"Kebenaran tidak selalu disambut. Kadang-kadang ia dianggap ancaman, terutama jika ia mengusik kenyamanan struktur lama."
—Catatan kelas Rayendra Suasana ruang kuliah sore itu jauh lebih tegang dari biasanya. Kelas "Psikologi Relasi Kontemporer" yang selama ini berjalan tenang, tiba-tiba berubah menjadi ruang perdebatan. Semua bermula dari satu pertanyaan yang dilontarkan oleh mahasiswi baru tingkat akhir, Aluna, saat sesi diskusi terbuka. “Pak Rayendra,” katanya dengan nada tenang tapi tajam, “kalau Bapak pernah bilang bahwa selingkuh itu bisa dijelaskan, apa itu berarti Bapak juga membenarkannya?” Kelas langsung hening. Beberapa mahasiswa saling berpaling, ada yang menahan tawa gugup, ada pula yang menunduk, enggan terlibat. Rayendra tidak langsung menjawab. Ia menatap Aluna cukup lama, seperti sedang membaca niat di balik pertanyaan itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanyanya akhirnya. Aluna menatap ke belakang, tidak mundur sedikit pun. “Karena saya merasa alasan ilmiah sering kali digunakan untuk menutupi perilaku yang sebenarnya menyakitkan. Dan saya khawatir, pendekatan Bapak justru membuat orang merasa sah untuk menyakiti dengan alasan 'faktor biologi' atau 'emosi yang nggak stabil'.” Sebuah kritik yang tajam, terbuka, dan menyentuh luka lama yang belum pulih sepenuhnya. Setelah kelas selesai, beberapa siswa langsung pergi, tapi Aluna tetap duduk. Ia tahu diskusi belum selesai. Rayendra mendekat dan duduk di kursi baris depan. “Kamu pernah diselingkuhi?” tanyanya tanpa basa-basi. Aluna tersenyum kecil. “Pernah, tapi saya lebih marah ketika pelakunya bilang 'semua orang bisa khilaf, itu manusiawi.' Itu yang membuat saya merasa logika bisa jadi alat pembenaran.” Rayendra menunduk. Dia sangat mengerti. “Aku juga pernah jadi orang yang pakai logika untuk menjelaskan hal-hal yang sebenarnya berasal dari luka yang tak pernah aku akui,” ucapnya lirih. “Dulu aku menulis bukan untuk menyelesaikan, tapi untuk bertahan.” “Dan sekarang?” “Sekarang aku menulis supaya aku tidak menyakiti lagi.” Aluna menjawab, kali ini pertahanannya sedikit runtuh. Rayendra menatap meja kosong di depannya. Beberapa siswa baru masuk menggantikan kelas berikutnya, tapi ia dan Aluna tetap duduk. “Kalau saya boleh jujur, Pak,” ucap Aluna pelan, “dari semua dosen yang saya tahu, Bapak adalah satu-satunya yang saya harap bisa berubah, tapi bukan jadi lembut. Saya harap Bapak jadi lebih manusiawi.” Rayendra tertawa kecil. “Dulu saya kira menjadi manusiawi berarti lemah.” “Dan sekarang?” “Sekarang saya tahu menjadi manusia justru butuh keberanian karena manusia bisa salah, dan itu artinya saya harus siap dikoreksi.” Aluna menunduk. "Itu jarang saya lihat dari tokoh akademik, banyak yang merasa benar terus, bahkan saat mereka salah." “Karena kami takut kehilangan posisi,” jawab Rayendra jujur, “takut suara kami dianggap tak layak didengarkan lagi. Tapi sejujurnya, saya lebih takut kehilangan diri saya sendiri kalau harus terus berpura-pura paham segalanya.” Aluna mengangguk pelan. “Saya belum tentu setuju semua dengan teori-teori Bapak, tapi saya senang bisa bicara jujur hari ini.” “Begitu juga denganku,” jawab Rayendra. “Diskusi ini membuat saya lebih sadar kenapa saya tidak boleh kembali jadi 'dosen yang tak tersentuh'.” Mereka berpisah tanpa jabatan tangan, tapi ada kesepakatan diam: kejujuran yang tidak saling menyudutkan bisa menjadi awal dari pemahaman yang baru. Di rumah, Rayendra menceritakan semuanya kepada Inaya. Mereka duduk di ruang tamu, dengan lampu redup dan sisa suara hujan yang masih berjatuhan di luar. “Dia kritis,” kata Rayendra, “dan tepat.” Inaya tersenyum. “Kamu takut?” “Takut disebut munafik, takut dianggap berubah karena trauma, bukan karena sadar.” Inaya mengambil catatannya dan menuliskan sesuatu, lalu menyerahkannya ke Rayendra: “Tidak semua perubahan perlu pembelaan, terkadang cukup menunjukkan kamu tetap bertanggung jawab atas dampaknya, meski kamu tidak lagi memakai suara yang sama.” Rayendra membacanya pelan, lalu mengangguk. Minggu berikutnya, Aluna mengirimkan