? Kenapa pintunya dikunci?” tanya Stella dengan kebingungan.Tristan menatap Stella dengan serius, lalu menghela napas sejenak sebelum menjawab, “Kita perlu bicara, Stella.”“Tidak ada yang perlu kita bicarakan, sekarang juga, kamu keluar dari sini!” ujar Stella dengan suara yang bergetar, mencoba mengusir Tristan.Namun, Tristan tidak tergoyahkan oleh kemaraha
Stella memalingkan wajahnya lagi dari Tristan, kebingungannya semakin memuncak. Apakah ia harus berkata jujur atau tidak kepada lelaki itu? Tapi ketika Tristan mengulurkan tangannya dan meraih dagunya, memaksa wajahnya untuk menatap ke arah Tristan lagi, Stella tidak bisa lagi menghindar.“Lihat aku, meski aku tahu kamu sudah memiliki kekasih, tapi aku selalu berusaha dekat denganmu,” ucap Tristan dengan suara yang lembut, mencoba memberikan penjelasan atas perilakunya.Stella mengerutkan keningnya, mencoba memahami maksud dari kata-kata Tristan. “Apa maksudmu?” tanya Stella, mencoba mengurai kebingungannya.Tristan mengangguk. “Aku tahu kamu sudah memiliki kekasih,” jawabnya dengan tegas.“Darimana kamu tahu itu?” tanya Stella dengan rasa ingin tahu yang menggebu.“Aku melihatnya sendiri dengan mata kepala aku ketika kalian bersama waktu di festival,” jelas Tristan, mencoba memberikan penjelasan yang memuaskan.Stella terdiam sejenak, mencoba mengingat kejadian tersebut. Pikirannya me
Bibi Ani membuka pintu lemari dengan hati-hati, berusaha mencari selimut yang dia butuhkan. Namun, sebelum dia bisa mencari lebih lanjut, Stella tiba-tiba menghentikannya dengan nada yang panik.“Bibi!” serunya cepat, suaranya bergetar oleh kecemasan yang tiba-tiba muncul.Bibi Ani memalingkan kepalanya ke arah Stella yang berdiri di belakangnya dengan ekspresi heran. “Kenapa, Stella?” tanyanya, mencoba menangkap gelagat yang tidak biasa dari keponakannya.“Bibi mau mengambil selimut, kan? Selimut Bibi ada di tempat tidur.” Stella menunjuk ke arah tempat tidur, di mana selimut masih terlipat rapi.Bibi Ani memandang ke arah tempat tidur, baru menyadari keberadaan selimut yang dimaksud oleh Stella. “Oh ya, selimut itu memang bekas milikku,” gumam Bibi Ani sambil menepuk pelan jidatnya, mengakui kesalahannya karena lupa bahwa selimutnya masih ada di tempat tidur.Stella mengangguk cepat, membenarkan kesimpulan Bibi Ani. “Ya, ini belum dipakai kok, Bibi,” tambahnya sambil menunjuk ke sel
Stella merangkulkan kedua lengannya dengan santai di leher kokoh Tristan. Dalam keadaan yang intim seperti ini, tatapan matanya yang menenangkan berhasil menembus jantung Tristan, memberinya kelegaan dan ketenangan di tengah-tengah kebingungan yang melanda pikirannya. Tristan merasa hangat oleh kehadiran Stella, dan dia merasakan sentuhan halus rambut wanita itu saat ia menyelipkan sehelai rambut ke belakang daun telinga Stella.“Apa yang ingin kamu lakukan?” tanya Stella dengan suara yang tenang, tetapi pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan yang lebih dalam. Apa yang sebenarnya diinginkan Tristan? Apakah tindakannya ini hanya bagian dari candaan ataukah ada sesuatu yang lebih serius di baliknya?Tristan tersenyum melihat ketenangan yang terpancar dari wajah Stella. Dia merasa seperti dia bisa merasa aman dengan wanita ini, seperti bisa menemukan kedamaian di sampingnya. Namun, di balik senyumnya yang ramah, ada kegelisahan yang tidak terungkap di dalam hatinya. Apa yang sebenarnya
Stella melangkah dengan gerakan yang agak gontai menuju dapur, merasa kerongkongannya kering dan haus yang menggebu-gebu. Meskipun matahari sudah menyinari bumi dengan sinarnya, udara pagi masih terasa dingin, membuatnya merinding sedikit.Sesampainya di dapur, Stella melihat Bibi Ani sibuk memasak di dapur. Senyum melintas di wajahnya ketika Bibi Ani melihat ke arahnya. Stella mengambil gelas di rak. Tanpa berlama-lama, ia segera mengisi gelasnya dengan air dari teko.“Pagi, Bi,” sapa Stella sambil mengucapkan salam. Stella menenggak air dengan lahap, merasakan kesegaran menyebar di kerongkongannya.“Pagi juga, Stella. Kamu sudah bangun?” sahut Bibi Ani dengan senyum hangat, membalas sapaan Stella sambil memperhatikan kegiatannya.Stella mengangguk. Ketika gelasnya sudah kosong, ia pun menuangkan air lagi ke dalam gelasnya. “Bibi sedang masak apa?” tanyanya sambil menatap Bibi Ani yang sibuk.Bibi Ani tersenyum. “Bibi sedang memasak nasi goreng,” jawabnya, sambil tetap fokus pada pek