Keraton berpesta pora. Dua bulan setelah batalnya pertunangan Sekar dan Kamandanu yang menghilang hingga kini belum ditemukan, hari ini Wijaya yang melangsungkan pernikahan dengan seorang gadis pilihan ibu ratu.
Raden Ayu Prameswari. Putri dari wilayah sebelah yang masih berusia 17 tahun. Cantik, semampai dan berwajah ayu, sesuai dengan namanya.
Sebagai seorang putri, sikapnya sungguh anggun dan bertata krama. Berbeda dengan Sekar yang sesekali masih bertingkah konyol.
Wijaya terlihat sangah gagah dengan baju kebesarannya. Matanya melirik berkali-kali, mencari sosok Sekar namun tak tampak.
Sejak batalnya pernikahan, Sekar memang tak terlihat dimanapun. Banyak yang tidak tahu bahwa dia dipindahkan ke bagian dapur dan membantu ibunya menajadi juru masak.
Gadis itu sudah terlanjur malu dan patah hati yang mendalam sehingga tak punya keberanian untuk tampil di muka umum.
Pesta begitu meriah. Penjagaan diperketat 2x lipat karena raja khawatir, musibah yang menimpa Kamandanu akan terulang.
Semua pemuda desa yang cukup usia dan lolos seleksi, dilatih bela diri satu bulan sebelum acara, untuk menjadi prajurit cadangan. Mereka ditempatkan di sepanjang jalan masuk keraton.
Tidak ada pawai di jalan raya seperti yang dilakukan pada pernikahan pangeran sebelumnya. Ibu ratu khawatir jika ada yang berniat jahat untuk mencelakai putranya.
"Kenapa kamu diam saja?" tanya Prameswari saat melihat suaminya cuek, seolah-olah tak memandangnya sama sekali.
"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Wijaya dingin.
"Bersikaplah sedikit ... romantis," ucap wanita itu malu.
Prameswari tak menyangka dari sekian banyak putri, Wijaya malah memilihnya. Padahal secara fisik, dia tak terlalu cantik. Hanya kulitnya bersih tanoa noda.
Dalam balutan dodot, dia begitu anggun ditanbah sanggul yang pas di kepala. Namun, wajahnya sedikit murung karena sang suami mengabaikannya sejak tadi.
"Kau ingin aku berbuat apa? Menciummu?"
Tatapan Wijaya membuat wajah itu seketika merona. Prameswari menunduk menyembunyikan pipinya yang kemerahan.
"Bukan itu maksudku, ta--"
"Tunggulah nanti malam. Akan aku buat kau bahagia hingga pagi," ucap lelaki itu asal.
Prameswari memukul lengan lelaki itu, sehingga Wijaya menangkap jemarinya. Mata mereka bertautan lama. Ada denyar-denyar bergemuruh di dada sang putri. Sayang, itu tidak dirasakan oleh sang pangeran.
Namun sikap keduanya di atas pelaminan, menimbulkan riuh dan sorak dari semua yang melihat. Mereka pikir, dua insan itu sedang bersenda gurau layaknya pengantin baru.
Padahal, Wijaya tak suka jika Prameswari menyentuhnya seperti itu.
Tiba-tiba saja bunyi gamelan terdengar. Lalu iringan penari muncul. Mata Wijaya terbelalak saat melihat ada sang pujaan hati ikut dalam barisan.
Sekar yang tampak berbeda ikut menari bersama yang main. Itu membuat darah Wijaya memanas.
Gadis itu hanya memakai kemban yang ditutupi dengan selendang tipis. Bagian depan tubuhnya sungguh menggoda.
Tubuh lelakinya bereaksi. Apalagi Sekar begitu elok memainkan jari sekalipun matanya hanya menunduk ke bawah.
Untuk beberapa lama, lelaki itu terdiam mematung menyaksikan pemandangan indah itu.
"Kangmas liat apa?" tanya Prameswari saat menyadari bahwa tatapan sang suami tertuju ke arah para penari di depan mereka.
"Ndak apa-apa," jawab lelaki itu sekadarnya.
