Share

Aku Istrimu

Author: Zhang A Yu
last update Last Updated: 2021-05-02 12:43:47

Biarpun Elena lahir dari keluarga berkecukupan juga selalu dilayani para pelayan, tetapi bukan berarti Elena si anak manja yang tidak bisa melakukan pekerjaan rumah atau hanya bisa masak air.

Hidup mandiri sedari ia lulus SMA memaksa Elena melakukan segala hal seorang diri. Ia belajar memasak, membersihkan rumah, mencuci baju, menyetrika dan pekerjaan ibu rumah tangga lain.

Bahkan ketika sakit, Elena terbiasa membuat obat sendiri. Misal wedang jahe yang sekarang sedang ia buat.

Trik itu diajarkan nenek Elena sewaktu neneknya yang dari kota keraton tinggal di rumah.

Banyak yang nenek ajarkan pada Elena. Namun, Elena hanya menangkap beberapa hal saja. Salah satunya membuat wedang jahe beserta cara mengatasi orang sakit.

Sepuluh menit telah berlalu. Wedang jahe buatan Elena telah selesai. Ia menuangkannya ke dalam cangkir keramik. Kemudian ia bawa keluar menghampiri sang suami.

Adam rupanya masih duduk di sofa. Kepala Adam semakin nyut-nyutan. Untuk berdiri ia agak susah. Pandangannya terasa kabur. Semua objek jadi punya kembaran.

Sambil memijat kening. Adam mencium aroma wangi khas tanaman herbal, jahe. Aromanya wangi, dan menggugah selera.

Tiap kali Adam sakit. Adam akan meminta Lily membuatkan wedang jahe tersebut. Adam akan merasa memiliki sepuluh kali semangat setiap mencium aromanya. Namun, berbeda untuk saat ini karena wedang jahe bukan buatan Lily melainkan Elena.

Jangankan memiliki sepuluh semangat. Melirik pun Adam enggan.

"Silahkan, Mas." Elena telah membuat wedang jahe itu penuh cinta. Ia juga menyuguhkannya tapi Adam tetap memijat pelipis tanpa ada keniatan menyentuh.

"Mas." Elena memperingatkan. Adam malah membuang wajah.

"Aku pusing. Kamu pergi saja ke kamar. Tolong biarkan aku sendiri," ujar Adam.

"Makanya aku buatin wedang jahe, Mas. Mungkin kamu kecapean juga," balas Elena.

Adam acuh tak acuh. Kemudian Elena beringsut bangun. Ia berjalan ke belakang sofa. Dipegangnya kepala Adam disusul pijatan-pijatan lembut darinya.

"Tidak perlu, El," tolak Adam menjauhkan tangan Elena, "aku tidak terbiasa dipijat," dalih Adam padahal acap kali sakit kepala ia selalu merengek pada Lily. Meminta wanita itu memijatnya meski lebih sering Lily menolak.

Elena terpaksa berhenti memijat. Ia beralih duduk di samping Adam seraya memandangi wajah suaminya itu.

Ditatap dalam demikian. Adam agak risih. Ia sedikit menjauh tanpa melepas pijatan kepalanya.

"Kamu masih kecewa sama pernikahan ini, Dam?" Tanya Elena.

Dan tanpa Adam menjawab pun Elena mestinya tau jawaban apa yang akan Adam beri. Hanya saja Adam ingin bungkam. Ia tak mau kekecewaan hatinya menyebabkan ia berkata yang mungkin menyakiti hati Elena.

"Dam, asal kamu tau. Dari dulu aku selalu suka sama kamu," terang Elena.

"Aku miskin, El. Kamu salah mencintai orang."

"Dam, harta bisa dicari tapi kebahagiaan sejati tidak. Dan selama aku mencari harta, aku tidak pernah merasa kebahagiaan sesungguhnya, Dam. Aku … aku bisa bahagia asal bersamamu."

Adam tersenyum kecut. Baginya ucapan Elena saat ini hanya karena ia masih pengantin baru. Ia belum tau kekejaman hidup setelah pernikahan berjalan cukup lama.

Bahtera rumah tangga tidak selalu manis. Ada pasang surutnya, yang mungkin nanti akan Elena rasakan. Dan bisa jadi setelah itu Elena menyadari bahwa cinta dalam hubungan bukan segalanya.

