Share

Bukan khilaf

Sekar menatap tajam ke arah Zulfan dengan perasaan jijik yang menyelimuti hati. "Aku ingin kita berpisah, Mas!"

Diibaratkan suara petir yang menyambar, membuat Zulfan terkesiap! merasa tidak percaya kalau sang istri dengan mudahnya meminta cerai. "Tidak sayang, aku tidak ingin menceraikan mu. Aku tidak ingin kita berpisah, kasihan anak-anak! mereka masih kecil!" Kepala Zulfan tampak menggeleng pelan.

"Terserah, Mas mau menceraikan aku atau tidak! yang jelas ... aku ingin kita berpisah, kalau Mas merasa kasihan sama dan anak-anak. Kenapa, Mas tidak berpikir dulu sebelum, Mas berbuat sesuatu!" timpal Sekar sambil terus menyeka air matanya.

"Mas, sudah bilang Mas khilaf--"

"Mas, khilaf itu sekali dua kali. Kalau berulang-ulang! itu bukan khilaf namanya, keenakan! apa sih kurangnya aku, Mas? Oke tidak perlu kamu jawab dan aku nggak butuh jawaban. Saat ini aku inginkan adalah kita berpisah! itu saja!" Sekar kembali terisak Rasanya apa yang diucapkan dan apa yang dia inginkan, berbeda dengan perasaan yang terdalam.

Sekar begitu sangat mencintai Zulfan, apapun adanya pria itu selalu ia terima, namun cintanya yang ikhlas yang tulus! dibalas dengan penghianatan.

"Kamu dengar sendiri kan ... kalau Sekar ingin kalian berpisah! Dan kamu tidak ada alasan lagi untuk tinggal di rumah ini, karena saya tahu pasti. Kalau rumah ini dibangun dengan uang hasil keringatnya Sekar, walaupun kau mempunyai andil ... tapi tidak sebesar dengan pengorbanan Sekar!" ucap mama dengan suara yang sangat lantang seakan mengusir keberadaan Zulfan di rumah itu.

"Besan ... rasanya kurang pantas besan berbicara seperti itu. Ini rumah tangga anak kita dan kita tidak perlu ikut campur terlalu dalam. Orang tua itu hanya bisa mendoakan bukan terus ikut campur yang bahkan mungkin hanya akan memperkeruh keadaan!" Lirih Ibu sembari menatap ke arah besannya tersebut.

"Ibu besan bicara seperti itu, karena Ibu besan bukanlah korban! tidak merasakan gimana rasanya disakiti, dikhianati, Ibu besan tidak merasakan gimana sakitnya dada ini, hati ini melihat dan mendengar putri yang kita sayangi dikhianati sama suaminya sendiri, bahkan dengan orang yang dia percaya selama ini!" ujar mama dengan kata-kata yang menggebu-gebu.

"Sudah lah, Bu ... percuma kita berdebat, memang sudah salah anak kita! kita akui saja, lagian apa yang bisa kita banggakan? tidak ada!" Suara ayah dengan lembut meminta sang istri agar dia tidak berdebat dengan besannya.

Papa yang sedari tadi berdiri dan bertolak pinggang. Kini dia duduk dan berusaha meredam amarahnya. "Sebab ... keinginan Sekar berpisah ... berarti kalian tahu apa yang harus kalian lakukan, terutama kamu Zulfan. Kita hadapi prosesnya, perceraian ini biar saya ngurus semuanya."

"Tapi, Pah ... aku tidak ingin berpisah, Pah. Tolong beri kesempatan dan aku ingin memperbaikinya, Pah. Aku ingin jadi suami yang baik. Aku ingin bertobat dan tidak akan pernah melakukannya lagi, tolong beri kesempatan saya Pah, Dek. Beri kesempatan Mas untuk memperbaiki diri!" Zulfan memohon kepada papa dan juga pada Sekar yang tidak merespon apapun.

Pada akhirnya Zulfan bangkit yang kemudian dia berjalan menuju kamarnya mengambil sebagian barang-barang terutama pakaiannya. Langkah Zulfan begitu gontai dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kamar. Setelah dia mengambil pakaiannya dan dimasukkan ke dalam koper, di kamar inilah yang menjadi saksi bisu kebahagiaannya bersama Sekar selama bertahun-tahun.

Dan terhancurkan oleh kebahagiaan sesaat bersama Fitri, pengasuh kedua putra dan putrinya! tetapi Fitri yang sudah dianggap keluarga sendiri di rumah tersebut, sehingga kedekatannya mengundang nafsu bir-ahi. Menjadikan hancurnya rumah tangga yang sekian lama dibina kini terkikis bangunannya, tiang demi tiang berangsur ambruk disebabkan kesalahan ia sendiri.

"Besan, kami pamit dulu dan maafkan segala kesalahan pada kami. Bagaimanapun kita harus menyadari bahwa manusia tak ada yang sempurna, pasti punya kesalahan! kekurangan dan kelebihan. Sebab kita bukan malaikat yang terus-menerus benar dan juga bukan setan yang terus-menerus melakukan kesalahan!" ucap ayah kepada Papa dan Mama yang hanya terdiam dan tak ayal menyambut uluran tangan dari ayah dan juga Ibu.

