Kiara Parvati tidak punya pilihan lagi. Ia dipecat dari pekerjaan, dan kondisi ayahnya yang sedang sakit ginjal. Karena itu, ia terpaksa menerima tawaran sebagai istri kedua dari seorang penguasa yaitu Dalvin Pramoedya. Dalvin memutuskan menikah kembali karena sang istri menderita sakit kanker dan tidak bisa memiliki keturunan. Kondisi perusahaan yang genting mengharuskan Dalvin segera memiliki pewaris. Kiara akhirnya menerima pinangan itu dengan terpaksa demi memperbaiki ekonomi keluarganya. Bagaimana Kiara menghadapi kemelut rumah tangga yang tidak diinginkannya itu? Sanggupkah ia menjalani sisa hidup bersama Dalvin? Bagaimana Kiara menghadapi Irene, istri pertama Dalvin yang sebenarnya tidak rela dimadu dan juga Dimas, sekretaris suaminya yang diam-diam jatuh cinta?
view moreKiara Parvati berdiri di sudut ruang tamu yang sempit dan gelap. Cahaya matahari hanya mampu menembus jendela kecil yang kotor, membuat ruangan ini terlihat semakin suram. Setiap sudutnya terasa berat dengan bau debu dan kerusakan yang semakin merayap ke seluruh bagian rumah.
Kiara menghela napas, menatap ayahnya yang terbaring di ranjang dengan mata yang lelah dan wajah yang pucat. Sudah hampir satu tahun sang Ayah berjuang melawan sakit ginjal hingga tidak mampu berbuat apa-apa. "Kiara, kamu sudah pulang?" tanya ayahnya dengan suara yang hampir tak terdengar. Kiara menatap wajah tua itu dengan penuh rasa sakit dan kekhawatiran. Ada sesuatu yang membuatnya sakit, akan tetapi tidak dapat diungkapkannya. "Iya, Pa. Aku baru saja pulang dari kantor," jawabnya, meski hati Kiara tertekan dengan kenyataan bahwa hari itu adalah hari terakhirnya di tempat kerja. Sebagai seorang wanita muda berusia dua puluh dua tahun, Kiara merasa hidupnya seperti sebuah lingkaran setan. Ekonomi keluarga mereka yang sudah sulit semakin memburuk dengan sakitnya ayah dan ketidakmampuan ibunya untuk mencari nafkah. Keputusannya untuk mencari pekerjaan tambahan pun tak membuahkan hasil yang signifikan. Kini, setelah dipecat dari pekerjaan terakhirnya, Kiara merasa seperti berada di tepi jurang, tanpa jalan keluar. "Jangan lupa makan Kiara, makan seadanya saja ya nak?" ujar Mama Kiara yang tampak kelelahan. "Nanti saja Ma, aku ke kamar dulu." Kiara menghela napas panjang dan duduk di ranjangnya dengan perasaan kalut. Tiba-tiba sahabatnya Cecilia menghubunginya via telefon. Cecilia adalah orang yang telah lama menjadi teman dekat Kiara. Namun, siapa sangka hari itu Cecilia datang dengan tawaran yang sangat tak terduga. "Kamu benar-benar harus datang ke sini, Kiara. Aku punya sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan," kata Cecilia dengan nada serius saat menelepon Kiara. "Tidak ada yang menjaga ayahku. Apa tidak bisa kita berbincang di telefon?" ujar Kiara dengan nada sedih. "Kiara, aku akan mengganti semua transportnya. Tolong datang ke sini, aku benar-benar ingin membicarakan hal yang serius. Ini demi masa depanmu juga. Sebentar saja." ujar Cecilia dengan nada memohon. "Kamu bisa melaporkanku jika aku menyakitimu. Aku mohon, aku mohon Kiara. Sepanjang kita berteman, baru kali ini aku memohon kepadamu." Kiara iba dan akhirnya berangkat menuju kediaman Cecilia. Ketika Kiara tiba di apartemen Cecilia yang mewah, dia merasa canggung dan tidak nyaman. Suasana mewah yang kontras dengan kondisi hidupnya sendiri hanya menambah rasa kesal di hatinya. Cecilia menyambutnya dengan senyuman canggung, dan segera membawa Kiara ke ruang tamu yang penuh dengan perabotan elegan. "Ada apa, Cecilia? Aku sudah sangat lelah dan tidak tahu harus bagaimana lagi," keluh Kiara, mencoba menenangkan dirinya meski dalam keadaan tertekan. Cecilia mengangguk, seolah memahami betapa berat beban yang dipikul Kiara. "Aku tahu kamu melalui masa sulit. Tapi aku ingin menawarkan sesuatu yang bisa membantu kamu dan keluargamu." Kiara mengerutkan dahi. Ia tidak yakin dengan