Persis seperti pendapat Lily usai mengalami pahitnya perjalanan rumah tangga ia dan Adam.

"Dam, aku tidak peduli kau miskin atau kaya. Asal kau Adam, seseorang yang kukenal sedari SMA. Maka ku anggap itu lebih dari cukup."

Sekali lagi Adam tersenyum kecut dibarengi gelengan kepala tak percaya.

"Perkataan mu sama persis seperti perkataan Lily saat awal-awal pernikahan kami. Setelah lewat berbulan-bulan baru ia rasakan betapa susahnya menjalani semua ini."

Elena membisu. Ia tak lagi berkata-kata manis. Ia cukup memperhatikan baik-baik wajah Adam. Lalu, tersenyum simpul.

"Sampai detik ini aku masih tidak mengira bahwa kau sungguh akan menjadi suami ku, Dam." Monolog Elena.

"Kau pergilah ke kamar. Aku ingin di sini," pinta Adam.

Elena berusaha menjadi istri yang baik. Ia mengangguk. Ia beringsut bangun dan melangkah ke kamarnya yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat Adam duduk.

Selepas kepergian Elena. Adam merebahkan tubuh di atas sofa. Ia berusaha menghilangkan rasa sakit di kepalanya seraya melirik wedang jahe buatan Elena.

Sejujurnya Adam ingin sekali menikmati wedang tersebut, akan tetapi mengingat tangan siapa yang membuat. Keinginan Adam seketika lenyap.

Entahlah. Ia sendiri tidak tau antara belum menerima atau tidak akan menerima kehadiran Elena dalam hidupnya.

Di sisi lain.

Kedua bola mata Lily masih terjaga. Matanya membulat menghitung setiap lembaran kertas bernilai dalam genggaman.

Tak secuil pun tampak ketidakbahagiaan pada wajah Lily. Ketidakbahagiaan yang selalu ia miliki telah lenyap bersama datangnya pundi-pundi harta, yang sekarang dalam dekapan.

Selain uang. Lily juga telah diberi hak mengurus perusahaan, yang tengah naik daun itu.

Lily melirik seragam baru untuk bekerjanya, besok. Wanita itu sudah tak sabar duduk di kursi putar, di hadapkan komputer dan dipanggil bos oleh para karyawannya.

Ah, rasanya Lily benar-benar tak bisa membayangkan kebahagiaan tiada tara itu. Sampai-sampai jam menunjukan angka 12 lewat. Mata Lily terjaga kuat. Kantuk tak sedikit pun mengusik.

Tok tok tok …

Alih-alih sedang menikmati kekayaan yang ia dapat. Pintu terdengar diketuk bersama masuknya Adam.

Adam melihat Lily tak menoleh ke arahnya. Seakan-akan kehadiran Adam ibarat angin lalu. Adam memanggil. "Li?"

Wanita itu balas bergumam. Ia lebih mementingkan harta ketimbang suami.

"Li?" Ulang Adam. Dan jawaban Lily tak berubah.

Adam menghela nafas kasar. Lantas, main berbaring saja di sisi sang anak yang sudah lelap.

"Aduh, Mas! Kamu jangan senggol-senggol uang aku, dong!" Omel Lily sambil menyingkirkan tubuh Adam.

"Li, aku mau tidur. Kamu singkirkan dulu uang kamu dari sini," saran Adam melihat sebagian uang Lily berantakan di atas sprei.

"Sebentar, Mas. Aku pusing, nih, ngitungnya," sungut Lily tak mau berpaling dari lembaran berharga tersebut.

"Li, dibandingkan uang itu sepertinya aku bukanlah apa-apa," cibir Adam.

"Tentu saja," jawab Lily.

Sakit. Jantung Adam mendadak berhenti berdetak. Matanya membulat, kosong. Buliran panas luruh menyusul. Segera ia seka dan memaksa senyum.

"Asal kau bahagia, li."

"Maksudku bukan begitu, Mas. Mas tau sendiri kehidupan dahulu kita bagaimana. Aku bisa gila kalau terus sengsara, dan beruntungnya Tuhan memberi jalan lain, Mas. Semua juga berkat kamu."

Kali ini Lily baru mengangkat wajah. Melempar senyum, yang selalu membuat Adam seolah memiliki segalanya meski ia miskin.

"Loh!" Lily berhenti menghitung uang. "Kok, kamu di sini, Mas. Harusnya malam ini kamu temani Elena. Ini malam pertama kalian."

