Di dalam kamar Chun Mei, cahaya lentera redup menyinari sudut-sudut ruangan, menimbulkan bayangan lembut di dinding kayu. Aroma kayu cendana menguar perlahan dari dupa yang menyala, bercampur dengan sisa lembap hujan yang menempel pada pakaian Kaisar.Chun Mei berdiri di hadapan Lin Yi. Tubuh pria itu menjulang tenang, diam, tetapi jelas terlihat basah dan terluka.Dengan hati-hati, tanpa sepatah kata pun, Chun Mei mulai melepaskan jubah luar Kaisar. Jubah bersulam burung Hong itu berat oleh air, dan saat terlepas dari bahu kekarnya, terdengar suara basah yang nyaris menyayat.Jubah itu dijatuhkannya ke lantai tanpa memedulikan genangan yang ditimbulkan.Kaisar Lin Yi tidak bergerak. Dia hanya menunduk, membiarkan Chun Mei melanjutkan.Chun Mei menarik napas pelan, lalu menyentuh pengait jubah dalam yang melekat erat di bahu Kaisar. Jari-jarinya dingin dan sedikit gemetar, tapi tetap tegas. Satu per satu, kait itu terlepas. Perlahan, dia menurunkan kain satin dalam itu, hingga memperl
Li Jiancheng terduduk di tanah, separuh tubuhnya membungkuk, tangannya menekan perut yang kembali basah oleh darah hangat. Tubuhnya bergetar pelan, batuk susulan terus datang, mengguncang dada yang terasa remuk. Setiap kali batuk menggema, darah segar mengalir dari sudut bibirnya, menodai rerumputan hijau musim semi.Ukhuk!Ukhuk!Tangannya yang lain menggenggam tanah, jari-jarinya mencakar rumput seolah mencari sesuatu untuk bertahan. Napasnya berat, sesak, dadanya naik turun cepat. Cahaya senja yang lembut membias di peluh dan darahnya, membuat tubuh itu tampak rapuh, tapi tetap berdiri pada sisa martabatnya yang belum hancur.Dari kejauhan, suara langkah kaki terdengar tergesa. Pelayan-pelayan kediaman Li yang sempat mundur kini kembali datang. Mereka menyingkir cepat, memberi jalan bagi sosok yang melesat masuk tanpa ragu.Li Yuan.Langkahnya setengah berlari, menyibak angin sore dan bunga-bunga liar. Gaunnya terseret di tanah, matanya membelalak saat melihat darah putranya. Jantu
Taman belakang, kediaman Li. Musim semi sedang ranum, bunga-bunga liar tumbuh liar di antara batu-batu jalan setapak yang mulai retak termakan waktu. Angin sore menghembus pelan, membawa aroma dedaunan basah dan kenangan lama.Kaisar Lin Yi berdiri diam di tengah taman. Tatapannya menyapu pelan seluruh tempat itu. Mata yang tajam, tapi tidak menunjukkan emosi."Tempat ini tak banyak berubah," gumamnya, "masih ada jejak-jejak latihanku dulu."Jenderal Shang Que berdiri di belakangnya, tegak seperti bayangan, mengenakan baju besi ringan yang memudahkan pergerakan. Dia menoleh sedikit, melihat sebilah pedang kayu tua yang bersandar pada dinding bambu di sudut taman, bekas latihan masa lalu.Kaisar berjalan perlahan menyusuri jalur batu, langkahnya tenang. Sesekali ujung sepatunya menyentuh kelopak bunga yang gugur. Kemudian dia berhenti di dekat kolam kecil, yang dahulu menjadi tempat mereka membasuh wajah setelah latihan berat.“Shang Que.”“Ya, Yang Mulia.”“Menurutmu, apakah dia akan
Di kediaman Li, menjelang sore.Cahaya sore menembus tirai tipis, menyorot separuh wajah Li Jiancheng yang sedang bersandar di dipan kayu berlapis selimut kapas. Bibirnya pucat, tapi tatapannya hidup.Dia menatap langit di luar jendela, tempat seekor burung kecil terbang melintasi awan, membawa ranting di paruhnya. Entah mengapa pemandangan itu memancing senyum sinis di wajahnya. Mungkin karena burung itu bebas. Sementara dia, sekujur tubuhnya masih dipenuhi luka yang entah kapan sembuh.Suara langkah kaki perlahan memasuki ruangan. Lalu terdengar suara lirih dan hangat dari seorang wanita.“Cheng'er, Ibu bawakan bubur. Ayo makan pelan-pelan, ya.”Li Yuan, ibunya, mendekat dengan semangkuk bubur putih hangat dan sendok perak. Tangannya gemetar sedikit saat menyendokkan bubur ke bibir putranya.Li Jiancheng membuka mulutnya pelan, menelan tanpa bicara.Tak ada percakapan, tak ada tanya.Li Yuan hanya ingin memastikan anaknya hidup dan tetap bisa makan.Setelah suapan ketiga, Li Jianche
Paviliun Qingxin. Di tengah taman mungil dengan kolam batu di sisi timur, Chun Mei duduk di bawah naungan pohon plum yang baru mulai berbunga. Rambutnya dibiarkan jatuh ke bahu, dan wajahnya tampak tenang, meski dari arah kerut tipis di antara alisnya, jelas ada sesuatu yang mengusik pikirannya.Di hadapan wanita itu, Liu Ning berdiri dengan kepala tertunduk, tangan saling menggenggam di depan perut.“Apa katamu tadi?” tanya Chun Mei datar, tetapi nadanya membuat angin pun seakan ikut menahan napas, “kamu memata-matai kediaman Selir Li?”Liu Ning menggigit bibir bawahnya. “Hamba hanya menyampaikan kabar yang hamba dengar, Nyonya. Bahwa Yang Mulia Kaisar baru saja mendatangi Paviliun Badai Salju, milik Selir Li.”Mata Chun Mei menyipit. Dia menoleh, menatap langsung ke arah Liu Ning. “Kamu mendengarnya dari siapa?”“Dari para pelayan yang bertugas menyapu koridor utama, Nyonya. Mereka membicarakan bahwa Yang Mulia datang sendiri, bahkan sempat duduk lama di dalam, dan—” Liu Ning menel
Langkah cepat kembali terdengar di luar. Pelayan ketiga muncul di ambang pintu dengan napas memburu. Wajahnya pucat dan rambut di pelipisnya basah oleh keringat.“Nyonya! Nyonya!”Li Muwan berbalik tajam. “Apa lagi!”Pelayan itu terhuyung sedikit, sebelum menunduk dalam. “Yang Mulia Kaisar Lin Yi sedang dalam perjalanan menuju Paviliun Badai Salju, beliau akan tiba dalam waktu sangat singkat!”Waktu seolah berhenti sejenak.Li Muwan tersentak. Jantungnya seperti mendadak melompat ke tenggorokan. Tangannya yang sejak tadi mengepal di sisi tubuh langsung terbuka, mencari sandaran. “Apa? Mendadak begini. Kamu tidak salah lihat, heh?”“Benar, Nyonya! Beliau sedang berjalan ke mari, didampingi Kasim Feng.”Tak menunggu lama, Li Muwan langsung berbalik. Langkahnya cepat menuju cermin perunggu yang tergantung di sudut ruangan. Untunglah, dirinya belum berganti pakaian dari pagi tadi. Gaun musim semi berwarna lembut itu masih melekat rapi di tubuhnya, rambutnya disanggul anggun dengan hiasan