Share

Penugasan

Author: Queeny
last update Last Updated: 2021-06-21 19:27:28

Sekar menunduk saat mendengarkan penuturan dari ibu ratu mengenai tugas baru yang akan dia emban. Kemarin, salah seorang pelayan menyampaikan pesan bahwa dia diminta datang dan menghadap untuk menerimanya.

"Kamu sangat berbakat dan masih muda. Tidak cocok kalau berada di dapur."

"Nggih."

"Besok, ada tugas baru yang lebih menjanjikan masa depan."

Gadis itu mengangkat kepala dan menatap sang pemilik kekuasaan tertinggi di keraton ini dengan hati berdebar.

"Wijaya baru saja menikah, itu berarti istrinya akan tinggal disini untuk selama-lamanya. Jadi, dia butuh seorang pelayan untuk mendampingi."

Sekar tersentak. Jika boleh memilih, dia rela kalau harus menghabiskan waktu seumur hidup di dapur daripada harus bertemu dengan lelaki itu.

"Apakah saya harus menerima?" Wajahnya menatap sang ratu dengan gamang.

Lalu bisik-bisik terdengar dari pelayan lain yang berada di ruangan itu. 

"Tentu saja karena gajimu akan ditambah. Menjadi pendamping putri akan mendapatkan banyak kemudahan yang lain."

Sekar kembali tertunduk. Dia sudah tahu apa yang akan menjadi masa depannya jika dia menerima. Ibu ratu sedang mencoba mendekatkannya kembali dengan Wijaya. 

Pelayan pribadi adalah orang yang akan mendampingi putri atau ratu selama 24 jam penuh. Itu berarti dia akan tinggal di dalam keraton dan mendapat kamar sendiri. Ada banyak yang menginginkan posisi ini. Namun satu yang dia tahu, hampir semua pelayan pribadi akan berakhir menjadi selir pangeran atau raja.

Itu, yang Sekar tidak mau. 

"Bagaimana jika saya menolak, Kanjeng Ratu?"

Ibu ratu tersentak mendengar jawabannya. Wanita itu tidak marah, justru mengulum senyum. Jika sudah begini, tugasnya menjadi lebih berat karena ternyata tidak gampang membujuk Sekar.

"Sebaiknya kamu pikirkan. Ayahmu semakin tua. Apa kamu tega membiarkannya bekerja di istal kuda? Sementara kamu sendiri belum ingin menikah."

Kata menikah itu membuat hatinya tersayat. Bayangan Kamandanu yang hingga kini belum ditemukan kembali melintas. Teringat dia akan malam itu, saat sentuhan lembut bibir mereka menyatu, membuat Sekar merasa melayang dalam gelombang cinta yang maha dahsyat. 

"Kamu diberi waktu 1 minggu untuk berpikir. Prameswari putri yang baik. Dia terpilih menjadi istri Wijaya bukan hanya karena fisik yang sempurna, namun ketulusan hati." 

Sekar masih terdiam mendengarkan. Rasanya dia ingin keluar dari ruangan ini, namun belum diizinkan.

"Nggih."

"Kami berharap ada kabar baik nantinya."

"Nggih."

Ibu ratu menatapnya dengan penuh selidik. 

"Kalau begitu kamu boleh keluar. Jika memang hatimu menerima, maka kamar untukmu akan dipersiapkan."

Sekar memberikan penghormatan sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu. 

Setelah menutup pintu kamar ibu ratu, dia berjalan sedikit menjauh dan bersandar di dinding. Setitik air matanya menetes. Berbagai macam perasaan bercampur aduk di dadanya. 

Ingin bertanya mengapa takdir mempermainkannya seperti ini? Tak bolehkah dia merasakan kebahagiaan seperti yang lain.

Mengapa juga pencarian Kamandanu dihentikan? Bahkan sesepuh mengatakan bahwa kemungkinan jasad lelakinya itu sudah dimakan hewan buas jika dibuang ke hutan. Atau tenggelam di dasar sungai jika memang dihanyutkan.

"Kamu?"

Sekar mengangkat wajah. Tampaklah sosok cantik Prameswari berada di depannya. Sendiri dan sepertinya hendak menemui ibu ratu karena arah mereka sama. 

