Share

Bab 7

Penulis: June
Jesika menyelimuti adiknya dengan kain putih. Saat itulah, dia baru menyadari bahwa sepatunya hilang, kedua kakinya penuh dengan darah dan kotoran.

Dia duduk di lantai, menyeka kakinya dengan tisu. Darah bercampur lumpur malah membuat kakinya semakin kotor saat dibersihkan.

Tiba-tiba emosinya runtuh. Dia mencengkeram erat pakaian di dadanya, membuka mulutnya ingin berteriak, tapi tidak ada suara yang keluar. Dia membiarkan air mata mengalir tanpa suara.

Entah berapa lama berlalu, dia pun perlahan bangkit, kembali ke rumah dan mandi, berganti pakaian bersih dan merias wajah sederhana.

Dia ingin melepas kepergian adiknya dengan baik.

Jesika membawa surat kematian adiknya dan membawanya ke krematorium.

Sepanjang proses itu, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, seperti mayat hidup.

Melihat kotak abu, matanya berkaca-kaca dan dia tersenyum. Sebenarnya ini juga akhir yang baik. Adiknya tak perlu menderita lagi dan kini dirinya juga tidak memiliki beban apa-apa. Dia bisa membawa adiknya pergi dari sini.

Akhirnya, Jesika membeli sebidang tanah makam yang bagus, mendirikan makam simbolis untuk adiknya. Dia khawatir Ivan akan curiga dan juga khawatir adiknya tidak punya rumah di Purim.

Dia duduk di depan bati nisan sambil memeluk kotak abu adiknya selama satu hari satu malam.

Dia menceritakan banyak kisah lucu masa kecil mereka dan juga isi hatinya.

Saat fajar menyingsing, Jesika meninggalkan pemakaman sambil memeluk kotak abu.

Kembali ke vila, dia mendengar suara-suara ambigu dari dalam. Gerakannya untuk membuka pintu pun berhenti.

Setelah ragu beberapa detik, dia tetap memasukkan kata sandi dan masuk.

Pemandangan di depan matanya kacau balau. Pakaian berserakan di mana-mana. Piyama sutra yang robek bergantung di pohon natal kesukaannya. Beberapa kotak kondom kosong dibuang di mangkuk buah kesayangannya…

Udara dipenuhi bau amis yang kuat dan parfum yang menyengat.

Jeani duduk di pangkuan Ivan, seluruh tubuhnya penuh bekas ciuman, memancarkan pesona. Wanita itu memeluk lehernya dan terus memanggil namanya.

“Ivan, kamu hebat sekali. Aku sangat nyaman.”

Jesika berjalan lurus tanpa menoleh, langsung menaiki tangga. Hatinya sudah mati, seolah tidak merasakan sakit sedikit pun.

Suara dari lantai bawah berlanjut untuk waktu yang lama. Ivan tampak bersemangat tinggi, Jeani memohon ampun sambil menangis beberapa kali.

Setelah beberapa waktu, pintu kamar didorong terbuka dan Ivan berjalan masuk.

Hasrat di matanya sudah hilang. Tubuhnya yang baru mandi beraroma sabun, hanya saja kemejanya tak bisa menutupi bekas kemerahan di lehernya.

Mengingat semua yang terjadi di ruang tamu, perut Jesika pun terasa mual. Dia menutup mulutnya dan mencoba memuntahkan.

Tatapan Ivan menjadi tajam. “Kamu merasa aku menjijikkan?”

Jesika tidak berbicara, tapi ekspresi wajahnya sudah menjawab pertanyaannya.

Ivan mencengkeram dagunya, mendekat untuk mencium bibirnya. Jesika meronta, tapi Ivan tiba-tiba menggunakan kekuatan, membuat Jesika tak bisa bergerak.

“Aku tahu kamu nggak senang. Aku akan memberimu kompensasi setelah selesai bermain. Perceraian ini palsu. Cepat atau lambat, kita akan menikah lagi. Tapi, kalau kamu nggak patuh lagi, adikmu harus menderita.”

Hati Jesika bergetar hebat. Adiknya sudah meninggal, apakah pria itu masih ingin menghancurkan abu jenazahnya?

Namun, yang tidak Ivan ketahui adalah Jesika sudah tidak punya kelemahan lagi.

“Ivan, aku nggak ingin menikah denganmu lagi. Karena kita sudah bercerai, biarkan aku pergi saja. Aku sudah nggak sanggup lagi,” ujar Jesika dengan suara bergetar.

Mata Ivan menjadi tajam. Pria itu melepaskan tangannya, membelai pipi wanita yang memerah karena cengkeramannya. “Sayang, jangan asal bicara. Meninggalkanku, kamu bisa ke mana? Sayang harus patuh, jangan selalu membuatku marah.”

“Kamu nggak bisa hidup tanpaku dan aku nggak akan membiarkanmu pergi. Sudah kubilang, aku hanya bermain-main di luar. Cepat atau lambat, aku akan kembali padamu. Seumur hidup ini, kamu akan menjadi milikku selamanya.”

