“Tapi itu dulu—aku sudah tidak pernah melakukannya lagi. Jangan paksa aku—kali ini kau benar-benar keterlaluan!” Giselle berdiri dari duduknya. Berjalan ke arah pintu keluar Mansions—namun para pengawal dengan sigap menahannya. Mereka berjajar di depan Giselle dengan kompak. Giselle berdecih, membalikkan badannya. “Apa yang akan kudapat setelah aku melakukannya?” tanya Giselle lantang. Jordan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. “Apa yang kau inginkan? Uang? Aku akan mentransfermu setelah kau pulang.” “Aku ingin cerai.” Tiga kata yang sangat sakral namun sering diucapkan Giselle pada Jordan. Membuat Jordan marah—sudah menjadi kebiasaannya. Jordan mengepalkan tangannya. “Jangan bersikap seolah aku membutuhkanmu. Aku sudah membelimu. Kau tidak berhak meminta lepas dariku.” Mengambil langakh lebih dekat—Jordan menancapkan kukunya ke pergelangan tangan Giselle. “Pergi dan turuti saja perintahku. Aku akan membayarmu—jangan banyak omong dan semakin membuatku marah.” Merasakan peri
“Aku baik, bagaimana denganmu, Selena?” sembari membalas pelukan selena.“Aku baik—tapi sebenarnya aku terpaksa mengikuti acara ini,” bisiknya pada Giselle. Giselle tertawa. Ia juga mengangguk pelan. “Me too.” Selena adalah anak dari seorang pengusaha yang katanya tahun ini akan mencalonkan sebagai Wali Kota. Jadi Selena seperti Giselle yang diajukan untuk memperkuat citra baik pada keluarganya. Mungkin sebagian dari relawan komunitas juga bertujuan sama. Tapi Giselle juga tidak menampik ada seseorang yang bergabung memang benar-benar ingin berkontribusi membangun masyarakat di pedesaan. Berjumlah 10, semuanya wanita. Ada tiga yang membawa bodyguard seperti Giselle. Untuk mencapai desa yang dimaksud—mereka menempuh perjalanan 3 jam dengan mobil, dilanjut 1 jam perjalanan menggunakan Motor. Setelah sampai, desa setempat menyambut mereka di sebuah balai desa. Mereka diberi arahan agar lebih mudah tinggal di desa selama satu minggu. Karena Desa yang masih terpencil dan letaknya di ba
Hari kedua dan ketiga terlewati dengan aman. Sekarang hari ke-empat. Agenda sekarang adalah penyuluhan tentang pernikahan dini. Nyatanya di kampung ini, banyak pernikahan dibawah umur. Di antara mereka juga banyak yang sudah melahirkan. Setelah melakukan penyuluhan, anggota komunitas akan berkeliling kampung. Memeriksa satu persatu rumah yang berisi oleh ibu muda ataupun ibu hamil. Giselle bersama Selena memasuki sebuah rumah. Di sana ada seorang gadis belia yang baru saja melahirkan. “Umur ibu berapa?” tanya Giselle. Ia membawa sebuah catatan yang nantinya akan diserahkan pada bidan setempat. “16 tahun, dok.” Giselle menatap perempuan itu belia yang nampak kurus. Tubuh yang tidak dirawat, penampilan yang begitu lusuh. “Saya periksa dulu.” Giselle melakukan pemeriksaan pada perempuan itu. “Saya akan beri vitamin. Di minum 3 kali sehari. Jangan sampai telat, karena kamu masih menyusui. Jadi sumber utama bayi ada di kamu.” “Terima kasih, Dok.” Perempuan itu menerima vitamin yang
Pekerjaan bodyguard yang lebih mirip seperti pengasuh. Noah baru saja selesai mandi di malam hari. Untungnya—listrik padam saat ia baru saja selesai. Mendapat pesan dari Giselle membuatnya mendesah lelah. Ia segera keluar saat sudah menggunakan pakaian. Di teras rumah Giselle duduk sendirian sambil memainkan ponsel. “Kenapa tidak tidur di dalam saja?” tanya Noah begitu duduk di samping Giselle. “Jika bisa aku sudah melakukkanya sejak tadi.” Giselle melempar ponselnya ke samping. “Aku tidak tahu harus apa lagi? Di sini tidak ada sinyal. Aku tidak bisa main sosmed. Followerku pasti sudah menunggu kabarku.” ‘Anda tidak sepenting itu.’ Hanya bisa dikatakan di hati. Noah mengambil ponsel Giselle kembali. Menyimpannya di sampingnya. “Dengarkan lagu saja.” “Benar juga. Ada beberapa lagu yang sudah aku unduh.” Giselle mengambil ponselnya kembali. Ia memutar lagu dari Yura Yunita ft Glen Fredly_ Cinta dan Rahasia. Giselle mengibaskan rambutnya. Mulai gerah—walaupun sebenarnya udara kian
“Tidak ada kata malu dalam kecelakaan.” Noah menghela nafas. “Kecelakaan itu dalam bahaya. Jadi tidak ada malu, yang ada takut. Kenapa anda lebih malu daripada takut?” Giselle mengerjapkan mata. Benar juga. Ia tidak takut justru malu. “Apa ini artinya aku memang tidak takut mati? Aku juga tidak keberataan jika aku mati.” Noah berhenti sebentar. “Dengan mati tidak akan selesai. Setelah mati, akan ada kehidupan selanjutnya. Katanya, kehidupan selanjutnya itu ditentukan dari perbuatan kita sekarang.” “Memangnya aku percaya?” Giselle menggeleng. “Aku tidak terlalu percaya dengan hal seperti itu.” “Terserah Nona saja.” Noah menghela nafas berkali-kali. Giselle benar-benar mengujinya. Wanita itu berkali-kali semakin mengeratkan pelukan. Hal itu berdampak pada Noah yang panas dingin. Mungkin juga sudah lama ia tidak berdekatan dengan wanita seperti ini. “Ngomong-ngomong berapa umurmu?” tanya Giselle. “26.” “Sungguh!” Giselle yang lebih seperti orang berteriak. Ia sungguh terkejut deng
“Aku—” Noah semakin mundur. Giselle benar-benar membuatnya kualahan. “Saya hanya bodyguard. Saya bodyguard yang sudah terlatih.” Noah menatap Giselle. “Saya keren bukan? Saya seperti anggota FBI.” Giselle mengerjapkan mata. “Kau terlalu percaya diri.” Noah menatap bangunan tua itu. “Kita harus ke sana. Kita harus memastikan mereka semua baik-baik saja.” “Noah…..” Giselle menghentakkan kakinya ke bawah dengan lelah. “Aku sungguh lelah. Lebih baik menunggu saja di sini. Lagi pula kau sudah menghubungi Jordan. Tidak lama pasti dia akan ke sini. Ayo tunggu saja di sini.” Giselle mengambil duduk di samping pohon. Ia menyandarkan tubuhnya di pohon itu. Ia berharap semua ini hanya mimpi. Setelah ia tidur—ia akan berada di kasur kamarnya. Kemudian berangkat ke pemotretannya. Hampir saja matanya terpejam. Tapi sebuah tarik di tangannya membuatnya kembali tertarik pada kenyataan. “Noah!” jerit Giselle. “Tidak ada waktu.” Noah mendorong Giselle agar berada di depannya. Kedua tangan Noah m
“LEPASKAN AKU SIALAN!” Giselle memberontak. Namun dengan mudahnya penjaga itu memutar kepalanya. Memegang ubun-ubunnya hingga kepalanya tidak bergerak. Lalu sejak kapan ada penjaga lagi. Dari belakang tubuhnya disergap. Mulutnya dibekap dengan kedua tangan yang cengkram ke belakang. Giselle terbelalak. Mereka telah berkumpul sejak tadi di belakangnya. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk menyergapnya saja. Sekitar 10 orang yang tersisa. Mereka semua berada di belakang Giselle yang disergap. “Bawa ke depan.” Giselle tidak bisa berbuat apa-apa. Ia pasrah digiring ke depan. Di sana sudah ramai orang-orang. Ada beberapa penjarah yang ditangkap oleh polisi. Namun jumlahnya masih banyak yang kini berada di belakang Giselle. “Serahkan uangnya jika ingin perempuan ini selamat,” ujar seorang yang membekap Giselle. Kini juga mengarahkan pisau tajam ke leher Giselle. Giselle memandang Noah yang berada di tengah-tengah polisi. Ia berharap pria itu bisa segera bertindak untuk menyelamatkann
“Semua akan baik-baik saja.” Noah tidak menolak pelukan Giselle. Ia mengerti setelah apa yang dialami oleh wanita itu. Pasti Giselle sedang terguncang. Entah hati ataupun pikirannya.“Jangan pergi,” ujar Giselle sangat pelan. “Aku tidak mau sendirian.” “Saya tidak akan pergi.” Noah tidak berbohong untuk sekedar menenangkan Giselle. Memang ia tidak akan pergi karena tugasnya memang menemani Giselle. “Kenapa dia begitu jahat?” keluh Giselle. “Dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Sampai kapan aku harus terus bersama iblis seperti itu? Aku ingin pergi…” Giselle melepaskan pelukannya. Kemudian mengusap air matanya. Kembali berbaring. Kali ini menyamping—memunggungi Noah yang senantiasa masih berada di sampingnya. “Jangan lihat aku. Tidurlah,” ujar Giselle tanpa mau menoleh ke arah Noah. “Pakai selimut anda dengan benar.” Noah menaikkan selimut rumah sakit itu ke tubuh Giselle. Menutupi hampir seluruh tubuh Giselle. “Saya akan mematikan lampu.” Noah ingin acuh—namun tidak bisa. Jika m