"Ndoro Ayu," sapanya dengan sopan.

"Mengapa menangis disini?"

"Tidak ada apa-apa, Ndoro Ayu."

"Apa kamu dari kamar Kanjeng Ratu?"

"Iya."

"Aku dengar kamu yang akan menjadi pelayan pribadiku. Apa itu benar?"

Sekar terdiam dan tak mampu menjawab.

"Bukannya kamu yang menari di acara pernikahanku bulan lalu?" tanya Pramewari. 

Bagaimana dia bisa lupa, suaminya berdiri dan menatap Sekar yang sedang menari dengan penuh hasrat. 

Itu membuatnya sakit hati. Apalagi ketika mendengar kabar bahwa Sekar adalah sahabat suaminya sejak kecil dari beberapa cerita pelayan. Dan semakin kesal saat ibu ratu justru memilihnya sebagai pelayan pribadi. Itu sama saja dengan mendekatkan gadis itu kepada suaminya. 

Prameswari tak mau berburuk sangka, namun dia harus wasapada. Dugaannya bahwa Sekar akan merebut sang suami semakin kuat saat ibu ratu mengatakan hal itu. Namun, dia tak dapat menolak. 

Hanya satu yang perlu dilakukan, menyusun rencana sekalipun dia belum tahu entah itu apa. 

"Nggih," jawabnya sopan. 

"Kamu cantik." Prameswari menatap gadis itu dari atas hingga ke bawah. 

Secara fisik, Sekar memang begitu ayu. Ditambah tubuh sintal yang padat berisi, itu semakin menjadi daya tarik. 

"Matur nuwun," jawab Sekar lagi. 

"Kalau kamu bersedia, maka aku akan senang menerima." Prameswari menatap wajah itu dengan senyum. 

Senyum licik yang Sekar tidak tahu ada maksud lain di dalamnya. 

"Nggih. Saya permisi."

Sekar memberikan hormat kemudian berjalan menjauhi tempat itu. Agak terburu-buru, Sehingga tubuhnya menabrak seseorang. 

"Hati-hati, Kar. Dari dulu ceroboh." Terdengar suara seseorang menegurnya. 

Gadis itu langsung menjauh saat mengetahui siapa yang ditabraknya. 

"Permisi, Raden."

"Buru-buru?" tanya Wijaya.

"Saya mau kembali ke dapur," jawabnya sopan. 

"Minggu depan sudah siap tinggal disini, Kar?" 

Ucapan Wijaya membuatnya kaget bukan kepalang. 

Sekar menatap wajah tampan itu dengan penuh tanda tanya. Lalu dia berkata, "Saya belum menjawab, Raden."

Wijaya mengulum senyum. Sudah menduga gadis ini akan keberatan. Nanun dia yakin kalau ibunya pasti bisa membujuk. 

"Tapi kamarmu sudah dipersiapkan. Kamar kita," ucapnya santai. Sengaja mengucapkannya agar gadis itu terpancing. 

Sekar menatap wajah lelaki itu dengan penuh kemarahan. Dugaanya benar bahwa Wijaya sedang mengincarnya. Entah mengapa dia begitu membenci lelaki itu, padahal dulu mereka dekat satu dengan yang lain. 

"Kamu kenapa bersikap seperti itu denganku, Kar?"

Wijaya merasa tak terima dengan perlakuan gadisnya ini. 

"Raden telah melecehkan saya," jawabnya kesal ketika mengingat kejadian waktu itu. Sebenarnya dia senang mereka bertemu kembali. Namun tak menyangka jika lelaki itu berani berbuat kurang ajar. 

"Aku khilaf, Kar." Wijaya membela diri.

"Kalau begitu jangan diulangi!" katanya dengan tegas. 

"Aku ndak akan mengulangi."

"Tapi itu apa maksudnya? Kamar kita?"

"Kamu salah dengar, Kar."

"Saya belum tuli Raden!"

Wijaya terbahak. Gadis kecilnya ini telah banyak berubah, menjadi pemberani dan galak.

"Kamu benar-benar menggemaskan kalau marah begitu." Lalu dia berjalan menjauh, meninggalkan gadis itu begitu saja. 

