Di dalam mobil yang gelap, Tristan menunggu dengan sabar di dekat gang yang terletak tidak terlalu jauh dari rumah Bi Ani dan Paman Dul. Namun, waktunya terus berlalu dan Stella belum juga muncul. Tristan mulai merasa cemas dan mencoba mengirim pesan kepada Stella untuk mengetahui keberadaannya. Namun, belum juga Tristan mengirim pesan kepada Stella, ada yang mengetuk pintu mobilnya.Tristan terkejut saat melihat Stella di luar mobil. Dia membuka kunci pintu mobil dengan cepat, menyambut kedatangan Stella dengan senyum ramahnya. “Ada apa? Kenapa kamu lama sekali?” tanyanya yang sedikit khawatir.Stella masuk ke dalam mobil dengan wajah yang sedikit terengah-engah. “Bagaimana menurutmu, apakah Paman dan Bibi curiga kepada kita?” tanyanya begitu duduk di kursi yang ada di samping Tristan.Tristan memikirkannya sejenak sebelum menjawab, “Sepertinya tidak.” Dia memasukkan kembali ponselnya ke saku celana, lalu menatap Stella dengan penuh perhatian. “Tapi dengan penampilanmu seperti ini, m
Setelah beberapa menit mengendarai mobil hitamnya, Tristan memutuskan untuk menepikan kendaraannya di pinggir jalan yang berdekatan dengan pasar malam. Stella memandang dengan antusias ke arah pasar malam yang begitu ramai. Sorot matanya berbinar melihat permainan-permainan yang menjulang tinggi ke atas langit.Mereka berdua keluar dari mobil dengan penuh semangat. Langkah-langkah mereka terhenti sejenak ketika aroma makanan khas pasar malam menyambut mereka, menggoda lidah dan penciuman mereka. Tristan melihat senyum cerah di wajah Stella, membuatnya merasa senang.“Kamu suka?” tanya Tristan sambil tersenyum melihat kegembiraan Stella.Stella mengangguk cepat. “Iya, aku suka sekali! Pasar malam ini begitu hidup dan bersemangat.”Tristan tersenyum puas melihat antusiasme Stella. “Ayo kita jelajahi pasar malam ini.”Mereka berdua berjalan menyusuri deretan kios-kios yang berjejer di sepanjang jalan. Suasana pasar malam begitu riuh dengan suara jualan, tawa riang anak-anak, dan lampu-la
Stella memandang bunga mawar yang terhampar di tangannya dengan tatapan terkesima. “Tristan, ternyata selama ini aku salah menilaimu,” ucapnya dengan suara penuh kekaguman.“Salah kenapa?” tanya Tristan, lelaki itu sepertinya ingin tahu apa yang ada di pikirkan Stella.“Aku kira kamu sudah tidak romantis lagi seperti dulu, tapi ternyata, kamu masih romantis,” jelas Stella sambil tersenyum.“Jadi … jangan meremehkan aku lagi,” ucap Tristan sambil tersenyum bangga atas pujian Stella.Stella kemudian menunjukkan keheranannya. “Oh ya, kamu membeli bunga ini dari mana? Perasaan tadi kamu tidak membawa bunga,” tanyanya.Tristan menjelaskan, “Di depan sana ada yang jual, tapi satuan.”“Maksudnya?” tanya Stella, memandang bunga-bunga tersebut yang tampaknya lebih dari satu.“Aku membeli semua bunganya dan menyuruh penjual itu untuk merangkainya jadi satu,” terang Tristan dengan bangga.Stella tertegun. “Hm, sungguh merepotkan,” gumamnya sambil menggeleng pelan.Namun, di balik rasa kekaguman
Tristan mencoba menyalakan mesin mobilnya lagi, tetapi mesin mobil tetap tidak mau menyala. “Aku akan keluar dan melihat apa yang terjadi.”Stella memegang tangan Tristan dengan cemas. “Tapi jalannya sepi, Tristan. Lebih baik kita tidak meninggalkan mobil di sini.”Tristan menepis tangan Stella dengan lembut. “Tenang saja, aku akan segera kembali. Aku hanya akan melihat apa yang terjadi.”Dengan hati-hati, Tristan keluar dari mobil dan membuka penutup depan untuk memeriksa mesin. Setelah beberapa saat, dia kembali dengan ekspresi kecewa. “Tampaknya ada masalah dengan mesin. Aku tidak bisa memperbaikinya sendiri di sini.”Stella menggigit bibirnya, mencoba menahan kegelisahannya. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”Tristan merenung sejenak sebelum menemukan solusi. “Aku akan mencoba menelepon layanan bantuan jalan. Mereka seharusnya bisa membantu kita.”Tristan mulai merogoh ponselnya dari saku jaketnya, tapi ternyata tidak ada sinyal.“Kenapa?” tanya Stella, wajahnya terlihat khaw