Mendengarkan cinta yang menakutkan itu, tiba-tiba Jesika teringat akan sebuah pemandangan yang dia lihat dulu.

Saat itu, Ivan mengunci seseorang yang telah menyinggungnya di ruang bawah tanah. Karena orang itu takut pada ular, dia memerintahkan orang melepaskan sekumpulan ular di ruangan itu. Jeritan orang itu terdengar tanpa henti, hingga dia pingsan karena ketakutan.

Pria ini obsesif dan gila. Meskipun tidak akan melakukan hal seperti itu padanya, jika Ivan tidak ingin melepaskannya, Ivan pasti tidak akan membiarkan dirinya pergi.

Jesika pun merinding dan menunduk. Dia berbohong pada Ivan untuk kedua kalinya, “Iya, kamu benar. Aku nggak bisa hidup tanpamu. Aku akan patuh mulai sekarang.”

Ivan akhirnya puas. Dia tersenyum dan mencium bibirnya. “Sayang, istirahatlah. Sikapmu yang seperti mayat hidup beberapa hari ini membuatku kesal. Tunggu beberapa hari lagi, saat hari peringatan pernikahan kita, aku nggak mau melihatmu yang lemah lagi.”

Jesika menajamkan sudut bibirnya. “Iya.”

Mungkin karena Ivan berada di dalam terlalu lama, Jeani di luar pun menjadi tidak sabar. Dia berdiri di ambang pintu dan mendesak, “Pak Ivan, kita jadi pergi ke pameran seni atau nggak?”

Sudut bibir Ivan langsung terangkat. Dia menyelimuti Jesika, lalu berbalik dan keluar, lalu merangkul Jeani dan pergi.

Tak lama kemudian, Jesika menerima telepon dari kantor catatan sipil. Akhirnya prosedur pencabutan status kependudukannya berhasil.

Jesika dengan cepat mengemas barang-barang penting, memeluk abu adiknya dan bergegas keluar dari vila.

Jesika telah menyelesaikan pencabutan status adiknya dan juga mengurus identitas baru untuk dirinya sendiri.

Dengan identitas barunya, dia membuka rekening bank di luar negeri dan membeli tiket pesawat ke Elusi.

Saat menaiki pesawat, Jesika merasakan kelegaan yang belum pernah dirinya rasakan sebelumnya.

Dia memeluk erat kotak abu adiknya, melihat kota yang telah memenjarakannya untuk terakhir kali, matanya pun berkaca-kaca.

Mulai sekarang, dia bukan lagi pelengkap bagi Ivan. Dia memiliki hidupnya sendiri! Dirinya bebas!
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 22

    Ivan tidak menunjukkan emosinya, hatinya terasa kosong. Berdiri di puncak kekuasaan, tiba-tiba dia merasa muak dan bosan.Dia mengalihkan semua aset atas namanya pada Jesika, berharap dia bisa hidup tanpa kekhawatiran. Ivan memberikan sejumlah uang pada asistennya, membiarkan asistennya pensiun dini.Melihat semuanya yang begitu familiar, dia kembali teringat Jesika, teringat bekas luka di punggungnya, teringat keputusasaan dan sikap dinginnya.Ivan sadar, dirinya belum menerima hukuman.Dia melepas kemejanya, mengambil rotan dan mencambuk dirinya sendiri dengan keras. Setiap pukulan menggunakan kekuatan penuh, tak lama kemudian tubuhnya sudah berlumuran darah dan luka.“Pengemis kecilku, maafkan aku.”“Pengemis kecilku, aku mencintaimu.”Sambil menghukum dirinya sendiri, Ivan sambil meminta maaf pada Jesika.Dia tak bisa tinggal sehari pun di Purim tanpa Jesika.Dengan tubuh penuh luka, Ivan berangkat menelusuri kembali jalan yang pernah dia lalui bersama Jesika. Memunguti kembali ken

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 21

    Ivan sangat gembira dan bergegas naik.Ini adalah pertama kalinya dia masuk ke vila Jesika. Rumah itu tidak besar, tapi ditata dengan sangat hangat, memberinya perasaan hangat seperti pulang ke rumah.Tiba-tiba, Ivan berpikir tinggal di sini juga menyenangkan.Asistennya bilang dirinya tak bisa menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja, dia akan membuktikan pada asistennya bahwa dirinya bisa.Asal bersama Jesika, kehidupan seperti apapun dia bersedia.Ekspresi wajahnya melembut. Keterpurukan di matanya perlahan menghilang. Dia mengikuti Jesika ke sebuah kamar.“Ivan, aku ingin adikku kembali,” ujar Jesika tiba-tiba, suaranya sangat tenang. Dia menunjuk ke kotak abu di atas meja.Wajah Ivan pun memucat.Kemudian, Jesika menunjuk ke sebuah kotak kecil di sampingnya dan berkata, “Aku mau anakku lahir dengan selamat.”Wajah Ivan semakin pucat.Jesika melepas jaketnya, memperlihatkan punggungnya yang penuh bekas luka, “Aku mau punggungku bersih seperti semula.”Wajah Ivan sudah tak berwarna

