Sekar menunduk saat mendengarkan penuturan dari ibu ratu mengenai tugas baru yang akan dia emban. Kemarin, salah seorang pelayan menyampaikan pesan bahwa dia diminta datang dan menghadap untuk menerimanya.
"Kamu sangat berbakat dan masih muda. Tidak cocok kalau berada di dapur."
"Nggih."
"Besok, ada tugas baru yang lebih menjanjikan masa depan."
Gadis itu mengangkat kepala dan menatap sang pemilik kekuasaan tertinggi di keraton ini dengan hati berdebar.
"Wijaya baru saja menikah, itu berarti istrinya akan tinggal disini untuk selama-lamanya. Jadi, dia butuh seorang pelayan untuk mendampingi."
Sekar tersentak. Jika boleh memilih, dia rela kalau harus menghabiskan waktu seumur hidup di dapur daripada harus bertemu dengan lelaki itu.
"Apakah saya harus menerima?" Wajahnya menatap sang ratu dengan gamang.
Lalu bisik-bisik terdengar dari pelayan lain yang berada di ruangan itu.
"Tentu saja karena gajimu akan ditambah. Menjadi pendamping putri akan mendapatkan banyak kemudahan yang lain."
Sekar kembali tertunduk. Dia sudah tahu apa yang akan menjadi masa depannya jika dia menerima. Ibu ratu sedang mencoba mendekatkannya kembali dengan Wijaya.
Pelayan pribadi adalah orang yang akan mendampingi putri atau ratu selama 24 jam penuh. Itu berarti dia akan tinggal di dalam keraton dan mendapat kamar sendiri. Ada banyak yang menginginkan posisi ini. Namun satu yang dia tahu, hampir semua pelayan pribadi akan berakhir menjadi selir pangeran atau raja.
Itu, yang Sekar tidak mau.
"Bagaimana jika saya menolak, Kanjeng Ratu?"
Ibu ratu tersentak mendengar jawabannya. Wanita itu tidak marah, justru mengulum senyum. Jika sudah begini, tugasnya menjadi lebih berat karena ternyata tidak gampang membujuk Sekar.
"Sebaiknya kamu pikirkan. Ayahmu semakin tua. Apa kamu tega membiarkannya bekerja di istal kuda? Sementara kamu sendiri belum ingin menikah."
Kata menikah itu membuat hatinya tersayat. Bayangan Kamandanu yang hingga kini belum ditemukan kembali melintas. Teringat dia akan malam itu, saat sentuhan lembut bibir mereka menyatu, membuat Sekar merasa melayang dalam gelombang cinta yang maha dahsyat.
"Kamu diberi waktu 1 minggu untuk berpikir. Prameswari putri yang baik. Dia terpilih menjadi istri Wijaya bukan hanya karena fisik yang sempurna, namun ketulusan hati."
Sekar masih terdiam mendengarkan. Rasanya dia ingin keluar dari ruangan ini, namun belum diizinkan.
"Nggih."
"Kami berharap ada kabar baik nantinya."
"Nggih."
Ibu ratu menatapnya dengan penuh selidik.
"Kalau begitu kamu boleh keluar. Jika memang hatimu menerima, maka kamar untukmu akan dipersiapkan."
Sekar memberikan penghormatan sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu.
Setelah menutup pintu kamar ibu ratu, dia berjalan sedikit menjauh dan bersandar di dinding. Setitik air matanya menetes. Berbagai macam perasaan bercampur aduk di dadanya.
Ingin bertanya mengapa takdir mempermainkannya seperti ini? Tak bolehkah dia merasakan kebahagiaan seperti yang lain.
Mengapa juga pencarian Kamandanu dihentikan? Bahkan sesepuh mengatakan bahwa kemungkinan jasad lelakinya itu sudah dimakan hewan buas jika dibuang ke hutan. Atau tenggelam di dasar sungai jika memang dihanyutkan.
"Kamu?"
Sekar mengangkat wajah. Tampaklah sosok cantik Prameswari berada di depannya. Sendiri dan sepertinya hendak menemui ibu ratu karena arah mereka sama.
"Ndoro Ayu," sapanya dengan sopan.
"Mengapa menangis disini?"
"Tidak ada apa-apa, Ndoro Ayu."
"Apa kamu dari kamar Kanjeng Ratu?"
"Iya."
"Aku dengar kamu yang akan menjadi pelayan pribadiku. Apa itu benar?"
Sekar terdiam dan tak mampu menjawab.
"Bukannya kamu yang menari di acara pernikahanku bulan lalu?" tanya Pramewari.
Bagaimana dia bisa lupa, suaminya berdiri dan menatap Sekar yang sedang menari dengan penuh hasrat.
Itu membuatnya sakit hati. Apalagi ketika mendengar kabar bahwa Sekar adalah sahabat suaminya sejak kecil dari beberapa cerita pelayan. Dan semakin kesal saat ibu ratu justru memilihnya sebagai pelayan pribadi. Itu sama saja dengan mendekatkan gadis itu kepada suaminya.
Prameswari tak mau berburuk sangka, namun dia harus wasapada. Dugaannya bahwa Sekar akan merebut sang suami semakin kuat saat ibu ratu mengatakan hal itu. Namun, dia tak dapat menolak.
Hanya satu yang perlu dilakukan, menyusun rencana sekalipun dia belum tahu entah itu apa.
"Nggih," jawabnya sopan.
"Kamu cantik." Prameswari menatap gadis itu dari atas hingga ke bawah.
Secara fisik, Sekar memang begitu ayu. Ditambah tubuh sintal yang padat berisi, itu semakin menjadi daya tarik.
"Matur nuwun," jawab Sekar lagi.
"Kalau kamu bersedia, maka aku akan senang menerima." Prameswari menatap wajah itu dengan senyum.
Senyum licik yang Sekar tidak tahu ada maksud lain di dalamnya.
"Nggih. Saya permisi."
Sekar memberikan hormat kemudian berjalan menjauhi tempat itu. Agak terburu-buru, Sehingga tubuhnya menabrak seseorang.
"Hati-hati, Kar. Dari dulu ceroboh." Terdengar suara seseorang menegurnya.
Gadis itu langsung menjauh saat mengetahui siapa yang ditabraknya.
"Permisi, Raden."
"Buru-buru?" tanya Wijaya.
"Saya mau kembali ke dapur," jawabnya sopan.
"Minggu depan sudah siap tinggal disini, Kar?"
Ucapan Wijaya membuatnya kaget bukan kepalang.
Sekar menatap wajah tampan itu dengan penuh tanda tanya. Lalu dia berkata, "Saya belum menjawab, Raden."
Wijaya mengulum senyum. Sudah menduga gadis ini akan keberatan. Nanun dia yakin kalau ibunya pasti bisa membujuk.
"Tapi kamarmu sudah dipersiapkan. Kamar kita," ucapnya santai. Sengaja mengucapkannya agar gadis itu terpancing.
Sekar menatap wajah lelaki itu dengan penuh kemarahan. Dugaanya benar bahwa Wijaya sedang mengincarnya. Entah mengapa dia begitu membenci lelaki itu, padahal dulu mereka dekat satu dengan yang lain.
"Kamu kenapa bersikap seperti itu denganku, Kar?"
Wijaya merasa tak terima dengan perlakuan gadisnya ini.
"Raden telah melecehkan saya," jawabnya kesal ketika mengingat kejadian waktu itu. Sebenarnya dia senang mereka bertemu kembali. Namun tak menyangka jika lelaki itu berani berbuat kurang ajar.
"Aku khilaf, Kar." Wijaya membela diri.
"Kalau begitu jangan diulangi!" katanya dengan tegas.
"Aku ndak akan mengulangi."
"Tapi itu apa maksudnya? Kamar kita?"
"Kamu salah dengar, Kar."
"Saya belum tuli Raden!"
Wijaya terbahak. Gadis kecilnya ini telah banyak berubah, menjadi pemberani dan galak.
"Kamu benar-benar menggemaskan kalau marah begitu." Lalu dia berjalan menjauh, meninggalkan gadis itu begitu saja.
Sekar sendiri kembali ke dapur dan membantu ibunya memasak.
"Tadi kenapa kamu dipanggil Kanjeng Ratu, Nduk?" tanya Ratih.
"Ndak apa-apa, Buk. Nanti dibicarakan di rumah saja," jawabnya.
***
"Jadi bagaimana, Pak. Bu?"
"Terserah kepadamu, Nduk."
Daksa menatap putrinya lekat. Ada rasa sedih yang menyelinap di hatinya, jika melihat kondisi Sekar saat ini.
Putrinya kerap menangis di malam hari. Dia dan Ratih berpura-pura tak tahu. Hanya nasihat dan sedikit penghiburan yang bisa mereka berikan.
"Aku ndak mau jadi selir, Pak."
Daksa dan Ratih saling berpandangan.
"Kamu kan jadi pelayan pribadi, bukan selir, Nduk." Kali ini Ratih yang berbicara."Tapi kita semua tau, Buk. Biasanya pelayan pribadi itu akan dimintai menjadi selir."
"Kalau iya, itu berarti rezekimu. Takdirmu."
Sekar menatap ibunya dengan raut wajah kecewa.
"Kamandanu sudah ndak ada, Kar. Kamu harus menerima dan melanjutkan hidup."
Ratih menatap wajah putrinya dengan lekat. Rasanya dia tak tega mengucapkan ini. Namun, Sekar harus bangkit dan tak boleh hidup dalam bayang-bayang itu.
"Buk," Sela Daksa, tak tega melihat raut wajah Sekar yang berubah setelah mendengar ucapan istrinya.
"Dia masih muda, Pak. Aku ndak mau putriku berkubang dalam kesedihan."
Mendengar itu, Sekar berlari masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan keras. Gadis itu terisak di tempat tidur. Hatinya begitu sakit menerima kenyataan ini.
"Kangmas. Aku rindu."
Jemarinya menyentuh liontin yang melingkar di leher. Lama terisak akhirnya dia tertidur dalam kelelahan.
Ratih membantu putrinya membawa barang-barang setelah mereka berdua menghadap ibu ratu. Akhirnya Sekar mengalah, menerima tugas itu karena ibunyaberulang kali membujuk.Hanya pakaian yang dia bawa, beserta surat cinta dari Kamandanu. Disiapkan kamar itu berarti semua barang-barang sudah tersedia dengan lengkap."Silakan masuk," seorang pelayan membukakannya pintu.Sekar dan Ratih memasuki ruangan itu dengan takjub. Ini bahkan lebih bagus daripada pondok mereka."Rasanya Ibuk juga mau tinggal disini," goda Ratih kepada anaknya."Aku pasti kesepian, Buk.""Kamu bakal dapat teman banyak disini. Lagipula kita masih akan ketemu, toh. Kamu kan yang akan menyiapkan makanan Pramewari."Sekar menatap wajah ibunya kemudian memeluk wanita itu dengan erat. Rasa sayangnya tak terhingga untuk kedua orang tua. Mungkin dengan menjalani tugas ini, bisa membuat mereka menjadi bangga dan bahagia."Sudah ndak usah sedih. Apa-apa yang k
Hampir enam bulan lamanya Sekar menjadi pelayan pribadi Prameswari. Segala macam perlakuan dia terima. Dari sifat lembut dan manis wanita itu, terutama ketika ada Wijaya, juga perlakuan kasar saat dimarahi.Putri yang katanya memiliki sifat dan budi pekerti yang baik, ternyata juga memiliki kekurangan. Prameswari akan mengamuk jika apa yang diinginkan tidak sesuai dengan kehendaknya.Seperti sekarang, saat air mandi yang harusnya diisi dengan kembang tujuh rupa, namun hanya tiga yang ada. Itu membuat Sekar pusing tujuh keliling."Kangmas mau menginap malam ini. Aku harus wangi supaya dia betah dan merasa senang," sungutnya sambil masuk ke dalam bak manadi.Sekar mengambil kain dan mulai menggosok punggung sang putri. Dia membuang wajah saat melihat bekas tanda merah yang memenuhi hampir seluruh tubuh wanita itu."Ambilkan aku handuk. Lalu siapkan kebaya yang paling bagus.""Baik, Ndoro."Sekar meninggalkan Prameswari dan membuka
Sekar menunduk selama sidang berlangsung. Dia berusaha membantah namun keputusan para tetua sudah final. Mereka harus dinikahkan dan statusnya akan menjadi selir dari Raden Wijaya."Apa ndak ada pilihan lain, Kanjeng? Saya bahkan rela diusir dari keraton jika memang menolak menjadi selir," pintanya dengan nada memohon kepada Raja. Rasanya Sekar tak bisa membayangkan jika harus hidup dengan laki-laki itu.Semua orang berpandangan satu dengan yang lain. Sementara itu, Wijaya berusaha menahan emosi. Segala cara dia lakukan untuk menaklukan gadis itu, tapi hari ini di hadapan para tetua Sekar masih berani menolak."Apa alasanmu menolak pernikahan ini, Kar?" Dia bertanya."Maaf, Raden. Tapi saya ndak bisa menerimanya. Saya ... mencintai laki-lain lain," jawab Sekar jujur dengan mata berkaca-kaca."Kamandanu sudah mati, Kar. Apa yang kamu harapkan dari bangkai?" ucapnya kasar."Wijaya!" Raja membentak putranya karena sikapnya sun
Wijaya menatap istrinya dengan penuh hasrat. Rasanya dia sudah tidak sabar ingin memeluk Sekar dan menuntaskan semua malam ini juga."Diajeng...." bisiknya mesra."Saya belum siap, Raden," jawab wanita itu gemetaran. Entah mengapa dia menjadi begini. Harusnya Sekar senang karena telah menjadi salah satu bagian dari keluarga keraton."Jangan begitu, Kar. Kangmas sudah menantikan ini sejak lama. Sejak kita sama-sama mulai dewasa," kata Wijaya sedikit kecewa.Dia tak mau malam ini gagal. Semua usaha yang sudah dia lakukan akan sia-sia jika sampai Sekar menolak.Ya semua usaha, salah satunya dengan menyingkirkan Kamandanu. Sehingga, dia tak punya saingan untuk mendapatkan sang pujaan hati. Wijaya menyusun semua dengan rapi agar itu terjadi seperti penculikan atau aksi balas dendam kelompok tertentu. Padahal, dia yang merencanakannya.Bahkan raja dan ratu, juga semua orang di keraton tak menyadari. Dia membayar orang luar
"Aarrgh!" Sebuah terikan terdengar di malam hari, sehingga membuat seisi pondok terbangun."Ada apa, Pak?""Dia mengamuk lagi. Sepertinya ngelindur, Buk.""Ayo dilihat dulu, Pak! Kasihan."Anung berjalan ke arah sumber suara dan mendapati Kamandanu berteriak sambil memegang kepala."Sadar, Panglima! Sadar!" Laki-laki paruh baya itu mencoba menenangkan. Namun, tubuhnya malah tersungkur karena tendangan yang cukup keras. Perutnya terasa ngilu dan berdenyut terus.Kamandanu terbangun dan mengusap peluh di wajah. Lalu dengan cepat dia membantu Anung be
Kamandanu berjalan pelan keluar hutan menuju kota dengan memanggul sebuah karung. Jaraknya cukup jauh sehingga dia tersengal-sengal. Jika ada kereta lewat nanti, dia akan menumpang dengan memberikan imbalan sekeping uang perak.Dia yang akan menjual jamur dan sayur hari ini. Anung sedang sakit, begitu pula istrinya. Kemiskinan membuat mereka tak mampu membeli obat. Handaru pernah bekerja sebagai kuli di pasar, tetapi akhirnya kembali karena takut sesuatu terjadi di hutan.Jika malam hari tiba, cuaca akan sangat dingin dan gelap gulita. Anung akan memasang lampu yang terbuat dari kaleng bekas yang diberi sumbu dan minyak tanah. Hanya kain batik usang yang menjadi selimut untuk menghangatkan. Saat hujan turun, maka atap pondok akan bocor dan kaleng bekas menjadi penampungnya."Berhenti!" Dia melambaikan tangan saat sebuah kereta kuda tampak dari kejauhan.Kamandanu menyampaikan maksud dan mengeluarkan sekeping uang perak untuk membayar jas
"Siapa laki-laki itu? Apa Kangmas mengenalnya?" tanya Sekar saat melihat suaminya berkali-kali menoleh ke belakang."Bukan siapa-siapa. Sepertinya laki-laki itu pengemis atau rakyat yang tinggal di pelosok. Pakaiannya kumal sekali," jawab Wijaya sembari berusaha tenang.Setelah ini, Wijaya akan memanggil orang suruhannya dan meminta mereka memastikan jasad Kamandanu yang dihanyutkan di sungai. Jangan sampai laki-laki itu masih hidup dan ingin membalas dendam. Dia yakin bahwa itu adalah sang panglima, hanya fisiknya mengalami banyak perubahan."Kalau begitu kenapa Kangmas gelisah? Apa ada yang salah? Atau dia merasa tersinggung karena diberikan makanan sisa?" tanya Sekar lagi. Dia sendiri sama sekali tak menyadari bahwa itu adalah Kamandanu."Bukan begitu.""Lalu?""Diamlah! Jangan banyak bertanya!" bentaknya.Kata-kata suaminya membuat Sekar terkejut dan terdiam karena tidak suka jika diperlakukan seperti itu. Wanita
Roda kereta yang Kamandanu tumpangi bersama Handaru berderak saat melindas bebatuan. Mereka menatap jalanan dengan pandangan hampa. Berat rasanya meninggalkan pondok dengan kondisi Anung yang sakit-sakitan, juga tiga orang perempuan yang lemah.Sebelum berangkat, mereka menebang beberapa pohon dan membuat pagar kayu untuk mengelilingi pondok demi keamanan.Kamandanu memetik daun apa saja yang bisa dimakan dan memancing ikan. Dia membelah ikan-ikan itu, membersihkannya kemudian menjemur agar awet dan bisa dimakan Anung sekeluarga selama mereka tidak ada."Apa yang akan kita lakukan di kota, Panglima?" tanya Handaru."Mungkin kamu bisa menjadi pelayan rumah makan. Aku sendiri belum tahu. Kaki yang pincang ini, entah ada yang menerima atau tidak," jawab Kamandanu.Mereka bertukar cerita hingga tak terasa akhirnya tiba di kota. Jarak yang cukup jauh dan memakan waktu membuat keduanya lelah. Ke