Share

Bab 4. Rahasia Andhika

"Kok, kamu jadi bengong?” tanya Cinta melihat tatapan mata Andhika yang menerawang.

Andhika tersentak. “Eh, enggak, aku tiba-tiba kepikiran sesuatu, tapi sudahlah aku senang akhirnya kamu sudah sadar kembali.”

“Kata Mami kamu menungguiku selama ini ?”

Andhika mengangguk, “Tentu saja, beberapa teman kuliah kita juga sempat datang, ada Anya, Widhi, Ronggur bahkan Robin yang sekarang tinggal di Bandung menyempatkan diri datang di sela–sela seminar yang diikutinya.”

Cinta tersenyum, bahagia rasanya dikelilingi oleh orang–orang yang mencintainya. 

“Aku kangen sama kamu.“

“Aku juga.”

“Bagaimana kalau aku tidak bisa pulih lagi ?” tanya Cinta cemas

“Hus, jangan bicara seperti itu, kamu kayak bukan dokter aja, ingat setengah dari pengobatan itu adalah sugesti.”

Cinta tertawa, itu yang selalu ia katakan pada pasiennya saat memompakan semangat  pada mereka agar berjuang untuk kesembuhannya.

“Melihat kamu, semangat hidupku bangkit lagi.”

“Ya, tentu saja, kamu harus sembuh, biar rencana kita bisa segera terwujud.”

“Tapi, kamu mau menunggu kan ?” tanya Cinta manja.

Andhika mengangguk, tiba-tiba hatinya menjadi resah. Wajah Dokter Anton Papanya Cassandra melintas lagi, tawaran itu sangat menggiurkan, dengan biaya sendiri mana mungkin ia sanggup, tapi Cinta…

 “Cin, mumpung ada Andhika, Mami tinggal dulu ya sebentar, ada beberapa barang yang ingin Mami beli,” ujar Mami yang sejak tadi duduk di sampingnya.

 Cinta mengangguk, Andhika mengantarkan Mami sampai pintu, baru sebentar Andhika menutup pintu, tiba-tiba pintu diketuk, seorang perawat masuk diiringi sosok tinggi semampai yang sangat menawan.

 Andhika tersentak kaget, sementara Cinta memandang wanita cantik itu dengan heran karena merasa belum pernah mengenalnya.

 “Cassandra….” desis Andhika. “Untuk apa kamu datang ke sini ?”

 Wanita yang bernama Cassandra itu tersenyum, ia menatap Cinta masih dengan senyum tersungging di bibirnya, tapi Cinta merasa tidak enak melihat senyum itu, entah mengapa hatinya  menjadi resah.

 “Kenalkan ini Cassandra, public relation rumah sakit ini. Ia juga anak salah seorang pemilik saham terbesar di sini,” ucap Andhika tanpa diminta, seolah menjawab kebingungan Cinta.

 “Oooh…” ucap Cinta sambil tersenyum.

 “Wah aku ternyata begitu istimewa ya sampai ditengok oleh anak pemilik rumah sakit ini segala,“ ujar Cinta.

 “Tentu saja,“ ucap Cassandra.

“Temannya Dokter Andhika, sama dengan teman saya juga.”

 Teman? apakah Cassandra tidak tahu  ia tunangannya Andhika? Cinta menatap wajah Andhika mencoba meminta penjelasan darinya, Andhika terlihat gugup namun segera ia berusaha menguasai keadaan.

 “Seluruh staff di rumah sakit ini menganggap semua pasien adalah teman, jadi harus dirawat dengan sepenuh hati, begitu kan Cassandra?” ucap Andhika dengan nada ditekankan.

 “Iya, betul ucapan Dokter Andhika tadi,” ujar Cassandra seolah meralat ucapannya yang tadi. Cinta mengangguk sambil tersenyum, tapi hatinya masih merasa resah, bahasa tubuh Cassandra saat dekat dengan Andhika terasa beda.

Ah, ia segera menepis pikiran jeleknya, tidak baik berprasangka buruk pada orang.

 Cassandra tidak lama berada di kamar Cinta, ia pamit.dengan alasan mau melihat keadaan pasien – pasien yang lainnya. 

 Hanya selang beberapa menit setelah kepergian gadis itu,  Andhika pamit sebentar keluar, ia tidak mengatakan keperluannya pada Cinta, tetapi, Cinta merasa yakin Andhika ingin menyusul Cassandra, entah untuk apa.

   Cinta kembali membuang segudang prasangka di dalam hatinya. dari dulu ia selalu merasa biasa saja kalau Andhika bergaul dengan teman-teman wanitanya. Namun, kali ini perasaannya terasa lain.

 Sudah bukan rahasia lagi Dokter Andhika yang tampan menjadi incaran cewek-cewek cantik di kampus. Cinta selalu yakin pada kesetian Andhika dan itu memang terbukti. Sampai Cinta lulus kuliah dan menjalani PTT, dokter Andhika masih selalu setia. Andai saja tidak terjadi kecelakaan ini mungkin pernikahan mereka sudah dipersiapkan dari sekarang.

 Tetapi, saat ini, di saat dirinya terbaring tidak berdaya, tiba-tiba Cinta merasakan kehilangan rasa percaya diri dan sedikit kepercayaannya kepada Andhika.

Apalagi melihat gadis sekelas Cassandra yang kelihatan begitu stunning untuk seorang PR rumah sakit.

 Tiba-tiba Cinta merasa sangat merana.

INTERLUDE

 Arul berjalan tergesa, seikat mawar merah dalam genggamannya terlihat segar, sesekali ia melirik jam tangannya seolah takut kehilangan sebuah momen penting dalam hidupnya.

 Ia berhenti di meja customer service, seorang gadis berwajah ramah langsung menyambutnya.

 “Selamat sore … ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan senyum tersungging di bibirnya yang berlipstik merah bata, serasi dengan seragam batik yang juga berwarna merah bata yang dikenakannya.

 “Hm, saya temannya Dokter Cinta, saya ingin membesuknya, tetapi,  saya tidak tahu dia di rawat di kamar nomer berapa?”

 “Tunggu sebentar, saya cek dulu di computer.  Cinta Lestari ... Oh beliau di rawat di kamar VIP nomor 1.004, itu ada di lantai satu. Silakan naik lift yang di ujung ruangan ini, tetapi , maaf sebentar lagi jam besuk hampir habis.”

 Setelah mengucapkan terimakasih, ia berjalan tergesa menuju lift yang ditunjukan oleh gadis tadi, tidak sabar rasanya ia ingin menemui Cinta, ia ingin tahu keadaan gadis  yang akhir – akhir ini sering mengisi mimpi–mimpinya.

 Tidak sampai sepuluh menit ia sudah ada di depan pintu kamar nomor 1.004, Ia sudah akan mengetuk pintu. Namun,  mengurungkan niatnya saat dari kaca pintu terlihat sosok laki– laki yang sedang asyik berbincang dengan Cinta.

 Arul langsung menebak kalau lelaki itu adalah  tunangannya Dokter Cinta. Ah, ia tidak ingin niat baiknya menengok Cinta menjadi disalah artikan olehnya, apalagi dengan seikat mawar merah di tangannya.

 “Selamat sore, maaf ada yang bisa saya bantu?” tiba–tiba seorang perawat yang membawa kereta dorong berisi makanan sudah berdiri di samping  Arul. 

 “Selamat sore. Sus, saya mau menengok Dokter Cinta, tapi kelihatannya sedang asyik berbincang dengan seseorang di dalam sana, saya jadi takut mengganggu.”

 “Oh, itu kan Dokter Andhika tunangannya, tidak apa–apa kok masuk aja, ia memang selalu menyempatkan diri menengok Dokter  Cinta setiap ada waktu luangnya.”

 “Hmm…begitu ya.”

 “Beruntung banget Dokter Cinta, memiliki tunangan sebaik Dokter Andhika,” ujar perawat itu lagi.

 Arul mengangguk sependapat, mawar dalam genggamannya dipegang erat. Ia jadi merasa kehilangan kepercayaan dirinya untuk masuk ke ruangan di depannya di mana Cinta terbaring. Rasanya melihat dari kaca ini saja ia sudah cukup puas karena Cinta sekarang sudah siuman.

 “Jadi masuk tidak ? sekalian saya juga mau mengantarkan ini ke dalam,” ajak perawat itu lagi.

 “Oh….enggak usah deh. Bagaimana kalau saya titip mawar ini saja, tolong katakan dari saudaranya, begitu ya.”

 Perawat itu mengangguk walaupun dari raut wajahnya ia kelihatan sedikit bingung. Setelah menyimpan mawar di atas kereta dorongnya, ia lalu mengetuk pintu, sesaat kemudian tubuhnya sudah menghilang di balik pintu. 

Sekali lagi Arul menatap dari balik kaca, dokter Andhika telah menempati tempat yang istimewa di hati Cinta dan ia merasa tidak mungkin untuk mengambil posisi itu. Ah apakah mencintai berarti harus memilki ?

 Dengan langkah yang sedikit gontai, ia melangkah menyusuri koridor. Dari jauh ia datang berharap bisa melihat senyum Dokter Cinta saat melihatnya membawa seikat mawar merah.

Ternyata Dokter Cinta memang sudah bertunangan dan tunangannya seorang dokter juga, tampan baik dan setia, betul betul pasangan yang sangat serasi.

 Arul merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Apakah ia harus bahagia melihat Cinta ternyata sudah memiliki pasangan yang sangat mencintainya ataukah bersedih karena kemungkinan memiliki gadis itu rasanya sudah tertutup.

 Kata orang cinta tidak harus memiliki. Jika memang perasaannya kepada dokter Cinta adalah cinta yang sejati, seharusnya ia bahagia melihat kebahagiaan yang dirasakan oleh gadis itu.

Mungkin dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menata hati yang terlanjur berharap. Tapi ia juga menyadari bahwa jodoh, rizki dan maut memang sudah ada yang mengatur, ia hanya bisa berusaha selebihnya adalah berserah diri kepadaNya.

Memaknai hidup harusnya seperti air yang mengalir dari hulu. Terkadang ia harus melalui celah yang sempit, terkadang ia harus terjun bebas dan ia selalu melalui jalan yang penuh kelokan sebelum akhirnya menemukan muaranya.

Lautan yang maha luas .…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status