Home / Rumah Tangga / Selir Hati Sang Penguasa / Chapter 5: Kebersamaan yang berbeda

Share

Chapter 5: Kebersamaan yang berbeda

Author: ARCELYOS
last update Huling Na-update: 2024-09-07 13:50:25

Siang itu, Kiara dan Dimas baru saja selesai berbelanja untuk kebutuhan Pernikahan. Mereka berjalan berdampingan keluar dari pusat perbelanjaan, membawa beberapa tas berisi barang-barang yang sudah dipilih dengan teliti oleh Kiara. Matahari bersinar terang, memberikan suasana hangat yang nyaman, dan mereka berdua memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran kecil di sudut jalan.

“Aku lapar, bagaimana kalau kita makan di sini?” Kiara menunjuk sebuah restoran dengan dekorasi yang hangat dan sederhana.

Dimas mengangguk setuju, meskipun dia tahu bahwa sebagai asisten Dalvin, seharusnya dia menjaga jarak profesional dengan Kiara. Namun, entah kenapa, kebersamaan dengan Kiara hari itu membuatnya merasa lebih rileks dan santai. Dimas memang tidak memiliki teman, sejak kecil ia sudah ikut Dalvin dan ia sendiri sudah menganggap pria tersebut sebagai pengganti ayahnya sendiri.

Mereka memesan makanan dan duduk di meja yang menghadap ke jendela, bisa melihat jalanan yang sibuk di luar. Sambil menunggu pesanan datang, mereka berbincang santai. Untuk pertama kalinya, Dimas tampak lebih terbuka. Senyumnya yang biasanya jarang terlihat kini lebih sering menghiasi wajahnya, membuat Kiara merasa nyaman di dekatnya.

Saat makanan tiba, keduanya mulai makan dengan lahap. Percakapan ringan terus berlanjut, diselingi tawa kecil dari Kiara. Namun, momen yang tak terduga tiba ketika Dimas, dengan cerobohnya, Dimas bersin hingga segelas jus yang ia pegang di atas meja, membasahi baju Kiara.

"Oh tidak! Maaf!" Dimas buru-buru mengambil serbet dan mencoba mengeringkan bagian baju Kiara yang terkena jus, sementara Kiara hanya tertawa. Yang lebih lucunya, Dimas mengeluarkan ingus.

"Tidak apa-apa, Dimas. Aku baik-baik saja." tutur Kiara. "Lebih baik buang ingusmu terlebih dahulu."

"Ah nona maafkan aku, sepertinya cuaca sangat dingin sehingga sinusku kambuh. Maaf!" ujar Dimas kikuk.

Senyum Kiara melebar saat melihat wajah panik Dimas, dan sejenak, kekikukan yang sempat terasa di antara mereka menghilang.

Setelah itu, mereka tertawa bersama seolah kejadian tadi merupakan hal paling lucu yang pernah mereka alami. Suasana semakin santai, dan Kiara merasa Dimas berbeda dari biasanya. Ada sisi yang lebih hangat dari pria itu, sesuatu yang membuatnya semakin nyaman untuk berbicara dan bercanda.

Setelah makan siang selesai, Dimas tiba-tiba mengusulkan sesuatu. "Nona, apa setelah ini mau main di arcade?" tanyanya, setengah bercanda namun juga serius.

Kiara, yang awalnya ragu, akhirnya mengangguk antusias. "Kenapa tidak? Aku sudah lama tidak bersenang-senang."

Mereka berdua berjalan ke sebuah arcade yang tidak jauh dari restoran. Di sana, Kiara merasa seperti kembali ke masa kecilnya, di mana bermain tanpa beban adalah hal yang wajar. Dimas dan Kiara mencoba berbagai permainan, dari menembak bola basket hingga menembak alien di layar. Mereka tertawa lepas, seolah hari itu adalah momen pelarian dari semua tanggung jawab dan tekanan yang biasa mereka hadapi.

Di salah satu permainan, Dimas dengan bercanda mencoba menyaingi Kiara, yang ternyata sangat mahir menembak bola basket.

