Share

Perubahan Kehidupan

Tiba-tiba tangisan Vino memecah kesunyian nan kehampaan rumah besar itu.

Huaaa …

Elena panik bukan main. Sembari membawa minyak telon dan baju ia berlari-lari meninggalkan kamar. Begitu juga dengan Lily dan Adam yang saling tatap tapi kemudian Lily tak peduli sementara Adam ikut berlari keluar.

Adam baru saja akan menuruni anak tangga, tetapi langkahnya dibuat terhenti kala ia melihat Elena yang acak adul setengah berdiri di hadapan Vino.

Perempuan itu mengusap-usap pipi Vino, menciumi punggung tangannya dan berulang kali mengatakan maaf.

"Maafkan ibu, yah, maaf. Ibu terlalu lama, yah, sampai Vino bosan dan turun sendiri. Apa masih sakit, hum?"

Vino menggeleng. Tangisannya tadi hanya keras sesaat. Setelah elena datang. Kemudian menenangkan bocah itu, kini ia tak merasakan apapun lagi.

"Ayo."

Dilanjut Elena membopong bocah itu. Mendudukan nya kembali ke sofa semula. Sedikit demi sedikit dan hati-hati ia mulai mendandani Vino  selayaknya anak kecil.

Dari atas, Adam terus memperhatikan mereka atau lebih tepatnya memperhatikan Elena.

Tidak tau hanya perasaan Adam atau bagaimana; yang jelas Adam menemukan ketulusan di wajah Elana. Tulus merawat Vino, bukan hanya karena Vino anak sambungnya tapi Elena yang betul-betul menganggap Vino anak sendiri.

"Apa aku berdosa sudah tidak adil padanya?" batin Adam. Ia berpikir keras. Hanya saja saat ini ia belum menemukan titik baik. Ia masih tidak terima dengan kebodohan wanita itu yang menukar seluruh hartanya hanya untuk menikahi Adam.

"Bodoh!" kata Adam sebelum berbalik; hendak ke kamar.

Lily selesai dandan. Ia cantik dengan make-up tebal dan gaya pakaian ala pekerja kantor.

Ya, selama satu pekan ini dandanan Lily seperti itu. Adam yang dulunya tidak terbiasa, sekarang sudah mulai menerima. Kadang kala ia tersenyum karena Lily bisa bahagia tapi kadang kala juga ia sakit hati atas sikap Lily yang sudah berubah hampir 95%.

Kendati demikian, Adam tak juga membuang rasa cintanya untuk wanita itu. Perasaan Adam belum berubah. Dan mungkin akan tetap sama. Mungkin!

***

Waktu bergulir cepat.

Hari berganti hari. Lily kian sibuk dengan urusan perusahaan. Elena sibuk mengurus rumah dan Vino. Sedangkan Adam diberi modal membuat usaha kecil-kecilan. Syukurlah usahanya lancar selama dua pekan ini. Ditambah ia menggunakan jasa karyawan atas saran Lily. Jadi Adam cukup memantau atau sesekali turut bergabung.

Selama di rumah Adam memperhatikan gerak-gerik Elena. Dimulai dari pagi buta sampai sore hari, perempuan itu sibuk sekali hingga sepertinya ia tidak punya waktu me time.

Muncul rasa kasihan pada Elena. Sekedar kasihan. Jadi acap kali Adam bangun lebih pagi untuk memasak. Masakannya enak. Lily suka tiap kali Adam masak.

***

Minggu ini jadual Adam tidur dengan Elena. Tapi seperti yang sudah-sudah. Adam tidak akan satu kasur dengan perempuan itu. Dan malam lalu, Adam memilih tidur di sofa sendirian. Tanpa selimut atau tanpa bantal. Ketika Elena memberikannya. Adam menolak. Jadi Elena bisa apa selain pasrah?

Biasanya, ketika Elena bangun, Adam masih terlelap. Dengan begitulah Elena diam-diam memandang Adam, memperhatikan setiap inci tubuh pria itu, mengukir senyum karena pada akhirnya bisa berada di dekat Adam dan menjadi istrinya walau … ya sudahlah. Akan terlalu muak jika terus diulang.

Berbeda pagi ini. Elena tidak menemukan Adam di sofa. Di ruang televisi juga tidak ada. Terbesit pikiran negatif. Elena mengira Adam tidur bersama Lily. Ia kecewa tapi hanya bisa meredam dengan senyum.

