Ceklekkk
Spontan Elena terenyak. Ia bersicepat duduk dari tidurannya. Dan meraih selimut guna menutupi punggungnya yang terbuka, karena saat ini ia hanya menggunakan gaun tipis tanpa lengan.
Pintu dibuka kasar. Lily mendorong Adam masuk meski gelagat Adam sudah persis seperti tahanan, yang menolak keras masuk bui.
Lily sama sekali tak peduli. Malam ini adalah malam pertama Adam. Dan hal itu tidak bisa diganggu gugat.
"Li." Adam merengek.
Lily acuh tak acuh. Ia tutup pintunya dari luar. Bahkan ia juga mengunci pintu itu supaya Adam tidak bisa kabur.
Setelah itu Lily kembali ke kamar. Menghabiskan malam, berteman setumpuk uang dan kekayaan tiada habis tujuh turunan. Sedang Adam tetap mematung seorang diri di depan pintu.
Elena menatap Adam sepintas. Sebuah duka terlukis jelas di wajah pria itu. Elena tau betul, Adam menahan sakit sekaligus marah.
Elena perlahan turun. Membiarkan punggung mulusnya terpampang di mata Adam.
Bagi Adam, saat ini Elena hanyalah orang asing. Mendapati penampilan Elena demikian, Adam spontan membuang wajah. Tak ingin ia meihat bagian tubuh Elena.
Ada sekelumit rasa sakit dalam dada Elena. Namun, sebisa mungkin ia tahan. Bibirnya terus memaksa senyum. Memerintah perempuan itu tetap tegar.
Elena membuka lemari kayu, yang jauh dari kata bagus jika dibandingkan dengan lemari di kamar Lily.
Ia mengeluarkan jaket. Mengenakan jaketnya. Kemudian berdiri sesaat memandang dirinya, di pantulan cermin.
Cantik.
Elena memuji diri sendiri. Tapi kenyataannya memang betul.
Elena sangat cantik. Umur tidak memakan rupanya. Ia terlihat seperti gadis 17 tahunan. Padahal sekarang Elena memasuki usia 26 tahun. Ditambah tubuh Elena lebih langsing ketimbang Lily. Maklum, Elena belum pernah mengandung. Beda dengan Lily.
Sebenarnya ada banyak pria mengantri hanya untuk mendapatkan cinta dari seorang Elena, akan tetapi perempuan itu mengenyahkan mereka semua. Ia justru terpikat akan pesona suami orang.
Apakah Elena berniat menjadi pelakor?
Tentu tidak. Ia hanya betul-betul masih mencintai Adam. Dan ternyata takdir membuat mereka bersatu kendati caranya ekstrim.
"Kau tidur di kasur, biar aku di bawah," ucap Adam setelah menghabiskan menit demi menit hanya untuk bungkam.
Belum juga Elena menjawab. Adam sudah cepat menggelar tikar. Mengambil bantal. Lalu, merebahkan diri memunggungi posisi tempat tidur.
Biarpun Elena tau ia akan ditolak, tetapi ia tidak mau menyerah. Ia berbalik. Ia menghampiri Adam.
Wangi.
Semerbak aroma vanila menyeruak hidung Adam. Ia yang terpejam sempat menikmati aroma itu.
Jujur, vanilla adalah aroma kesukaan Adam. Entah Elena biasa menggunakan aroma itu atau sekedar ingin menarik perhatian Adam.
"Mas, jangan tidur di bawah," minta Elena.
Adam bergumam. Tak ada niat membalas atau mengikuti kemauan perempuan itu.
"Mas, tidur di atas saja, yuk," ajak Elena.
Adam menggeleng. Matanya terpejam rapat. Seolah-olah sengaja agar tidak melihat wajah atau bahkan bayangan Elena.
"Mas ..." Suara Elena mulai pelan. Antara ingin menangis tapi ia tahan.
