"Beberapa orang tidak nyaman melihatmu sembuh, karena mereka lebih akrab dengan versi lukamu."
—Inaya, dalam catatan hariannya Tiga minggu setelah seminar nasional, Rayendra kembali sibuk. Tidak sibuk yang lama, bukan pelarian, bukan “kesibukan sebagai topeng rasa hampa.” Kali ini ia sibuk dengan ritme yang lebih sadar: memilih undangan, menolak beberapa tawaran wawancara, menyusun ulang modul pengajaran bersama dosen muda. Tapi seperti biasa, dunia tidak diam, dunia akademik tidak lupa, dan dunia profesional selalu lebih tertarik pada versi dirimu yang paling bisa dipasarkan. Suatu pagi, email dari seorang editor senior di sebuah penerbit nasional masuk: “Kami ingin mengajak Anda untuk menulis kembali topik 'Selingkuh Itu Ilmiah' sebagai seri buku populer. Versi Anda kini lebih matang, dan akan sangat relevan. Kami ingin pembaca tahu bahwa Anda tidak berhenti, hanya tumbuh.” Rayendra membaca email itu berulang kali. Di satu sisi, tawaran itu terdengar memvalidasi, tapi di sisi lain ada sesuatu yang menegang di dalam dirinya. Apakah ia akan menulis lagi untuk dilihat? Atau kali ini benar-benar menulis untuk hadir? Ia menunjukkan email itu kepada Inaya saat mereka makan malam di warung sederhana, jauh dari pusat kota. Inaya membaca dengan saksama, lalu bertanya: “Kalau kamu terima, kamu menulis sebagai siapa? Sebagai Rayendra yang dulu, atau Rayendra yang kamu bangun sekarang?” Rayendra mengangkat bahu. “Mungkin campuran keduanya?” Inaya mengaduk es tehnya pelan. “Hati-hati, Ren, campuran itu kadang jadi racun kalau kamu tidak tahu mana yang lebih dominan.” Dua hari kemudian, ia menghadiri rapat fakultas. Di dalam ruang rapat, suasananya jauh dari hangat. Beberapa dosen senior, termasuk Prof. Satria, kembali menyinggung proyek lama yang dulu pernah dibatalkan karena “kekacauan citra publik.” “Kalau Anda sudah siap kembali menulis buku populer, itu bisa jadi batu loncatan untuk memperbaiki nama baik universitas,” kata Satria sambil menyesap kopinya. Rayendra tidak menjawab, ia tidak ingin menyanggah, tapi ia juga tidak ingin mengiyakan hanya karena tekanan. Satria menambahkan, “Jangan lupa, dulu Anda dikenal karena keberanian mengangkat hal-hal tabu. Jangan terlalu lembek sekarang, nanti kehilangan taring.” Kalimat itu menempel di kepala Rayendra sepanjang hari. Malamnya, Rayendra dan Inaya duduk di rumah kontrakan. Hujan turun perlahan, angin membawa aroma tanah basah. Sambil melipat selimut, Inaya bertanya, “Apa yang kamu takutkan kalau kamu menolak tawaran itu?” “Takut kehilangan tempat di dunia yang dulu aku bangun sendiri,” jawabnya jujur. “Dulu, saat semua orang mencaci, aku tetap bisa bertahan karena aku tahu aku punya suara, tapi sekarang, aku merasa aku lebih tenang, tapi lebih tak terlihat.” “Dan kamu rindu dilihat?” Rayendra mengangguk pelan. Inaya tidak menghakimi, ia hanya memegang tangannya. “Kita semua rindu jadi versi kita yang kuat,” katanya. “Tapi kadang versi yang kuat itu lahir dari ketakutan yang belum selesai. Sekarang kamu sedang membangun versi yang tidak keras, tapi utuh. Itu jauh lebih sulit, tapi lebih jujur.” Beberapa hari kemudian, Rayendra duduk sendirian di ruang dosen. Ia membuka laptop dan mulai menulis ulang bagian pertama naskah lamanya: Selingkuh Itu Ilmiah. Tapi baru lima kalimat, ia berhenti karena kalimat-kalimat itu terasa seperti sedang mencoba menjadi sesuatu yang tidak lagi cocok untuk kulit barunya. Ia menutup dokumen itu, lalu membuka folder baru, menulis judul: “Selingkuh Itu Tidak Selesai.” Rayendra menatap layar kosong di depan folder baru itu. Judulnya sudah ada, tapi belum ada isi. Tangannya menyentuh touchpad, tapi tidak bergerak. Kepalanya penuh, tapi jari-jarinya kaku. Ia merasa seperti orang yang memegang ember penuh air, tapi tidak tahu ke mana harus menuangnya. Dalam kepalanya, suara-suara lama berdengung: “Kalau kamu nggak bersuara, orang lain yang akan menentukan narasi hidupmu.” “Kalau kamu nggak kembali menulis, semua yang kamu perjuangkan dulu sia-sia.” Suara-suara itu bukan dari luar, mereka berasal dari dirinya sendiri, dari tahun-tahun ketika ia merasa hanya dihargai saat bicara keras, saat mengguncang ruang diskusi, saat melawan arus, tahun-tahun ketika ia tak tahu caranya menjadi cukup tanpa harus menang. Ia menutup