Senyum terkulum di bibir Wijaya saat Sekar mengangkat wajah dan menatap ke arah pelaminan.
Prameswari yang melihat kenyataan itu seketika terdiam dengan hati tersayat. Dia tetap berusaha berpikiran postitif bahwa mata laki-laki memang begitu, akan berkeliaran jika melihat perempuan cantik, sekalipun kastanya rendahan.
Hampir satu jam para penari menghibur para tamu dan anggota kerjaan.
Lalu tiba saatnya, saweran. Kebiasaan jika ada suatu acara besar dan para kaum lelaki ingin ikut menari sambil membagikan rezeki kepada penari yang menghibur.
Sekar masih asyik menari saat seorang lelaki menghampiri. Itu adalah panglima yang baru dilantik menggantikan Kamandanu.
"Selalu ada yang baru untuk menggantikan yang sudah hilang," bisiknya sambil mengimbangi gerakan gadis itu.
Sekar tersentak sesaat namun tak menggubrisnya. Dia tetap melanjutkan tarian sementara teman-teman yang lain juga melakukan hal yang sama.
Merasa diacuhkan, lelaki itu mengeluarkan uang dari saku dan mencoba menyelipkan di balik kemban.
Sekar menepisnya. Dia tak suka jika ada yang lancang menyentuh.
"Terima saja, Sekar. Aku ndak niat nyentuh kamu, kok," bisik lelaki itu lagi.
Dia kembali hendak menyusupakan kantong uang itu ke dalam kemben ketika tangannya ditahan oleh seseorang.
"Raden?"
Spontan si panglima menarik tangannya dan menghaturkan hormat kemudian mundur dan kembali ke kursi.
Wijaya menatap Sekar yang berpura-pura cuek dan terus melakukan gerakan. Dia sendiri malah terdiam mematung dengan senyum mengembang di bibir.
Bisik-bisik mulai terdengar. Semua orang terkejut dengan sikapnya yang tiba-tiba saja turun dari pelaminan dan mendatangi gadis itu.
Tapi tak ada yang bisa melarang, tak mungkin di acara sakral begini, terjadi keributan.
Ibu ratu berbisik kepada raja yang dijawab dengan anggukan. Sudah rahasia umum di dalam keraton, bahwa Wijaya bersedia menikah hanya sebagai syarat agar bisa segera mengambil Sekar sebagai selir.
Mungkin, hanya Prameswari dan keluarganya yang tidak tahu.
"Kamu kok lama ndak keliatan, Kar?"
Lelaki itu bertanya diantara bisingnya suara musik dan pembicaraan orang-orang. Kedua tangannya diselipkan di saku. Matanya tak lepas dan sorotnya ingin menerkam.
"Saya pindah ke dapur, Raden," jawab gadis itu jujur.
Dia mengangkat dagu saat bunyi hentak gendang terdengar. Leher mulusnya yang terpampang membuat Wijaya menegang.
"Kamu kenapa menyembunyikan diri?" tanya lelaki itu.
"Itu hak saya, Raden. Maaf rasanya ndak pantas Raden berdiri disini sementara istrinya menunggu di atas," jawab Sekar.
Wijaya menahan tawa. Dia sadar bahwa sejak tadi, semua mata tertuju kepada mereka.
Tak lama, bunyi gamelan memelan tanda tarian akan berakhir. Sekar dan yang lain memberikan salam penghormatan lalu masuk ke dalam.
Sementara itu Wijaya kembali ke atas pelaminan dan duduk tanpa melihat istrinya.
Tidak ada yang tahu, bahwa di balik senyum yang ditampakkan Prameswari, tangisnya sedang berusaha ditahan agar tak menetes.
***
Wijaya berbaring di ranjang pengantin yang telah dihiasi bunga-bunga yang harum baunya. Matanya menatap langit-langit kamar dengan kosong.
Harusnya dia bahagia karena telah menikah hari ini. Sekalipun dia tidak mencintai Prameswari, tapi bisa saja bersenang-senang karena mereka sudah halal.
Entah mengapa bayangan Sekar tak mau menghilang dari pelupuk mata.
