Devian mengangguk mengerti. Ia berjalan menuju ruangan Irene berada. Ternyata sudah ada beberapa orang yang berada di sana. Devian berada di depan pintu yang tidak ditutup rapat sehingg ia bisa melihat siapa yang ada di dalam sana. “Alrond?” lirihnya. Yang Devian ketahui, pria itu adalah pengusaha di bidang pertambangan. Mewarisi perusaan orang tuanya. “Apa hubungannya dengan Irene?” tanya Devian dalam hati.Tangannya mengepal ketika melihat Irene dipeluk oleh pria itu. Alrond terlihat mengusap bahu Irene pelan. bahkan pria itu tidak ragu, mengecup kedua pipi Irene bergantian. “Irene maafkan aku. Aku terlalu keras padamu,” ucap Arlond. Irene mengangguk lemah. Perempuan itu tersenyum tipis. “Bagaimana keadaanmu? Ada yang masih sakit?” tanyanya dengan lembut. Berbeda sekali dengan Arlond tadi siang. “Sudah baik-baik saja.” Irene mengangguk. Devian menghela nafas dan memilih menyingkir. Karena ia bisa menebak hubungan mereka adalah sepasang kekasih. Dari ujung lorong ia melihat se
Irene menoleh. Ia kira ayahnya itu akan langsung kembali ke kantor setelah mengantarnya pulang. “Dad masih di sini?” Duke mendekat. tangannya terangkat—namun ketika melihat tangan Duke yang terangkat, justru Irene menutup matanya. Entahlah, ia hanya merasa reflek. Duke hanya mengusap puncak kepala putrinya itu pelan. “Jaga hubunganmu dengan Arlond. Kalian akan segera menikah. Dad ingin kalian bahagia.” Irene terdiam. bagaimana bisa ia bahagia menikah dengan seseorang yang ia takuti. Arlond membawa sedikit kebahagiaan namun juga membawa banyak ketakutan bagi Irene. “Arlond adalah pilihan terbaik sebagai suami kamu. Dia bisa menjaga kamu.” “Dad. Irene tidak..” irene menjeda ucapannya. “Irene tidak mau menikah dengan Arlond.” “Apa kamu bilang?” aura Duke berubah berkali-kali lipat menjadi menyeramkan. Duke menatap putrinya tajam. “Kamu tidak mau menikah dengan Arlond?” Irene mengangguk. “Arlond tidak sebaik yang Dad kira. Dad, Irene…” PLAK!Tamparan itu membuat kepala Irene meno
“Tunggu.” Devian bangkit dari duduknya. Ia menatap Siska dari ujung kaki sampai ujung kepala. mendekat—mengangkat tangannya dan menyentuh pipi wanita itu. “Sir—” Siska berhenti. Ia mendongak dan menatap Devian. Devian mendekat—namun hampir saja bibir mereka bersentuhan. Justru ia teringat dengan ciumannya dengan Irene. Seketika ia membuka mata dan menjauhkan diri dari sekretarisnya itu.“Kau pergi.” Devian mengusir Siska begitu saja. Devian kembali duduk di bangkunya. Mengusap rambutnya kasar. “Benar. Aku memang masih menginginkan Irene.” Devian menarik dokumen yang berada di atas mejanya. Melihat biodata yang tertera di dalamnya. Seorang wanita cantik yang berprofesi sebagai model. Devian menghela nafas. Ia tidak tertarik pada siapapun untuk saat ini, kecuali Irene. Yang akan dijodohkan dengannya adalah putri bungsu dair Gemintang Group. Hal itu pasti untuk menunjang kemajuan perusahaan. Devian sudah menduga hal ini dari awal. Jika dirinya benar-benar ditunjuk sebagai pewaris se
Ratna mengangguk. “Iya.” Devian tersenyum. jemarinya terangkat mengusap pipi Ratna pelan. “Pantas saja ada kissmark di lehermu.” “Devian, aku bisa menjelaskannya.” Ratna mengejar Devian yang berjalan menjauhinya. Ia segera masuk ke dalam lift yang segera tertutup. “Seperti katamu tadi.” Devian memasukkan tangannya ke dalam saku. “Aku tidak berharap apapun pada perjodohan ini.” “Itu pada awalnya. Tapi sekarang aku berpikir, tidak ada salahnya mencoba. Itu juga akan membahagiakan para orang tua.” Ratna melangkah lebih dekat dengan Devian. “Aku bisa membantumu. Aku bisa membantumu meraih kekuasaan yang paling tinggi di perusahaanmu. Perusahaan orang tuaku akan membantumu.”Devian tertawa pelan. “Aku bukan orang yang haus kekuasaan. Aku tidak akan menggunakan urusan pribadiku hanya untuk kekuasaan seperti itu. lagipula aku juga tidak terlalu menyukai perusahaan.” Devian melangkah keluar saat lift terbuka. Namun lagi-lagi Ratna mengejarnya. “Tunggu.” Ratna melebarkan tangannya di had