"Aku tidak menyangka kamu jago bermain ini," kata Dimas sambil tersenyum lebar.

Kiara hanya mengangkat bahu dengan gaya angkuh, namun kemudian tertawa lagi. "Ada banyak hal yang kamu belum tahu tentang aku," katanya sambil mengejek ringan.

Waktu berlalu tanpa terasa, dan setelah beberapa jam bermain, keduanya mulai merasa kelelahan. Kiara, yang sejak awal sudah merasa sedikit tidak enak badan, mulai merasakan efeknya. Wajahnya perlahan berubah pucat, dan ia mulai merasa mual. Tanpa banyak bicara, Kiara menutup mulutnya dan berlari menuju toilet.

Dimas yang menyadari keadaan Kiara segera mengejarnya, namun tidak bisa menghindari kecemasan yang merayapi pikirannya. Saat Kiara keluar dari toilet, wajahnya tampak lebih pucat dari sebelumnya. Dia memegang perutnya dengan tangan gemetar, berusaha menahan muntah yang datang lagi.

"Kiara, kamu baik-baik saja?" tanya Dimas dengan nada khawatir, mendekatinya dengan cemas.

"Aku... aku rasa jus yang tadi aku minum membuatku mual," jawab Kiara lemah, sebelum ia harus berlari kembali ke toilet untuk muntah lagi.

Dimas tidak berpikir dua kali. Ia langsung memutuskan untuk membawa Kiara ke rumah sakit. Dengan sigap, ia memapah Kiara keluar dari arcade, menuntunnya menuju mobil. Sepanjang perjalanan, Dimas tidak bisa menutupi kekhawatirannya. Kiara tampak begitu lemah, dan ia tahu bahwa ini bukan sekadar mual biasa.

Setibanya di rumah sakit, Dimas dengan cepat mengurus administrasi dan memastikan Kiara mendapatkan perawatan secepatnya. Setelah pemeriksaan singkat, dokter menyatakan bahwa Kiara mengalami keracunan makanan ringan, mungkin dari jus yang diminumnya, namun tidak ada yang perlu dikhawatirkan secara serius.

Meski begitu, Dimas memutuskan untuk tetap berada di samping Kiara, memastikan bahwa ia merasa nyaman dan diperhatikan. Dalam ruangan rumah sakit yang hening, Dimas duduk di samping ranjang Kiara. Kiara mengulurkan tangan memegang tangan Dimas dengan lembut.

“Maaf, aku tidak mengawasi apa yang kamu minum,” kata Dimas pelan, merasa sedikit bersalah. "Tuan Dalvin akan sangat marah jika tahu aku melakukan kelalaian."

“Tidak perlu minta maaf, Dimas. Ini bukan salahmu,” jawab Kiara lemah, namun dengan senyum yang tetap hangat.

Meski tubuhnya terasa lemah, hatinya justru terasa hangat oleh perhatian Dimas yang begitu tulus. Kiara merasa ujiannya sangat berat, mengapa ia harus didampingi sosok seperti Dimas? Mereka berdua sebaya, tentu orang-orang akan menyangka mereka pasangan dibandingkan asisten dan majikan.

Selama Dalvin berada di Singapura untuk urusan bisnis, Dimas-lah yang mengambil alih untuk merawat Kiara. Setiap hari, ia memastikan bahwa Kiara mendapatkan makanan yang baik, mengatur segala keperluan di rumah sakit, dan selalu berada di sisinya tanpa henti. Perhatian Dimas terasa begitu berbeda dari sebelumnya. Ini bukan lagi sekadar peran seorang asisten yang melaksanakan perintah. Kiara bisa merasakan ada perasaan yang lebih dari sekadar tanggung jawab.

Malam itu, ketika hanya ada mereka berdua di ruangan, Kiara terbaring di ranjang rumah sakit sambil menatap Dimas yang sedang membereskan beberapa barang. Hatinya bertanya-tanya tentang semua yang Kiara rasakan. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Dimas memperlakukannya. Kebersamaan mereka terasa hangat dan intim, jauh lebih dalam dari hubungan biasa antara seorang majikan dan asisten.

"Dimas," panggil Kiara perlahan.