"Kangmas ndak ganti baju?"
Istrinya tiba-tiba muncul dari bilik dengan kemban batik.
Melihat itu, mata lelakinya bekerja. Wanita itu cukup menggoda jika berpakaian seperti itu. Apalagi hasratnya sudah terlanjur bangkit saat melihat Sekar tadi.
Dia bangun dan mendatangi istrinya, lalu merengkuh pinggang itu dengan erat.
"Kamu mau bantu buka baju kangmas, Nduk?" ucapnya menggoda.
Pramewari menunduk sambil menggigit bibir. Itu membuat darah Wijaya bergolak hebat.
"Sudah siap, Nduk?"
"Siap apa, Kangmas?" tanya wanita itu malu-malu.
"Melahirkan penerus panembahan?" bisik Wijaya sambil meraih dagu runcing itu dan menatapnya dalam.
Wanita itu kembali memukul suaminya. Jika di pelaminan tadi Wijaya merasa kesal karena diperlakukan seperti itu, kini dia semakin erat mendekap.
Malam panjang mereka habiskan berdua. Hari ini, Prameswari merasa dirinya wanita paling bahagia di dunia, sekalipun tadi sempat bersedih saat melihat sikap Wijaya di pelaminan.
Dia tak tahu bahwa suaminya memiliki rencana lain, yang mungkin akan menyakiti hatinya kelak.
Wanita, memang sangat mudah diperdaya dengan kata-kata indah.
Arya menatap Kamandanu dengan tajam sembari berkacak pinggang. Lelaki itu sudah siap jika sewaktu-waktu sang Panglima akan melancarkan serangan."Apa kabarmu, Panglima Muda?" sapa Kamandanu."Baik-baik saja, Panglima. Kau sendiri bagaimana?""Aku sudah tak sabar ingin berlatih ilmu kanugaran denganmu," tantang Kamandanu.Arya tergelak lalu menyanggupi. Bukankah dulu dia pernah berkata akan belajar ilmu bela diri dari Kamandanu jika mereka bertemu lagi. Dan kini keduanya saling berhadapan satu dengan yang lain."Siapa sangka kita akan bertemu lagi setelah sekian lama," ucap Arya tak percaya. Jika bukan karena perburuan hari itu, maka mungkin dia akan lupa pada ucapan sendiri."Kau benar. Aku bahkan tak menyangka jika akan bertemu dengan kalian. Sepertinya kami memang ditakdirkan untuk selalu berhubungan dengan keraton, walaupun sudah menghindar ja
Derap kaki kuda yang berlari menembus jalanan menarik perhatian warga sekitar. Apalagi Semua penunggangnya berwajah tampan dan memakai baju khas keraton. Berita ceepat tersebar bahwa para penguni keraton akan melakukan perburuan."Apa Kanjeng Gusti yakin akan berburu di daerah sini?" tanya Arya, sang Panglima."Tentu saja. Aku sudah lama tidak berburu. Mengurus pemerintahan sangatlah memusingkan," jawab Abimana."Turuti saja permintaannya, Panglima. KIta hanya perlu mendampingi, " ucap WIjaya tenang."Bukan begitu, Raden. Daerah sini belum pernah kita lewati. Hamba khawatir terjadi sesuatu," jelas Arya."Kalau begitu kerahkan sihirmu untuk melihat situasi," titah Abimana.Arya menyetujui usul itu dan turun dati kuda untuk memulai ritualnya. Lelaki itu memiliki mata batin sehingga dapat melihat makhluk halus yang dapat membahayakan. Setelah memejamkan mata beberapa saat akhirnya lelaki itu tersadar dan merasa lega."H