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 20

    “Pak Ivan, kamu…”“Jesika nggak mau kembali bersamaku,” ujar Ivan dengan sangat pelan, sangking pelannya nyaris tak terdengar.Asistennya bereaksi biasa saja. Seolah semuanya sudah dalam dugaannya. Dia tidak berbicara dan duduk diam di samping.Ivan menatapnya, mengerutkan kening dan bertanya, “Apa yang harus kulakukan?”Asisten agak terkejut, ini pertama kalinya Ivan menanyakan pendapatnya. Dia segera berdiri dan berkata dengan sangat hormat, “Pak Ivan, apa yang akan kukatakan mungkin nggak menyenangkan untuk kamu dengar, tapi aku sudah mendampingimu selama delapan tahun, aku juga sudah melihat perjalananmu bersama Bu Jesika.”Asisten itu sengaja berhenti sebentar, diam-diam mengamati reaksi Ivan. Melihat Ivan tidak marah, dia pun melanjutkan, “Kalian pernah mencintai dengan sangat menggebu, melewati badai besar, tapi kalian nggak mau melewati kehidupan yang biasa-biasa saja. Bu Jesika sudah pergi dan dia nggak akan kembali lagi.”“Aku bisa membantumu membawanya kembali secara paksa d

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 19

    Ivan berdiri di studio selama satu jam, barulah dia berbalik dan berjalan keluar.Batinnya terus berjuang dan ragu-ragu, apakah dirinya harus membawa Jesika pergi secara paksa.Jika sebelumnya, dirinya pasti akan memilih untuk membawanya kembali secara paksa. Asalkan wanita itu berada di sisinya.Namun sekarang, ada sedikit harapan dalam dirinya. Dia ingin Jesika kembali ke sisinya karena cinta, seperti dulu. Dia ingin membahagiakan Jesika.Dua pemikiran di benaknya terus berdebat, menyebabkan telinganya berdengung.Ivan mencari sebuah bar, memesan satu meja penuh minuman keras dan menenggaknya gelas demi gelas.Minuman keras yang melewati tenggorokan, tetap tidak mampu melarutkan keterpurukan dalam hatinya.Semakin banyak dia minum hatinya semakin sakit. Ivan bersandar di sandaran sofa, tertawa dan matanya berkaca-kaca.Bagaimana dirinya bisa membuat semuanya menjadi seperti ini…Padahal mereka sangat saling mencintai. Padahal Jesika tidak ingin meninggalkannya selangkahpun. Menagap d

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 18

    Jesika melangkah keluar dari balik Jave dan bertatapan dengan Ivan.Tiba-tiba, hati Ivan terasa sakit. Tatapan wanita itu dipenuhi ketakutan dan sedikit rasa jijik, dirinya tak bisa menemukan sedikit pun rasa cinta lagi.Sebuah pikiran mengerikan muncul, pengemis kecilnya sudah tidak mencintainya.Tidak, tidak mungkin.Dia hanya marah.Ivan jarang menurunkan gengsinya dan sikapnya melunak. “Ayo kita bicara sebentar, ada beberapa hal yang bisa aku jelaskan.”Jesika melirik Jave, Jave pun mengerti maksudnya dan membawa Yuna keluar.“Aku di luar, panggil saja kalau ada apa-apa.”Jesika mengangguk dengan penuh terima kasih.Wajah Ivan tampak muram, tidak suka melihat Jesika begitu akrab dengan pria lain.Di dalam ruangan, hanya tersisa Jesika dan Ivan.“Pak Ivan mau bicarakan apa?” Sikap Jesika terasa berjarak.Ivan hanya merasa dadanya sesak. “Jangan panggil aku begitu. Aku salah atas apa yang terjadi sebelumnya. Aku sudah tahu perbuatan Jeani padamu dan aku juga sudah membalaskannya untu

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 17

    Di kota kecil Jeman.Jesika sudah berada di sini selama tiga bulan. Dia sudah terbiasa dengan kehidupan di sini dan perlahan-lahan mulai akrab dengan tetangga di sekitarnya.Jave yang menyapanya hari itu juga berasal dari negara yang sama. Dia datang ke sini mengikuti ibunya yang menikah lagi. Dia punya satu adik blasteran yang bernama Yuna.Yuna baru berusia sepuluh tahun, kulitnya putih dan punya dua lesung pipi kecil yang menggemaskan saat tersenyum.Yuna sangat suka biola. Setiap kali mendengarkan Jesika bermain, wajahnya tampak terpesona.Jesika mulai mengajarinya bermain biola, sementara Jave memanfaatkan waktu ini untuk menemani mereka setiap hari.Tatapan Jave pada Jesika semakin hari semakin rumit. Terkadang Jave sampai terbengong melihatnya.Setiap kali Jesika menyadarinya, Jave akan menggaruk kepalanya karena malu dan mencari alasan untuk pergi.Jave dan Ivan adalah tipe orang yang sangat berbeda. Jave sangat ceria, seperti sinar matahari yang hangat dan membuat orang nyaman

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status