Share

Bab 6

Penulis: June
Jesika kembali dirawat di rumah sakit. Setelah tiga jam penanganan, barulah pecahan kaca di tubuhnya dibersihkan.

Setelah beristirahat selama beberapa hari di rumah sakit, Jesika memutuskan untuk keluar.

Ada beberapa hal yang harus diselesaikan.

Dia pergi ke bank untuk menarik sejumlah uang tunai, lalu menghubungi sebuah panti jompo misterius yang sangat kecil di pinggiran kota.

Dia bersedia menyumbangkan dana untuk pembangunan kembali panti jompo tersebut dan membeli mesin respirator baru, hanya agar mereka mau menerima adiknya dan merahasiakannya dari dunia luar, tanpa boleh dibocorkan pada siapapun.

Pengurus panti dengan senang hati menyetujuinya. Setelah dia dan adiknya mendapatkan identitas baru, mereka bisa menandatangani kontrak yang relevan untuk pemindahan.

Jesika tidak bisa membawa adiknya pergi sendirian, tapi dia meninggalkan uang yang tidak akan habis seumur hidup untuk adiknya.

Dia pergi ke rumah sakit lama untuk menjenguk adiknya, sekalian menyampaikan kabar baik ini padanya.

Begitu sampai di koridor ruangan adiknya, dia melihat perawat adiknya ditarik-tarik oleh sepasang suami istri paruh baya, sementara perawat itu mati-matian melindungi pintu kamar di belakangnya.

“Bu Jesika, akhirnya kamu datang juga. Orang-orang ini ingin masuk dan mengambil alat-alat Jason!”

Jesika bergegas maju, menarik orang di depannya dan membentak, “Apa yang kalian lakukan? Ini di rumah sakit! Siapa yang mengizinkan kalian membuat kekacauan?!”

“Apa yang kamu sombongkan? Siapa yang nggak tahu kamu sudah diusir dari Keluarga Sekta? Berani-beraninya menyentuhku! Aku akan menyuruh menantuku membunuhmu! Cepat minggir, adikmu yang cacat juga nggak akan hidup lama. Anakku masih menunggu respirator itu untuk menyelamatkan nyawanya,” ujar wanita paruh baya itu, sambil mendorong Jesika dengan keras.

Jesika terhuyung dan jatuh ke lantai. Pandangannya menjadi gelap, lalu mendongak dan berhadapan dengan tatapan Jeani yang penuh kemenangan.

“Jesika, kamu benar-benar menyedihkan.” Jeani melipat tangan di depan dada. “Kamu nggak bisa menghentikan orang tuaku, aku mau respirator itu.”

“Kenapa masih diam? Cepat pergi bantu!” Jeani memerintahkan pengawal Ivan untuk menahan perawat itu, lalu bergegas masuk ke kamar. Mereka secara paksa menarik alat-alat dari tubuh adiknya.

“Jangan! Dia bisa mati!” Jesika bangkit tiba-tiba, bergegas masuk untuk menghalangi. Dia menerobos ke bagian terdalam, merentangkan tangan untuk melindungi adiknya.

“Keluar! Jangan sentuh adikku!”

Ibu Jeani menjerit kesakitan dan terjatuh ke lantai. Jeani maju dengan cemas untuk memeriksa, lalu menatap Jesika dengan marah.

“Bu Jesika, kenapa kamu mendorong ibuku?! Pak Ivan yang menyuruh kami mengambil alat-alat ini. Kalau mau marah, jangan lampiaskan pada orang yang nggak bersalah!”

“Aduh, sakit sekali.” Ibu Jeani memegangi dada dan merintih kesakitan.

Begitu Ivan masuk, dia mendengar jeritan itu. Dia pun menunduk menatap Jeani.

“Ada apa?” Terdengar suara pria itu yang agak tidak senang.

“Mesin itu, aku nggak mau lagi,” ujar Jeani dengan ekspresi menyesal, memainkan trik untuk menarik simpati. “Luka kakakku nggak separah itu, nggak harus pakai mesin itu.”

“Bu Jesika seperti orang gila, dia sudah mendorong Ibuku dua kali. Kami nggak perlu lagi.”

Seketika, Ivan langsung memahami keseluruhan cerita. Dia menatap pengawal dengan dingin. “Seorang wanita saja kalian nggak bisa tangani?”

Beberapa orang itu awalnya agak ragu, tidak ingin terlalu kasar pada Jesika.

Melihat ketidakpuasan Ivan, salah satu dari mereka langsung meraih lengan Jesika dan menyeretnya ke samping.

“Ivan, jangan! Hentikan mereka!” teriak Jesika memohon pada Ivan, sambil melihat respirator adiknya dicabut.

“Ivan, suruh mereka keluar! Jangan sentuh adikku! Tanpa respirator, dia bisa mati!”

“Kumohon!”

Raut wajah Ivan menjadi semakin muram, Jesika semakin tidak patuh, berteriak-teriak seperti wanita gila. Semua etika yang dirinya ajarkan telah dilupakan. Sama sekali tidak memiliki sikap sebagai istrinya.

“Ivan, kamu nggak patuh lagi. Kenapa kamu menggunakan kekuasaan untuk menindas orang lain di sini? Hukuman yang kuberikan belum cukup?” Ivan meliriknya dengan tidak senang.

Seluruh tubuh Jesika gemetar. Dia membuka mulut, tapi tidak mengeluarkan suara lagi. Dia melihat anak buah Ivan membawa pergi alat itu.

Jesika didorong ke lantai. Dia segera bangkit, berlari ke sisi adiknya. Wajah adiknya sudah membiru. Dia segera menekan tombol darurat.

Namun, tidak ada jawaban. Sebuah pikiran putus asa muncul di benaknya, Ivan sengaja tidak mengizinkan dokter menyelamatkan adiknya untuk memberinya pelajaran.

“Dokter! Tolong!”

“Ada orang nggak? Aku bisa bayar, bayarannya banyak! Siapapun, tolong selamatkan adikku!”

Jesika menangis histeris di koridor. Tidak ada orang sama sekali di lantai tersebut. Dia menekan tombol lift dengan panik, tapi lift selalu berhenti di lantai satu.

Dia berlari menuruni tangga. Kakinya tergelincir dan dia langsung terguling ke bawah. Dia mengabaikan rasa sakit di tubuhnya dan terus berlari ke depan.

Dia menuruti tangga, berlari sejauh lima lantai baru menemukan orang.

Ketika dirinya akhirnya berhasil menemukan dokter untuk memeriksa adiknya, adiknya sudah meninggal karena kekurangan oksigen.

Jesika berdiri di depan ranjang adiknya, seperti kehilangan jiwa. Dia menatap adiknya dengan tatapan kosong. Dia membuka mulut, tapi bahkan menangis pun tak bisa.

Ternyata, rasa sakit yang mencapai puncaknya membuat orang tidak bisa menangis.

Dia menyesal, sangat menyesal.

Menyesal telah kembali ke rumah bersama Ivan bertahun-tahun yang lalu.

Menyesal telah mencintai Ivan.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 22

    Ivan tidak menunjukkan emosinya, hatinya terasa kosong. Berdiri di puncak kekuasaan, tiba-tiba dia merasa muak dan bosan.Dia mengalihkan semua aset atas namanya pada Jesika, berharap dia bisa hidup tanpa kekhawatiran. Ivan memberikan sejumlah uang pada asistennya, membiarkan asistennya pensiun dini.Melihat semuanya yang begitu familiar, dia kembali teringat Jesika, teringat bekas luka di punggungnya, teringat keputusasaan dan sikap dinginnya.Ivan sadar, dirinya belum menerima hukuman.Dia melepas kemejanya, mengambil rotan dan mencambuk dirinya sendiri dengan keras. Setiap pukulan menggunakan kekuatan penuh, tak lama kemudian tubuhnya sudah berlumuran darah dan luka.“Pengemis kecilku, maafkan aku.”“Pengemis kecilku, aku mencintaimu.”Sambil menghukum dirinya sendiri, Ivan sambil meminta maaf pada Jesika.Dia tak bisa tinggal sehari pun di Purim tanpa Jesika.Dengan tubuh penuh luka, Ivan berangkat menelusuri kembali jalan yang pernah dia lalui bersama Jesika. Memunguti kembali ken

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 21

    Ivan sangat gembira dan bergegas naik.Ini adalah pertama kalinya dia masuk ke vila Jesika. Rumah itu tidak besar, tapi ditata dengan sangat hangat, memberinya perasaan hangat seperti pulang ke rumah.Tiba-tiba, Ivan berpikir tinggal di sini juga menyenangkan.Asistennya bilang dirinya tak bisa menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja, dia akan membuktikan pada asistennya bahwa dirinya bisa.Asal bersama Jesika, kehidupan seperti apapun dia bersedia.Ekspresi wajahnya melembut. Keterpurukan di matanya perlahan menghilang. Dia mengikuti Jesika ke sebuah kamar.“Ivan, aku ingin adikku kembali,” ujar Jesika tiba-tiba, suaranya sangat tenang. Dia menunjuk ke kotak abu di atas meja.Wajah Ivan pun memucat.Kemudian, Jesika menunjuk ke sebuah kotak kecil di sampingnya dan berkata, “Aku mau anakku lahir dengan selamat.”Wajah Ivan semakin pucat.Jesika melepas jaketnya, memperlihatkan punggungnya yang penuh bekas luka, “Aku mau punggungku bersih seperti semula.”Wajah Ivan sudah tak berwarna

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 20

    “Pak Ivan, kamu…”“Jesika nggak mau kembali bersamaku,” ujar Ivan dengan sangat pelan, sangking pelannya nyaris tak terdengar.Asistennya bereaksi biasa saja. Seolah semuanya sudah dalam dugaannya. Dia tidak berbicara dan duduk diam di samping.Ivan menatapnya, mengerutkan kening dan bertanya, “Apa yang harus kulakukan?”Asisten agak terkejut, ini pertama kalinya Ivan menanyakan pendapatnya. Dia segera berdiri dan berkata dengan sangat hormat, “Pak Ivan, apa yang akan kukatakan mungkin nggak menyenangkan untuk kamu dengar, tapi aku sudah mendampingimu selama delapan tahun, aku juga sudah melihat perjalananmu bersama Bu Jesika.”Asisten itu sengaja berhenti sebentar, diam-diam mengamati reaksi Ivan. Melihat Ivan tidak marah, dia pun melanjutkan, “Kalian pernah mencintai dengan sangat menggebu, melewati badai besar, tapi kalian nggak mau melewati kehidupan yang biasa-biasa saja. Bu Jesika sudah pergi dan dia nggak akan kembali lagi.”“Aku bisa membantumu membawanya kembali secara paksa d

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 19

    Ivan berdiri di studio selama satu jam, barulah dia berbalik dan berjalan keluar.Batinnya terus berjuang dan ragu-ragu, apakah dirinya harus membawa Jesika pergi secara paksa.Jika sebelumnya, dirinya pasti akan memilih untuk membawanya kembali secara paksa. Asalkan wanita itu berada di sisinya.Namun sekarang, ada sedikit harapan dalam dirinya. Dia ingin Jesika kembali ke sisinya karena cinta, seperti dulu. Dia ingin membahagiakan Jesika.Dua pemikiran di benaknya terus berdebat, menyebabkan telinganya berdengung.Ivan mencari sebuah bar, memesan satu meja penuh minuman keras dan menenggaknya gelas demi gelas.Minuman keras yang melewati tenggorokan, tetap tidak mampu melarutkan keterpurukan dalam hatinya.Semakin banyak dia minum hatinya semakin sakit. Ivan bersandar di sandaran sofa, tertawa dan matanya berkaca-kaca.Bagaimana dirinya bisa membuat semuanya menjadi seperti ini…Padahal mereka sangat saling mencintai. Padahal Jesika tidak ingin meninggalkannya selangkahpun. Menagap d

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 18

    Jesika melangkah keluar dari balik Jave dan bertatapan dengan Ivan.Tiba-tiba, hati Ivan terasa sakit. Tatapan wanita itu dipenuhi ketakutan dan sedikit rasa jijik, dirinya tak bisa menemukan sedikit pun rasa cinta lagi.Sebuah pikiran mengerikan muncul, pengemis kecilnya sudah tidak mencintainya.Tidak, tidak mungkin.Dia hanya marah.Ivan jarang menurunkan gengsinya dan sikapnya melunak. “Ayo kita bicara sebentar, ada beberapa hal yang bisa aku jelaskan.”Jesika melirik Jave, Jave pun mengerti maksudnya dan membawa Yuna keluar.“Aku di luar, panggil saja kalau ada apa-apa.”Jesika mengangguk dengan penuh terima kasih.Wajah Ivan tampak muram, tidak suka melihat Jesika begitu akrab dengan pria lain.Di dalam ruangan, hanya tersisa Jesika dan Ivan.“Pak Ivan mau bicarakan apa?” Sikap Jesika terasa berjarak.Ivan hanya merasa dadanya sesak. “Jangan panggil aku begitu. Aku salah atas apa yang terjadi sebelumnya. Aku sudah tahu perbuatan Jeani padamu dan aku juga sudah membalaskannya untu

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 17

    Di kota kecil Jeman.Jesika sudah berada di sini selama tiga bulan. Dia sudah terbiasa dengan kehidupan di sini dan perlahan-lahan mulai akrab dengan tetangga di sekitarnya.Jave yang menyapanya hari itu juga berasal dari negara yang sama. Dia datang ke sini mengikuti ibunya yang menikah lagi. Dia punya satu adik blasteran yang bernama Yuna.Yuna baru berusia sepuluh tahun, kulitnya putih dan punya dua lesung pipi kecil yang menggemaskan saat tersenyum.Yuna sangat suka biola. Setiap kali mendengarkan Jesika bermain, wajahnya tampak terpesona.Jesika mulai mengajarinya bermain biola, sementara Jave memanfaatkan waktu ini untuk menemani mereka setiap hari.Tatapan Jave pada Jesika semakin hari semakin rumit. Terkadang Jave sampai terbengong melihatnya.Setiap kali Jesika menyadarinya, Jave akan menggaruk kepalanya karena malu dan mencari alasan untuk pergi.Jave dan Ivan adalah tipe orang yang sangat berbeda. Jave sangat ceria, seperti sinar matahari yang hangat dan membuat orang nyaman

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status