LOGINDi bawah langit Kekaisaran Zhenhua, pernikahan bukan tentang cinta melainkan tentang kuasa. Li Xian, putri pejabat agung yang cerdas namun dingin, dipaksa menikah dengan Pangeran Kedua, Zhao Wei, seorang pewaris yang terkenal ambisius dan berhati batu. Bagi Li Xian pernikahan itu hanyalah takdir yang dipaksakan, tak ada kata “suka” sebelum cincin dan gelar itu melekat di tangannya. Tapi siapa sangka di balik benteng istana yang penuh tipu daya, cinta bisa datang tanpa permisi dengan pelan-pelan, dari tatapan curiga menjadi perhatian, dari amarah menjadi perlindungan. Sementara itu bayangan pengkhianatan, perebutan tahta, dan rahasia kelam keluarga kekaisaran mengancam segalanya. Ketika cinta mulai tumbuh, keduanya dihadapkan pada pilihan paling sulit: Cinta atau mahkota.
View MoreLangit pagi itu berwarna kelabu, langit seolah tahu bahwa hari itu bukan hari bahagia. Kabut tipis menutupi ibu kota Kekaisaran Zhenhua, menelan deretan atap istana dan jalanan berbatu yang basah oleh embun. Di kejauhan terdengar suara lonceng istana berdentang tiga kali pertanda pernikahan kerajaan akan segera dimulai.
Namun bagi Li Xian, setiap dentang lonceng justru terdengar seperti palu pengadilan yang sedang menjatuhkan vonis. Ia berdiri di depan cermin perunggu dengan wajah yang pucat tapi matanya tetap menatap bayangannya dengan teguh. Ada gemetar halus saat pelayan memakaikan jubah pengantin berwarna merah darah yang berarti warna keberuntungan dalam pernikahan, namun bagi Li Xian pada hari itu merah adalah warna luka. “Tuan Putri jika anda menangis, riasannya akan rusak,” bisik pelayannya dengan suara pelan. Li Xian tersenyum tipis. “Aku tidak menangis, aku hanya menatap masa depan yang bukan milikku.” Ia tahu benar kenapa pernikahan ini terjadi. Ayahnya Li Jian, Kepala Dewan Negara dituduh bersekongkol dalam pemberontakan di perbatasan utara. Demi menjaga keseimbangan antara kekuasaan keluarga Li dan keluarga kerajaan, Kaisar Zhen memutuskan jalan damai dengan menikahkan putri Li bersama Pangeran Zhao Wei yaitu putra keduanya yang terkenal tak pernah tersenyum bahkan pada hari kemenangannya sendiri. Sebuah pernikahan yang bukan didasari dengan cinta, melainkan perjanjian antara dua kekuatan. Sebuah pernikahan yang ditulis dengan tinta politik bukan dengan hati. Istana Timur telah berubah menjadi lautan merah oleh bunga peony, kain sutra, dan lentera yang bergoyang lembut tertiup angin. Para bangsawan berdiri rapi di sepanjang jalan menuju aula utama, semua wajah menampilkan senyum basa-basi tapi setiap pasang mata mengamati dengan hati penuh perhitungan. Li Xian melangkah perlahan dengan wajah yang berselimbut cadar tipis berwarna merah, serta diiringi oleh musik lembut dari guzheng dan pipa bambu langkahnya mantap tapi dalam dadanya bergemuruh badai. Di ujung aula, berdiri seorang pria berbalut jubah hitam keemasan Pangeran Zhao Wei. Tatapannya dingin, tegap dan nyaris tanpa emosi. Ia menatap Li Xian tanpa senyum seolah sedang menilai, bukan menyambutnya. Ketika mereka saling berhadapan, pendeta istana membaca sumpah suci pernikahan kekaisaran. Suara seremonial itu terdengar jauh, seperti gema yang kehilangan makna. “Dua hati bersatu dalam restu langit, dua jiwa menjadi satu demi kekaisaran. Dalam suka dan duka, dalam damai dan perang taati perintah langit.” Li Xian menunduk, dalam hatinya ia berbisik lirih. “Langit mungkin