apa yang akan dikatakan Cecilia. "Apa itu?" tanyanya dengan penuh harapan. Cecilia menghela napas, lalu menjelaskan. "Ada seorang pengusaha kaya, ia Pamanku sendiri bernama Dalvin Pramoedya yang saat ini membutuhkan istri kedua. Istrinya, Irene, tidak bisa memberikan keturunan dan saat ini sedang berjuang melawan kanker. Dalvin mencari seseorang yang bisa menolongnya dalam situasi ini." Kiara merasa otaknya berputar cepat. Tawaran gila macam apa ini? "Maksudmu, kamu ingin aku menjadi istri kedua seorang pria yang bahkan tidak aku kenal?" Cecilia mengangguk. "Ya, aku tahu ini terdengar sangat tidak biasa dan sulit diterima. Namun, Dalvin sangat serius dan siap memberikan imbalan yang sangat besar. Dia ingin membantu keluargamu juga. Lagipula Dalvin bukanlah pria yang buruk." Kiara terdiam sejenak, berpikir tentang ayahnya yang semakin menurun kondisinya dan ibunya yang sudah tidak mampu lagi untuk bekerja. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke Cecilia, yang sepertinya benar-benar mengharapkan dia untuk mempertimbangkan tawaran tersebut. "Kenapa kamu menawarkan ini padaku?" tanya Kiara dengan nada curiga. Cecilia menggaruk tengkuknya dan menghela napas. Gadis itu terlihat merasa bersalah sekaligus iba pada Kiara. "Aku tahu ini tidak adil untuk kamu, tetapi aku merasa ini adalah satu-satunya cara untuk membantu kamu keluar dari masalah. Kamu membutuhkan uang dan dukungan, dan Dalvin bisa memberikannya. Ayahmu sakit, dan aku memahami betul bagaimana situasimu yang terjepit." Kiara memikirkan tawaran tersebut. Meski hatinya menolak, dia juga tahu bahwa hidupnya saat ini berada dalam keadaan darurat. Sungguh, pilihan berat berada di hadapannya. "Bagaimana jika aku menolak tawaran ini?" tanya Kiara dengan tatapan membulat. Cecilia menatapnya dengan serius. "Jika kamu menolak, kamu harus mencari cara lain untuk menyelesaikan semua permasalahanmu. Aku tidak yakin ada jalan keluar lain yang lebih baik daripada ini. Om Dalvin adalah adik ibuku, kamu bisa mempercayaiku kali ini, ia bukan pria yang akan menyakitimu. Sungguh!" Keputusan sulit ini menggantung di kepala Kiara, namun akhirnya dia mengangguk. Ia tidak tega melihat kondisi ekonomi keluarganya, terlebih lagi ia baru saja dipecat dan ayahnya sudah tidak sanggup melakukan kegiatan apa-apa. Kiara harus menyelamatkan semuanya. "Baiklah, aku akan bertemu dengan pamanmu, Dalvin." Cecilia tersenyum dan tampak lega. "Terima kasih, Kiara. Aku akan mengatur pertemuan untuk kalian." Hari berikutnya, Cecilia membawa Kiara ke sebuah villa mewah yang terletak di pinggiran kota. Villa itu sangat berbeda dengan rumah kecil yang Kiara huni. Ketika mereka masuk ke dalam villa, Kiara merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Dalvin Pramoedya, pria berusia empat puluh lima tahun dengan penampilan yang sangat berwibawa dan karismatik, menyambut mereka. Meskipun usianya terpaut dua puluh tahun dari Kiara, Dalvin memiliki pesona yang membuatnya terlihat lebih muda dari usianya. Dengan senyum lebar dan tatapan yang tegas, Dalvin mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Kiara. "Kiara, senang bertemu denganmu. Cecilia sudah banyak bercerita tentangmu," katanya dengan suara yang berat namun ramah. Kiara membalas jabat tangan Dalvin dengan tangan yang sedikit gemetar. Wibawa Dalvin benar-benar membuatnya tegang, ia tidak yakin pria itu mau menerimanya yang sederhana untuk menjadi istri kedua pria sepertinya. "Terima kasih telah meluangkan waktu untuk bertemu dengan saya." Dalvin mengangguk dan mengajak mereka untuk duduk di ruang tamu yang megah. Kiara benar-benar canggung, akan tetapi Cecilia berusaha menenangkan Kiara bila mereka tengah berhadapan dengan orang yang baik. "Istriku sakit kanker. Aku membutuhkan seseorang yang bisa mendukung karir dan juga tradisi keluargaku. Jika kamu mau menjadi istriku, aku akan mendukungmu." terang