Home / Romansa / Selingkuh itu Ilmiah / Bab 21: Ruang untuk Kembali

Share

Bab 21: Ruang untuk Kembali

Author: gilang
last update Last Updated: 2025-07-23 14:23:30

"Aku tidak ingin kamu kembali karena rindu, aku ingin kamu kembali karena tahu kamu bisa pulang tanpa harus kehilangan siapa dirimu."

—Rayendra, dalam jurnal malam

Rayendra tidak mengira Inaya akan kembali hari itu. Tidak ada kabar, tidak ada isyarat. Tapi saat ingin keluar dari ruang dosen, matanya menangkap sosok yang familier: Inaya duduk di kafe kecil pojok kampus, membalik halaman buku dengan ketenangan yang sama seperti saat pertama kali ia lihat.

Tidak ada senyuman lebar, hanya mata yang saling bertemu.

Seperti doa dua orang yang tahu mereka tidak memulai dari awal, tapi juga tidak kembali ke titik lama.

“Sudah lama duduk di situ?” tanya Rayendra sambil menarik kursi.

“Cukup lama untuk mengetahui kamu masih suka lewat tanpa sadar ada orang yang memperhatikanmu.”

Mereka tertawa kecil, kaku, tapi hangat.

Inaya menutup bukunya. “Aku mimpi aneh selama di Yogya.”

Rayendra mengangkat alis. “Apa?”

“Aku bermimpi jadi perempuan yang wajahnya berubah setiap kali bercermin, kadang jadi aku waktu SMA, kadang jadi Mama, kadang jadi seseorang yang bahkan nggak aku kenal.”

“Kamu takut jadi orang lain?”

“Bukan, aku takut jadi orang yang aku kenal tapi nggak aku suka.”

Rayendra menatapnya dalam-dalam. Di balik tenang itu, ada ketegangan yang hanya bisa dikenali oleh orang yang pernah duduk di dalam luka yang sama.

Mereka berjalan melewati taman fakultas, tak banyak bicara. Daun-daun kering menempel di sepatu.

“Kamu berubah,” ucap Inaya pada akhirnya.

“Menjadi apa?”

“Lebih tidak ingin membuktikan apa pun.”

Rayendra menarik napas. “Aku baru sadar selama ini aku sibuk meyakinkan orang kalau aku berubah daripada benar-benar belajar hadir tanpa menjelaskan apa pun.”

“Dan sekarang?”

"Saat ini aku lebih tenang. Kalau orang masih marah, biarlah. Aku juga dulu pernah terlalu lama marah pada orang yang tidak pernah berusaha meminta maaf."

Tiba-tiba ponsel Rayendra berbunyi. Sebuah email masuk dari nama yang nyaris ia lupakan: Elin, mahasiswa bimbingannya tiga tahun lalu. Hubungan mereka pernah rumit, apalagi setelah salah satu tulisan Rayendra dianggap menyentuh luka pribadinya.

Dengan gugup ia membuka email itu:

"Pak, saya tidak tahu apakah Bapak masih ingat saya. Dulu saya sempat merasa dimanfaatkan secara emosional dalam diskusi kelas, tapi sekarang saya mengerti: kadang orang menyakiti bukan karena niat, tapi karena belum selesai berdamai dengan dirinya sendiri. Sekarang saya mengajar di Makassar, dan saya ingin mengatakan terima kasih karena pernah membuat saya keras tentang siapa saya, bahkan lewat luka."

Rayendra membacakan email itu untuk Inaya. Setelah selesai, ia diam. Genggaman di ponselnya terasa seperti memegang sesuatu yang rapuh namun berharga.

Inaya hanya meletakkan tangannya di atas tangan Rayendra, tidak erat, tapi cukup untuk berkata: “Kamu tidak jahat, kamu hanya dulu belum punya ruang untuk mendengarkan tanpa merasa harus menjawab.”

Malam itu, mereka duduk di studio kecil Rayendra. Di dinding tergantung catatan besar:

"Tulisan tidak harus menyembuhkan, kadang-kadang cukup menjadi saksi bahwa kita pernah sakit dan tidak menyangkalnya."

Inaya menatap catatan itu lama.

“Aku ingin bersamamu,” ucapnya tiba-tiba.

Rayendra menoleh. Degup jantungnya berhenti sejenak.

"Tapi bukan untuk jadi pelindungmu, atau jadi tempat kamu memaafkan masa lalu. Aku ingin kita berjalan sejajar, tanpa label kalau perlu, tapi dengan keberanian menahan jika salah satu ingin lari."

Rayendra tersenyum kecil. "Aku tidak meminta kamu menjagaku dari diriku sendiri, aku hanya ingin kamu tetap jadi kamu, bahkan saat aku masih mencari siapa aku."

“Kita tidak harus tahu hubungan ini ke mana,” lanjut Inaya, “tapi kita bisa sepakat satu hal: jangan saling mendefinisikan. Biarlah cinta ini tumbuh seperti pohon, tidak buru-buru berbuah, tapi punya akar.”

Rayendra mengangguk, lalu lama terdiam. Inaya tidak mendesaknya.

“Boleh jujur?” katanya kemudian.