Dimas menoleh, menatapnya dengan penuh perhatian.

“Ya, nona Kiara?”

“Terima kasih, sudah menjagaku,” ucap Kiara tulus, dan matanya menatap Dimas dengan lembut. “Aku merasa... ada yang berbeda denganmu. Kebersamaan ini... kau tidak lebih dari sekadar tanggung jawab kan?”

Dimas terdiam sejenak, pandangannya sedikit berkabut. Namun, ia tidak bisa mengelak.

“Aku... mungkin, ya. Aku hanya ingin memastikan nona baik-baik saja.” ujar Dimas. "Kita pulang malam ini, dokter sudah mengizinkan nona untuk pulang."

Kiara tersenyum kecil, namun dalam senyum itu ada rasa yang mendalam. Hari itu, Kiara tidur dengan perasaan yang campur aduk. Sementara di luar, Dimas terus berjaga di sampingnya, merenungkan perasaan yang mulai mengisi hatinya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Selir Hati Sang Penguasa   Chapter 84: Dalvin dan Dimas

    Ruangan rumah sakit penuh dengan kesibukan. Dokter dan perawat berseliweran, membawa berbagai peralatan menuju ruang operasi. Di tengah suasana panik itu, Dimas berdiri di lorong dengan wajah tegang. Sementara itu, Dalvin berdiri tidak jauh darinya, rahangnya mengeras dan matanya tak pernah lepas dari Dimas.Dalvin bisa melihat cinta di mata Dimas. Tatapan mata yang belum pernah Dalvin lihat sepanjang hidupnya bersama Dimas. Karena itulah batin Dalvin berteriak, ia tidak mau melihat Dimas seperti itu.Dokter keluar dari ruang persalinan dengan langkah cepat, menghampiri mereka berdua. "Kami akan segera melakukan operasi caesar. Detak jantung bayi melemah, dan kami harus bertindak cepat," jelas dokter dengan nada serius."Dokter, tolong selamatkan mereka," ujar Dalvin tanpa ragu.Dimas mengangguk tegas. "Lakukan apa pun yang diperlukan. Jangan biarkan istriku atau bayinya terluka."Tatapan Dalvin berpindah ke Dimas, penuh kemarahan. Kata-kata dokter seolah tak terdengar, tenggelam ole

  • Selir Hati Sang Penguasa   Chapter 83: Dalvin Datang

    Di ruang kerjanya yang megah, Dalvin duduk termenung. Di hadapannya, segelas kopi yang sejak tadi tak tersentuh mulai mendingin. Sebuah laporan tebal tergeletak di atas meja, tak menarik perhatian Dalvin sama sekali. Pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Kiara.Seorang pria berjas hitam berdiri di hadapannya, wajahnya tegas tapi penuh keraguan. Beliau adalah ajudan sekaligus Sekretaris yang kini menggantikan Dimas. Dalvin memutar bola mata, menatap pria itu saksama."Tuan Dalvin, laporan terakhir dari tim kami. Nona Kiara sudah dibawa ke rumah sakit di Amsterdam. Dari informasi yang kami dapat, kemungkinan besar beliau akan melahirkan dalam waktu dekat."Dalvin mengangkat wajahnya, tatapannya tajam. "Amsterdam? Jadi mereka benar-benar pergi sejauh itu..." gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri."Benar, Tuan. Tim kami memastikan Dimas masih mendampingi Nona Kiara. Mereka terlihat cukup hati-hati, tapi kami berhasil mengawasi pergerakan mereka," pria itu melanjutkan.Dalvin menghela napas