"Raden, hati-hati! Nanti Raden terjatuh."Kamandanu tergopoh-gopoh mengejar anak laki-laki yang sejak tadi berlari mengelilingi lapangan. Hari ini dia yang mengajak bermain karena istrinya sedang mencuci di kali. Napasnya terengah-engah karena usia yang sudah tidak muda."Kejar aku, Paman! Katanya kau dulu seorang panglima perang. Mengapa kau begitu lemah," canda anak itu sembari menjulurkan lidah.Kamandanu menjadi geram. Lalu dengan kaki yang pincang, lelaki itu ikut berlari. Dia menagkap pinggang anak itu dan bergulingan di rumput. Tawa terdengar dari keduanya, lalu mereka bercanda hingga senja tiba."Ayo, kita pulang. Ibumu pasti mencari," ajak Kamandanu."Aku tidak mau pulang, Paman. Nanti ibu memarahiku karena tidak mau makan nasi," rajuk anak itu."Raden memang harus makan nasi supaya cepat tinggi," bujuk Kamandanu."Memangnya kenapa kalau aku menjadi tinggi?"Anak itu menatap Kamandanu dengan lekat. Dia mema
Sekar menatap burung-burung yang sedang berkicau di dahan pohon. Pikirannya melayang entah ke mana. Sementara pipinya basah dengan air mata yang sejak tadi menetes. Wanita itu membalik badan dan menatap kamar yang sejak satu minggu ini tak boleh dimasuki siapapun, kecuali orang-orang tertentu. Dan dia termasuk salah satunya.Ada Wijaya di sana, dengan kondisi luka bakar pada wajah dan beberapa bagian tubuh yang melepuh karena insiden malam itu. Dia sendiri terkena di bagian tangan dan dada, tetapi tidak parah sehingga tak memerlukan perawatan khusus. Sekar tak boleh merawat suaminya, hanya Prameswari yang diberikan amanat. Hal itu ditetapkan setelah banyak pertimbangan. Salah satunya adalah saat lelaki itu sakit dulu.Selain itu, Wijaya terkena musibah saat bermalam bersama dengan Sekar. Jadi wanita itu dianggap sebagai pembawa sial. Apalagi pelakunya adalah Kamandanu yang hendak membalas dendam. Maka semakin lengkaplah tudingan yang dialamatkan kepadamya.
Kamandanu menarik tangan Handaru dan membekap mulutnya. Lalu, menyeret anak itu agar menjauh dari keramaian untuk mencari persembunyian. Lelaki itu melepaskan cekalan dan terengah-engah begitu mereka berada di tempat yang aman."Kau membuatku takut, Panglima!"Handaru memegang dadanya yang terasa sesak. Lelaki itu duduk di tanah dengan kedua lutut ditekuk sembari memyadarkan kepala di salah satu bagian barak. Tangannya memijat kepala yang terasa berdenyut."Aku terpaksa melakukan ini agar kau mengerti. Sejak tadi aku memberikan kode tetapi kau tak paham," sungut Kamandanu."Mereka sedang mengajakku berbicara. Aku tak mungkin pergi," jawab Handaru.Mereka saling terdiam untuk beberapa saat, lalu menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit. Malam ini barak mengadakan pesta setelah dua bulan para prajurit baru menjalani pelatihan intensif. Minggu depan adalah hari pengukuhan dimana Handaru akan resmi diangkat menjad
Kamandanu menatap secarik kain yang dia temukan di hutan. Simbol yang tergambar di sana membuatnya lemas. Itu adalah lambang salah satu perguruan silat yang cukup terkenal dari kota sebelah.Apa yang Adiguna duga sedikit demi sedikit mulai terbukti. Lalu, apakah Raden Wijaya pelakunya, itu belum bisa dipastikan. Butuh petunjuk yang kuat untuk menjatuhkan tuduhan.Adiguna melipat tangan di depan dada dan menatap Wijaya dengan lekat. Entah apa maksud kedatangan adiknya itu, dia masih belum bisa menerka. Sejak tadi mereka hanya berbasa-basi menanyakan kabar dan juga membahas pemerintahan. Padahal dia tahu, bukan itu tujuan utamanya."Kakang, aku baru saja mendapatkan hadiah sebuah pedang baru."Adiguna menatap adiknya dengan curiga. Sejak kecil mereka memang tumbuh dan bermain bersama. Namun ketika beranjak dewasa, ada kepentingan dan ambisi yang ditanamkan oleh para ibu sehingga hubgungan itu menjadi renggang. Wijaya yang awalnya tak terla