memberkati, tapi apakah hatiku bisa?” Zhao Wei mengulurkan tangan, gerakannya sempurna tanpa cela tapi dingin seperti marmer, ia menyentuh tangan Li Xian hanya sekadar formalitas tanpa rasa, dan tanpa kehangatan. Sesaat, Li Xian menatap mata itu dari balik cadar. Di sana ia melihat kesepian yang dalam, mungkin juga luka yang tak pernah disembuhkan. Namun sebelum ia sempat memikirkannya, Zhao Wei menarik tangannya kembali. Upacara selesai, para bangsawan bertepuk tangan dan musik kembali mengalun, tapi tak ada senyum sejati di antara mereka berdua. Malam tiba, langit gelap dihiasi ribuan lentera namun udara istana tetap dingin, di ruang dalam Paviliun Jinghua Li Xian duduk di sisi ranjang pernikahan yang mewah dengan rambut panjang terurai dan gaun merah yang kini terasa terlalu berat. Pangeran Zhao Wei masuk tanpa suara sambil melepas jubah luar dan duduk di kursi batu dekat jendela. Tak ada ucapan selamat malam, tak ada sapaan lembut hanya diam seperti kabut di luar jendela. Akhirnya Li Xian yang memecah keheningan. “Yang Mulia,” katanya hati-hati, “hari ini kita diikat dalam nama keluarga, bukan karena kehendak kita. Aku tak akan menuntut cinta darimu, tapi izinkan aku menjaga kehormatanku sebagai istri sahmu.” Zhao Wei menatapnya tanpa ekspresi. “Cinta? Aku tak percaya pada kata itu,” ujarnya dingin. “Dan kau tak perlu berusaha mendapatkan perhatianku. Aku menikah tak untuk hati, hanya untuk menjaga keseimbangan negeri ini.” Kata-katanya seperti belati yang menusuk dada Li Xian, bukan karena ia mengharapkan kasih tapi karena kini ia tahu bahkan sebagai istri, ia hanyalah bagian dari permainan kekuasaan. Li Xian menunduk. “Kalau begitu, aku akan memegang peranku dengan sebaik mungkin.” Zhao Wei menatapnya sejenak, lalu berkata pelan. “Jangan mencampuri urusanku, jangan mendekat dan jangan pernah mencoba menafsirkan diamku sebagai perhatian.” Setelah itu ia bangkit dan keluar, meninggalkan ruangan yang masih dipenuhi aroma dupa pengantin. Pintu tertutup perlahan, menandai awal pernikahan tanpa cinta namun juga awal kisah yang kelak mengguncang seluruh kekaisaran. Beberapa hari berlalu. Li Xian hidup tenang di sayap timur istana, menjalankan peran sebagai putri mahkota kedua. Ia tak pernah menunjukkan kelemahan di hadapan pelayan atau dayang meski dalam hatinya kadang muncul tanya apakah semua perempuan di istana juga menikah tanpa cinta seperti dirinya? Suatu malam ada kabar buruk datang, kediaman keluarga Li diserbu oleh pasukan istana dengan tuduhan baru yaitu penggelapan dana perang di utara. Li Xian tersentak mendengar kabar itu tapi tetap menahan diri, Ia tahu bahwa langkah gegabah akan menghancurkan keluarganya sepenuhnya. Ia memutuskan untuk menemui Zhao Wei meski ia tahu mungkin akan ditolak mentah-mentah. Di aula pribadi sang pangeran, Zhao Wei tengah menulis laporan militer ketika Li Xian masuk. “Yang Mulia,” katanya, “aku memohon agar Anda memeriksa kembali tuduhan terhadap ayahku, beliau bukan pengkhianat.” Zhao Wei menatapnya tajam. “Kau datang padaku bukan sebagai istri, tapi sebagai anak dari tersangka.” Li Xian menatap balik, tanpa gentar. “Aku datang sebagai seseorang yang percaya pada keadilan, jika kau memang pewaris tahta maka tunjukkan bahwa hatimu tidak buta oleh politik.” Ruangan menjadi sunyi, Lama sekali Zhao Wei tak menjawab, lalu akhirnya ia berkata dengan nada rendah namun tegas. “Jangan