Kiara Parvati merasa campur aduk antara rasa cemas dan keheranan saat dia mulai menjalani kehidupan barunya di kediaman Dalvin Pramoedya. Setelah pertemuan singkat dengan Irene dan percakapan dengan Dalvin, dia diperkenalkan pada banyak hal baru yang akan menjadi bagian dari hidupnya.
Pagi hari yang tenang dimulai dengan perkenalan kepada seluruh ajudan dan staf rumah tangga Dalvin. Kiara diperkenalkan kepada setiap orang dengan nama dan posisi mereka, mulai dari para pelayan hingga para asisten yang akan membantunya dalam berbagai hal sehari-hari. Semua orang di rumah tersebut tampak sangat profesional dan menyambut Kiara dengan sikap sopan dan penuh hormat. "Selamat datang di rumah, nona Kiara," kata seorang wanita paruh baya yang tampaknya bertanggung jawab atas dapur dan kebutuhan sehari-hari. "Kami akan memastikan bahwa kamu merasa nyaman di sini." Kiara mengangguk dengan senyum yang penuh terima kasih. "Terima kasih banyak. Aku sangat menghargai bantuan kalian semua." Setelah perkenalan tersebut, Dalvin menemui Kiara dengan kabar baik. Kiara menyambut calon suaminya itu dengan senyuman lembut. "Kiara, aku telah mengatur segala sesuatu untuk kedua orangtuamu. Mereka akan mendapatkan perawatan yang terbaik dan segala kebutuhan mereka akan dipenuhi. Jangan khawatir tentang hal itu. Fokuslah pada kehidupan barumu di sini." Kiara merasa terharu dan sangat berterima kasih. Ia memegang tangan Dalvin, menggenggamnya dengan erat. "Terima kasih, tuan Dalvin. Itu sangat berarti bagiku." tutur Kiara. "Berhenti memanggilku tuan, aku calon suamimu Kiara. Panggil Mas saja, aku akan sangat senang jika kamu memanggilku demikian." ujar Dalvin lembut. "Ah ya, aku akan memperkenalkanmu pada orang kepercayaanku yang sudah kuanggap anak sendiri. Dimas, kemarilah." Dimas, seorang pria berusia sekitar dua puluh lima tahun yang tampaknya seumuran dengan Kiara, diperkenalkan sebagai sekretaris kepercayaan Dalvin. Dimas memiliki penampilan yang rapi dan profesional, namun tatapannya tampak dingin dan kurang berkenan dengan kehadiran Kiara. Dimas mirip dengan aktor-aktor China yang memiliki dagu lancip serta kulit seputih porcelain, Kiara benar-benar merasa luar biasa karena tak hanya sang penguasa yang tampan di sini. Para ajudannya pun memiliki paras yang sangat menawan. "Dimas, ini Kiara, calon istri keduaku. Dia akan tinggal di sini mulai sekarang," Dalvin memperkenalkan mereka dengan nada hangat. Dimas hanya mengangguk singkat. Ia bersikap sangat profesional. "Selamat datang, nona Kiara." Kiara merasa tidak enak hati melihat sikap Dimas yang tampak kurang bersahabat. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang dan menghormati Dimas sebagai bagian dari lingkungan barunya. Dimas kemudian diberi tugas untuk menemani Kiara dan membantu menyesuaikan dirinya dengan kediaman Dalvin. Selama beberapa hari berikutnya, Dimas menunjukkan berbagai bagian rumah yang megah dan menjelaskan fungsinya. Walaupun Dimas tidak terlalu banyak berbicara, Kiara menghargai upayanya untuk mengenalkan berbagai fasilitas dan memberi informasi penting tentang kehidupan di villa tersebut. ** Dimas membawa Kiara ke toko gaun pengantin yang mewah untuk memilih gaun yang sesuai untuk pernikahan Kiara dan Dalvin. Toko tersebut penuh dengan gaun-gaun indah dan berkelas, membuat Kiara merasa terpesona. Dimas membantu memilihkan beberapa gaun yang bisa dipertimbangkan, meskipun dia tampak enggan dan lebih banyak berfokus pada tugasnya daripada berdiskusi tentang pilihan gaun. Saat mereka berada di toko, Kiara merasa canggung dan bertanya-tanya bagaimana seharusnya bersikap. Akan tetapi ia memulai pembicaraan. "Dimas, apakah kamu selalu bertugas dalam hal-hal seperti ini?" Dimas mengangguk singkat. "Ya, aku bertanggung jawab untuk memastikan semua urusan berjalan lancar." "Sudah lama bersama Mas Dalvin?" ujar Kiara lagi. "Maaf jika aku penasaran, akan tetapi aku juga belum mengenal jauh mas Dalvin." Dimas hanya menghela napas dan memandang Kiara dengan tatapan tajam. Tatapan Dimas membuat Kiara canggung hingga ia berpura-pura memilih gaun. "Nona, apa yang membawamu untuk menjadi istri kedua tuan Dalvin? Kau sangat muda dan cantik, bukankah gadis seusiamu enggan menikah apalagi dengan pria tua?" tanya Dimas. Kiara memandangi Dimas. Lelaki itu hanya mengulas senyum sambil melihat ke arah gaun. "Aku akan melayanimu sepanjang hidupku. Tentu aku harus mengetahui banyak hal mengenai majikanku sendiri, bukan? Maaf jika sikapku kurang membuatmu nyaman." tutur Dimas. "Tidak mengapa Dimas, aku mengerti." ujar Kiara. "Aku hanya ingin menyelamatkan orangtuaku dari keterpurukan. Bukankah lebih baik menjadi istri kedua pria yang jelas seperti mas Dalvin daripada terjebak pria yang belum jelas?" Dimas mengulas senyum. Ia menghela napas sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Nyonya Irene sudah menjauhi tuan Dalvin selama beberapa tahun ini. Beliau kanker ovarium dan menjalani beberapa kali pengobatan. Namun, sepertinya Nyonya menyerah terlebih lagi keluarga tuan Dalvin sudah menekan beliau agar memiliki keturunan di usia 45 tahun. Walau pedih, Nyonya Irene harus menerima kenyataan. Beliau sekarang hanya tengah menunggu ajal menjemput, penyakitnya sudah tidak bisa diselamatkan." terang Dimas. Seketika Kiara merasa sangat sedih. Justru ia yang akan merebut posisi Irene untuk kedepannya. Kiara hanya berharap dirinya tidak menyakiti Irene lebih dalam. "Terima kasih sudah menceritakan semuanya padaku, Dimas. Semoga kita menjadi teman yang baik." Dimas mengangguk dan mengulas senyum. Sementara mereka memilih gaun, beberapa pengunjung di toko mulai memperhatikan mereka dengan tatapan penasaran. Beberapa dari mereka mulai bertanya-tanya apakah Dimas adalah calon pengantin pria, dan ini menambah rasa canggung di antara mereka. Ketika Kiara memilih gaun yang dianggapnya cocok, Dimas tampak lebih ringan dan tidak lagi terlalu kaku. Meskipun dia tetap profesional, Kiara merasakan sedikit perubahan dalam sikapnya. "Saat kamu memilih gaun ini, aku ingin kamu merasa cantik dan nyaman. Ini adalah hari penting dalam hidupmu," kata Dimas dengan nada lembut, meskipun dia masih terlihat agak formal. Kiara tersenyum, "Terima kasih, Dimas. Aku menghargai bantuanmu." Entah mengapa Kiara merasa bila Dimas memperhatikannya hingga Kiara bisa menatap dua sorot mata monolid itu dengan hangat. Seketika Dimas memalingkan wajah, mereka kemudian menyerahkan pilihan itu pads petugas. Setelah memilih gaun, mereka kembali ke kediaman Dalvin. Kiara merasa sedikit lebih nyaman dengan situasi barunya. Dia mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan yang mewah dan rutinitas baru yang harus dijalani. Dimas terus membantu Kiara dengan berbagai persiapan, termasuk membuat daftar kebutuhan dan memastikan bahwa semuanya siap untuk hari pernikahan. Meskipun awalnya dia tampak kurang berkenan, perlahan-lahan dia mulai menunjukkan sisi yang lebih ramah dan mendukung. Kiara, di sisi lain, mulai merasa ada kecocokan dengan Dimas. Meskipun dia tahu bahwa hubungan mereka tidak lebih dari profesional, sikap Dimas yang mulai lebih memahami dan dukungan yang diberikan membuatnya merasa lebih diterima dalam lingkungan barunya. "Nona Kiara, jika membutuhkan sesuatu aku akan melayanimu. Tuan Dalvin tidak selalu di rumah, karenanya aku bertugas melayanimu menggantikan tuan Dalvin." ujar Dimas. "Tentu Dimas. Aku akan merepotkanmu mulai sekarang." ujar Kiara dengan lembut. Dimas merasa jantungnya berdegup kencang saat ia melihat kedua bola mata Kiara. Kali pertamanya ia melihat seseorang yang begitu cantik juga begitu indah dalam satu wujud. Tidak heran jika Dalvin langsung menyetujui pernikahan keduanya dengan sosok seperti Kiara. Seiring waktu, Kiara mulai melihat sisi lain dari Dimas yang lebih manusiawi dan mengerti. Ini membantu mengurangi rasa canggung dan membuat transisi ke kehidupan barunya menjadi sedikit lebih mudah. Meskipun perjalanan ke depan masih penuh dengan ketidakpastian, Kiara merasa bahwa dia mulai menemukan tempat dan dukungan dalam kehidupan barunya bersama Dalvin dan timnya.Ruangan rumah sakit penuh dengan kesibukan. Dokter dan perawat berseliweran, membawa berbagai peralatan menuju ruang operasi. Di tengah suasana panik itu, Dimas berdiri di lorong dengan wajah tegang. Sementara itu, Dalvin berdiri tidak jauh darinya, rahangnya mengeras dan matanya tak pernah lepas dari Dimas.Dalvin bisa melihat cinta di mata Dimas. Tatapan mata yang belum pernah Dalvin lihat sepanjang hidupnya bersama Dimas. Karena itulah batin Dalvin berteriak, ia tidak mau melihat Dimas seperti itu.Dokter keluar dari ruang persalinan dengan langkah cepat, menghampiri mereka berdua. "Kami akan segera melakukan operasi caesar. Detak jantung bayi melemah, dan kami harus bertindak cepat," jelas dokter dengan nada serius."Dokter, tolong selamatkan mereka," ujar Dalvin tanpa ragu.Dimas mengangguk tegas. "Lakukan apa pun yang diperlukan. Jangan biarkan istriku atau bayinya terluka."Tatapan Dalvin berpindah ke Dimas, penuh kemarahan. Kata-kata dokter seolah tak terdengar, tenggelam ole
Di ruang kerjanya yang megah, Dalvin duduk termenung. Di hadapannya, segelas kopi yang sejak tadi tak tersentuh mulai mendingin. Sebuah laporan tebal tergeletak di atas meja, tak menarik perhatian Dalvin sama sekali. Pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Kiara.Seorang pria berjas hitam berdiri di hadapannya, wajahnya tegas tapi penuh keraguan. Beliau adalah ajudan sekaligus Sekretaris yang kini menggantikan Dimas. Dalvin memutar bola mata, menatap pria itu saksama."Tuan Dalvin, laporan terakhir dari tim kami. Nona Kiara sudah dibawa ke rumah sakit di Amsterdam. Dari informasi yang kami dapat, kemungkinan besar beliau akan melahirkan dalam waktu dekat."Dalvin mengangkat wajahnya, tatapannya tajam. "Amsterdam? Jadi mereka benar-benar pergi sejauh itu..." gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri."Benar, Tuan. Tim kami memastikan Dimas masih mendampingi Nona Kiara. Mereka terlihat cukup hati-hati, tapi kami berhasil mengawasi pergerakan mereka," pria itu melanjutkan.Dalvin menghela napas
Kiara terkulai lemah di atas ranjang hotel, matanya setengah terpejam karena kelelahan. Sejak beberapa hari terakhir, ia merasa gelisah dengan kontraksi-kontraksi palsu yang datang silih berganti. Setiap kali rasa sakit itu datang, tubuhnya menggigil dan perutnya terasa kencang. Meski begitu, ia tahu itu bukan tanda bahwa persalinan akan segera terjadi, tapi tetap saja, rasa tidak nyaman itu cukup membuatnya kelelahan."Aduh... Dimas..." Kiara mengeluh, memegangi perutnya yang semakin membesar.Kiara merasa sesak, dan kali ini rasa sakit itu seakan lebih kuat dari sebelumnya.Dimas yang berada di sampingnya, segera duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan Kiara dengan lembut. Sejak hari-hari terakhir di Amsterdam, ia tak bisa lagi menahan kekhawatiran melihat Kiara yang semakin menderita. Apalagi kalimat Dalvin, semua itu akan menjadi sebuah ancaman bagi Dimas dan Kiara ke depannya."Ada apa, sayang? Apakah rasa sakit itu semakin menjadi?" Dimas bertanya khawatir, matanya memandan
Dalvin duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan file penting yang menanti untuk ditandatangani. Namun, hari itu pikirannya teralihkan oleh laporan yang baru saja ia terima. Di meja kerjanya, ponsel bergetar, menandakan panggilan masuk. Dalvin mengangkat telepon dengan wajah serius."Tuan Dalvin, saya punya kabar penting," suara suruhan Dalvin terdengar dari ujung telepon. "Kami telah melacak keberadaan Kiara dan Dimas. Mereka berada di Amsterdam."Dalvin terdiam sejenak, terkejut mendengar berita itu. Jantungnya berdebar kencang, dan seketika rasa cemas menyelubunginya. Amsterdam? Kiara dan Dimas? Tak pernah terlintas di pikirannya bahwa mereka akan pergi sejauh itu."Amsterdam?" Dalvin bertanya, berusaha tetap tenang meski hatinya berkecamuk. "Apa mereka melakukan perjalanan bersama? Ah ya tentu saja, maksudku apa mereka tinggal bersama?""Ya, Tuan," jawab suruhannya dengan nada hati-hati. "Mereka pergi bersama, dan yang lebih mengejutkan, mereka sudah
Kiara duduk di sofa ruang keluarga dengan tangan memegangi perutnya yang semakin membesar. Wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia sering mengeluh mulas belakangan ini, dan rasa itu kian hari semakin intens. Dimas yang duduk di sampingnya tampak gelisah, mengawasi Kiara dengan tatapan cemas.“Kiara, kita harus pergi ke dokter sekarang,” desak Dimas, suaranya tegas namun penuh perhatian. "Ini dekat dengan HPL bukan?"“Tapi aku takut, Dimas,” jawab Kiara lirih. “Aku dengar prosedur pemeriksaan untuk pembukaan itu menyakitkan. Aku tidak tahu seperti apa, tapi katanya akan sakit.”Dimas menggenggam tangan Kiara dengan lembut. “Aku ada di sini. Apa pun yang terjadi, aku akan menemanimu. Ini demi kesehatanmu dan bayi yang kamu kandung. Jika nanti sakit, kamu boleh meremas tanganku dengan keras."Kiara menatap mata Dimas yang penuh keyakinan. Akhirnya, ia mengangguk meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. Dengan sigap, Dimas membantu Kiara berdiri dan mengenakan mantel. Mer
Pagi itu, Dimas sedang sibuk di dapur. Ia mengaduk adonan pancake dengan cekatan sambil sesekali melirik ke arah Kiara yang duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu tampak sibuk membaca buku tentang persiapan melahirkan, sesekali mengusap perutnya yang semakin besar. Dokter mengatakan bila menunggu dua minggu kedepan untuk melahirkan.“Kiara,” panggil Dimas dari dapur. “Kamu mau tambahan cokelat atau sirup maple di pancake-nya? Atau mau ditambahi ciuman dari aku?” imbuhnya.Kiara menoleh dan tersenyum kecil. Ia gemas pada Dimas yang sudah mulai gombal terhadapnya.“Sirup maple saja. Aku sedang mengurangi yang manis-manis. Kata Dokter berat badanku cepat naik, aku harus menjaganya supaya tidak sulit melahirkan."Dimas mengangguk, menuangkan adonan ke penggorengan. Suara desis adonan bertemu dengan wajan panas memenuhi ruangan, menciptakan aroma manis yang membuat suasana pagi terasa hangat.Namun, di tengah kehangatan itu, ponsel Dimas yang tergeletak di meja makan bergetar. Nama yang tert