Home / Romansa / Selling My Husband / Perubahan Kehidupan

Share

Perubahan Kehidupan

Author: Zhang A Yu
last update Last Updated: 2021-09-08 16:47:48

Tiba-tiba tangisan Vino memecah kesunyian nan kehampaan rumah besar itu.

Huaaa …

Elena panik bukan main. Sembari membawa minyak telon dan baju ia berlari-lari meninggalkan kamar. Begitu juga dengan Lily dan Adam yang saling tatap tapi kemudian Lily tak peduli sementara Adam ikut berlari keluar.

Adam baru saja akan menuruni anak tangga, tetapi langkahnya dibuat terhenti kala ia melihat Elena yang acak adul setengah berdiri di hadapan Vino.

Perempuan itu mengusap-usap pipi Vino, menciumi punggung tangannya dan berulang kali mengatakan maaf.

"Maafkan ibu, yah, maaf. Ibu terlalu lama, yah, sampai Vino bosan dan turun sendiri. Apa masih sakit, hum?"

Vino menggeleng. Tangisannya tadi hanya keras sesaat. Setelah elena datang. Kemudian menenangkan bocah itu, kini ia tak merasakan apapun lagi.

"Ayo."

Dilanjut Elena membopong bocah itu. Mendudukan nya kembali ke sofa semula. Sedikit demi sedikit dan hati-hati ia mulai mendandani Vino  selayaknya anak kecil.

Dari atas, Adam terus memperhatikan mereka atau lebih tepatnya memperhatikan Elena.

Tidak tau hanya perasaan Adam atau bagaimana; yang jelas Adam menemukan ketulusan di wajah Elana. Tulus merawat Vino, bukan hanya karena Vino anak sambungnya tapi Elena yang betul-betul menganggap Vino anak sendiri.

"Apa aku berdosa sudah tidak adil padanya?" batin Adam. Ia berpikir keras. Hanya saja saat ini ia belum menemukan titik baik. Ia masih tidak terima dengan kebodohan wanita itu yang menukar seluruh hartanya hanya untuk menikahi Adam.

"Bodoh!" kata Adam sebelum berbalik; hendak ke kamar.

Lily selesai dandan. Ia cantik dengan make-up tebal dan gaya pakaian ala pekerja kantor.

Ya, selama satu pekan ini dandanan Lily seperti itu. Adam yang dulunya tidak terbiasa, sekarang sudah mulai menerima. Kadang kala ia tersenyum karena Lily bisa bahagia tapi kadang kala juga ia sakit hati atas sikap Lily yang sudah berubah hampir 95%.

Kendati demikian, Adam tak juga membuang rasa cintanya untuk wanita itu. Perasaan Adam belum berubah. Dan mungkin akan tetap sama. Mungkin!

***

Waktu bergulir cepat.

Hari berganti hari. Lily kian sibuk dengan urusan perusahaan. Elena sibuk mengurus rumah dan Vino. Sedangkan Adam diberi modal membuat usaha kecil-kecilan. Syukurlah usahanya lancar selama dua pekan ini. Ditambah ia menggunakan jasa karyawan atas saran Lily. Jadi Adam cukup memantau atau sesekali turut bergabung.

Selama di rumah Adam memperhatikan gerak-gerik Elena. Dimulai dari pagi buta sampai sore hari, perempuan itu sibuk sekali hingga sepertinya ia tidak punya waktu me time.

Muncul rasa kasihan pada Elena. Sekedar kasihan. Jadi acap kali Adam bangun lebih pagi untuk memasak. Masakannya enak. Lily suka tiap kali Adam masak.

***

Minggu ini jadual Adam tidur dengan Elena. Tapi seperti yang sudah-sudah. Adam tidak akan satu kasur dengan perempuan itu. Dan malam lalu, Adam memilih tidur di sofa sendirian. Tanpa selimut atau tanpa bantal. Ketika Elena memberikannya. Adam menolak. Jadi Elena bisa apa selain pasrah?

Biasanya, ketika Elena bangun, Adam masih terlelap. Dengan begitulah Elena diam-diam memandang Adam, memperhatikan setiap inci tubuh pria itu, mengukir senyum karena pada akhirnya bisa berada di dekat Adam dan menjadi istrinya walau … ya sudahlah. Akan terlalu muak jika terus diulang.