"Sudahlah, jangan ganggu aku. Sudah malam juga. Kau kembali ke tempat tidurmu." Perintah Adam agak emosi.
Elena menggigit bibirnya. Ia meremas-remas gaun berbahan satin itu. Lantas, berangsur berdiri dan mengayun langkah.
Dalam satu ruangan itu. Sepasang pengantin baru harusnya memadu kasih. Tapi tidak dengan mereka. Keduanya sama sekali tak bersentuhan. Jangankan bersentuhan, dekat pun tidak.
Adam memunggungi Elena, dan Elena menghadap Adam.
Terus seperti itu hingga malam demi malam mereka lalui.
Sampai satu pekan berlalu. Giliran Adam tidur bersama Lily. Adam sudah sangat bahagia, terlukis jelas di wajahnya yang tampan.
Hal itu disadari Elena. Elena cemburu. Bukan pada Lily, melainkan pada sikap Adam.
"Mas, aku janji. Suatu saat kau pasti akan begitu juga padaku," batin Elena.
***
Keesokannya harinya.
Suasana rumah diramaikan dengan tangisan Vino yang ingin dimandikan sang ibu. Namun, sang ibu enggan. Alasannya ia sibuk mengurus diri, karena sebentar lagi ia berangkat kantor.
Vino kesal. Vino menangis meraung-raung Adam juga tak mampu menghentikan tangisan Vino.
"Sudahlah, Li. Apa susahnya kau memandikan Vino sebentar," minta Adam.
Lily yang sedang bercermin, berbalik melotot sebal. "Mas tidak lihat? Aku sibuk berdandan. Supir lagi nunggu. Lagian cuman mandi, 'kan? Tuh, si Elena bisa. Jangan biarkan Elena nganggur."
"Ly! Kamu ibunya. Masa kamu---"
Lily langsung memotong. "Sttt! Elena sekarang sudah menjadi ibu Vino juga. Ajarkan Vino mengenal Elena!!"
Elena yang mendengar percekcokan ereka dari luar terdiam. Ia menghela nafas pelan. Lalu, memberanikan diri memasuki kamar Lily.
"Hey, jagoan." Begitu sumringah Elena menggendong Vino.
Tangisan Vino semakin keras. Ia belum terbiasa dengan Elena.
"Cup, cup, cup, jangan nangis, dong. Katanya mau mandi, ibu punya bebek-bebekan banyak, lohhh," rayu Elena.
Lily tersenyum, sedang Adam diam menatap dingin.
"Elena, tolong kamu sekalian jaga Vino, yah. Kan aku mau ngantor," pinta Lily.
"Oke," jawab Elena tanpa beban sedikit pun.
Elena membwa Vino keluar, menuruni anak tangga sambil sesekali menenangkan tangisan Vino.
Meski sulit tapi akhirnya sedikit demi sedikit tangisan Vino meredam.
Lily tidak mendengar suara tangisan Vino lagi. Ia tersenyum lebar seraya mencebikkan bibir pada Adam.
"Tuh, Elena bisa menenangkan Vino. Cocok jadi ibu sambung."
Adam hanya menggeleng. Kemudian beringsut pergi tanpa ada niatan mau ke mana.
"Mas! Nanti aku pulang agak sore. Tolong kamu bantu Elena masak, yah!" teriak Lily.
Adam pura-pura tuli. Biar saja nanti Elena masak sendiri. Salah siapa mau disuruh-suruh Lily. Seakan Lily majikan, dan Elena pembantu.
Tak berselang lama.
Elena membawa Vino keluar dari kamar mandi. Bocah itu membawa bebek mandi milik Elena. Ia tersenyum riang memainkan bebek-bebekan tersebut.
"Tunggu di sini, yah. Ibu ambil pakaian kamu dulu," pesan Elena.
Vino kecil angguk-angguk. Ia serius sekali beramin bebek-bebekan kecil nan menggemaskan itu.