uji kesabaranku Li Xian, dunia ini tak berjalan dengan keadilan melainkan dengan kekuasaan.” Tapi sesuatu dalam nada suaranya membuat Li Xian tahu bahwa Zhao Wei bukan tak peduli, ia hanya menolak terlihat peduli. Malam itu sebelum pergi, Li Xian menatap punggung sang pangeran yang membisu di depan lilin-lilin yang menyala temaram. Dalam hati ia berbisik lirih, “Kau mungkin tak mencintaiku tapi suatu hari nanti, aku akan membuatmu percaya bahwa cinta bisa datang bahkan dari reruntuhan perjanjian politik.” Dan di balik jendela, bulan tampak bulat sempurna menjadi saksi bisu atas dua hati yang dipaksa menyatu oleh kuasa, namun perlahan akan belajar mengenal cinta di jalan yang penuh duri.Fajar pertama setelah dua bulan menyatu datang dengan keheningan yang aneh, tidak ada suara ayam jantan yang terdengar, tidak ada dentang lonceng pagi, hanya desir angin yang melintas di antara menara istana yang separuh hancur. Di seluruh Kekaisaran Zhenhua langit tampak berbeda, terlalu terang untuk disebut pagi tapi terlalu lembut untuk disebut siang. Rakyat menyebutnya Langit Tanpa Nama, karena warna cahaya itu tak pernah mereka lihat sebelumnya ada campuran perak, emas dan merah muda yang bergerak perlahan seperti napas.Li Xian berdiri di teras tertinggi Paviliun Utama, jubah putih keemasannya berkibar ditiup angin. Dari tempat itu ia bisa melihat seluruh istana yang kini sunyi, istana yang dulu megah tampak seperti cangkang kosong dengan ratusan lentera padam dan bendera-bendera kekaisaran yang sudah robek setengah. Namun di tengah reruntuhan, pohon sakura di halaman tengah mekar padahal musimnya belum tiba. Kelopak-kelopaknya jatuh perlahan ke udara, memancarkan cahaya lembut
Langit Kekaisaran Zhenhua malam itu tampak seperti kain sutra yang disobek dua, di satu sisi bulan putih menggantung tenang seperti biasa, namun di sisi lain muncul bulan merah yang tak seharusnya ada bulan dengan bulat sempurna, yang memancarkan cahaya seperti bara hidup.Seluruh rakyat berlutut memandang langit dengan ngeri, para pendeta di kuil utama berteriak menyebutnya “tanda penghakiman dewa”, sementara para jenderal memerintahkan lonceng perang dibunyikan. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di lembah Guanshi, bahwa sejak cahaya merah itu meledak, angin menjadi berubah arah, salju berhenti turun dan bayangan di tanah mulai bergerak tanpa mengikuti tubuh.Di tengah kehancuran lembah itu kabut merah perlahan menyingkir, batu-batu altar retak dan api sudah padam, hanya bara kecil yang tersisa seperti jantung dunia yang masih berdetak. Li Xian terbaring di atas salju dengan wajahnya yang pucat tapi terlihat damai, darah menetes dari pelipisnya namun luka itu perlahan m
Malam itu langit Kekaisaran Zhenhua seperti terbakar, bukan oleh api melainkan oleh warna merah darah yang merayap dari timur ke barat. Bulan diselimuti kabut hitam, seolah langit sedang menutup matanya dari dosa yang akan bangkit.Li Xian berdiri di tengah paviliun pribadinya, lentera menggantung rendah dipaviliunnya, telihat bayangannya terpantul di dinding dengan gerakan lembut tapi terlihat sesuatu yang tampak salah. Setiap kali ia bergerak, bayangan di dinding itu tidak mengikuti secara sempurna kadang terlambat, kadang lebih cepat, kadang menatap balik.Udara di sekitarnya dingin seperti di dasar sumur, aroma dupa bunga melati yang biasanya menenangkan kini justru membuatnya mual. Di depannya ada meja dengan cermin perunggu tua yang diwariskan turun-temurun dari keluarga Li yang tampak bergetar halus, permukaannya tidak lagi memantulkan wajahnya, melainkan kabut kehitaman yang bergerak seperti air hidup.“Jangan percayai cermin…” suara Zhao Wei bergema di kepalanya, kalimat tera
Angin utara menggigit seperti pisau yang menusuk kulit hingga ke tulang, salju turun tanpa henti hingga menutupi jejak langkah pasukan Zhao Wei yang telah tiba di dataran beku dekat Benteng Qinghe. Di hadapan mereka, terlihat benteng itu kini hanya tersisa puing dan bara yang membara pelan di bawah langit.Zhao Wei turun dari kudanya, menatap reruntuhan yang sunyi. “Tidak ada tanda perlawanan,” katanya lirih. “Semua mati tanpa sempat mengangkat senjata.”Jenderal Muda Shen yang berdiri di sampingnya, menunduk. “Yang Mulia, semua mayat pasukan kita mengering. Sepertinya darah mereka seperti telah diserap sesuatu.”Zhao Wei berjongkok menyentuh tanah yang membeku di antara abu dan salju, warna merah gelap menempel di jari-jarinya. Tapi ia menemukan bahwa itu bukan darah biasa, sangat aneh dan terasa panas meski udara sedang dingin sedingin kematian.“Ini darah yang telah terikat,” gumamnya.Malam turun cepat di utara, pasukan Zhao Wei mendirikan kemah di kaki benteng. Api unggun menyala
Salju pertama turun lebih awal tahun itu, menutupi atap-atap istana Zhenhua dengan selimut putih yang dingin dan sunyi. Namun di balik keindahan itu, udara membawa kabar buruk dari utara. Tiga minggu telah berlalu sejak kematian Permaisuri Han, istana masih berkabung, tapi kedamaian yang diharapkan tak kunjung datang, justru semakin banyak tanda-tanda ganjil bermunculan.Li Xian berdiri di balkon Paviliun Timur sedang memandangi bendera kekaisaran yang berkibar setengah tiang, ia memejamkan mata, mencoba melupakan jeritan dan darah di aula tiga minggu lalu, tapi bayangan cincin retak dan kata-kata terakhir Permaisuri Han terus menghantuinya.“Sumpah darah tidak bisa dihapus, hanya dipindahkan.” Kalimat itu bergaung di pikirannya seperti kutukan.Zhao Wei memasuki ruangan tanpa suara, dengan mengenakan jubah perang berwarna abu dengan lambang naga keemasan di pundaknya dan masih ada salju yang menempel di bahunya. “Utusan dari perbatasan baru tiba,” katanya datar. “Benteng utara diser
Langit di atas istana terlihat membara dengan warna merah keemasan, fajar yang seharusnya membawa ketenangan justru terasa seperti tanda bahaya. Udara di aula utama terasa berat, setiap napas seperti mengandung ancaman. Kaisar duduk diam di singgasananya, mata tuanya menatap bergantian antara Zhao Wei dan Permaisuri Han.“Permaisuri,” suaranya berat dan dalam, “apakah benar segel ini milikmu?”Permaisuri Han tersenyum, gerakannya tenang seperti permukaan danau sebelum badai. “Yang Mulia,” katanya lembut, “segellah yang menjadi milikku, tapi tempatnya selalu di ruang kerja. Jika benda itu ditemukan di gudang racun, berarti seseorang telah mencurinya untuk menjebakku.”Ia menatap Zhao Wei tajam. “Dan siapa yang memiliki akses paling mudah untuk melakukannya selain putra mahkota sendiri?”Bisik-bisik langsung menyebar di seluruh aula, para pejabat dan kasim saling menatap, ketegangan menebal di udara seperti kabut yang menahan cahaya.Zhao Wei menahan napas, lalu berkata lantang, “Jika a






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments