Pendopo ramai dengan orang hilir mudik menyiapkan acara pertunangan Sekar dan Kamandanu. Sekalipun hanya dalam ruang lingkup keraton, tetapi semua penghuninya sangat bersemangat dan antusias.
Hanya satu orang yang terlihat murung, Raden Wijaya. Sejak pagi dia mengurung diri di kamar. Berpura-pura tidur dangan mengatakan kepada ratu bahwa dia sedang sakit.
Wijaya memang benar menderita sakit, tetapi bukan pada tubuh. Hatinya yang patah begitu dalam, menyayatkan luka yang perih hingga meneteskan air mata.
Gadis yang dia cintai diam-diam selama bertahun-tahun, kini harus menjadi milik orang lain. Dia tak terima. Jikalau tahu akan begini jadinya, maka Wijaya memilih untuk tidak pulang dan menetap di tanah perantauan untuk melanjutkan belajar.
Para prajurit sudah bersiap siaga sejak subuh dan bersuka cita. Pemimpin mereka sebentar lagi akan melepas masa lajang. Dua minggu ke depan, pernikahan akan dilangsungkan.
Sekar didandan cantik dengan kebaya berwarna keemasan dan sanggul bulat di kepala. Sementara Kamandanu memakai beskap berwarna senada dengan pedang di pinggangnya.
Saat acara dimulai, kedua orang itu malah saling menunduk dan tak berani menatap satu dengan yang lain. Malu-malu dengan debar yang berdentam di dada.
Kamandanu menyerahkan sebuah bingkisan sebagai hadiah untuk Sekar dan sekantung uang kepada keluarganya untuk biaya pengantar pernikahan.
Uang yang ditabungnya dari hasil mengabdi selama beberapa tahun di keraton. Juga bonus yang diberikan oleh Raja karena telah berhasil menumpas pemberontakan di beberapa daerah.
Kamandanu hidup apa adanya, tak pernah tergiur untuk berkunjung ke rumah bordil atau menghabiskan uang di sana. Sekalipun banyak yang menawarkan. Jika dia ingin menuruti nafsu duniawi, maka tawaran dari beberapa pelayan wanita keraton akan diterimanya.
Wanita-wanita itu dengan suka rela menawarkan diri jika dia berminat. Namun, Kamandanu tak mau menukarnya dengan cinta yang tulus kepada Sekar. Rasa itu tumbuh sejak gadis itu beranjak remaja.
Awalnya, kamandanu tak terlalu memperhatikan Sekar karena masih kecil, pada saat dia bergabung menjadi prajurit muda. Hingga suatu hari, datanglah seorang gadis yang berjalan bersama pelayan lain mengantarkan makanan di pendopo. Sejak saat itu, matanya tak bisa lepas. Hatinya sudah tertaut benang-benang asmara.
Kamandanu mulai mencari informasi.dan mendekati Daksa pelan-pelan. Disaat senggang dia membantu mengurus kuda-kuda. Mencintainseorang gadis itu berarti harus mengambil hati ayahnya. Lelaki itu sudah melakukannya cukup lama tanpa ada yang curiga.
"Kalian sudah terikat satu dengan yang lain. Tapi kami meminta agar kalian tetap menjaga diri hingga hubungan ini diresmikan. Jangan berbuat asusila di lingkungan keraton." Nasihat para sesepuh, yang dijawab dengan anggukan oleh mereka.
Sebenarnya kata-kata itu hanyalah formalitas. Ada banyak perzinahan yang terjadi di dalam keraton. Hal itu Sudah menjadi rahasia umum, tetapi tidak semua orang pelakunya. Hanya petinggi tertentu yang berani karena memiliki jabatan.
Pelakunya tak jauh dari para menteri dan pangeran. Padahal mereka memiliki istri dan selir yang sudah menunggu di kamar. Semua itu hanyalah tentang tabiat yang sulit diubah karena sudah menjadi kebiasaan.