“Selalu,” jawab Inaya.

"Aku masih takut, bukan takut kehilanganmu, tapi takut mengecewakanmu, bahkan ketika aku tidak ingin menyakiti siapa pun lagi."

Inaya mendekat, merawat dengan lembut.

“Aku juga punya ketakutan yang sama,” ucapnya pelan. "Tapi aku belajar satu hal dari jarak kita kemarin: takut bukan berarti kita tidak siap, kadang justru itu tanda kita sadar apa yang sedang kita pegang. Dan kamu bukan barang rapuh, kamu hanya sedang belajar untuk tidak merasa harus melindungi semua orang."

Rayendra menarik napas panjang. “Jadi, ini artinya aku bisa mencintai tanpa selalu merasa bersalah?”

Inaya mengangguk. "Ya, kamu bukan masa lalumu, Ren, kamu adalah pilihanmu hari ini."

Mereka terdiam sebentar.

Rayendra lalu berdiri, membuka jendela studio. Udara malam masuk, dingin tapi bersih.

“Kalau kita gagal lagi?” tanyanya, hampir berbisik.

“Kita belajar lagi,” jawab Inaya. “Tapi kali ini bersama, tanpa saling membenarkan.”

Rayendra menoleh. “Kamu yakin?”

Inaya tersenyum. "Aku tidak perlu yakin untuk memulai, aku hanya butuh kamu tetap ada saat aku mencoba bertahan."

Malam hampir larut. Inaya bersiap pulang ke kontrakannya. Rayendra mengantar sampai pagar.

“Besok kamu ngajar?” tanya Inaya.

“Jam sepuluh, kamu?”

"Jam delapan, tapi nggak berat, aku sudah terbiasa mengajar sambil membawa hati yang tidak selalu tenang."

Rayendra terkekeh. “Semoga sekarang hatimu lebih tenang.”

“Sedikit,” jawab Inaya. “Karena aku tahu aku bisa kembali ke sini tanpa kehilangan diriku.”

Di kamar, Rayendra menulis:

"Hari ini, aku tidak mendengar Inaya berkata 'aku sayang,' tapi aku mendengar sesuatu yang lebih kuat: aku memilih tetap ada, tanpa harus disebut milikku."

Ia menutup jurnalnya, lalu menambahkan satu catatan di laptop:

“Cinta Versi Kedua: Tidak Meledak, Tapi Menyala Lama.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 42 : 5 Bulan Berlalu, Godaan Ibu Mertua

    Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 41: Rumah Pertama

    "Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 40: Sentuhan Pertama di Ranjang Pengantin

    Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 39: Bayangan Masa Lalu di Lampu Pesta

    Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 38: Pesta Cinta Dibawah Gemerlap Lampu

    "Resepsi pernikahan adalah perayaan cinta, tempat dua hati bersatu dalam kebahagiaan yang tak terhingga." —Rayendra, dalam pidato pernikahannya Setelah upacara pemberkatan yang khidmat, Rayendra dan Inaya bergegas menuju ballroom hotel yang telah disulap menjadi sebuah taman impian. Dekorasi bunga-bunga segar berwarna pastel memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang romantis dan elegan. Para tamu undangan sudah memadati ballroom, memberikan ucapan selamat dan doa restu kepada Rayendra dan Inaya. Senyum bahagia terpancar dari wajah kedua mempelai. "Selamat ya, Rayendra, Inaya," ucap Kanya sambil memeluk kedua sahabatnya. "Semoga kalian selalu bahagia dan langgeng." "Terima kasih, Kanya," balas Rayendra. "Kau adalah salah satu orang yang paling berjasa dalam hidup kami." "Selamat menempuh hidup baru, Inaya," ucap Aluna sambil memeluk Inaya. "Semoga kau dan Rayendra selalu saling mencintai dan mendukung." "Terima kasih, Aluna," balas Inaya. "Aku senang kau bisa hadir di sini." Ra

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 37: Janji Suci di Altar Cinta

    "Di altar ini, dua jiwa berjanji untuk selamanya, mengukir kisah cinta abadi yang tak lekang oleh waktu." —Inaya, dalam sumpahnya Mentari pagi menyinari Jakarta dengan hangat, seolah ikut berbahagia menyambut hari pernikahan Rayendra dan Inaya. Di sebuah hotel mewah, suasana terasa begitu sibuk namun penuh sukacita. Inaya duduk di depan meja rias, dikelilingi oleh para perias yang sedang bekerja keras menyulapnya menjadi seorang ratu sehari. Ia mengenakan robe berwarna putih gading dengan detail renda yang elegan. "Kamu cantik sekali, Inaya," puji Kanya yang datang menemaninya. "Rayendra pasti pangling melihatmu nanti." Inaya tersenyum malu. "Aku gugup sekali," akunya. "Ini adalah hari yang sangat penting dalam hidupku." "Tenang saja," balas Kanya sambil menggenggam tangan Inaya. "Semua akan berjalan lancar. Kau dan Rayendra pantas mendapatkan kebahagiaan ini." Sementara itu, di kamar lain, Rayendra juga sedang bersiap-siap. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam yang membuatn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status