“Tristan, kamu di mana?” desak Stella dengan suara gemetar, tetapi tidak ada jawaban dari Tristan. Kegelapan yang tiba-tiba menimpa mereka membuat pandangan Stella semakin terbatas. Panik mulai merayap di dalam dirinya, menyusup ke setiap serat tubuhnya. Kegelapan ini memicu rasa takut yang mendalam, membuatnya merasa terkurung dalam ruang sempit. Stella merasakan denyut panik di dadanya saat kilatan kenangan akan pengalaman traumatis sebelumnya yang terulang kembali. Dia teringat bagaimana ia pernah terperangkap dalam gelap, terkunci dalam gudang yang sunyi dan menyeramkan. Pikiran itu melonjak kembali, membawa sensasi tekanan yang tak tertahankan. “Tristan, tolong!” seru Stella lagi, suaranya penuh kecemasan, tetapi masih tak ada jawaban. Dia meraba-raba di sekelilingnya, mencari tangan Tristan atau setidaknya sesuatu yang bisa memberinya pegangan. Namun, hanya hampa yang dia temui, menambah ketakutan dan kecemasannya. “Tristan, di mana kamu?!” teriak Stella dengan suara gemeta
Tangan Stella meraba dada bidang Tristan, dan matanya terbuka perlahan ketika ia merasakan sentuhan hangat yang menyelimutinya. Matanya terbelalak ketika menyadari bahwa dada yang menjadi bantalannya adalah milik Tristan. Perlahan, dia menoleh ke arah lelaki yang berada di sampingnya.Tristan tersenyum saat melihat Stella bangun dari tidurnya. Senyumnya membawa kehangatan di antara mereka, meskipun Stella masih terlihat sedikit kaget.“T-Tristan,” gumam Stella lirih, wajahnya terlihat bingung atas apa yang terjadi padanya.“Morning,” ucap Tristan dengan lembut, sambil mencium pipi Stella dengan penuh kasih sayang.Stella masih mencoba mencerna situasi. “A-Apa yang sudah kita lakukan?” tanya Stella, kebingungannya semakin terlihat jelas saat ia menyadari bahwa tubuh mereka hanya terbungkus oleh selimut putih.Tristan tersenyum dan mengelus rambut Stella dengan lembut. “Apakah kamu lupa?”“Mm, kamu sudah bangun sejak kapan?” tanya Stella, mencoba mengalihkan topik.“Satu jam yang lalu,”
Di teras rumah yang sunyi, Bi Ani menatap suaminya dengan tatapan cemas saat ia melihatnya sudah bersiap-siap untuk pergi. “Apa kalian akan langsung pergi tanpa makan siang terlebih dulu?” tanyanya.Paman Dul, Dafina, dan Tristan yang sudah siap untuk meninggalkan rumah dan segera menuju ke rumah sakit. “Kami langsung pergi saja, Bibi,” ujar Tristan dengan tegas.Bi Ani mengangguk. “Baiklah, kalian hati-hati di jalan.”Dafina yang sejak tadi merasa ada yang kurang, bertanya tentang keberadaan Stella. “Apa Stella tidak ikut, Tuan?” tanyanya pada Tristan.Tristan menjawab, “Tidak, hanya kita saja yang pergi.”“Ya sudah kalau begitu, kita berangkat sekarang.” kata Paman Dul yang sudah mempersiapkan diri.Mereka segera menuju rumah sakit untuk menyelidiki penyebab kematian massal sapi di peternakan.Saat mereka sampai di rumah sakit, mereka semua segera menemui dokter. “Dok, ada apa sebenarnya dengan jumlah sapi yang semakin berkurang setiap harinya di peternakan kami?” tanya Paman Dul.S
Dafina mengambil botol air dari cup holder di mobil, membuka tutupnya, dan menyerahkannya kepada Tristan dengan ramah. “Tuan, apa Anda mau minum?” tawar Dafina kepada Tristan yang tengah sibuk dengan tabletnya. Tristan mengangguk dengan senyum. “Boleh,” jawabnya sopan. Dia kemudian mengambil botol air tersebut dari tangan Dafina, tanpa sengaja menyentuh tangan wanita itu. Saat Tristan menyentuh tangannya, Dafina merasa hatinya berbunga-bunga. Dia secara tidak sengaja mengira bahwa Tristan melakukan sentuhan itu dengan sengaja, dan dia merasa tersanjung oleh perhatian lelaki itu. Sementara itu, Stella yang sedang sibuk membaca koran di kursi depan hanya menggerutu kesal ketika mendengar tingkah Dafina yang begitu perhatian kepada kekasihnya. Meskipun mereka sudah berpacaran, Stella selalu menegaskan kepada Tristan untuk tidak memberitahu kepada siapa pun bahwa mereka berpacaran. Dia tidak ingin orang-orang memiliki pemikiran buruk terhadapnya karena hubungannya dengan CEO di perus
