Share

Pupus

Tangis Sekar menggema di ruangan itu. Pernikahan yang direncanakan akan dilagsungkan pagi ini batal karena perngantin pria menghilang.

Ya, Kamandanu tak ditemukan dimanapun, kecuali selongsong pedangnya yang jatuh, juga darah yang berceceran di sekitar benda itu ditemukan. 

"Sudah, Nduk." Ratih memeluk putrinya yang sedari tadi meraung karena pernikahannya dibatalkan.

Raja sudah mengerahkan seluruh prajurit untuk mencari panglima kesayangannya, namun nihil. Sehingga para sesepuh langsung menunjuk seorang parjurit terlatih untuk menggantikan posisinya.

Gerbang ditutup. Semua diperiksa secara ketat hingga ke bagian sudut. Bahkan barak, dapur bahkan pondok yang berada di wilayah keraton. 

"Kalau memang kangmas dibunuh, dimana mereka menbuang jenazahnya, Buk?" tanya Sekar.

Ratih tak mampu menjawab. Di luar sana Daksa dan yang lain ikut menyisir beberapa tempat untuk mencari calon menantunya.

"Sepertinya Kangmas-mu diculik. Entah kemana mereka membawanya. Semua orang sedang mencari," jawab Ratih.

Tangisan Sekar semakin kencang mendengar itu. 

"Mengapa mereka tega, Buk? Apa salah kangmas sehingga diperlakukan seperti ini." Sekar mengeratkan pelukan. 

Wanita paruh baya itu mengusap punggung putrinya dengan lembut. Sejak tadi berusaha menenangkan, namun sepertinya Sekar masih belum bisa menerima kenyataan ini.

Berjam-jam dia menangis, lalu akhirnya tertidur karena kelelahan. Wajahnya pucat dengan mata yang bengkak. 

Ratih memakaikan selimut kemudian keluar dan menutup pintu. Tampak Daksa, sang suami, sedang duduk termenung di depan. 

Sejak pagi hingga kini menjelang gelap,  belum ada hasil sama sekali. Para prajurit bahkan sudah menyisir hingga ke sungai dan sekitar gunung. 

"Gimana, Pak?" tanya Ratih sambil meletakkan secangkir teh manis di di meja. 

"Nihil, Buk. Mereka pintar menutup jejak. Entah kemana Kamandanu dibawa. Kami akan melanjutkan pencarian besok," jawab Daksa.

"Jadi benar diculik?"

"Dugaan sementara seperti itu, Buk."

"Pelakunya?"

"Kemungkinan besar bagian dari perompak yang pernah dia tumpas. Mereka dendam karena ketuanya terbunuh sewaktu penyerangan," jelas Daksa.

Ratih menyimak semua yang dituturkan oleh suaminya. Segala kemungkinan dan harapan untuk menemukan calon menantu mereka dipaparkan secara detail oleh suaminya.

"Kalau begitu kita hanya bisa berpasrah. Semoga memang benar hanya diculik. Jika sampai Kamandanu dibunuh, kasian sekali nasib Sekar. Dia patah hati, Pak."

"Ini suratan takdir dari Tuhan, Buk. Kita hanya bisa menerima. Sekarang tugasmu hanya menguatkan putri kita. Lambat laun dia akan mengerti." 

Lelaki itu menyeruput teh yang uapnya masih mengebul. Teringat pagi tadi saat pondok diketuk dengan keras dan kabar duka itu disampaikan.

Dia sendiri memang berada di pendopo melihat tempat itu dihias hingga tengah malam. Lalu beberapa dari mereka kembali ke pondok masing-masing karena kelelahan dan tertidur selama 2 jam. Sebagian memilih untuk tetap disana dan berjaga-jaga.

Acara pernikahan akan dimulai pagi hari dan dilangsungkan dalam suasana sederhana.

Satu hal yang dicurigai oleh Daksa adalah, mengapa penculik bisa lolos begitu saja dari pemeriksaan. Apakah ada orang dalam yang membantu mereka sehingga jalannya begitu mudah.

Jika iya, siapa? Batin lelaki paruh baya itu menerka. Ada banyak pengantar hadiah yang datang kemarin dengan memakai kereta. Apakah salah satu diantara mereka?

Gerbang sudah dikunci sejak malam. Jika para penculik itu keluar sebelum ditutup, maka harapan mereka tipis. Namun, salah satu pelaku pasti masih berada di dalam karena harus memastikan semua tetap aman sesuai rencana. 

Begitulah dugaannya. 

"Mau kemana, Pak?" tanya Ratih saat melihat suaminya berdiri dan hendak pergi.

"Menghadap panglima baru untuk menyelidiki kasus ini. Aku mencurigai sesuatu," jawabnya.

"Tapi, Pak ..."

"Kamu tetap di rumah. Jaga Sekar. Jika memang pelakunya masih berada di lingkungan keraton, kemungkinan bisa tertangkap."

Daksa berlari menuju pendopo tempat dimana semua orang sedang berkumpul.

***

Disisi lain keraton, tampak seorang lelaki sedang tersenyum senang. Rencana pernikahan itu batal sehingga gadis pujaannya tak jadi dimiliki oleh orang lain.

Wijaya sempat frustasi hingga mengurung diri berhari-hari karena kecewa. Dia bahkan menolak makanan yang disajikan oleh pelayan dan membuat ibu ratu bingung setengah mati. 

Namun, dia tak menyangka jika insiden pencukikan ini terjadi sehingga pernikahan Sekar dan Kamandanu gagal dilangsungkan. 

Melihat situasi yang ada, semangatnya bangkit kembali. Dengan cepat dia datang dan menghadap ibu ratu untuk meminta agar gadis itu ditetapkan sebagai selirnya.

Wijaya tak rela karena dia juga tahu, ada pangeran lain yang sedang mengincar gadisnya. 

"Kamu belum bisa mengambil selir kalau belum menikah, Le," jawab ibu ratu.

Wanita itu sudah menduga jika putranya akan datang dan meminta ini. Dia tahu, Wijaya satu-satunya orang yang tidak terima dengan keputusan Sekar untuk menikah.

Sejak kecil, dia sudah melihat tanda-tanda itu. Wijaya remaja yang sedang kasmaran dan rasa itu jatuh kepada anak kusir kuda.

Hal ini sempat dia diskusikan dengan raja dan diambil keputusan bahwa Wijaya akan dikirim keluar untuk belajar sambil berharap semoga putra mereka bisa melupakan perasaan itu.

Namun ternyata setelah kembali, rasa cinta Wijaya kepada gadis itu semakin dalam. Apalagi Sekar tumbuh sebagai gadis cantik dan sangat menarik perhatian. 

"Aku mencintai Sekar, Bu."

"Ibu tahu tapi kamu harus menikah dengan salah satu putri. Baru bisa mengambil selir."

Lelaki itu tertunduk lesu. Tak ada satu putri yang dia sukai, sekalipun sudah diperkenalkan satu-persatu setelah acara penyambutan kepulangannya.

"Aku ndak bisa menikahi wanita lain. Aku menginginkan Sekar!" ucapnya tegas.

"Dia masih berduka karena calon suaminya menghilang. Kemungkinan tidak akan menerima jika diambil menjadi selir," jelas ibu ratu. 

Memberikan pengertian kepada putranya memang cukup sulit. Wijaya anak yang keras, sehingga kesabaran yang bisa meluluhkannya. 

"Aku tidak perduli ibu. Aku hanya ingin  Sekar menjadi milikku."

"Jangan terburu-buru, Le. Kita akan mengatur rencana. Semua sedang mencari dimana Kamandanu berada. Jika dibunuh, para prajurit sedang berusaha menemukan jenazahnya."

"Aku hanya ingin ibu memastikan. Jika memang dalam satu bulan ini Kamandanu tidak ditemukan, jadikan Sekar sebagai selirku," pintanya memohon.

Ibu ratu menarik napas panjang. Dia taj ingin berjanji apapun karena situasi  sedang sulit.

"Baiklah jika itu memang maumu. Tapi menikahlah dengan salah satu putri. Mereka semua cantik-cantik. Kamu lihat sendiri, kan?"

"Tapi hatiku hanya untuk Sekar!"

Wanita itu mengulum senyum, menarik napas panjang kemudian memikirkan sesuatu sebelum berucap. 

"Setujui dulu untuk memilih putri. Menikahlah sekalipun itu hanya status. Setelah itu, jika Kamandanu tak ditemukan juga, maka kau boleh mengambil Sekar sebagai selir. Jika dia bersedia."

Rasanya ini pilihan yang paling tepat. Mereka sama-sama diuntungkan dengan negosisasi ini.

Wijaya menimbang lama lalu menganggukkan kepala. Dia menyetujui syarat itu dan memilih untuk bersabar. Dalam hatinya berucap, semoga Kamandanu benar-benar tak ditemukan. 

Lelaki itu tersenyum membayangkan tubuh moleh Sekar yang sempat didekapnya waktu itu. Rasanya dia sudah tak sabar ingin memiliki sang pujaan hati. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status