“Tristan, kamu di mana?” desak Stella dengan suara gemetar, tetapi tidak ada jawaban dari Tristan. Kegelapan yang tiba-tiba menimpa mereka membuat pandangan Stella semakin terbatas. Panik mulai merayap di dalam dirinya, menyusup ke setiap serat tubuhnya. Kegelapan ini memicu rasa takut yang mendalam, membuatnya merasa terkurung dalam ruang sempit. Stella merasakan denyut panik di dadanya saat kilatan kenangan akan pengalaman traumatis sebelumnya yang terulang kembali. Dia teringat bagaimana ia pernah terperangkap dalam gelap, terkunci dalam gudang yang sunyi dan menyeramkan. Pikiran itu melonjak kembali, membawa sensasi tekanan yang tak tertahankan. “Tristan, tolong!” seru Stella lagi, suaranya penuh kecemasan, tetapi masih tak ada jawaban. Dia meraba-raba di sekelilingnya, mencari tangan Tristan atau setidaknya sesuatu yang bisa memberinya pegangan. Namun, hanya hampa yang dia temui, menambah ketakutan dan kecemasannya. “Tristan, di mana kamu?!” teriak Stella dengan suara gemeta
Tangan Stella meraba dada bidang Tristan, dan matanya terbuka perlahan ketika ia merasakan sentuhan hangat yang menyelimutinya. Matanya terbelalak ketika menyadari bahwa dada yang menjadi bantalannya adalah milik Tristan. Perlahan, dia menoleh ke arah lelaki yang berada di sampingnya.Tristan tersenyum saat melihat Stella bangun dari tidurnya. Senyumnya membawa kehangatan di antara mereka, meskipun Stella masih terlihat sedikit kaget.“T-Tristan,” gumam Stella lirih, wajahnya terlihat bingung atas apa yang terjadi padanya.“Morning,” ucap Tristan dengan lembut, sambil mencium pipi Stella dengan penuh kasih sayang.Stella masih mencoba mencerna situasi. “A-Apa yang sudah kita lakukan?” tanya Stella, kebingungannya semakin terlihat jelas saat ia menyadari bahwa tubuh mereka hanya terbungkus oleh selimut putih.Tristan tersenyum dan mengelus rambut Stella dengan lembut. “Apakah kamu lupa?”“Mm, kamu sudah bangun sejak kapan?” tanya Stella, mencoba mengalihkan topik.“Satu jam yang lalu,”
Di teras rumah yang sunyi, Bi Ani menatap suaminya dengan tatapan cemas saat ia melihatnya sudah bersiap-siap untuk pergi. “Apa kalian akan langsung pergi tanpa makan siang terlebih dulu?” tanyanya.Paman Dul, Dafina, dan Tristan yang sudah siap untuk meninggalkan rumah dan segera menuju ke rumah sakit. “Kami langsung pergi saja, Bibi,” ujar Tristan dengan tegas.Bi Ani mengangguk. “Baiklah, kalian hati-hati di jalan.”Dafina yang sejak tadi merasa ada yang kurang, bertanya tentang keberadaan Stella. “Apa Stella tidak ikut, Tuan?” tanyanya pada Tristan.Tristan menjawab, “Tidak, hanya kita saja yang pergi.”“Ya sudah kalau begitu, kita berangkat sekarang.” kata Paman Dul yang sudah mempersiapkan diri.Mereka segera menuju rumah sakit untuk menyelidiki penyebab kematian massal sapi di peternakan.Saat mereka sampai di rumah sakit, mereka semua segera menemui dokter. “Dok, ada apa sebenarnya dengan jumlah sapi yang semakin berkurang setiap harinya di peternakan kami?” tanya Paman Dul.S
Dafina mengambil botol air dari cup holder di mobil, membuka tutupnya, dan menyerahkannya kepada Tristan dengan ramah. “Tuan, apa Anda mau minum?” tawar Dafina kepada Tristan yang tengah sibuk dengan tabletnya. Tristan mengangguk dengan senyum. “Boleh,” jawabnya sopan. Dia kemudian mengambil botol air tersebut dari tangan Dafina, tanpa sengaja menyentuh tangan wanita itu. Saat Tristan menyentuh tangannya, Dafina merasa hatinya berbunga-bunga. Dia secara tidak sengaja mengira bahwa Tristan melakukan sentuhan itu dengan sengaja, dan dia merasa tersanjung oleh perhatian lelaki itu. Sementara itu, Stella yang sedang sibuk membaca koran di kursi depan hanya menggerutu kesal ketika mendengar tingkah Dafina yang begitu perhatian kepada kekasihnya. Meskipun mereka sudah berpacaran, Stella selalu menegaskan kepada Tristan untuk tidak memberitahu kepada siapa pun bahwa mereka berpacaran. Dia tidak ingin orang-orang memiliki pemikiran buruk terhadapnya karena hubungannya dengan CEO di perus