"Nggak, Li. Aku lagi sakit. Aku pengen tidur bareng kamu dan Vino," tolak Adam.

"Tidak bisa begitu, dong, Mas. Elena juga istri kamu. Terlebih sekarang malam pertama kalian. Ayo keluar, kamu harus bermalam dengan Elena."

"Tapi, Li." Adam menolak. Ia merengek ingin tetap bersama Lily dan sang anak. Namun, dengan tega Lily menarik Adam keluar dari kamarnya serta membawa turun pria itu.

Lily sendiri yang mengantarkan Adam ke kamar Elena.

"Li, kamu tega sekali mencampakkan suami sendiri," batin Adam seakan ingin menangis.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selling My Husband   Hari Semakin cerah.

    Bulan keempat setelah mereka meninggalkan rumah Lily. Cuaca cerah saat Adam dan Elena berdiri di depan rumah kontrakan baru mereka—rumah tipe 36 dengan pagar besi sederhana dan cat tembok warna krem. Tidak luas, tapi bersih dan rapi, terletak di sebuah komplek perumahan sederhana di pinggir kota, cukup tenang, cukup ramah untuk anak-anak. Adam membuka pagar sambil tersenyum kecil. “Resmi jadi warga RT 05, Bu Elena,” katanya sambil menoleh ke istrinya. Elena tertawa, menggandeng tangan Vino yang sedang membawa boneka dinosaurus kesayangannya. “Ayo, Nak. Rumah baru kita.” Begitu masuk, Vino langsung berlari ke ruangan tengah yang belum berisi banyak barang. Hanya ada satu sofa kecil dan tikar gulung. “Bisa main bola di sini!” teriaknya riang. Elena menatap Adam. “Nggak nyangka, ya. Empat bulan lalu kita cuma punya satu kasur tipis dan dua koper.” Adam memeluk bahunya. “Dan sekarang kita punya ruang untuk tumbuh.” Malam itu mereka makan malam seadanya—nasi goreng buatan El

  • Selling My Husband   Membuka Lembaran Baru.

    Langit belum sepenuhnya biru ketika Adam mengayuh motornya menuju kedai kopi kecil yang ia miliki sejak beberapa waktu lalu, tepatnya atas bantuan Elena.Di dalam kedai, dua barista muda sedang sibuk mengelap meja dan mempersiapkan mesin espresso.Adam masuk, disambut aroma kuat biji kopi yang baru digiling.“Pagi, Mas Adam,” sapa salah satu karyawannya, Rio, ramah.Adam mengangguk, menggulung lengan kemejanya. “Mulai hari ini aku ikut turun tangan. Bukan cuma jadi bos yang duduk lihat angka.”Rio terkejut sejenak. “Serius, Mas?”Adam tersenyum. “Serius. Ajari aku bikin cappuccino yang bener. Aku harus bisa, Rio.”Dan pagi itu, Adam berdiri di belakang bar. Tangannya sempat kaku saat menuang susu ke dalam espresso, tapi ia tak menyerah. Berkali-kali gagal, tapi dia terus mencoba. Busa terlalu tebal, rasanya pahit, latte art-nya berantakan—tapi Adam tetap tersenyum.Setiap pelanggan yang datang pagi itu dibuat heran melihat sang pemilik turun langsung melayani. Ada yang memotret diam-d

  • Selling My Husband   Terusir Dari Rumah Sendiri.

    Vino sudah pulang. Di atas tempat tidur kecilnya, bocah itu masih lemah tapi tersenyum bahagia karena bisa kembali ke rumah. Di sisi tempat tidur, Elena mengganti selimutnya pelan-pelan, memastikan tidak ada angin masuk dari jendela. Adam menyalakan diffuser di sudut ruangan, memeriksa suhu ruangan agar tidak terlalu dingin.“Aku senang bisa tidur di rumah lagi,” gumam Vino dengan mata setengah terpejam.Elena tersenyum, mengecup dahinya. “Tidurlah, sayang. Besok kita bangun pagi, lihat burung dari jendela bareng-bareng, ya?”Adam mendekat, menyentuh kepala putranya lembut. “Ayah di sini, Nak.”Tak lama kemudian, suara langkah terdengar di luar kamar.“Adam, Elena. Ke ruang keluarga. Sekarang,” suara Lily terdengar tajam, tidak bisa ditawar.Adam dan Elena saling pandang tanpa sepatah kata pun.“Ayah keluar dulu, yah, kamu tidur dengan nyenyak,” kata Adam, menunduk dan mengecup kening Vino yang mulai ngantuk karena beberapa waktu lalu minum obat. Dan tak berselang lama usai Vino terti

  • Selling My Husband   Seperti Boom Waktu.