Berbeda pagi ini. Elena tidak menemukan Adam di sofa. Di ruang televisi juga tidak ada. Terbesit pikiran negatif. Elena mengira Adam tidur bersama Lily. Ia kecewa tapi hanya bisa meredam dengan senyum.

Lalu, Elena melanjutkan langkahnya menuju dapur. Tapi dari kejauhan ia mendengar suara gaduh khas pertemuan spatula dan wajan.

Elena panik. Ia mengira itu adalah maling, karena sekarang masih pagi buta. Bisa saja ada maling kesiangan.

Tanpa pikir panjang, perempuan itu secara asal mengambil sapu. Ia angkat tinggi-tinggi. Ia berjalan mengendap-endap memasuki dapur dan …

Ya!

Seorang pria berkaos hitam tengah jongkok menghadap lemari es. Kedua tangannya masuk ke lemari es itu. Mencari-cari sesuatu, entah apa.

"Mas Adam!!!" Elena terperangah.

Adam spontan menoleh dengan mulut menggigit sosis. Matanya membulat. Adam pun sama terkejutnya.

"Mas Adam …" Elena melirik kompor. Panci presto bertengger dengan api kecil. Juga wajan yang isinya sayur sop.

"Mas Adam … kenapa harus masak? Masih ada Elena. Elena bisa masak, kok," kata Elena dengan wajah merasa bersalah kayak habis ketahuan mencuri. Ya kebalik kali.

Pipi Adam merona. Ia malu. Ia pun beringsut bangun; mengunyah sisa sosisnya.

Satu bulan telah berlalu. Sikap Adam belum berubah. Masih kaku dan dingin pada Elena. "Anggap saja aku sedang baik."

Mata Elena berkaca-kaca. Ia hanya ingin mempersenang hatinya. Ia menebak-nebak jika Adam sebenarnya kasihan pada Elena, jadi ia rela bangun lebih pagi dari Elena lalu membuat sarapan.

"Aku mencintaimu, mas," batin Elena.

"Mau apa kau kesini? Tidak ada kerjaan untukmu. Kembali ke kamar saja sana!" usir Adam. Namun, sebenarnya bukan mengusir melainkan meminta Elena tetap di kamar untuk istirahat, karena beberapa jam lagi kesibukan akan ia mulai. Dan pastinya ia tidak punya waktu banyak untuk istirahat.

"Mas … terima kasih."

"Jangan pede. Aku hanya iseng," ketus Adam.

Elena tersenyum. Anggapan perempuan itu, Adam sedang berbohong. 

***

Semua anggota keluarga sudah berkumpul. Adam duduk di kursi kepala keluarga. Lily di sisi kanannya, Vino di sebelah Lily persis. Dan Elena di sebelah kiri Adam.

Mulut mereka dipenuhi makanan. Mengunyah setiap gigitan yang nikmat tiada tanding.

Selesai makan, Lily membuka suara. "Masakan kamu, yah, mas?"

Adam mengangguk.

"Pantesan. Enak."

Adam suka pujian itu. Sekilas ia melirik Elena. Wajahnya tampak murung. Mungkin Elena mengira Lily menganggap masakan Elena tidak seenak masakan Adam.

"Mas, nanti teman-teman aku pada datang. Mas dandan yang gagah, yah, jangan kumel. Ya walaupun bagaimanapun bentuknya mas tetap ganteng, sih, he he."

Adam angguk-angguk sekali lagi.

"Oh, iya. Elena. Kamu juga nanti mending jangan menunjukkan diri. Ya … meskipun teman-teman ku tau bagaimana pertukaran kita tapi aku tidak mau teman-teman ku sampai banyak tanya sama kamu. Maklum, mereka kebanyakan orang kampung tapi nikah sama orang kaya semua, jadi agak cerewet."

Oh, sial. Lily tidak bercermin. Ia sendiri termasuk rewel minta ampun.

Elena mengulas senyum. Sama dengan Adam. Ia hanya mengangguk.

Lily lantas menyambar tas juga ponselnya, yang dari tadi kelap-kelip terus layarnya karena pesan membrondong masuk.