  • Selir Hati Sang Penguasa   Chapter 82: Tenangkan aku, Dimas

    Kiara terkulai lemah di atas ranjang hotel, matanya setengah terpejam karena kelelahan. Sejak beberapa hari terakhir, ia merasa gelisah dengan kontraksi-kontraksi palsu yang datang silih berganti. Setiap kali rasa sakit itu datang, tubuhnya menggigil dan perutnya terasa kencang. Meski begitu, ia tahu itu bukan tanda bahwa persalinan akan segera terjadi, tapi tetap saja, rasa tidak nyaman itu cukup membuatnya kelelahan."Aduh... Dimas..." Kiara mengeluh, memegangi perutnya yang semakin membesar.Kiara merasa sesak, dan kali ini rasa sakit itu seakan lebih kuat dari sebelumnya.Dimas yang berada di sampingnya, segera duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan Kiara dengan lembut. Sejak hari-hari terakhir di Amsterdam, ia tak bisa lagi menahan kekhawatiran melihat Kiara yang semakin menderita. Apalagi kalimat Dalvin, semua itu akan menjadi sebuah ancaman bagi Dimas dan Kiara ke depannya."Ada apa, sayang? Apakah rasa sakit itu semakin menjadi?" Dimas bertanya khawatir, matanya memandan

  • Selir Hati Sang Penguasa   Chapter 81: Dalvin Mengetahui Semuanya

    Dalvin duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan file penting yang menanti untuk ditandatangani. Namun, hari itu pikirannya teralihkan oleh laporan yang baru saja ia terima. Di meja kerjanya, ponsel bergetar, menandakan panggilan masuk. Dalvin mengangkat telepon dengan wajah serius."Tuan Dalvin, saya punya kabar penting," suara suruhan Dalvin terdengar dari ujung telepon. "Kami telah melacak keberadaan Kiara dan Dimas. Mereka berada di Amsterdam."Dalvin terdiam sejenak, terkejut mendengar berita itu. Jantungnya berdebar kencang, dan seketika rasa cemas menyelubunginya. Amsterdam? Kiara dan Dimas? Tak pernah terlintas di pikirannya bahwa mereka akan pergi sejauh itu."Amsterdam?" Dalvin bertanya, berusaha tetap tenang meski hatinya berkecamuk. "Apa mereka melakukan perjalanan bersama? Ah ya tentu saja, maksudku apa mereka tinggal bersama?""Ya, Tuan," jawab suruhannya dengan nada hati-hati. "Mereka pergi bersama, dan yang lebih mengejutkan, mereka sudah

  • Selir Hati Sang Penguasa   Chapter 80: Diawasi

    Kiara duduk di sofa ruang keluarga dengan tangan memegangi perutnya yang semakin membesar. Wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia sering mengeluh mulas belakangan ini, dan rasa itu kian hari semakin intens. Dimas yang duduk di sampingnya tampak gelisah, mengawasi Kiara dengan tatapan cemas.“Kiara, kita harus pergi ke dokter sekarang,” desak Dimas, suaranya tegas namun penuh perhatian. "Ini dekat dengan HPL bukan?"“Tapi aku takut, Dimas,” jawab Kiara lirih. “Aku dengar prosedur pemeriksaan untuk pembukaan itu menyakitkan. Aku tidak tahu seperti apa, tapi katanya akan sakit.”Dimas menggenggam tangan Kiara dengan lembut. “Aku ada di sini. Apa pun yang terjadi, aku akan menemanimu. Ini demi kesehatanmu dan bayi yang kamu kandung. Jika nanti sakit, kamu boleh meremas tanganku dengan keras."Kiara menatap mata Dimas yang penuh keyakinan. Akhirnya, ia mengangguk meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. Dengan sigap, Dimas membantu Kiara berdiri dan mengenakan mantel. Mer

  • Selir Hati Sang Penguasa   Chapter 79: Ambisi Cecilia

    Pagi itu, Dimas sedang sibuk di dapur. Ia mengaduk adonan pancake dengan cekatan sambil sesekali melirik ke arah Kiara yang duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu tampak sibuk membaca buku tentang persiapan melahirkan, sesekali mengusap perutnya yang semakin besar. Dokter mengatakan bila menunggu dua minggu kedepan untuk melahirkan.“Kiara,” panggil Dimas dari dapur. “Kamu mau tambahan cokelat atau sirup maple di pancake-nya? Atau mau ditambahi ciuman dari aku?” imbuhnya.Kiara menoleh dan tersenyum kecil. Ia gemas pada Dimas yang sudah mulai gombal terhadapnya.“Sirup maple saja. Aku sedang mengurangi yang manis-manis. Kata Dokter berat badanku cepat naik, aku harus menjaganya supaya tidak sulit melahirkan."Dimas mengangguk, menuangkan adonan ke penggorengan. Suara desis adonan bertemu dengan wajan panas memenuhi ruangan, menciptakan aroma manis yang membuat suasana pagi terasa hangat.Namun, di tengah kehangatan itu, ponsel Dimas yang tergeletak di meja makan bergetar. Nama yang tert