Sekar sendiri kembali ke dapur dan membantu ibunya memasak.

"Tadi kenapa kamu dipanggil Kanjeng Ratu, Nduk?" tanya Ratih.

"Ndak apa-apa, Buk. Nanti dibicarakan di rumah saja," jawabnya.

***

"Jadi bagaimana, Pak. Bu?"

"Terserah kepadamu, Nduk." 

Daksa menatap putrinya lekat. Ada rasa sedih yang menyelinap di hatinya, jika melihat kondisi Sekar saat ini. 

Putrinya kerap menangis di malam hari. Dia dan Ratih berpura-pura tak tahu. Hanya nasihat dan sedikit penghiburan yang bisa mereka berikan.

"Aku ndak mau jadi selir, Pak."

Daksa dan Ratih saling berpandangan. 

"Kamu kan jadi pelayan pribadi, bukan selir, Nduk." Kali ini Ratih yang berbicara.

"Tapi kita semua tau, Buk. Biasanya pelayan pribadi itu akan dimintai menjadi selir."

"Kalau iya, itu berarti rezekimu. Takdirmu."

Sekar menatap ibunya dengan raut wajah kecewa. 

"Kamandanu sudah ndak ada, Kar. Kamu harus menerima dan melanjutkan hidup." 

Ratih menatap wajah putrinya dengan lekat. Rasanya dia tak tega mengucapkan ini. Namun, Sekar harus bangkit dan tak boleh hidup dalam bayang-bayang itu. 

"Buk," Sela Daksa, tak tega melihat raut wajah Sekar yang berubah setelah mendengar ucapan istrinya. 

"Dia masih muda, Pak. Aku ndak mau putriku berkubang dalam kesedihan."

Mendengar itu, Sekar berlari masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan keras. Gadis itu terisak di tempat tidur. Hatinya begitu sakit menerima kenyataan ini.

"Kangmas. Aku rindu."

Jemarinya menyentuh liontin yang melingkar di leher. Lama terisak akhirnya dia tertidur dalam kelelahan. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selir Sang Pangeran   Hidup Baru

    Arya menatap Kamandanu dengan tajam sembari berkacak pinggang. Lelaki itu sudah siap jika sewaktu-waktu sang Panglima akan melancarkan serangan."Apa kabarmu, Panglima Muda?" sapa Kamandanu."Baik-baik saja, Panglima. Kau sendiri bagaimana?""Aku sudah tak sabar ingin berlatih ilmu kanugaran denganmu," tantang Kamandanu.Arya tergelak lalu menyanggupi. Bukankah dulu dia pernah berkata akan belajar ilmu bela diri dari Kamandanu jika mereka bertemu lagi. Dan kini keduanya saling berhadapan satu dengan yang lain."Siapa sangka kita akan bertemu lagi setelah sekian lama," ucap Arya tak percaya. Jika bukan karena perburuan hari itu, maka mungkin dia akan lupa pada ucapan sendiri."Kau benar. Aku bahkan tak menyangka jika akan bertemu dengan kalian. Sepertinya kami memang ditakdirkan untuk selalu berhubungan dengan keraton, walaupun sudah menghindar ja

  • Selir Sang Pangeran   Pertemuan

    Derap kaki kuda yang berlari menembus jalanan menarik perhatian warga sekitar. Apalagi Semua penunggangnya berwajah tampan dan memakai baju khas keraton. Berita ceepat tersebar bahwa para penguni keraton akan melakukan perburuan."Apa Kanjeng Gusti yakin akan berburu di daerah sini?" tanya Arya, sang Panglima."Tentu saja. Aku sudah lama tidak berburu. Mengurus pemerintahan sangatlah memusingkan," jawab Abimana."Turuti saja permintaannya, Panglima. KIta hanya perlu mendampingi, " ucap WIjaya tenang."Bukan begitu, Raden. Daerah sini belum pernah kita lewati. Hamba khawatir terjadi sesuatu," jelas Arya."Kalau begitu kerahkan sihirmu untuk melihat situasi," titah Abimana.Arya menyetujui usul itu dan turun dati kuda untuk memulai ritualnya. Lelaki itu memiliki mata batin sehingga dapat melihat makhluk halus yang dapat membahayakan. Setelah memejamkan mata beberapa saat akhirnya lelaki itu tersadar dan merasa lega."H

  • Selir Sang Pangeran   Wira

    "Raden, hati-hati! Nanti Raden terjatuh."Kamandanu tergopoh-gopoh mengejar anak laki-laki yang sejak tadi berlari mengelilingi lapangan. Hari ini dia yang mengajak bermain karena istrinya sedang mencuci di kali. Napasnya terengah-engah karena usia yang sudah tidak muda."Kejar aku, Paman! Katanya kau dulu seorang panglima perang. Mengapa kau begitu lemah," canda anak itu sembari menjulurkan lidah.Kamandanu menjadi geram. Lalu dengan kaki yang pincang, lelaki itu ikut berlari. Dia menagkap pinggang anak itu dan bergulingan di rumput. Tawa terdengar dari keduanya, lalu mereka bercanda hingga senja tiba."Ayo, kita pulang. Ibumu pasti mencari," ajak Kamandanu."Aku tidak mau pulang, Paman. Nanti ibu memarahiku karena tidak mau makan nasi," rajuk anak itu."Raden memang harus makan nasi supaya cepat tinggi," bujuk Kamandanu."Memangnya kenapa kalau aku menjadi tinggi?"Anak itu menatap Kamandanu dengan lekat. Dia mema

  • Selir Sang Pangeran   Pewaris

    Sekar menatap burung-burung yang sedang berkicau di dahan pohon. Pikirannya melayang entah ke mana. Sementara pipinya basah dengan air mata yang sejak tadi menetes. Wanita itu membalik badan dan menatap kamar yang sejak satu minggu ini tak boleh dimasuki siapapun, kecuali orang-orang tertentu. Dan dia termasuk salah satunya.Ada Wijaya di sana, dengan kondisi luka bakar pada wajah dan beberapa bagian tubuh yang melepuh karena insiden malam itu. Dia sendiri terkena di bagian tangan dan dada, tetapi tidak parah sehingga tak memerlukan perawatan khusus. Sekar tak boleh merawat suaminya, hanya Prameswari yang diberikan amanat. Hal itu ditetapkan setelah banyak pertimbangan. Salah satunya adalah saat lelaki itu sakit dulu.Selain itu, Wijaya terkena musibah saat bermalam bersama dengan Sekar. Jadi wanita itu dianggap sebagai pembawa sial. Apalagi pelakunya adalah Kamandanu yang hendak membalas dendam. Maka semakin lengkaplah tudingan yang dialamatkan kepadamya.

  • Selir Sang Pangeran   Penyerangan

    Kamandanu menarik tangan Handaru dan membekap mulutnya. Lalu, menyeret anak itu agar menjauh dari keramaian untuk mencari persembunyian. Lelaki itu melepaskan cekalan dan terengah-engah begitu mereka berada di tempat yang aman."Kau membuatku takut, Panglima!"Handaru memegang dadanya yang terasa sesak. Lelaki itu duduk di tanah dengan kedua lutut ditekuk sembari memyadarkan kepala di salah satu bagian barak. Tangannya memijat kepala yang terasa berdenyut."Aku terpaksa melakukan ini agar kau mengerti. Sejak tadi aku memberikan kode tetapi kau tak paham," sungut Kamandanu."Mereka sedang mengajakku berbicara. Aku tak mungkin pergi," jawab Handaru.Mereka saling terdiam untuk beberapa saat, lalu menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit. Malam ini barak mengadakan pesta setelah dua bulan para prajurit baru menjalani pelatihan intensif. Minggu depan adalah hari pengukuhan dimana Handaru akan resmi diangkat menjad

  • Selir Sang Pangeran   Kecewa

    Kamandanu menatap secarik kain yang dia temukan di hutan. Simbol yang tergambar di sana membuatnya lemas. Itu adalah lambang salah satu perguruan silat yang cukup terkenal dari kota sebelah.Apa yang Adiguna duga sedikit demi sedikit mulai terbukti. Lalu, apakah Raden Wijaya pelakunya, itu belum bisa dipastikan. Butuh petunjuk yang kuat untuk menjatuhkan tuduhan.Adiguna melipat tangan di depan dada dan menatap Wijaya dengan lekat. Entah apa maksud kedatangan adiknya itu, dia masih belum bisa menerka. Sejak tadi mereka hanya berbasa-basi menanyakan kabar dan juga membahas pemerintahan. Padahal dia tahu, bukan itu tujuan utamanya."Kakang, aku baru saja mendapatkan hadiah sebuah pedang baru."Adiguna menatap adiknya dengan curiga. Sejak kecil mereka memang tumbuh dan bermain bersama. Namun ketika beranjak dewasa, ada kepentingan dan ambisi yang ditanamkan oleh para ibu sehingga hubgungan itu menjadi renggang. Wijaya yang awalnya tak terla

  • Selir Sang Pangeran   Bukti Baru

    Kamandu memegang dadanya yang berdebar kencang. Saat Daksa mengatakan bahwa Sekar tiba-tiba datang berkunjung, hatinya diluapi oleh kebahagiaan. Lelaki itu hendak berbalik ke arah pondok ketika mendengar beberapa langkah kaki mendekat.Kamandanu mengurungkan niat dan mengintip dari balik sumur. Tampak beberapa pengawal sedang memeriksa seisi pondok dan sekitarnya. Untunglah jarak sumur cukup jauh dari pondok dan terhalang pohon besar. Sehingga tubuhnya tak kelihatan."Apa kau merasa ada yang aneh?" tanya salah satu pengawal."Ya, tapi aku tak tahu itu apa. Rasanya ada orang lain di rumah ini selain Daksa dan istrinya," jawab pengawal kepercayaan Wijaya. Lelaki itu sengaja diutus untuk menemani Sekar karena sang raden mengkhawatirkan keselamatan istrinya."Apakah itu penyusup yang mengikuti Ndoro Ajeng?""Bisa jadi. Karena itulah kita harus waspada."Beberapa pengawal itu saling berbincang sembari menyisir beberapa tempat. Ketika mereka

  • Selir Sang Pangeran   Pulang

    Selama tiga hari Kamandanu dirawat di rumah Daksa, selama itu pula Sekar tak mengetahui apa pun. Wijaya memang mengizinkan selirnya bertemu dengan keluarga, tetapi belum memenuhi janjinya. Hingga wanita itu merasa gelisah, tetapi tak berani menyusup karena takut ketahuan.Sekar hanyalah selir biasa, yang tak mengerti permasalahan keraton. Sehingga dia tak tahu jika nyawa mereka bisa terancam sewaktu-waktu. Wijaya memang membatasi wanita itu agar tak mencampuri urusannya. Hal yang sama dia lakukan kepada Prameswari. Hanya ratu yang berhak bersuara mengenai pemerintahan. Juga istri sah Adiguna karena kakaknya adalah pewaris utama.Tugas selir hanyalah memikat raja dan pangeran, lalu menyenangkan mereka. Jika mendapatkan keturunan laki-laki maka itu adalah anugerah. Sayangnya, dari ratu dan beberapa selir yang dimiliki raja yang sekarang, beliau hanya diberikan tiga pewaris lelaki. Bahkan, istri dan selir dari para putranya juga melahirkan anak perempuan.Wij

  • Selir Sang Pangeran   Pertolongan

    "Sepertinya benda itu sangat berarti untukmu, Kisanak."Kamandanu terkejut dan segera menyembunyikan selongsong itu balik pakaiannya. Lelaki itu menoleh dan mendapati Daksa sedang menatapnya dengan tajam."Paman Daksa," ucap Kamandanu memberi hormat."Sepertinya aku mengenal benda itu," sindirnya.Beberapa hari ini Daksa mengamati Kamandanu secara interns. Kecurigaannya semakin bertambah setelah memergoki lelaki itu sering melamun. Hari ini keyakinannya semakin kuat saat melihat selongsong pedang milik panglima."Ini diberikan Raden Adiguna kepadaku," jawab Kamandanu sembari tersenyum. Sejak kembali bekerja di keraton, dia sudah terbiasa mengendalikan sikap agar tak gugup."Tapi kenapa diberikan kepadamu? Kau orang baru," selidik Daksa."Entahlah, Paman. Aku tak pernah bertanya apa alasannya," jawab Kamandanu.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status