Halo aku kembali lebih cepat dari yang aku janjikan :') Ternyata aku tidak bisa lama-lama mengabaikan novel ini. Rasanya gabuut karena sudah terbiasa menulis sebelum bobo.
Setelah sarapan, Marcus bersiap-siap untuk pergi bekerja. Ia memberikan pelukan dan kecupan ringan di kening istrinya sebelum berpamitan dan masuk ke mobilnya.Dari pintu rumah Anna tersenyum memperhatikan mobil Marcus yang mulai menjauh meninggalkan halaman rumah mereka. Ia menghela napas sejenak sembari mengusap perut buncitnya lalu menutup pintu dan berjalan kembali ke kamar.Ia berencana untuk melanjutkan tidurnya sejenak sebelum bersiap-siap ke kantornya untuk memeriksa beberapa hal. Selama beberapa bulan ini dia memang tidak pernah mendatangi langsung tempat itu dan menyerahkan semua pekerjaannya di tempat kepada Rosy, meskipun terkadang ada beberapa berkas yang harus ia periksa sendiri di rumah.Namun, setelah keadaan sudah jauh lebih baik, ia memutuskan untuk pergi ke kantor dan menyapa semua pegawainya. Jujur saja ia merindukan mereka semua. Ia berharap semua pegawainya bekerja dengan baik selama ini meskipun tanpa pengawasannya langsung.****“Nyonya, nyonya...”Sayup-sayup
Setibanya di rumah, Marcus berjalan dengan tergopoh-gopoh memasuki rumah. “Anda sudah tiba, Tuan,” sapa Percy begitu bertemu Marcus di ruang tengah. “Dimana ibuku?” tanyanya dengan ekspresi penuh kecemasan. “Apa Anna baik-baik saja?” lanjutnya. Percy tersenyum melihat bagaimana khawatirnya Marcus kepada Nyonya baru mereka. Ia pun menjawab, “Nyonya muda baik-baik saja, saat ini mereka sedang minum teh di teras samping.” Dahi Marcus berkerut dalam mendengar jawaban Percy. Iya tidak menduga bahwa ibunya akan bersedia minum teh bersama Anna dengan tenang. “Antar aku ke sana,” kata Marcus akhirnya sembari berjalan mengikuti Percy yang mengantarnya ke teras di samping rumah yang menghadap ke taman. “Bagaimana bisa kau memiliki ide untuk membuat cake mangga ini? Rasanya tidak terlalu manis dan juga terasa begitu segar.” Clara memuji cake mangga buatan Anna yang sedang ia makan. Ia sangat menikmati semua cemilan yang Anna buat. Itu benar-benar sesuai dengan seleranya karena tidak begitu s
Rosy termenung memandangi kartu undangan pernikahannya yang sudah selesai dan akan segera dibagikan kepada para koleganya dan juga kolega Ernest. Satu minggu lagi ia akan resmi menjadi seorang istri Ernest Mars, karena itu undangan sudah mulai dibagikan.“Rosy, Tuan Mars datang untuk mengajakmu makan siang.”Rosy mendongakkan kepala menatap Sunny yang membuka pintu ruangannya. Ia mengangguk sebagai jawaban dan meminta Sunny untuk meminta Ernest menunggu sebentar.Ia membawa beberapa kartu undangan yang tersisa dan memasukkannya ke dalam tas untuk dibagikan ke pemilik restoran tempat mereka biasa makan siang. Setelah makan di restoran itu beberapa kali, para pegawai di sana mulai mengenali mereka, mengingat Ernest juga cukup terkenal dengan kepribadiannya yang ramah di Boston.“Halo, sayang,” sapa Ernest begitu melihat Rosy datang menghampirinya yang menunggu di ruang penerimaan tamu. Pria itu memberikan kecupan singkat di dahi Rosy membuat beberapa pegawai yang melihat mereka bersorak
“Brandon,” sapa Ernest begitu Brandon berdiri di depannya. Pria itu memang menolak untuk dipanggil paman oleh Rosy maupun Ernest, ia tidak ingin terlihat tua padahal umur mereka tidak begitu jauh berbeda.“Tolong tepati janjimu untuk selalu menjaga, mencintai, dan membuat Rosy selalu bahagia. Meskipun aku tidak berhak mengatakan ini, tetapi aku benar-benar akan membunuhmu jika kau membuat anak itu menangis apalagi menyakitinya,” ucap Brandon sembari memeluk Ernest.Ernest memasang ekspresi seriusnya dan mengangguk mantap untuk meyakinkan Brandon bahwa ia akan menepati janjinya. Tidak pernah terlintas di pikirannya untuk mengkhianati Rosy ataupun menyakitinya.“Ya, aku tidak akan mengecewakanmu.”“Bagus,” Brandon tersenyum puas lalu menatap Rosy yang kini juga menatapnya. Ia mengalihkan wajahnya sejenak berusaha menahan dirinya untuk tidak menangis juga ketika melihat mata Rosy yang basah oleh air mata.“Bodoh.” Ucap Rosy tiba-tiba membuat Brandon menatap gadis itu dengan ekspresi aneh
“Apa yang terjadi?!” Jennifer masuk ke kamar Marcus dengan ekspresi cemas. Ia segera menghampiri Anna yang sedang mengerang kesakitan di atas ranjang dengan Marcus di sisinya menggenggam tangan wanita itu.“Aku tidak tahu, Anna kesakitan setelah meminum jus yang kuminta dari pelayan.”Jennifer tidak bertanya lagi ketika ia dengan sigap mengeluarkan semua peralatannya dan mulai memeriksa kondisi Anna. Di sebelahnya, Marcus memperhatikan dengan wajah tegang dan terus menggenggam tangan Anna yang menggenggam tangannya dengan erat.Anna terus mengeluh kesakitan sementara keringat dingin membasahi wajahnya. Bibirnya mulai memucat membuat Marcus semakin dilanda kepanikan.“Bagaimana kondisinya?! Bisakah kau cepat?!” Desak Marcus pada Jennifer yang masih terlihat memeriksa keadaan istrinya. Ia benar-benar tidak dapat menahan diri karena melihat wanita yang ia cintai kesakitan seperti itu. Dalam hati ia bersumpah akan membunuh siapapun yang telah membuat Anna terluka!“Anna keracunan. Aku tid
Marcus masih berdiri diam di tempatnya memandangi pintu ruang operasi selama satu jam. Hingga detik itu masih belum ada tanda-tanda bahwa operasi berakhir. Hatinya tidak dapat tenang. Ada rasa ingin sekali mendobrak pintu itu untuk mengetahui kondisi anak dan istrinya, namun ia urungkan mengingat bahwa bisa saja hal itu malah membahayakan mereka.“Tuan, sebaiknya Anda duduk. Anda sudah berdiri lebih dari satu jam di sini,” ujar bibi Jessy yang tengah duduk di kursi yang tersedia di lorong itu. Ia menatap Marcus dengan prihatin karena ekspresi pria itu terlihat sangat buruk. Tatapannya begitu kosong, membuat bibi Jessy sangat khawatir.Marcus mengalihkan pandangan kepada bibi Jessy yang duduk di depannya. Ia menghela napas dan akhirnya memutuskan untuk duduk. Melihat itu bibir bibi Jessy berkembang, ia tersenyum lega melihat Marcus menurutinya.Tepat setelah Marcus duduk, ponselnya berdering dengan keras membuat Marcus tersentak dan mengambil ponsel di dalam saku jasnya. Ia menatap nam
Marcus mengepalkan tangannya menahan amarah yang sudah ia tahan sejak tadi. Jika bukan karena Arthur saudara kandung Anna, maka dapat dipastikan Arthur sudah mati sejak Marcus tiba di tempat itu.“Kau—“ Saat Marcus hendak berbicara, ponselnya berdering nyaring mengalihkan perhatian pria itu. Dengan sigap ia mengeluarkan ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, berjaga-jaga apabila itu panggilan dari bibi Jessy. Dan benar saja, itu adalah panggilan dari bibi Jessy.“Tuan! Operasi sudah selesai. Dokter meminta Tuan untuk kembali dan menemuinya!” Marcus tersentak mendengar ucapan bibi Jessy, ia pun menjawab, “aku akan kembali sekarang,” jawabnya singkat dan langsung menutup panggilan telepon.Pandangannya beralih pada sosok Arthur yang masih terbaring di lantai dengan mata penuh dendam menatap Marcus. Tubuhnya sesekali memberontak; mencoba melepaskan diri dari ikatan di kursi.“Aku akan membiarkanmu tetap hidup, hingga saat itu, pikirkan dan renungkan kesalahanmu sebelum aku b
Anna tertegun di tempatnya berdiri memandangi padang rumput di sekitarnya. Angin berhembus dari selatan membuat gaun putih yang ia kenakan berkibaran. Rambut panjang sepunggungnya berderai dan bergoyang mengikuti hembusan angin, membuat Anna sesekali menyisipkan anakan rambutnya ke belakang telinga.“Ini di mana?” gumamnya dengan kebingungan. Ia mencoba berjalan dengan bertelanjang kaki di atas tanah berumput hijau itu mencoba mencari tahu tempat apa itu.“Ibu!”“Ibuu!” Samar-samar Anna mendengar suara anak laki-laki kecil yang terdengar seolah tengah memanggilnya. Hatinya seolah berdesir mengenali suara anak kecil itu. Ia berhenti berjalan dan mengalihkan pandangannya menelusuri setiap sisi daerah itu.Dari arah barat daya mulai terlihat seosok anak lelaki berusia lima tahun yang berlari kecil ke arahnya.Mata Anna membulat sempurna saat melihat bocah lelaki itu terlihat tidak asing. Bibirnya kecil, matanya begitu bulat dan besar, rambutnya berwarna hitam kecoklatan, hidung yang man