Mereka sampai di Jakarta ketika malam sudah naik. Kedatangan pasangan pengantin baru itu disambut dengan begitu ramah oleh Ibu dari Kevin, Mama Ayu."Wah, akhirnya pengantin kita sudah pulang! Gimana bulan madunya? Menyenangkan?" Mama Ayu menggandeng menantunya dengan sangat hangat.Mendengar pertanyaan dari Mama Ayu, sebenarnya hati Ariana terasa ingin memberontak. Tapi dia teringat akan ucapan Kevin ketika di mobil tadi. Membuatnya tak memiliki pilihan lain selain mengangguk. Mama Ayu terlihat sangat senang sekali dengan respon Ariana."Syukurlah! Kalian berdua, rukun-rukun ya. Mama dan Papa sangat berharap pernikahan kalian berdua berjalan lancar sampai maut memisahkan."Ariana tersenyum kikuk. Kini dia sudah berada di sofa ruang keluarga, menunggu Kevin yang tadi sibuk mengangkut koper sendirian. Sementara Mama Ayu menghilang sejenak ke dapur, membawakan beberapa cemilan dan minuman untuk menantu kesayangannya."Aduh, Mama. Jangan repot-repot. Biar Ariana nanti yang ambil sendiri,"
Ariana terkantuk-kantuk di sofa. Matanya terasa sangat berat pada saat itu setelah memakan cemilan dari Mama Ayu. Dia sebenarnya ingin segera berbaring di tempat tidur. Akan tetapi, pintu kamarnya terkunci sehingga dia tidak bisa masuk ke dalamnya.Pada saat itu, tanpa diduga Mama Ayu datang menemuinya bersama Papa yang berada di atas kursi roda. Mereka terkejut mendapati anak menantunya terlihat menahan kantuk di sofa."Ya ampun, Ariana. Kamu sudah mengantuk? Tidurlah di kamarmu, jangan di sini," tegur Papa Kevin pada Ariana. Seketika itu, Ariana langsung terbelalak kaget."Papa?" Ariana mengucek matanya. Dia pun memberikan seulas senyuman hangat pada papa mertuanya. "Papa bagaimana kabarnya?""Seperti yang kamu lihat sendiri. Kondisi Papa belum lebih baik," ucap Papa Kevin dengan suara beratnya. "Kevin mana? Kenapa istrinya sudah mengantuk tapi tidak diajak masuk ke kamar?"Ariana tidak bisa menjawab pertanyaan dari papa mertuanya. Sejak kepulangan mereka tadi, dirinya pun sama seka
Sofa bed itu terlihat sempit, hanya muat untuk satu badan saja. Ariana melayangkan protesnya pada Kevin."Kenapa harus aku yang tidur di sana? Kita 'kan sudah menikah? Bukankah sebelumnya kita juga sudah sering tidur dalam satu ranjang?"Kevin terlihat mencibir wanita itu. "Kamu harusnya bisa membedakan mana yang akting, mana yang sungguhan. Ingat, kita di sini hanya berpura-pura saja."Ariana mulai kesal. "Jadi kemarin, ketika kamu mengunci pintu kamar ini juga memang sengaja? Kamu tidak ingin aku tidur di sini?""Hm ... ya begitulah."Jawaban Kevin sungguh-sungguh membuatnya kecewa. Ternyata memang benar dugaannya. Sejak awal Kevin memang sengaja membuatnya tidur di luar."Sudah, jangan kebanyakan mengeluh. Tidur sana! Nih, selimutnya." Kevin melemparkan selimut tipis kepada Ariana.Ariana sama sekali tidak menangkap selimut itu. Selimutnya terjatuh di kaki Ariana. Harga diri Ariana terasa diinjak-injak oleh suaminya sendiri. Pada akhirnya Ariana mengambil selimut itu. Dirinya berja
Ariana tetap bungkam mengenai keburukan sang suami. Segala hal yang dirinya ketahui dan alami hanya bisa dia pendam seorang diri. Kevin tetap terlihat hangat dan perhatian, tentu hanya ketika mereka berada di depan orang-orang. Berbeda jika mereka hanya berdua, sikap asli laki-laki itu keluar aslinya."Ariana, Nak. Kamu kenapa sekarang terlihat pucat? Kamu sakit?" tanya Mama Ayu ketika dia berdua saja bersama Ariana untuk menyiapkan sarapan pagi.Ariana memegangi wajahnya. Dirinya merasa baik-baik saja. "Ah, enggak kok, Ma. Ariana baik-baik saja. Memang iya ya, kelihatan pucat?"Mama Ayu memandangi Ariana dengan sangat lekat. "Iya, lho! Benar kamu gak apa-apa?"Sebenarnya akibat tidur di sofa bed, Ariana merasa agak pegal-pegal. Kualitas tidurnya pun menjadi buruk. Apalagi dengan seringnya dia mendengar Kevin bermain gila dengan perempuan bernama Nevia lewat video call membuat Ariana selalu membatin setiap hari.Mama Ayu masih memperhatikan menantu kesayangannya itu. Alisnya saling be
"Ma, memangnya Ariana benar-benar hamil?" Papa Kevin sampai menanyakan untuk kedua kalinya, sekadar memastikan kebenaran dari ucapan istrinya.Mama Ayu cukup terkejut dengan pertanyaan itu. "Sebenarnya Ariana juga belum yakin, Pa. Cuma Mama lihat dari tanda-tandanya sepertinya ... dia benar-benar hamil. Kita hanya perlu menunggu kabar selanjutnya dari mereka."Papa Kevin terlihat bersedekap di tempat tidur. Wajahnya kelihatan khawatir. Mama Ayu yang melihat suaminya bersikap seperti itu menjadi semakin heran."Pa, kenapa Papa terlihat seperti tidak senang dengan berita itu? Papa tidak ingin kita memiliki cucu?""Bukan begitu, Ma. Papa hanya khawatir dengan kelangsungan pernikahan mereka. Apalagi Kevin masih belum berubah." Papa Kevin menimpali. "Bagaimana dia bisa menjadi seorang Ayah jika masih banyak hal dari dirinya yang belum diperbaiki."Mama Ayu kini ikut merasa sedih. Dia duduk di tepian ranjang. "Mama juga paham. Tapi mungkin saja Kevin akan berubah jika dia mempunyai anak.""
"Maaf, Mbak. Enggak dulu," tolak Kevin cepat. Hal itu membuat sang resepsionis terlihat kecewa dan agak marah. "Oh, ya sudah." Resepsionis itu memasang tampang jutek di depan Kevin. Dia menyentakkan kunci kamar di meja dengan cukup kasar. Kevin mengambil kunci kamarnya tanpa mengambil hati apa yang sudah terjadi. Dirinya langsung menuju kamar yang terletak di paling ujung koridor. Setelah itu dia mengunci pintu dan menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. "Ahhh, lelah sekali rasanya. Moodku sudah jelek sedari pagi, si Mbak resepsionis itu malah membuat moodku bertambah berantakan!" gerutu Kevin. Bukan Kevin namanya jika dia tidak cepat berubah pikiran. Mood yang awalnya buruk, secepat kilat berganti menjadi lebih baik ketika dirinya menerima sebuah panggilan video. "Wah, Nevia sudah telepon!" seru Kevin heboh. Kevin sebelumnya memang sudah janjian dengan Nevia untuk melakukan panggilan video plus di pagi hari. Laki-laki itu kini sudah meloloskan pakaian yang melekat di tubuhn
"Kenapa harus memakai itu?" Kevin tak langsung mengiyakan permintaan sang wanita. "Bukankah lebih nikmat jika tanpa mengunakan pengaman?"Wanita di hadapan Kevin kini memberengutkan wajahnya yang merah merona. Di dalam lubuk hatinya, dia menginginkan Kevin melebihi apa pun. Tapi ada hal yang harus dia jaga seberapa pun dirinya menginginkan laki-laki itu."Bukankah kamu bilang kalau kamu tidak mau sembarangan tidur dengan wanita? Makanya aku menawarimu pengaman. Agar kita semua terhindar dari resiko."Pada akhirnya Kevin memakai pengamannya terlebih dahulu. "Iya, aku tahu. Kamu sudah sering memberikan service yang sama ke pelanggan hotel yang lain juga, bukan?""Belum. Sejujurnya ... ini pertama kalinya aku mau melakukannya dengan pelanggan hotel," jawab wanita itu malu-malu.Kevin cukup terkejut di tempatnya mendengar penuturan dari sang resepsionis. "Kamu yakin? Lalu siapa yang selalu menjajakan diri ke pelanggan lainnya selain kamu?""Ada resepsionis lain kok yang memang melakukan p
"Aku harus pergi sekarang. Terima kasih untuk sehari yang menyenangkan ini." Kevin mengecup kening Mbak Yuni, sang resepsionis hotel yang telah menghabiskan waktu bersamanya.Mbak Yuni terlihat sedih. Tapi dia tidak dapat melarang Kevin untuk pergi."Iya, Mas. Besok ... Mas datang ke sini lagi, 'kan?""Tentu, Sayang. Aku 'kan memang selalu check in di hotel ini tiap weekday." Kevin kini tak segan-segan memanggil wanita itu dengan panggilan sayang.Laki-laki itu telah selesai berpakaian. Dia teringat jika dirinya harus membayar jasa untuk Mbak Yuni yang telah memuaskannya. Tiga lembar uang pecahan seratus ribuan dia simpan di atas nakas."Oh iya, ini sedikit uang untuk kamu. Mudah-mudahan bisa membantu keuangan keluargamu ya."Mbak Yuni terkejut dengan pemberian uang dari Kevin untuknya. Dia agak enggan untuk menerima."Mas Kevin ... tidak perlu.""Tidak apa-apa. Bukankah kamu sebelumnya bilang jika butuh tambahan uang? Terimalah uang itu."Dengan sungkan, Mbak Yuni menerima uang itu.