Lalu, Elena melanjutkan langkahnya menuju dapur. Tapi dari kejauhan ia mendengar suara gaduh khas pertemuan spatula dan wajan.

Elena panik. Ia mengira itu adalah maling, karena sekarang masih pagi buta. Bisa saja ada maling kesiangan.

Tanpa pikir panjang, perempuan itu secara asal mengambil sapu. Ia angkat tinggi-tinggi. Ia berjalan mengendap-endap memasuki dapur dan …

Ya!

Seorang pria berkaos hitam tengah jongkok menghadap lemari es. Kedua tangannya masuk ke lemari es itu. Mencari-cari sesuatu, entah apa.

"Mas Adam!!!" Elena terperangah.

Adam spontan menoleh dengan mulut menggigit sosis. Matanya membulat. Adam pun sama terkejutnya.

"Mas Adam …" Elena melirik kompor. Panci presto bertengger dengan api kecil. Juga wajan yang isinya sayur sop.

"Mas Adam … kenapa harus masak? Masih ada Elena. Elena bisa masak, kok," kata Elena dengan wajah merasa bersalah kayak habis ketahuan mencuri. Ya kebalik kali.

Pipi Adam merona. Ia malu. Ia pun beringsut bangun; mengunyah sisa sosisnya.

Satu bulan telah berlalu. Sikap Adam belum berubah. Masih kaku dan dingin pada Elena. "Anggap saja aku sedang baik."

Mata Elena berkaca-kaca. Ia hanya ingin mempersenang hatinya. Ia menebak-nebak jika Adam sebenarnya kasihan pada Elena, jadi ia rela bangun lebih pagi dari Elena lalu membuat sarapan.

"Aku mencintaimu, mas," batin Elena.

"Mau apa kau kesini? Tidak ada kerjaan untukmu. Kembali ke kamar saja sana!" usir Adam. Namun, sebenarnya bukan mengusir melainkan meminta Elena tetap di kamar untuk istirahat, karena beberapa jam lagi kesibukan akan ia mulai. Dan pastinya ia tidak punya waktu banyak untuk istirahat.

"Mas … terima kasih."

"Jangan pede. Aku hanya iseng," ketus Adam.

Elena tersenyum. Anggapan perempuan itu, Adam sedang berbohong. 

***

Semua anggota keluarga sudah berkumpul. Adam duduk di kursi kepala keluarga. Lily di sisi kanannya, Vino di sebelah Lily persis. Dan Elena di sebelah kiri Adam.

Mulut mereka dipenuhi makanan. Mengunyah setiap gigitan yang nikmat tiada tanding.

Selesai makan, Lily membuka suara. "Masakan kamu, yah, mas?"

Adam mengangguk.

"Pantesan. Enak."

Adam suka pujian itu. Sekilas ia melirik Elena. Wajahnya tampak murung. Mungkin Elena mengira Lily menganggap masakan Elena tidak seenak masakan Adam.

"Mas, nanti teman-teman aku pada datang. Mas dandan yang gagah, yah, jangan kumel. Ya walaupun bagaimanapun bentuknya mas tetap ganteng, sih, he he."

Adam angguk-angguk sekali lagi.

"Oh, iya. Elena. Kamu juga nanti mending jangan menunjukkan diri. Ya … meskipun teman-teman ku tau bagaimana pertukaran kita tapi aku tidak mau teman-teman ku sampai banyak tanya sama kamu. Maklum, mereka kebanyakan orang kampung tapi nikah sama orang kaya semua, jadi agak cerewet."

Oh, sial. Lily tidak bercermin. Ia sendiri termasuk rewel minta ampun.

Elena mengulas senyum. Sama dengan Adam. Ia hanya mengangguk.

Lily lantas menyambar tas juga ponselnya, yang dari tadi kelap-kelip terus layarnya karena pesan membrondong masuk.

"Aku berangkat dulu. Bye." Lily pamit. Ia mengecup pipi Adam dan Vino, juga melambai pada Elena.

***

Semua bekas makanan sudah dibersihkan. Elena berniat membawa Vino bermain di luar. Mendadak Adam setengah berlari menuruni anak tangga dengan memanggil Elena.

"Elena …"

Elena berbalik. "Iya?"

"Mau ke mana?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status