"Aku berangkat dulu. Bye." Lily pamit. Ia mengecup pipi Adam dan Vino, juga melambai pada Elena.

***

Semua bekas makanan sudah dibersihkan. Elena berniat membawa Vino bermain di luar. Mendadak Adam setengah berlari menuruni anak tangga dengan memanggil Elena.

"Elena …"

Elena berbalik. "Iya?"

"Mau ke mana?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selling My Husband   Hari Semakin cerah.

    Bulan keempat setelah mereka meninggalkan rumah Lily. Cuaca cerah saat Adam dan Elena berdiri di depan rumah kontrakan baru mereka—rumah tipe 36 dengan pagar besi sederhana dan cat tembok warna krem. Tidak luas, tapi bersih dan rapi, terletak di sebuah komplek perumahan sederhana di pinggir kota, cukup tenang, cukup ramah untuk anak-anak. Adam membuka pagar sambil tersenyum kecil. “Resmi jadi warga RT 05, Bu Elena,” katanya sambil menoleh ke istrinya. Elena tertawa, menggandeng tangan Vino yang sedang membawa boneka dinosaurus kesayangannya. “Ayo, Nak. Rumah baru kita.” Begitu masuk, Vino langsung berlari ke ruangan tengah yang belum berisi banyak barang. Hanya ada satu sofa kecil dan tikar gulung. “Bisa main bola di sini!” teriaknya riang. Elena menatap Adam. “Nggak nyangka, ya. Empat bulan lalu kita cuma punya satu kasur tipis dan dua koper.” Adam memeluk bahunya. “Dan sekarang kita punya ruang untuk tumbuh.” Malam itu mereka makan malam seadanya—nasi goreng buatan El

  • Selling My Husband   Membuka Lembaran Baru.

    Langit belum sepenuhnya biru ketika Adam mengayuh motornya menuju kedai kopi kecil yang ia miliki sejak beberapa waktu lalu, tepatnya atas bantuan Elena.Di dalam kedai, dua barista muda sedang sibuk mengelap meja dan mempersiapkan mesin espresso.Adam masuk, disambut aroma kuat biji kopi yang baru digiling.“Pagi, Mas Adam,” sapa salah satu karyawannya, Rio, ramah.Adam mengangguk, menggulung lengan kemejanya. “Mulai hari ini aku ikut turun tangan. Bukan cuma jadi bos yang duduk lihat angka.”Rio terkejut sejenak. “Serius, Mas?”Adam tersenyum. “Serius. Ajari aku bikin cappuccino yang bener. Aku harus bisa, Rio.”Dan pagi itu, Adam berdiri di belakang bar. Tangannya sempat kaku saat menuang susu ke dalam espresso, tapi ia tak menyerah. Berkali-kali gagal, tapi dia terus mencoba. Busa terlalu tebal, rasanya pahit, latte art-nya berantakan—tapi Adam tetap tersenyum.Setiap pelanggan yang datang pagi itu dibuat heran melihat sang pemilik turun langsung melayani. Ada yang memotret diam-d

  • Selling My Husband   Terusir Dari Rumah Sendiri.

    Vino sudah pulang. Di atas tempat tidur kecilnya, bocah itu masih lemah tapi tersenyum bahagia karena bisa kembali ke rumah. Di sisi tempat tidur, Elena mengganti selimutnya pelan-pelan, memastikan tidak ada angin masuk dari jendela. Adam menyalakan diffuser di sudut ruangan, memeriksa suhu ruangan agar tidak terlalu dingin.“Aku senang bisa tidur di rumah lagi,” gumam Vino dengan mata setengah terpejam.Elena tersenyum, mengecup dahinya. “Tidurlah, sayang. Besok kita bangun pagi, lihat burung dari jendela bareng-bareng, ya?”Adam mendekat, menyentuh kepala putranya lembut. “Ayah di sini, Nak.”Tak lama kemudian, suara langkah terdengar di luar kamar.“Adam, Elena. Ke ruang keluarga. Sekarang,” suara Lily terdengar tajam, tidak bisa ditawar.Adam dan Elena saling pandang tanpa sepatah kata pun.“Ayah keluar dulu, yah, kamu tidur dengan nyenyak,” kata Adam, menunduk dan mengecup kening Vino yang mulai ngantuk karena beberapa waktu lalu minum obat. Dan tak berselang lama usai Vino terti

  • Selling My Husband   Seperti Boom Waktu.