Devian menatap Irene. Menatap bibir Irene yang mengerucut menahan—ia sudah tidak tahan lagi. tangannya terangkat menarik tengkuk Irene dan menciumnya. Melumat bibir bawah Irene pelan. Tidak ada pemberontakan dari wanita itu—Devian terus melakukan aksinya. Meskipun pada awalnya ia merasakan asin dari air mata yang menetes di pipi Irene. “Devian—” Devian tidak memberi Irene kesempatan untuk berbicara. Dengan mudahnya ia membawa tubuh Irene ke atas pangkuannya. Dengan bibir yang masih bertaut—Devian masih menjelajahi bibir Irene yang terasa semakin manis. Sampai akhirnya Irene kehabisan nafas dan Devian terpaksa menghentikan permainan mereka. Irene dengan pipi yang memerah menunduk—ia terlalu malu untuk menatap mata Devian. “Irene..” panggil Devian menarik dagu Irene agar menatapnya. “Katakan padaku, apa kau mencintai Arlond?” tanyanya. Irene menggeleng. “Aku tidak mencintainya.” Devian mengangguk. Ia tersenyum. Mengusap puncak kepala Irene sebentar dan menarik perempuan itu ke dal
“Arlond.” “Kenapa kau terlihat muram?” tanya Devian tepat di samping telinga Irene. Devian semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Irene. Mencium leher Irene beberapa kali. “Devian..” lirih Irene berusaha menghindar namun sialnya ia malah menikmati sentuhan yang diberikan Devian padanya. “Aku merindukanmu.” Devian memutar balikkan tubuh Irene. Tangannya terangkat mengusap helaian rambut Irene ke belakang. “Aku sangat merindukanmu.”Irene mendongak. “Kenapa?” Devian tersenyum tipis. “Dirimu yang sekarang sangatlah berbeda dengan yang dulu.” Devian menunduk—menyamakan tingginya dengan Irene. “Tapi kau masih Irene, sama cantik dan menariknya seperti dulu.” Irene tersenyum. Mendengar pujian terang-terangan dari Devian membuatnya tersanjung sekaligus penasaran. “Memangnya seperti apa aku yang dulu?” Devian mengerutkan keningnya. “Galak dan tidak takut apapun.” “Benarkah?” lalu kenapa dirinya menjadi seperti ini. Lemah, tidak punya keberanian untuk melawan orang tuanya. Juga, kena
Irene membuka mata—melihat tubuh Devian tanpa menggunakan apapun membuat pipinya memerah. Tubuh pria itu sangat menggoda dengan six pack yang terpahat dengan sempurna. “Devian..” lirih Irene. Dilihatnya ke bawah—Devian menunduk tepat berada di hadapan miliknya. Irene bergerak gelisah saat lidah pria itu masuk ke dalam miliknya. membelai miliknya dengan rakus tanpa jijik sedikitpun.Irene tidak bisa menahan desahannya yang kian keras. “Devian aahh!!” Irene bergerak gelisah. Namun Devian tidak bisa berhenti sampai Irene mencapai kepuasan. Sampai akhirnya—tubuh Irene bergetar dan menggelinjang dengan hebat. “Devian..” lirih Irene saat gelombang kenikmatan itu sampai padanya. Devian mendongak. Ia mengecup dahi Irene pelan. “Aku akan mulai.” ‘Aku akan membuatmu melupakan sentuhan pria lain. Sekarang pikiranmu hanya akan terisi dengan aku.’ Perlahan Irene merasakan sesuatu mencoba melesak masuk. Irene memejamkan mata dan meremas seprai saat benda tumpul itu semakin menerobos masuk. namu
“Irene!” Devian berlari saat Irene terjatuh. “Sakit?” Irene mengangguk dengan posisi masih berbaring seperti kepompong. “Ayo ke rumah sakit.” Devian mengangkat tubuh Irene dengan mudah kembai ke ranjang. “Tidak!” Irene menggeleng. “Aku hanya ingin ke kamar mandi,” cicit Irene yang tiba-tiba merasa malu. Devian tersenyum kecil. “Kau menggemaskan.” Mengusap puncak kepala Irene pelan. pandangannya tertuju pada leher Irene yang memerah akibat ulahnya. Devian mendekat—mengecup singkat bibir Irene. “Kenapa kau begitu malu?” Irene mengerucutkan bibirnya. “Mau membantuku tidak?” “Iya-iya.” Devian tertawa kian lepas. “Ayo.” Mengangkat tubuh Irene. “Seharusnya aku menyingkirkan selimut sialan ini,” lirihnya. Reflek Irene memukul bahu Devian. “Keluar.” Mengusir Devian. “Tidak.” Devian menggeleng. Irene melotot. “Devian keluar. Aku sangat malu sekarang.” “Ayo lakukan lagi.” Devian berjongkok. “Tidak!” Irene menggeleng keras dengan bibir pipi yang mengembung merah. Devian menarik teng