Seorang lelaki tampan memasuki gedung perkantoran tempat Amara bekerja. Lelaki tersebut menuju lantai 7, tempat dimana Amara berkantor. Sesampai di lantai 7 dicarinya nama perusahaan tempat Amara bekerja. Seorang sekuriti yang menjaga kantor tersebut, menyambut lelaki tampan berhidung mancung dengan kulit putih bersih dan wajah maskulin.“Siang Pak! Bisa saya bertemu dengan Amara?” tanya lelaki tampan tersebut.“Maaf dari mana? Kalau boleh saya tahu dengan Bapak siapa? Apa sudah janji dengan ibu Amara untuk bertemu pak Adrian?” tanya sekuriti tersebut.“Uhm, saya dengan Dhendy, teman Amara. Saya hanya mau bertemu Amara,” jawabnya kembali.“Oh, maaf Pak. Bu Amara sedang keluar bersama pak Adrian. Jadi setiap hari kamis pagi mereka menghadiri rapat mingguan di BEJ. Biasanya sekitar jam 4 sore sudah balik dari sana. Jadi, Bapak nanti bisa datang lagi saja. Atau, coba hubungi Bu Amara,” saran sekuriti perusahaan tersebut.“Bisa saya minta nomor telepon Amara? Karena saya lost contact! Dul
Nazwa yang mendengar langsung dari Erna tantenya sendiri atas perjodohan Adrian dan Amara, membuat wanita itu kian membenci Amara. Hal itu terlihat saat ia menyambangi kantor Maya yang berada di lantai 3 pada saat makan siang usai ia menghubungi Maya.“Mbak Maya, kita makan di kantor apa keluar?” tanya Nazwa.“Di ruang kerjaku aja. Aku sudah pesan makanan lewat Online. Soalnya kedua anakku juga mau ke kantor!” jawab Maya.“Oh begitu. Berarti kedua anak Mbak adik tiri Amara dong,” ujar Nazwa.“Nggak! Aku waktu nikah bawa dua orang anak. Beda dua tahun umurnya sama. Kembar, dua lelaki.”“Wah! Mantap sekali. Hebat sekali Kak Maya bisa dapat lelaki tajir dan bawa dua orang anak,” ujar Nazwa dibalas tawa lepas Maya.“Jadi wanita itu harus cerdas! Karena kecerdasanku, perusahaan suamiku jatuh ke tanganku!” Maya terlepas ucapannya kala dengan bangga memvalidasi diri.“Berati Aku perlu belajar sama Kakak,” puji Nazwa dan membuat Maya terlihat jemawa.“Tenang nanti aku kasih ilmu nya, Hahahaha
Sementara itu, tampak Lily sedang menerima telepon dari adik angkatnya. Dia adalah Rani, sahabat karib Amara yang berkhianat dengan menikahi Dhendy, pacar Amara.“Buat apa sih dek, kamu mau hubungi Mara? Apa memang suamimu ada dekat lagi sama dia?!” seru Lily dalam sambungan telepon.“Bukan begitu Kak. Memang nggak ada. Aku hanya takut aja. Tolonglah Kak, aku perlu nomor telepon Amara,” pinta Rani dari ujung telepon.“Biar aku aja yang peringati dia! Kamu fokus sama anakmu. Kamu pikir, aku akan diam aja kalau dia sampai menggoda suamimu? Aku nggak akan biarkan keponakanku kehilangan ayahnya!” tegas Lily.“Kak Lily jangan seperti itu. Aku paling tahu karakter Amara. Dia nggak bisa di gertak seperti itu. Aku mau bicara baik-baik sama dia. Ayolah Kak! Aku justru stres kalau nggak ngomong sama dia. Soalnya nomor telepon yang lama nggak aktif. Kalau nggak, udah sejak lama aku hubungi dia,” ungkap Rani.Mendengar kegigihan Rani yang berkeinginan menghubungi Amara, maka Lily memberikan nomor
Kejadian semalam di pantai membuat Amara merasa malu atas tindakannya yang menerima pelukan Adrian. Sehingga saat di kantor, Amara lebih banyak menghindari Adrian. Itu ditunjukkan oleh sikapnya saat meminta Imah membawakan kopi untuk sang Bos.“Bu Imah bisa minta tolong bawakan kopi Bapak,” pinta Amara memberikan baki berisi kopi yang sudah dibuat berikut kudapannya.“Bu, kalau bapak tanya kenapa saya yang bawa gimana?” tanya Imah, pesuruh lantai 7.“Kasih tahu saja, saya masih sarapan,” ujarnya.“Baik Bu."Amara melangkahkan kaki menuju Pantry. Selain bertujuan menghindari telepon Adrian yang akan mengecek keberadaannya, ia juga ingin menikmati secangkir kopi di Pantry.Ketika sedang menikmati kopi di Pantry, seorang marketing bernama Lily yang pernah selisih paham saat meminta Imah membeli sarapan masuk ke ruang Pantry.“Pagi!” sapanya duduk di sebelah Amara.“Pagi, Bu!” balas Amara tersenyum sembari menyeruput kopi di hadapannya.“Tumben aku lihat sekretaris Bos jam 8 ada di dapur.
Adrian menjemput Amara saat jam telah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Jarak antara rumah Amara dan pantai di wilayah utara Jakarta dapat ditempuh kurang lebih tiga puluh menit.“Mara, apa saya perlu izin sama papa kamu?” tanya Adrian saat Amara yang telah menunggu diluar pintu gerbang, langsung masuk ke dalam mobil.“Papa udah tidur. Tadi juga saya titip pesan aja sama orang rumah,” jawabnya.“Bapak sendiri kalau mau keluar gitu, izin juga sama orang rumah?” tanya Amara memandang Adrian yang berada di belakang setir.“Izin juga. Mara, karena kita lagi nggak di kantor. Panggil nama aja dan bisa aku jadi teman kamu?" pinta Adrian.“Ok! Siap bos!” tawa Amara dengan memberikan tanda jempolnya.Sesaat hening terdiam tanpa suara. Kemudian, Adrian membuka percakapan saat di lihat Amara menikmati perjalanan dengan memandang kerlap kerlip lampu gedung-gedung tingkat tinggi saat malam seperti saat ini.“Amara ... Kamu sekarang cerita kejadian lucu yang pernah kamu alami. Setelah kamu
Sejak pertemuan pertama antara Maya dan Amara di gedung perkantoran seminggu yang lalu. Hari ini kembali Amara bertemu Maya kala ia baru saja keluar dari lift menuju ke luar gedung. Maya yang melihat Amara melangkah panjang usai melirik ke arahnya, membuat Maya mengejar Amara hingga ke lobby gedung tersebut.“Hey! Tunggu!” teriak Maya melangkah panjang mengejar Amara.Maya terus mengejar Amara yang tak memedulikannya hingga sampai halaman gedung tersebut. Tampak seorang lelaki tampan yang tak lain Adrian, membuka kaca mobil dan memandang ke arah Amara yang dikejar hingga tempat parkir dan jarak parkir mobil mereka hanya beberapa meter.Maya meraih bahu Amara yang tak memedulikan dirinya. Namun, dengan gerak refleks Amara memegang pergelangan tangan Maya dan menghempaskannya seraya menatap wajah wanita yang pernah menjadi mama tirinya.“Jangan sok kenal sok dekat!” kecam Amara kesal.“Jelas aku kenal kamu! Gadis nakal tapi sok suci yang telah membuat keponakanku masuk penjara! Gimana r