Elsa duduk di tengah-tengah Tristan dan Stella, wajahnya tampak bingung dan marah sekaligus. Dia merasa seperti selalu memergoki keduanya dalam situasi yang mencurigakan.“Dengar, jelaskan apa yang aku lihat tadi?!” ancam Elsa sambil menatap tajam ke arah Tristan dan Stella.Stella menelan ludahnya sebelum berkata, “Tadi, kami hanya .….”“Hanya berciuman, begitu?” potong Elsa. “Dengar, Stella, aku sangat kaget ketika pertama kalinya melihat Tristan tiba-tiba ada di kamar kontrakanmu beberapa bulan yang lalu. Dan sekarang, aku melihat kalian berciuman. Jangan bilang kalian hanya melakukan itu sebagai rekan kerja. Aku tidak mau kau berbohong padaku,” sergah Elsa.Stella menghembuskan napasnya gusar ketika Elsa terus mendesaknya. “Baiklah, aku akan jujur. Sebenarnya ... aku dan Tristan sudah berpacaran.” Akhirnya, Stella mengungkapkan status hubungannya dengan Tristan.Elsa terdiam mendengar penjelasan Stella. “Apa?! Kalian berdua berpacaran?” ujarnya dengan nada yang tidak percaya.Stel
Tristan menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul enam pagi. Dia mengambil napas dalam-dalam, membiasakan diri dengan udara segar pagi yang masih dingin. Hari ini adalah hari yang sangat spesial baginya karena ia akan pergi berangkat kerja bersama kekasihnya, Stella. Tristan segera bersiap-siap dan berangkat menuju kontrakan Stella. Dia sangat bersemangat untuk berangkat bersama dengan Stella dan menghabiskan waktu bersamanya sepanjang hari. Ketika sudah dekat dengan rumah Stella, sang sopir memarkirkan mobil tersebut di depan kontrakan Stella. “Selamat pagi, Sayang,” seru Tristan sambil memberikan senyum termanisnya. Stella menjawab senyum Tristan, tetapi dia terlihat sedikit khawatir ketika Tristan membuka pintu mobil untuknya. Dia melihat sopir mobil yang duduk di kursi depan. “Ish, jangan seperti ini, nanti Pak Rian lihat,” ujar Stella sambil melepaskan tangan Tristan yang ada di pinggangnya. “Tidak apa-apa, Pak Rian mulutnya tidak ember kok,” bisik Tristan di telinga Stel
Stella melangkah menuju ke meja kerja temannya, Maya, dengan flashdisk di tangan. Namun tak sengaja, dia melihat Maya sedang berbincang-bincang dengan teman-temannya. “May, tolong cetak beberapa dokumen yang ada di dalam flashdisk ini dong,” pinta Stella. “Oh, oke,” jawab Maya sambil mengambil flashdisk dari tangan Stella. “Kalian ngapain kumpul di sini? Bukannya kerja malah ngerumpi,” celetuk Stella. “Eh, kebetulan kamu ada di sini, Stella. Kamu mau dengar gosip hangat di perusahaan kita tidak?” kata Lusi sambil terkekeh. “Gosip hangat? Apa maksudmu?” tanya Stella dengan heran sambil mengangkat satu alisnya. “Memangnya kamu tidak tahu? Tuan Tristan ternyata dulunya pernah ditolak sama perempuan. Sampai Tuan Tristan trauma akan wanita,” terang Lusi, sambil berkata dengan suara merdu. Stella mengerutkan alisnya lagi ketika mendengar perkataan Lusi. Dia tidak tahu mengapa gosip tersebut sampai terdengar di seluruh kantor. “Kalian tahu dari mana?” tanya Stella dengan wajah
Stella duduk di kamarnya, matanya menatap layar ponsel yang sejak tadi hanya menampilkan layar kosong. Ia merasa cemas dan sedih karena tidak ada satu pesan pun dari Tristan, pacarnya. Ia berharap lelaki itu akan menelponnya atau setidaknya mengirimkan pesan. Namun, tidak ada satu pesan pun dari Tristan. Malam ini adalah malam Minggu, Stella sangat berharap Tristan mengajaknya jalan seperti biasa atau setidaknya memberi kabar. Namun, semuanya kosong. Tristan tak memberikan satu pun kabar. Stella semakin merasa cemas dan bingung, seakan-akan ada yang disembunyikan oleh pacarnya. Stella sama sekali tidak tahu siapa yang menelepon pacarnya tadi siang, tetapi ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Terlebih lagi, ketika Tristan pulang dari kantor, ia langsung melangkah pergi tanpa mengantarkan Stella pulang terlebih dulu. Stella semakin curiga dan tidak bisa menenangkan pikirannya. Stella mencoba menghubungi Tristan. Namun, Tristan sama sekali tidak mengangkat panggilannya. “Kenapa