  • Selir Hati Sang Penguasa   Chapter 78: Sakit di Dada

    Kiara terbangun di pagi itu dengan rasa sakit yang semakin mengganggu di dadanya. Beberapa kali ia terbangun dan meraba dadanya yang terasa sangat penuh dan membengkak. Setiap gerakan terasa begitu nyeri, dan meskipun ia mencoba untuk tidur, rasa sakit itu tak kunjung mereda."Ahh..." Kiara mengeluh pelan, meremas bantal yang ada di sampingnya. Ia tak bisa menahan rasa tidak nyaman itu lebih lama. Tak ada yang bisa membantunya kecuali Dimas, yang tidur dengan tenang di sebelahnya.Dimas yang terbangun mendengar suara desahan Kiara segera menoleh. "Kiara? Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran. Matanya masih setengah terpejam, namun ia bisa melihat ekspresi kesakitan di wajah Kiara.Kiara menatap Dimas dengan tatapan penuh harap. "Dimas, dadaku... Sakit sekali," kata Kiara dengan nada lemah. "Aku merasa seperti hampir meledak, ini lebih sakit dari kemarin saat kamu memompanya. Keringatku juga dingin."Dimas menggaruk tengkuknya, sedikit bingung. Ia tidak tahu bagaimana har

  • Selir Hati Sang Penguasa   Chapter 77: Menyusun Rencana

    Cecilia melangkah keluar dari bandara dengan perasaan campur aduk. Di tangannya, ia menggenggam tiket pesawat yang baru saja ia gunakan untuk kembali ke Indonesia. Hatinya penuh dengan kecemasan dan tekad. Ia tahu, apa yang akan ia lakukan hari ini akan mengubah banyak hal, terutama bagi keluarga Kiara.Keluarga Kiara harus tahu bila putrinya hidup. Hanya itu yang ada di benak Cecilia.Perjalanan ke rumah keluarga Kiara terasa lebih panjang dari biasanya. Ia memandangi jalanan yang penuh kenangan, mengingat bagaimana dulu ia dan Kiara sering melewati jalan ini bersama. Kini, Kiara berada ribuan kilometer jauhnya, berjuang untuk hidup dan bayinya, sementara orangtuanya di sini tidak tahu apa-apa.Ketika mobil berhenti di depan rumah besar dengan taman rapi, Cecilia menarik napas dalam-dalam. Ia turun dari mobil dan melangkah ke pintu depan. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu, seolah ia membawa beban yang terlalu berat untuk disampaikan. Semua salahnya, ia yang telah membawa Kiara da

  • Selir Hati Sang Penguasa   Chapter 76: Titah Kegelapan

    Di sebuah ruangan besar dengan pencahayaan redup, Irene duduk di kursi roda mewahnya. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kebencian yang dalam. Wanita itu belum puas dengan apa yang terjadi di hidupnya. Ia ingin siapapun yang ia benci, hancur lebur tak bersisa.Di hadapannya berdiri lima orang pria berpenampilan garang, berpakaian serba hitam, dengan wajah tanpa belas kasihan.Irene memutar cangkir teh di tangannya, aroma melati memenuhi udara. Ia menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berbicara dengan suara rendah namun penuh wibawa.“Kalian tahu kenapa kalian ada di sini?” tanya Irene, suaranya nyaris seperti bisikan namun cukup untuk membuat semua pria itu tegang.Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di wajahnya, maju selangkah. “Kami akan mendengar perintah Anda, Nyonya. Kami siap menjalankan apa pun yang Anda inginkan.” ujar pria itu dengan tatapan tajam.Irene tersenyum tipis, namun senyumnya dingin seperti es. Wani

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status