Papa dan mama hanya menghela nafas dalam-dalam, lalu dihembuskan dengan perlahan. Yang kemudian menatap ke arah Zulfan yang mengulurkan tangan dan menciumnya. "Mah, Pah. Saya minta maaf atas segala kekurangan saya." Sambil menunduk dan mencium punggung tangan Papa dan Mama bergantian.

Lalu kemudian Zulfan melepas pandangannya kepada Sekar yang sepertinya tidak ingin melihat wajahnya. "Dek, aku harap ... kamu berubah pikiran, perpisahan bukanlah jalan terbaik! kita bisa mengambil jalan lain dan berilah, Mas kesempatan untuk memperbaiki diri!"

"Hufh. Sudah lah, tidak ada yang perlu kita bahas lagi. Dan sepertinya keputusan, Aku tidak akan berubah aku sudah terlanjur sakit hati, Mas. Aku juga minta maaf. Jika selama ini aku bukan istri yang terbaik untukmu, makanya kamu berpaling dariku! seandainya aku wanita yang terbaik ... yang sempurna di matamu! tidak mungkin kamu melakukan kesalahan," ucap sekar dengan suara lirih.

"Mas tahu kamu adalah wanita yang keras kepala, tapi Mas sangat berharap kalau keputusan kamu akan berubah. Ini demi kebahagiaan anak-anak kita juga! Mas tidak ingin melihat mereka kebingungan! harus memilih siapa dan tinggal di mana--"

"Tentunya mereka akan tinggal bersamaku dan memilih aku, juga pengadilan pun nantinya pasti akan menjatuhkan hak asuh anak-anak padaku!" potong Sekar dengan sangat percaya diri, tanpa melihat atau memandangi wajah Zulfan.

Pada akhirnya Ayah menepuk pundak Zulfan, agar segera pergi dari sana. Dan waktu pun sudah semakin malam, di luar sudah nampak gelap. Ditambah lagi kayaknya mau hujan, terdengar juga petir dan kilatan-kilatan yang berwarna putih mengguratkan membelah langit.

Kepala Zulfan menoleh pada sang ayah yang langsung mengganggu seolah mengajaknya pergi. Zulfan mengusap wajahnya yang kemudian mengikuti langkah ayah dan ibu sembari menarik kopernya, keluar dari rumah yang selama ini ia tempati bersama sang istri dan juga kedua buah hatinya yang kini entah di mana, sudah dari sore mereka dibawa pergi oleh tantenya itu, adiknya Sekar.

Sepeninggalnya Zulfan dan kedua orang tuanya, Sekar beranjak dari tempat. Kemudian dia setengah berlari melewati anak tangga menuju kamarnya. Mama dan papa hanya menatapi punggungnya saja tanpa berkata-kata.

Helaan nafas yang begitu berat, berusaha dilepaskan dari rongga hidung Ayah maupun ibu, kini mereka duduk termenung di sofa saling berhadapan.

"Walaupun saya tidak merestui awalnya, tapi saya tidak pernah menyangka kalau dia tega berbuat demikian terhadap Putri kita?" ucap mama yang mulai membuka obrolan setelah beberapa saat itu terdiam.

Sang suami menoleh tanpa berkata apapun. Dia hanya mendengarkan perkataan dari sang istri.

"Coba dulu, Sekar itu nurut sama kita! tidak menikah dengan Zulfan dan mau menikah dengan pilihan kita berdua! mungkin kejadiannya nggak akan seperti ini. Dia tidak perlu pontang-panting! capek bekerja untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari dan tidak mungkin juga mengalami kejadian seperti ini." Tambah mama kembali tampak geram.

"Manusia itu hanya bisa berencana ... Tuhan juga yang menentukan, yang kita rasa baik belum tentu kata Allah baik. Begitupun sebaliknya, jadi kita pun tidak bisa berkata. Wah, kalau Sekar menikah sama pilihan kita dia akan berbahagia, belum tentu juga!" timpal papa dengan berusaha bijak dalam berpikir.

"Tapi, kan kenyataannya. Menikah dengan pilihannya sendiri pun seperti ini, Pah. Akhirnya dia yang merasa sakit, dia juga yang kecewa! mana sudah punya anak dua. Kita pun sebagai orang tuanya kena imbasnya juga, siapa sih orang tuanya yang tidak sakit hati jika anaknya mendapatkan pengkhianatan?

"Bagaimana semuanya sudah terjadi, Mah ... dan tidak mungkin waktu dapat diulang kembali dan ... kita tidak mungkin terus membahas masa lalu yang hanya akan membuat hati putri kita hancur sedemikian rupa." Tambah papa sambil lagi-lagi menghembuskan nafasnya dengan kasar.

Hening.

Mama tidak lagi berkata-kata. Yang kemudian dia beranjak dan ngeloyor ke dapur, dengan niat mau menyiapkan masakan untuk makan malam. Namun karena terdengar suara adzan yang mengalun begitu indah! membuat dia mengurungkan niatnya.

Sekar berada di kamarnya sedang menangis tersedu, tiba-tiba terhenti.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status