Dalvin tanpa berbasa-basi. Cecilia tersenyum. Ia mengusap lengan Kiara dengan lembut sambil menatap pamannya saksama. "Om, Kiara adalah gadis yang baik serta cerdas. Ia pantas berdampingan dengan pria hebat seperti Om, tolong jangan sakiti Kiara dan dukung segala kebutuhannya. Aku tidak ingin sahabatku menderita setelah berkorban menjadi yang kedua." tutur Cecilia serius. Dalvin menganggukkan kepala. Kedua bola matanya tak henti-henti memandangi Kiara dengan hangat. Kiara merasa canggung hingga ia mengepalkan tangan di atas lutut. "Tuan Dalvin, aku merasa terhormat karena tuan memilihku." ujar Kiara dengan sopan. Setelah pertemuan singkat tersebut, Dalvin tampaknya sudah yakin dengan keputusan Kiara. Meski usianya jauh lebih tua, Dalvin menunjukkan rasa hormat dan keseriusan dalam tawarannya. Terlebih lagi, Kiara adalah gadis yang benar-benar cantik walaupun dalam balutan pakaian sederhana. Dalvin yakin, ia akan memiliki keturunan yang tampan serta cantik jika ia menikahi Kiara. Ketika Kiara keluar dari villa, dia merasa campur aduk antara kecemasan dan harapan. Dia tahu bahwa hidupnya akan berubah drastis, tetapi dia juga tahu bahwa ini mungkin satu-satunya jalan keluar dari kesulitan yang dia hadapi. Di dalam mobil Cecilia, Kiara menatap keluar jendela, berpikir tentang keputusan besar yang baru saja dia buat. Dia tahu bahwa hidupnya akan penuh dengan tantangan baru, tetapi dia berharap bahwa keputusan ini akan membawa kebaikan tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk ayahnya dan ibunya yang sangat dia cintai. "Mama, Papa ... akhiri penderitaan kalian sampai di sini, aku akan mengubah semua itu."Ruangan rumah sakit penuh dengan kesibukan. Dokter dan perawat berseliweran, membawa berbagai peralatan menuju ruang operasi. Di tengah suasana panik itu, Dimas berdiri di lorong dengan wajah tegang. Sementara itu, Dalvin berdiri tidak jauh darinya, rahangnya mengeras dan matanya tak pernah lepas dari Dimas.Dalvin bisa melihat cinta di mata Dimas. Tatapan mata yang belum pernah Dalvin lihat sepanjang hidupnya bersama Dimas. Karena itulah batin Dalvin berteriak, ia tidak mau melihat Dimas seperti itu.Dokter keluar dari ruang persalinan dengan langkah cepat, menghampiri mereka berdua. "Kami akan segera melakukan operasi caesar. Detak jantung bayi melemah, dan kami harus bertindak cepat," jelas dokter dengan nada serius."Dokter, tolong selamatkan mereka," ujar Dalvin tanpa ragu.Dimas mengangguk tegas. "Lakukan apa pun yang diperlukan. Jangan biarkan istriku atau bayinya terluka."Tatapan Dalvin berpindah ke Dimas, penuh kemarahan. Kata-kata dokter seolah tak terdengar, tenggelam ole
Di ruang kerjanya yang megah, Dalvin duduk termenung. Di hadapannya, segelas kopi yang sejak tadi tak tersentuh mulai mendingin. Sebuah laporan tebal tergeletak di atas meja, tak menarik perhatian Dalvin sama sekali. Pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Kiara.Seorang pria berjas hitam berdiri di hadapannya, wajahnya tegas tapi penuh keraguan. Beliau adalah ajudan sekaligus Sekretaris yang kini menggantikan Dimas. Dalvin memutar bola mata, menatap pria itu saksama."Tuan Dalvin, laporan terakhir dari tim kami. Nona Kiara sudah dibawa ke rumah sakit di Amsterdam. Dari informasi yang kami dapat, kemungkinan besar beliau akan melahirkan dalam waktu dekat."Dalvin mengangkat wajahnya, tatapannya tajam. "Amsterdam? Jadi mereka benar-benar pergi sejauh itu..." gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri."Benar, Tuan. Tim kami memastikan Dimas masih mendampingi Nona Kiara. Mereka terlihat cukup hati-hati, tapi kami berhasil mengawasi pergerakan mereka," pria itu melanjutkan.Dalvin menghela napas
Kiara terkulai lemah di atas ranjang hotel, matanya setengah terpejam karena kelelahan. Sejak beberapa hari terakhir, ia merasa gelisah dengan kontraksi-kontraksi palsu yang datang silih berganti. Setiap kali rasa sakit itu datang, tubuhnya menggigil dan perutnya terasa kencang. Meski begitu, ia tahu itu bukan tanda bahwa persalinan akan segera terjadi, tapi tetap saja, rasa tidak nyaman itu cukup membuatnya kelelahan."Aduh... Dimas..." Kiara mengeluh, memegangi perutnya yang semakin membesar.Kiara merasa sesak, dan kali ini rasa sakit itu seakan lebih kuat dari sebelumnya.Dimas yang berada di sampingnya, segera duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan Kiara dengan lembut. Sejak hari-hari terakhir di Amsterdam, ia tak bisa lagi menahan kekhawatiran melihat Kiara yang semakin menderita. Apalagi kalimat Dalvin, semua itu akan menjadi sebuah ancaman bagi Dimas dan Kiara ke depannya."Ada apa, sayang? Apakah rasa sakit itu semakin menjadi?" Dimas bertanya khawatir, matanya memandan
Dalvin duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan file penting yang menanti untuk ditandatangani. Namun, hari itu pikirannya teralihkan oleh laporan yang baru saja ia terima. Di meja kerjanya, ponsel bergetar, menandakan panggilan masuk. Dalvin mengangkat telepon dengan wajah serius."Tuan Dalvin, saya punya kabar penting," suara suruhan Dalvin terdengar dari ujung telepon. "Kami telah melacak keberadaan Kiara dan Dimas. Mereka berada di Amsterdam."Dalvin terdiam sejenak, terkejut mendengar berita itu. Jantungnya berdebar kencang, dan seketika rasa cemas menyelubunginya. Amsterdam? Kiara dan Dimas? Tak pernah terlintas di pikirannya bahwa mereka akan pergi sejauh itu."Amsterdam?" Dalvin bertanya, berusaha tetap tenang meski hatinya berkecamuk. "Apa mereka melakukan perjalanan bersama? Ah ya tentu saja, maksudku apa mereka tinggal bersama?""Ya, Tuan," jawab suruhannya dengan nada hati-hati. "Mereka pergi bersama, dan yang lebih mengejutkan, mereka sudah
Kiara duduk di sofa ruang keluarga dengan tangan memegangi perutnya yang semakin membesar. Wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia sering mengeluh mulas belakangan ini, dan rasa itu kian hari semakin intens. Dimas yang duduk di sampingnya tampak gelisah, mengawasi Kiara dengan tatapan cemas.“Kiara, kita harus pergi ke dokter sekarang,” desak Dimas, suaranya tegas namun penuh perhatian. "Ini dekat dengan HPL bukan?"“Tapi aku takut, Dimas,” jawab Kiara lirih. “Aku dengar prosedur pemeriksaan untuk pembukaan itu menyakitkan. Aku tidak tahu seperti apa, tapi katanya akan sakit.”Dimas menggenggam tangan Kiara dengan lembut. “Aku ada di sini. Apa pun yang terjadi, aku akan menemanimu. Ini demi kesehatanmu dan bayi yang kamu kandung. Jika nanti sakit, kamu boleh meremas tanganku dengan keras."Kiara menatap mata Dimas yang penuh keyakinan. Akhirnya, ia mengangguk meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. Dengan sigap, Dimas membantu Kiara berdiri dan mengenakan mantel. Mer
Pagi itu, Dimas sedang sibuk di dapur. Ia mengaduk adonan pancake dengan cekatan sambil sesekali melirik ke arah Kiara yang duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu tampak sibuk membaca buku tentang persiapan melahirkan, sesekali mengusap perutnya yang semakin besar. Dokter mengatakan bila menunggu dua minggu kedepan untuk melahirkan.“Kiara,” panggil Dimas dari dapur. “Kamu mau tambahan cokelat atau sirup maple di pancake-nya? Atau mau ditambahi ciuman dari aku?” imbuhnya.Kiara menoleh dan tersenyum kecil. Ia gemas pada Dimas yang sudah mulai gombal terhadapnya.“Sirup maple saja. Aku sedang mengurangi yang manis-manis. Kata Dokter berat badanku cepat naik, aku harus menjaganya supaya tidak sulit melahirkan."Dimas mengangguk, menuangkan adonan ke penggorengan. Suara desis adonan bertemu dengan wajan panas memenuhi ruangan, menciptakan aroma manis yang membuat suasana pagi terasa hangat.Namun, di tengah kehangatan itu, ponsel Dimas yang tergeletak di meja makan bergetar. Nama yang tert
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments