Share

Aku Istrimu

Biarpun Elena lahir dari keluarga berkecukupan juga selalu dilayani para pelayan, tetapi bukan berarti Elena si anak manja yang tidak bisa melakukan pekerjaan rumah atau hanya bisa masak air.

Hidup mandiri sedari ia lulus SMA memaksa Elena melakukan segala hal seorang diri. Ia belajar memasak, membersihkan rumah, mencuci baju, menyetrika dan pekerjaan ibu rumah tangga lain.

Bahkan ketika sakit, Elena terbiasa membuat obat sendiri. Misal wedang jahe yang sekarang sedang ia buat.

Trik itu diajarkan nenek Elena sewaktu neneknya yang dari kota keraton tinggal di rumah.

Banyak yang nenek ajarkan pada Elena. Namun, Elena hanya menangkap beberapa hal saja. Salah satunya membuat wedang jahe beserta cara mengatasi orang sakit.

Sepuluh menit telah berlalu. Wedang jahe buatan Elena telah selesai. Ia menuangkannya ke dalam cangkir keramik. Kemudian ia bawa keluar menghampiri sang suami.

Adam rupanya masih duduk di sofa. Kepala Adam semakin nyut-nyutan. Untuk berdiri ia agak susah. Pandangannya terasa kabur. Semua objek jadi punya kembaran.

Sambil memijat kening. Adam mencium aroma wangi khas tanaman herbal, jahe. Aromanya wangi, dan menggugah selera.

Tiap kali Adam sakit. Adam akan meminta Lily membuatkan wedang jahe tersebut. Adam akan merasa memiliki sepuluh kali semangat setiap mencium aromanya. Namun, berbeda untuk saat ini karena wedang jahe bukan buatan Lily melainkan Elena.

Jangankan memiliki sepuluh semangat. Melirik pun Adam enggan.

"Silahkan, Mas." Elena telah membuat wedang jahe itu penuh cinta. Ia juga menyuguhkannya tapi Adam tetap memijat pelipis tanpa ada keniatan menyentuh.

"Mas." Elena memperingatkan. Adam malah membuang wajah.

"Aku pusing. Kamu pergi saja ke kamar. Tolong biarkan aku sendiri," ujar Adam.

"Makanya aku buatin wedang jahe, Mas. Mungkin kamu kecapean juga," balas Elena.

Adam acuh tak acuh. Kemudian Elena beringsut bangun. Ia berjalan ke belakang sofa. Dipegangnya kepala Adam disusul pijatan-pijatan lembut darinya.

"Tidak perlu, El," tolak Adam menjauhkan tangan Elena, "aku tidak terbiasa dipijat," dalih Adam padahal acap kali sakit kepala ia selalu merengek pada Lily. Meminta wanita itu memijatnya meski lebih sering Lily menolak.

Elena terpaksa berhenti memijat. Ia beralih duduk di samping Adam seraya memandangi wajah suaminya itu.

Ditatap dalam demikian. Adam agak risih. Ia sedikit menjauh tanpa melepas pijatan kepalanya.

"Kamu masih kecewa sama pernikahan ini, Dam?" Tanya Elena.

Dan tanpa Adam menjawab pun Elena mestinya tau jawaban apa yang akan Adam beri. Hanya saja Adam ingin bungkam. Ia tak mau kekecewaan hatinya menyebabkan ia berkata yang mungkin menyakiti hati Elena.

"Dam, asal kamu tau. Dari dulu aku selalu suka sama kamu," terang Elena.

"Aku miskin, El. Kamu salah mencintai orang."

"Dam, harta bisa dicari tapi kebahagiaan sejati tidak. Dan selama aku mencari harta, aku tidak pernah merasa kebahagiaan sesungguhnya, Dam. Aku … aku bisa bahagia asal bersamamu."

Adam tersenyum kecut. Baginya ucapan Elena saat ini hanya karena ia masih pengantin baru. Ia belum tau kekejaman hidup setelah pernikahan berjalan cukup lama.

Bahtera rumah tangga tidak selalu manis. Ada pasang surutnya, yang mungkin nanti akan Elena rasakan. Dan bisa jadi setelah itu Elena menyadari bahwa cinta dalam hubungan bukan segalanya.

Persis seperti pendapat Lily usai mengalami pahitnya perjalanan rumah tangga ia dan Adam.

"Dam, aku tidak peduli kau miskin atau kaya. Asal kau Adam, seseorang yang kukenal sedari SMA. Maka ku anggap itu lebih dari cukup."

Sekali lagi Adam tersenyum kecut dibarengi gelengan kepala tak percaya.

"Perkataan mu sama persis seperti perkataan Lily saat awal-awal pernikahan kami. Setelah lewat berbulan-bulan baru ia rasakan betapa susahnya menjalani semua ini."

Elena membisu. Ia tak lagi berkata-kata manis. Ia cukup memperhatikan baik-baik wajah Adam. Lalu, tersenyum simpul.

"Sampai detik ini aku masih tidak mengira bahwa kau sungguh akan menjadi suami ku, Dam." Monolog Elena.

"Kau pergilah ke kamar. Aku ingin di sini," pinta Adam.

Elena berusaha menjadi istri yang baik. Ia mengangguk. Ia beringsut bangun dan melangkah ke kamarnya yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat Adam duduk.

Selepas kepergian Elena. Adam merebahkan tubuh di atas sofa. Ia berusaha menghilangkan rasa sakit di kepalanya seraya melirik wedang jahe buatan Elena.

Sejujurnya Adam ingin sekali menikmati wedang tersebut, akan tetapi mengingat tangan siapa yang membuat. Keinginan Adam seketika lenyap.

Entahlah. Ia sendiri tidak tau antara belum menerima atau tidak akan menerima kehadiran Elena dalam hidupnya.

Di sisi lain.

Kedua bola mata Lily masih terjaga. Matanya membulat menghitung setiap lembaran kertas bernilai dalam genggaman.

Tak secuil pun tampak ketidakbahagiaan pada wajah Lily. Ketidakbahagiaan yang selalu ia miliki telah lenyap bersama datangnya pundi-pundi harta, yang sekarang dalam dekapan.

Selain uang. Lily juga telah diberi hak mengurus perusahaan, yang tengah naik daun itu.

Lily melirik seragam baru untuk bekerjanya, besok. Wanita itu sudah tak sabar duduk di kursi putar, di hadapkan komputer dan dipanggil bos oleh para karyawannya.

Ah, rasanya Lily benar-benar tak bisa membayangkan kebahagiaan tiada tara itu. Sampai-sampai jam menunjukan angka 12 lewat. Mata Lily terjaga kuat. Kantuk tak sedikit pun mengusik.

Tok tok tok …

Alih-alih sedang menikmati kekayaan yang ia dapat. Pintu terdengar diketuk bersama masuknya Adam.

Adam melihat Lily tak menoleh ke arahnya. Seakan-akan kehadiran Adam ibarat angin lalu. Adam memanggil. "Li?"

Wanita itu balas bergumam. Ia lebih mementingkan harta ketimbang suami.

"Li?" Ulang Adam. Dan jawaban Lily tak berubah.

Adam menghela nafas kasar. Lantas, main berbaring saja di sisi sang anak yang sudah lelap.

"Aduh, Mas! Kamu jangan senggol-senggol uang aku, dong!" Omel Lily sambil menyingkirkan tubuh Adam.

"Li, aku mau tidur. Kamu singkirkan dulu uang kamu dari sini," saran Adam melihat sebagian uang Lily berantakan di atas sprei.

"Sebentar, Mas. Aku pusing, nih, ngitungnya," sungut Lily tak mau berpaling dari lembaran berharga tersebut.

"Li, dibandingkan uang itu sepertinya aku bukanlah apa-apa," cibir Adam.

"Tentu saja," jawab Lily.

Sakit. Jantung Adam mendadak berhenti berdetak. Matanya membulat, kosong. Buliran panas luruh menyusul. Segera ia seka dan memaksa senyum.

"Asal kau bahagia, li."

"Maksudku bukan begitu, Mas. Mas tau sendiri kehidupan dahulu kita bagaimana. Aku bisa gila kalau terus sengsara, dan beruntungnya Tuhan memberi jalan lain, Mas. Semua juga berkat kamu."

Kali ini Lily baru mengangkat wajah. Melempar senyum, yang selalu membuat Adam seolah memiliki segalanya meski ia miskin.

"Loh!" Lily berhenti menghitung uang. "Kok, kamu di sini, Mas. Harusnya malam ini kamu temani Elena. Ini malam pertama kalian."

"Nggak, Li. Aku lagi sakit. Aku pengen tidur bareng kamu dan Vino," tolak Adam.

"Tidak bisa begitu, dong, Mas. Elena juga istri kamu. Terlebih sekarang malam pertama kalian. Ayo keluar, kamu harus bermalam dengan Elena."

"Tapi, Li." Adam menolak. Ia merengek ingin tetap bersama Lily dan sang anak. Namun, dengan tega Lily menarik Adam keluar dari kamarnya serta membawa turun pria itu.

Lily sendiri yang mengantarkan Adam ke kamar Elena.

"Li, kamu tega sekali mencampakkan suami sendiri," batin Adam seakan ingin menangis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status