Setelah selesai acara pertunangan, semua orang saling berbincang sambil menikmati hidangan. Kamandanu berulang kali mencuri pandang ke arah Sekar yang duduk dengan ibunya dan beberapa wanita yang lain. Hal itu membuatnya menjadi bahan gurauan dari para prajurit. Lelaki itu mengulum senyum sambil makan.
Sebenarnya Kamandanu ingin berduaan dengan Sekar untuk membicarakan masa depan mereka. Lelaki itu juga ingin juga menyentuh sang pujaan hati sebagai pelepas rindu. Mulai besok Sekar akan dipingit dan tidak boleh keluar dari kamar.
Kamandanu mengurungkan niatnya dan memilih bersabar hingga hari pernikahan tiba. Dia sudah menyiapkan sebuah surat sebagai tanda pelepas rindu selama dua minggu ini tidak bertemu. Nanti bila saatnya tiba, saat Sekar menjadi miliknya, lelaki itu bebas melakukan apa saja sebagai ungkapan cinta.
"Paman," katanya penuh hormat saat Daksa mendekat.
"Sebentar lagi aku akan menjadi ayahmu. Jangan sungkan begitu," kata Daksa dengan senyum tulus. Betapa bangganya dia, seorang kusir akan memiliki menantu seorang panglima keraton. Derajat keluarga mereka akan terangkat setelah ini.
Kamandanu sendiri sudah tak memiliki orang tua. Hanya ada beberapa keluarga yang tinggal di desa dan jauh dari keraton. Sejak kecil dia terbiasa hidup susah karena menumpang dengan orang lain.
Setelah akil baligh Kamdanu mulai bersekolah dengan menjual sepetak tanah warisan orang tua yang dititipkan kepada salah satu keluarga.
Berlatih ilmu bela diri memang sudah ditekuni sejak kecil, karena di desa tempat tinggalnya dulu banyak terjadi perampokan. Lelaki itu menjaga keluarga yang sudah mengasuhnya sebagai balas budi.Ketika akan melamar perkerjaan menjadi prajurit, bibi yang mengangkatnya sebagai anak menangis beberapa hari karena tak rela. Karrna jika diterima, dia hanya diberikan izin pulang satu kali dalam setahun.
Ketika Kamdanu lolos dalam seleksi, lelaki itu mulai bekerja. Prestasinya yang bagus dan memang tangguh membuatnya diangkat menjadi panglima. Kepala perampok yang meresahkan warga, juga pemberontak di suatu desa berhasil takluk di hadapannya.
Raja begitu bangga dan sayang, sehingga posisi tertinggi itu dihadiahkan. Bahkan dia ditawari banyak selir muda yang belum terjamah, sebagai pelepas hasrat. Namun, lelaki itu menolaknya.
"Saya titip ini buat Sekar, Paman." Kamadanu mengeluarkan sebuah kotak perhiasan kecil kepada Daksa.
"Kenapa ndak diserahkan sendiri?" Daksa mengambil dan menyimpannya ke dalam saku.
"Malu," jawabnya dengan wajah merona.
Melihat itu Daksa tergelak. Dulu dia juga sama sewaktu bertemu dengan Ratih. Padahal dengan gadis-gadis lain tidak begitu.
Itulah cinta, disaat dimana kita bertemu dengan orang yang disukai, justru malah salah tingkah dan tak dapat bicara.
"Baiklah. Nanti akan Paman sampaikan kepada Sekar," jawab Daksa.
Mereka berbincang cukup lama hingga acara dibubarkan.
***
Sekar membuka bingkisan yang diberikan Kamandanu sebagai hadiah pertunangan. Matanya membulat saat melihat sebuah kain batik halus berbenang emas. Juga selendang dengan motif dan warna senada.
Sekar mengambil sebuah kotak perhiasan yang tadi diberikan oleh ayahnya. Katanya hadiah dari Kamandanu. Senyum melengkung di bibir gadis itu. Sebuah liontin emas dengan mata berbentuk hati. Bentuknya memang kecil, tetapi dia suka.
Sekar berjalan menuju kaca dan menyibak rambut hitam panjangnya. Dengan perlahan, dia memakai benda itu. Gadis itu tampak semakin cantik. Kalung itu tentulah harganya cukup mahal, karena ayahnya sendiri tak mampu membelikan.
Sekar kembali ke ranjang, mengambil kain tadi dan hendak memasukkannya ke dalam lemari. Sebuah kertas terjatuh di lantai. Gadis itu mengambilnya dan membuka lembarnya dengan hati berdebar.
Surat cinta kedua dari Kamandanu. Tak hanya kata rindu, tetapi ada sebuah puisi indah yang dituliskan sebagai ungkapan perasaan. Sekar mencium kertas itu berulang kali karena baunya harum. Lalu dia berbaring di ranjang dan mendekapnya di dada.
Setelah mendapatkan surat pertama, Sekar mulai belajar membaca dengan salah satu pelayan kesayangan ibu ratu. Itu mereka lakukan di sela-sela membuat hiasan bunga. Oleh karena itulah, surat yang ini dapat dengan cepat dipahami apa isinya.
Sekar memejamkan mata dan berdoa dalam hati, semoga apa yang mereka rencanakan bisa berjalan lancar. Setelah merasa puas, dia kembali menyimpan surat dan beberapa hadiah ke dalam lemari.
Sekar membayangkan banyak hal indah di depan mata. Juga wajah tampan kekasihnya. Menjadi istri seorang panglima tentu saja akan membuatnya dihormati banyak orang.
Sekar menguap beberapa kali karena kantuk yang menyerangnya cukup hebat. Entah mengapa malam ini terasa bebeda. Biasanya dia tak merasa begitu kelelahan walaupun melakukan banyak aktivitas. Mungkin karena menyiapkan pertunangan cukup membuatnya tegang sehingga menguras energi. Tak lama gadis itupun terlelap.
Arya menatap Kamandanu dengan tajam sembari berkacak pinggang. Lelaki itu sudah siap jika sewaktu-waktu sang Panglima akan melancarkan serangan."Apa kabarmu, Panglima Muda?" sapa Kamandanu."Baik-baik saja, Panglima. Kau sendiri bagaimana?""Aku sudah tak sabar ingin berlatih ilmu kanugaran denganmu," tantang Kamandanu.Arya tergelak lalu menyanggupi. Bukankah dulu dia pernah berkata akan belajar ilmu bela diri dari Kamandanu jika mereka bertemu lagi. Dan kini keduanya saling berhadapan satu dengan yang lain."Siapa sangka kita akan bertemu lagi setelah sekian lama," ucap Arya tak percaya. Jika bukan karena perburuan hari itu, maka mungkin dia akan lupa pada ucapan sendiri."Kau benar. Aku bahkan tak menyangka jika akan bertemu dengan kalian. Sepertinya kami memang ditakdirkan untuk selalu berhubungan dengan keraton, walaupun sudah menghindar ja
Derap kaki kuda yang berlari menembus jalanan menarik perhatian warga sekitar. Apalagi Semua penunggangnya berwajah tampan dan memakai baju khas keraton. Berita ceepat tersebar bahwa para penguni keraton akan melakukan perburuan."Apa Kanjeng Gusti yakin akan berburu di daerah sini?" tanya Arya, sang Panglima."Tentu saja. Aku sudah lama tidak berburu. Mengurus pemerintahan sangatlah memusingkan," jawab Abimana."Turuti saja permintaannya, Panglima. KIta hanya perlu mendampingi, " ucap WIjaya tenang."Bukan begitu, Raden. Daerah sini belum pernah kita lewati. Hamba khawatir terjadi sesuatu," jelas Arya."Kalau begitu kerahkan sihirmu untuk melihat situasi," titah Abimana.Arya menyetujui usul itu dan turun dati kuda untuk memulai ritualnya. Lelaki itu memiliki mata batin sehingga dapat melihat makhluk halus yang dapat membahayakan. Setelah memejamkan mata beberapa saat akhirnya lelaki itu tersadar dan merasa lega."H
"Raden, hati-hati! Nanti Raden terjatuh."Kamandanu tergopoh-gopoh mengejar anak laki-laki yang sejak tadi berlari mengelilingi lapangan. Hari ini dia yang mengajak bermain karena istrinya sedang mencuci di kali. Napasnya terengah-engah karena usia yang sudah tidak muda."Kejar aku, Paman! Katanya kau dulu seorang panglima perang. Mengapa kau begitu lemah," canda anak itu sembari menjulurkan lidah.Kamandanu menjadi geram. Lalu dengan kaki yang pincang, lelaki itu ikut berlari. Dia menagkap pinggang anak itu dan bergulingan di rumput. Tawa terdengar dari keduanya, lalu mereka bercanda hingga senja tiba."Ayo, kita pulang. Ibumu pasti mencari," ajak Kamandanu."Aku tidak mau pulang, Paman. Nanti ibu memarahiku karena tidak mau makan nasi," rajuk anak itu."Raden memang harus makan nasi supaya cepat tinggi," bujuk Kamandanu."Memangnya kenapa kalau aku menjadi tinggi?"Anak itu menatap Kamandanu dengan lekat. Dia mema
Sekar menatap burung-burung yang sedang berkicau di dahan pohon. Pikirannya melayang entah ke mana. Sementara pipinya basah dengan air mata yang sejak tadi menetes. Wanita itu membalik badan dan menatap kamar yang sejak satu minggu ini tak boleh dimasuki siapapun, kecuali orang-orang tertentu. Dan dia termasuk salah satunya.Ada Wijaya di sana, dengan kondisi luka bakar pada wajah dan beberapa bagian tubuh yang melepuh karena insiden malam itu. Dia sendiri terkena di bagian tangan dan dada, tetapi tidak parah sehingga tak memerlukan perawatan khusus. Sekar tak boleh merawat suaminya, hanya Prameswari yang diberikan amanat. Hal itu ditetapkan setelah banyak pertimbangan. Salah satunya adalah saat lelaki itu sakit dulu.Selain itu, Wijaya terkena musibah saat bermalam bersama dengan Sekar. Jadi wanita itu dianggap sebagai pembawa sial. Apalagi pelakunya adalah Kamandanu yang hendak membalas dendam. Maka semakin lengkaplah tudingan yang dialamatkan kepadamya.
Kamandanu menarik tangan Handaru dan membekap mulutnya. Lalu, menyeret anak itu agar menjauh dari keramaian untuk mencari persembunyian. Lelaki itu melepaskan cekalan dan terengah-engah begitu mereka berada di tempat yang aman."Kau membuatku takut, Panglima!"Handaru memegang dadanya yang terasa sesak. Lelaki itu duduk di tanah dengan kedua lutut ditekuk sembari memyadarkan kepala di salah satu bagian barak. Tangannya memijat kepala yang terasa berdenyut."Aku terpaksa melakukan ini agar kau mengerti. Sejak tadi aku memberikan kode tetapi kau tak paham," sungut Kamandanu."Mereka sedang mengajakku berbicara. Aku tak mungkin pergi," jawab Handaru.Mereka saling terdiam untuk beberapa saat, lalu menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit. Malam ini barak mengadakan pesta setelah dua bulan para prajurit baru menjalani pelatihan intensif. Minggu depan adalah hari pengukuhan dimana Handaru akan resmi diangkat menjad