Elena naik ke lantai dua. Pergi ke kamar Lily, hendak mengambil baju beserta minyak telon.
Tiba-tiba ...
Bulan keempat setelah mereka meninggalkan rumah Lily. Cuaca cerah saat Adam dan Elena berdiri di depan rumah kontrakan baru mereka—rumah tipe 36 dengan pagar besi sederhana dan cat tembok warna krem. Tidak luas, tapi bersih dan rapi, terletak di sebuah komplek perumahan sederhana di pinggir kota, cukup tenang, cukup ramah untuk anak-anak. Adam membuka pagar sambil tersenyum kecil. “Resmi jadi warga RT 05, Bu Elena,” katanya sambil menoleh ke istrinya. Elena tertawa, menggandeng tangan Vino yang sedang membawa boneka dinosaurus kesayangannya. “Ayo, Nak. Rumah baru kita.” Begitu masuk, Vino langsung berlari ke ruangan tengah yang belum berisi banyak barang. Hanya ada satu sofa kecil dan tikar gulung. “Bisa main bola di sini!” teriaknya riang. Elena menatap Adam. “Nggak nyangka, ya. Empat bulan lalu kita cuma punya satu kasur tipis dan dua koper.” Adam memeluk bahunya. “Dan sekarang kita punya ruang untuk tumbuh.” Malam itu mereka makan malam seadanya—nasi goreng buatan El
Langit belum sepenuhnya biru ketika Adam mengayuh motornya menuju kedai kopi kecil yang ia miliki sejak beberapa waktu lalu, tepatnya atas bantuan Elena.Di dalam kedai, dua barista muda sedang sibuk mengelap meja dan mempersiapkan mesin espresso.Adam masuk, disambut aroma kuat biji kopi yang baru digiling.“Pagi, Mas Adam,” sapa salah satu karyawannya, Rio, ramah.Adam mengangguk, menggulung lengan kemejanya. “Mulai hari ini aku ikut turun tangan. Bukan cuma jadi bos yang duduk lihat angka.”Rio terkejut sejenak. “Serius, Mas?”Adam tersenyum. “Serius. Ajari aku bikin cappuccino yang bener. Aku harus bisa, Rio.”Dan pagi itu, Adam berdiri di belakang bar. Tangannya sempat kaku saat menuang susu ke dalam espresso, tapi ia tak menyerah. Berkali-kali gagal, tapi dia terus mencoba. Busa terlalu tebal, rasanya pahit, latte art-nya berantakan—tapi Adam tetap tersenyum.Setiap pelanggan yang datang pagi itu dibuat heran melihat sang pemilik turun langsung melayani. Ada yang memotret diam-d
Vino sudah pulang. Di atas tempat tidur kecilnya, bocah itu masih lemah tapi tersenyum bahagia karena bisa kembali ke rumah. Di sisi tempat tidur, Elena mengganti selimutnya pelan-pelan, memastikan tidak ada angin masuk dari jendela. Adam menyalakan diffuser di sudut ruangan, memeriksa suhu ruangan agar tidak terlalu dingin.“Aku senang bisa tidur di rumah lagi,” gumam Vino dengan mata setengah terpejam.Elena tersenyum, mengecup dahinya. “Tidurlah, sayang. Besok kita bangun pagi, lihat burung dari jendela bareng-bareng, ya?”Adam mendekat, menyentuh kepala putranya lembut. “Ayah di sini, Nak.”Tak lama kemudian, suara langkah terdengar di luar kamar.“Adam, Elena. Ke ruang keluarga. Sekarang,” suara Lily terdengar tajam, tidak bisa ditawar.Adam dan Elena saling pandang tanpa sepatah kata pun.“Ayah keluar dulu, yah, kamu tidur dengan nyenyak,” kata Adam, menunduk dan mengecup kening Vino yang mulai ngantuk karena beberapa waktu lalu minum obat. Dan tak berselang lama usai Vino terti