esai tentang analisis etika dalam hubungan romantis modern. Dalam catatannya, ia menulis: “Saya tidak ingin membantah pendapat Pak Rayendra, saya hanya ingin menantang kami semua untuk tidak terlalu cepat memaklumi tindakan hanya karena kita bisa memahaminya secara ilmiah.” Rayendra membacanya dua kali, lalu membalas di bawah komentar digital: "Setuju, memahami bukan berarti diperbolehkan. Ilmu bukan tempat untuk menyembunyikan tanggung jawab." Namun, konflik tidak berhenti di sana. Beberapa hari kemudian, akun I*******m fakultas menerima komentar anonim yang cukup viral: “Apakah dosen kita yang dulu menghalalkan selingkuh, sekarang sedang cuci tangan demi proyek buku barunya?” Rayendra tidak menjawab, tapi dia tahu pendapat publik tidak bisa dikendalikan, dan kali ini, ia memilih untuk tidak membela diri secara terbuka. Inaya membaca semua komentar itu, lalu berkata, “Kamu tetap ingin menulis naskah 'Selingkuh Itu Tidak Selesai'?” “Iya,” jawab Rayendra, “karena aku ingin bicara pada orang-orang yang tahu rasanya salah, tapi tetap ingin belajar jadi utuh.” Inaya menatap lama. “Kalau begitu, jangan nulis untuk yang ingin kamu puaskan, tulis untuk yang ingin kamu temani.” Malam itu, ia membuka laptop, membuka folder kosong, dan mulai menulis: “Ini bukan tentang membela diri, ini tentang memberi suara pada mereka yang memilih menanggung luka daripada mengulangi kesalahan.” “Selingkuh memang bisa dijelaskan secara ilmiah, tapi keputusan untuk melakukannya selalu ada di tangan kita.” “Dan sejujurnya, tidak selalu membuatmu aman, tapi setidaknya, dia tidak merasa kesepian.” Tiba-tiba, ponsel Rayendra berdering. Sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal. "Rayendra, saya tahu semua tentang kamu. Tentang Amel, tentang Nadia, tentang Inaya. Kamu tidak akan pernah bisa lari dari masa lalumu. Bersiaplah."Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup
"Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin
Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu
Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat
"Resepsi pernikahan adalah perayaan cinta, tempat dua hati bersatu dalam kebahagiaan yang tak terhingga." —Rayendra, dalam pidato pernikahannya Setelah upacara pemberkatan yang khidmat, Rayendra dan Inaya bergegas menuju ballroom hotel yang telah disulap menjadi sebuah taman impian. Dekorasi bunga-bunga segar berwarna pastel memenuhi ruangan, menciptakan suasana yang romantis dan elegan. Para tamu undangan sudah memadati ballroom, memberikan ucapan selamat dan doa restu kepada Rayendra dan Inaya. Senyum bahagia terpancar dari wajah kedua mempelai. "Selamat ya, Rayendra, Inaya," ucap Kanya sambil memeluk kedua sahabatnya. "Semoga kalian selalu bahagia dan langgeng." "Terima kasih, Kanya," balas Rayendra. "Kau adalah salah satu orang yang paling berjasa dalam hidup kami." "Selamat menempuh hidup baru, Inaya," ucap Aluna sambil memeluk Inaya. "Semoga kau dan Rayendra selalu saling mencintai dan mendukung." "Terima kasih, Aluna," balas Inaya. "Aku senang kau bisa hadir di sini." Ra
"Di altar ini, dua jiwa berjanji untuk selamanya, mengukir kisah cinta abadi yang tak lekang oleh waktu." —Inaya, dalam sumpahnya Mentari pagi menyinari Jakarta dengan hangat, seolah ikut berbahagia menyambut hari pernikahan Rayendra dan Inaya. Di sebuah hotel mewah, suasana terasa begitu sibuk namun penuh sukacita. Inaya duduk di depan meja rias, dikelilingi oleh para perias yang sedang bekerja keras menyulapnya menjadi seorang ratu sehari. Ia mengenakan robe berwarna putih gading dengan detail renda yang elegan. "Kamu cantik sekali, Inaya," puji Kanya yang datang menemaninya. "Rayendra pasti pangling melihatmu nanti." Inaya tersenyum malu. "Aku gugup sekali," akunya. "Ini adalah hari yang sangat penting dalam hidupku." "Tenang saja," balas Kanya sambil menggenggam tangan Inaya. "Semua akan berjalan lancar. Kau dan Rayendra pantas mendapatkan kebahagiaan ini." Sementara itu, di kamar lain, Rayendra juga sedang bersiap-siap. Ia mengenakan setelan jas berwarna hitam yang membuatn