laptop, berdiri, mengambil jurnal, lalu menulis: “Aku rindu didengar, tapi aku lebih rindu tidak perlu bicara untuk merasa nyata. Apakah itu mungkin? Apakah seseorang bisa hadir tanpa harus dianggap penting oleh orang banyak?” Ia terdiam, lalu menambahkan: “Mungkin aku bisa, kalau ada satu saja orang yang melihatku tanpa menuntutku jadi versi heroik.” Ia menatap tulisan itu lama, lalu tersenyum: bukan untuk menjawab dunia, tapi untuk berbicara pada dirinya sendiri. Keesokan harinya, ia mengirim email balasan ke editor: “Saya berterima kasih atas tawaran Anda, tapi saya tidak ingin menulis untuk menyelesaikan sesuatu yang belum saya pahami sepenuhnya. Jika saya menulis lagi, saya ingin menulis tentang keraguan, dan jika penerbit Anda cukup berani menerbitkan keraguan, bukan kebenaran, maka saya akan siap.” Balasan belum datang, tapi Rayendra merasa lega. Malam harinya, Inaya menulis sesuatu di buku catatannya. Rayendra yang duduk di sebelahnya, bertanya, “Kamu nulis apa?” Inaya menjawab, “Tiga kalimat.” “Apa saja?” “Pertama: Aku mencintai kamu bukan karena kamu tahu semuanya, tapi karena kamu berani bilang 'aku tidak tahu'. Kedua: Aku tidak ingin kamu kembali jadi dirimu yang dulu hanya karena dunia bilang itu lebih menguntungkan. Ketiga: Kalau kita tersesat, jangan cari jalan keluar dulu, duduk saja sebentar, barangkali itu bukan jalan buntu, tapi tempat istirahat.” Rayendra memejamkan mata. Hujan makin deras. Dan di antara sunyi itu, ia tahu dunia mungkin tidak suka versi baru dirinya, tapi Inaya selalu punya ruang untuk semua versinya, yang dulu, yang sekarang, dan yang belum selesai. Tiba-tiba, ponsel Rayendra berdering. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Dengan ragu, ia mengangkatnya. "Halo, selamat malam. Apa benar ini Rayendra Mahendra?" Suara seorang wanita terdengar di seberang sana. "Benar, saya sendiri. Ada apa ya?" jawab Rayendra, sedikit waspada. "Saya dari pihak kepolisian. Kami ingin memberitahukan bahwa mantan istri Anda, Nadia, mengalami kecelakaan tunggal di Bali..."Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup
"Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin
Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu
Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat
"Resepsi pernikahan adalah perayaan cinta, tempat dua hati bersatu dalam kebahagiaan yang tak terhingga." —Rayendra, dalam pidato pernikahannya Setelah upacara pemberkatan yang khidmat, Rayendra dan Inaya bergegas menuju ballroom hotel yang telah disulap menjadi sebuah taman impian. Dekorasi bunga-bunga segar berwarna pastel memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang romantis dan elegan. Para tamu undangan sudah memadati ballroom, memberikan ucapan selamat dan doa restu kepada Rayendra dan Inaya. Senyum bahagia terpancar dari wajah kedua mempelai. "Selamat ya, Rayendra, Inaya," ucap Kanya sambil memeluk kedua sahabatnya. "Semoga kalian selalu bahagia dan langgeng." "Terima kasih, Kanya," balas Rayendra. "Kau adalah salah satu orang yang paling berjasa dalam hidup kami." "Selamat menempuh hidup baru, Inaya," ucap Aluna sambil memeluk Inaya. "Semoga kau dan Rayendra selalu saling mencintai dan mendukung." "Terima kasih, Aluna," balas Inaya. "Aku senang kau bisa hadir di sini." Ra
"Di altar ini, dua jiwa berjanji untuk selamanya, mengukir kisah cinta abadi yang tak lekang oleh waktu." —Inaya, dalam sumpahnya Mentari pagi menyinari Jakarta dengan hangat, seolah ikut berbahagia menyambut hari pernikahan Rayendra dan Inaya. Di sebuah hotel mewah, suasana terasa begitu sibuk namun penuh sukacita. Inaya duduk di depan meja rias, dikelilingi oleh para perias yang sedang bekerja keras menyulapnya menjadi seorang ratu sehari. Ia mengenakan robe berwarna putih gading dengan detail renda yang elegan. "Kamu cantik sekali, Inaya," puji Kanya yang datang menemaninya. "Rayendra pasti pangling melihatmu nanti." Inaya tersenyum malu. "Aku gugup sekali," akunya. "Ini adalah hari yang sangat penting dalam hidupku." "Tenang saja," balas Kanya sambil menggenggam tangan Inaya. "Semua akan berjalan lancar. Kau dan Rayendra pantas mendapatkan kebahagiaan ini." Sementara itu, di kamar lain, Rayendra juga sedang bersiap-siap. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam yang membuatn