Langit mulai meredup, senja menggantung di balik kaca jendela ruang rawat. Cahaya keemasan menerpa wajah kecil Vino yang tengah tertidur, pelan-pelan, napasnya tenang. Di sisi tempat tidur, Elena duduk sambil membacakan buku cerita dinosaurus yang tadi siang ia bawa.Sesekali ia berhenti, mengelus dahi Vino lembut.“Tidurlah, nak. Tante jaga kamu.”Adam berdiri di ambang pintu. Pandangannya jatuh ke wajah Vino, lalu ke Elena. Sekilas, dunia di ruangan itu terasa damai. Tapi tidak di dalam dirinya.“El,” panggilnya pelan.Elena menoleh. “Hmm?”“Aku keluar sebentar. Mau bicara sama Lily.”Elena mengangguk. Tak perlu banyak kata. Ia tahu, inilah saatnya.Di area parkir rumah sakit.Suara mesin kendaraan dan langkah-langkah tergesa terdengar di kejauhan. Di bawah pohon besar di sudut parkir, Adam duduk dengan pikiran kacau tapi kemantapan sepenuhnya menyelimuti dada. Tak lama, Lily datang. Tumit sepatunya beradu dengan lantai beton, kaku, tergesa, dingin.“Ada apa?” tanyanya tajam, "aku b
Rumah Sakit – Pagi HariRuangan masih diselimuti cahaya temaram saat Adam membuka tirai jendela perlahan. Di atas ranjang, Vino mulai menggeliat. Napasnya lebih teratur. Warnanya tak sepucat semalam.Adam duduk di sisi tempat tidur, tangan besarnya menggenggam tangan kecil Vino dengan erat.Lily belum datang, dia sebelumnya mengirim pesan.“Aku harus ke kantor pagi ini. Ada hal yang harus diselesaikan. Aku ke rumah sakit siang nanti.”Adam hanya membaca, lalu mengunci layar ponselnya. Tidak ada balasan. Tidak perlu. Hatinya sudah cukup penuh oleh banyak hal yang lebih penting dari penjelasan seadanya.Ia mengusap rambut Vino, pelan, dan menunduk dekat ke telinga anak itu.“Papa di sini, Vin. Kamu nggak sendiri.”Dan seolah mendengar, mata Vino perlahan terbuka. Masih lemah, tapi ia tersenyum tipis.“Papa,” gumamnya.Adam menahan napas sejenak sebelum menjawab, “Iya, sayang. Papa di sini.”Beberapa saat berselang.Langkah ringan terdengar di lorong. Aroma makanan hangat bercampur wangi
Elena terdiam beberapa saat setelah Adam mengucapkan kata-kata itu."El, dibandingkan denganku, kamu lebih cocok bersama pria itu."Ia tidak langsung menjawab. Hanya menatap Adam dengan sorot yang sulit ditebak—antara tersentuh dan terluka.Namun, dalam hatinya... ada sesuatu yang hangat. Cemburu. Akhirnya Adam merasakannya juga. Akhirnya, lelaki itu menyadari keberadaannya... dan takut kehilangannya.Itu cukup. Untuk malam ini, itu cukup.Mereka duduk kembali. Dua cangkir di atas meja, satu berisi teh hangat yang hampir habis, satu lagi kopi hitam yang mulai mendingin.Tak ada perbincangan. Hanya diam. Tapi bukan diam yang hampa. Ada ribuan kata tak terucap yang beterbangan di udara, membentuk ruang hening yang... anehnya nyaman.Setelah beberapa saat, Elena melirik jam tangannya dan berdiri."Aku pulang dulu," katanya singkat.Adam mengangguk, ikut berdiri."Aku juga harus kembali ke rumah sakit."Mereka berjalan keluar bersamaan, lalu berpisah di trotoar, tanpa ucapan panjang, tanp