Kamandanu menatap secarik kain yang dia temukan di hutan. Simbol yang tergambar di sana membuatnya lemas. Itu adalah lambang salah satu perguruan silat yang cukup terkenal dari kota sebelah.Apa yang Adiguna duga sedikit demi sedikit mulai terbukti. Lalu, apakah Raden Wijaya pelakunya, itu belum bisa dipastikan. Butuh petunjuk yang kuat untuk menjatuhkan tuduhan.Adiguna melipat tangan di depan dada dan menatap Wijaya dengan lekat. Entah apa maksud kedatangan adiknya itu, dia masih belum bisa menerka. Sejak tadi mereka hanya berbasa-basi menanyakan kabar dan juga membahas pemerintahan. Padahal dia tahu, bukan itu tujuan utamanya."Kakang, aku baru saja mendapatkan hadiah sebuah pedang baru."Adiguna menatap adiknya dengan curiga. Sejak kecil mereka memang tumbuh dan bermain bersama. Namun ketika beranjak dewasa, ada kepentingan dan ambisi yang ditanamkan oleh para ibu sehingga hubgungan itu menjadi renggang. Wijaya yang awalnya tak terla
Kamandu memegang dadanya yang berdebar kencang. Saat Daksa mengatakan bahwa Sekar tiba-tiba datang berkunjung, hatinya diluapi oleh kebahagiaan. Lelaki itu hendak berbalik ke arah pondok ketika mendengar beberapa langkah kaki mendekat.Kamandanu mengurungkan niat dan mengintip dari balik sumur. Tampak beberapa pengawal sedang memeriksa seisi pondok dan sekitarnya. Untunglah jarak sumur cukup jauh dari pondok dan terhalang pohon besar. Sehingga tubuhnya tak kelihatan."Apa kau merasa ada yang aneh?" tanya salah satu pengawal."Ya, tapi aku tak tahu itu apa. Rasanya ada orang lain di rumah ini selain Daksa dan istrinya," jawab pengawal kepercayaan Wijaya. Lelaki itu sengaja diutus untuk menemani Sekar karena sang raden mengkhawatirkan keselamatan istrinya."Apakah itu penyusup yang mengikuti Ndoro Ajeng?""Bisa jadi. Karena itulah kita harus waspada."Beberapa pengawal itu saling berbincang sembari menyisir beberapa tempat. Ketika mereka
Selama tiga hari Kamandanu dirawat di rumah Daksa, selama itu pula Sekar tak mengetahui apa pun. Wijaya memang mengizinkan selirnya bertemu dengan keluarga, tetapi belum memenuhi janjinya. Hingga wanita itu merasa gelisah, tetapi tak berani menyusup karena takut ketahuan.Sekar hanyalah selir biasa, yang tak mengerti permasalahan keraton. Sehingga dia tak tahu jika nyawa mereka bisa terancam sewaktu-waktu. Wijaya memang membatasi wanita itu agar tak mencampuri urusannya. Hal yang sama dia lakukan kepada Prameswari. Hanya ratu yang berhak bersuara mengenai pemerintahan. Juga istri sah Adiguna karena kakaknya adalah pewaris utama.Tugas selir hanyalah memikat raja dan pangeran, lalu menyenangkan mereka. Jika mendapatkan keturunan laki-laki maka itu adalah anugerah. Sayangnya, dari ratu dan beberapa selir yang dimiliki raja yang sekarang, beliau hanya diberikan tiga pewaris lelaki. Bahkan, istri dan selir dari para putranya juga melahirkan anak perempuan.Wij
"Sepertinya benda itu sangat berarti untukmu, Kisanak."Kamandanu terkejut dan segera menyembunyikan selongsong itu balik pakaiannya. Lelaki itu menoleh dan mendapati Daksa sedang menatapnya dengan tajam."Paman Daksa," ucap Kamandanu memberi hormat."Sepertinya aku mengenal benda itu," sindirnya.Beberapa hari ini Daksa mengamati Kamandanu secara interns. Kecurigaannya semakin bertambah setelah memergoki lelaki itu sering melamun. Hari ini keyakinannya semakin kuat saat melihat selongsong pedang milik panglima."Ini diberikan Raden Adiguna kepadaku," jawab Kamandanu sembari tersenyum. Sejak kembali bekerja di keraton, dia sudah terbiasa mengendalikan sikap agar tak gugup."Tapi kenapa diberikan kepadamu? Kau orang baru," selidik Daksa."Entahlah, Paman. Aku tak pernah bertanya apa alasannya," jawab Kamandanu.