    Langit mulai meredup, senja menggantung di balik kaca jendela ruang rawat. Cahaya keemasan menerpa wajah kecil Vino yang tengah tertidur, pelan-pelan, napasnya tenang. Di sisi tempat tidur, Elena duduk sambil membacakan buku cerita dinosaurus yang tadi siang ia bawa.Sesekali ia berhenti, mengelus dahi Vino lembut.“Tidurlah, nak. Tante jaga kamu.”Adam berdiri di ambang pintu. Pandangannya jatuh ke wajah Vino, lalu ke Elena. Sekilas, dunia di ruangan itu terasa damai. Tapi tidak di dalam dirinya.“El,” panggilnya pelan.Elena menoleh. “Hmm?”“Aku keluar sebentar. Mau bicara sama Lily.”Elena mengangguk. Tak perlu banyak kata. Ia tahu, inilah saatnya.Di area parkir rumah sakit.Suara mesin kendaraan dan langkah-langkah tergesa terdengar di kejauhan. Di bawah pohon besar di sudut parkir, Adam duduk dengan pikiran kacau tapi kemantapan sepenuhnya menyelimuti dada. Tak lama, Lily datang. Tumit sepatunya beradu dengan lantai beton, kaku, tergesa, dingin.“Ada apa?” tanyanya tajam, "aku b

  • Selling My Husband   Memilih.

    Rumah Sakit – Pagi HariRuangan masih diselimuti cahaya temaram saat Adam membuka tirai jendela perlahan. Di atas ranjang, Vino mulai menggeliat. Napasnya lebih teratur. Warnanya tak sepucat semalam.Adam duduk di sisi tempat tidur, tangan besarnya menggenggam tangan kecil Vino dengan erat.Lily belum datang, dia sebelumnya mengirim pesan.“Aku harus ke kantor pagi ini. Ada hal yang harus diselesaikan. Aku ke rumah sakit siang nanti.”Adam hanya membaca, lalu mengunci layar ponselnya. Tidak ada balasan. Tidak perlu. Hatinya sudah cukup penuh oleh banyak hal yang lebih penting dari penjelasan seadanya.Ia mengusap rambut Vino, pelan, dan menunduk dekat ke telinga anak itu.“Papa di sini, Vin. Kamu nggak sendiri.”Dan seolah mendengar, mata Vino perlahan terbuka. Masih lemah, tapi ia tersenyum tipis.“Papa,” gumamnya.Adam menahan napas sejenak sebelum menjawab, “Iya, sayang. Papa di sini.”Beberapa saat berselang.Langkah ringan terdengar di lorong. Aroma makanan hangat bercampur wangi

  • Selling My Husband   Terlalu Serakah.

    Elena terdiam beberapa saat setelah Adam mengucapkan kata-kata itu."El, dibandingkan denganku, kamu lebih cocok bersama pria itu."Ia tidak langsung menjawab. Hanya menatap Adam dengan sorot yang sulit ditebak—antara tersentuh dan terluka.Namun, dalam hatinya... ada sesuatu yang hangat. Cemburu. Akhirnya Adam merasakannya juga. Akhirnya, lelaki itu menyadari keberadaannya... dan takut kehilangannya.Itu cukup. Untuk malam ini, itu cukup.Mereka duduk kembali. Dua cangkir di atas meja, satu berisi teh hangat yang hampir habis, satu lagi kopi hitam yang mulai mendingin.Tak ada perbincangan. Hanya diam. Tapi bukan diam yang hampa. Ada ribuan kata tak terucap yang beterbangan di udara, membentuk ruang hening yang... anehnya nyaman.Setelah beberapa saat, Elena melirik jam tangannya dan berdiri."Aku pulang dulu," katanya singkat.Adam mengangguk, ikut berdiri."Aku juga harus kembali ke rumah sakit."Mereka berjalan keluar bersamaan, lalu berpisah di trotoar, tanpa ucapan panjang, tanp

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status