    Langit mulai meredup, senja menggantung di balik kaca jendela ruang rawat. Cahaya keemasan menerpa wajah kecil Vino yang tengah tertidur, pelan-pelan, napasnya tenang. Di sisi tempat tidur, Elena duduk sambil membacakan buku cerita dinosaurus yang tadi siang ia bawa.Sesekali ia berhenti, mengelus dahi Vino lembut.“Tidurlah, nak. Tante jaga kamu.”Adam berdiri di ambang pintu. Pandangannya jatuh ke wajah Vino, lalu ke Elena. Sekilas, dunia di ruangan itu terasa damai. Tapi tidak di dalam dirinya.“El,” panggilnya pelan.Elena menoleh. “Hmm?”“Aku keluar sebentar. Mau bicara sama Lily.”Elena mengangguk. Tak perlu banyak kata. Ia tahu, inilah saatnya.Di area parkir rumah sakit.Suara mesin kendaraan dan langkah-langkah tergesa terdengar di kejauhan. Di bawah pohon besar di sudut parkir, Adam duduk dengan pikiran kacau tapi kemantapan sepenuhnya menyelimuti dada. Tak lama, Lily datang. Tumit sepatunya beradu dengan lantai beton, kaku, tergesa, dingin.“Ada apa?” tanyanya tajam, "aku b

  • Selling My Husband   Memilih.

    Rumah Sakit – Pagi HariRuangan masih diselimuti cahaya temaram saat Adam membuka tirai jendela perlahan. Di atas ranjang, Vino mulai menggeliat. Napasnya lebih teratur. Warnanya tak sepucat semalam.Adam duduk di sisi tempat tidur, tangan besarnya menggenggam tangan kecil Vino dengan erat.Lily belum datang, dia sebelumnya mengirim pesan.“Aku harus ke kantor pagi ini. Ada hal yang harus diselesaikan. Aku ke rumah sakit siang nanti.”Adam hanya membaca, lalu mengunci layar ponselnya. Tidak ada balasan. Tidak perlu. Hatinya sudah cukup penuh oleh banyak hal yang lebih penting dari penjelasan seadanya.Ia mengusap rambut Vino, pelan, dan menunduk dekat ke telinga anak itu.“Papa di sini, Vin. Kamu nggak sendiri.”Dan seolah mendengar, mata Vino perlahan terbuka. Masih lemah, tapi ia tersenyum tipis.“Papa,” gumamnya.Adam menahan napas sejenak sebelum menjawab, “Iya, sayang. Papa di sini.”Beberapa saat berselang.Langkah ringan terdengar di lorong. Aroma makanan hangat bercampur wangi

  • Selling My Husband   Terlalu Serakah.

    Elena terdiam beberapa saat setelah Adam mengucapkan kata-kata itu."El, dibandingkan denganku, kamu lebih cocok bersama pria itu."Ia tidak langsung menjawab. Hanya menatap Adam dengan sorot yang sulit ditebak—antara tersentuh dan terluka.Namun, dalam hatinya... ada sesuatu yang hangat. Cemburu. Akhirnya Adam merasakannya juga. Akhirnya, lelaki itu menyadari keberadaannya... dan takut kehilangannya.Itu cukup. Untuk malam ini, itu cukup.Mereka duduk kembali. Dua cangkir di atas meja, satu berisi teh hangat yang hampir habis, satu lagi kopi hitam yang mulai mendingin.Tak ada perbincangan. Hanya diam. Tapi bukan diam yang hampa. Ada ribuan kata tak terucap yang beterbangan di udara, membentuk ruang hening yang... anehnya nyaman.Setelah beberapa saat, Elena melirik jam tangannya dan berdiri."Aku pulang dulu," katanya singkat.Adam mengangguk, ikut berdiri."Aku juga harus kembali ke rumah sakit."Mereka berjalan keluar bersamaan, lalu berpisah di trotoar, tanpa ucapan panjang, tanp

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status