Aku sudah membayangkan para penghuni bertanya-tanya bagaimana Rapat Dewan bisa berakhir dengan kondisi mengkhawatirkan—karena semua orang yang hadir kembali dalam waktu berbeda—tetapi semua orang yang terlibat malam itu, entah bagaimana sepakat dalam satu suara, bahkan tanpa pernah berunding—bahwa itu rahasia para dewan. Lebih anehnya lagi, tidak ada petinggi tim yang bertanya-tanya mengapa mereka bisa tiba-tiba tidak sadarkan diri, mengingat hampir semua orang juga ambruk di tempat yang sama.
Jadi, semua bermula ketika semua orang diangkut ke klinik—beruntungnya, klinik punya ruangan yang cukup untuk semua orang. Tim medis ambruk. Namun, tetap harus ada yang menjaga. Dokter Gelda tetap membuka mata, tetapi karena aku merasa bertanggung jawab, sepanjang malam aku menemani Dokter Gelda.
Bersama Fal.
Fal masih terjaga di pondok utama. Sebenarnya bersama Dalton dan Elton, tetapi mereka gagal menahan kantuk. Jadi, saat aku menjemput Fal, dia
Pencarian timku dan Lavi berjalan dalam dua kutub berseberangan. Dilihat dari aspek kelancaran perjalanan, kami aman. Dilihat dari segala petunjuk yang bisa didapat tentang Ibu, kami nihil. Nol besar.Aku lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Lavi yang biasa mengoceh panjang lebar juga tidak banyak bicara. Kami hanya saling menggamit sepanjang melintasi alam liar. Trek ke titik Padang Anushka berikutnya menjauhi gunung, jadi kami semakin meninggalkan trek terjal. Tidak ada medan curam berarti yang harus diwaspadai. Dari pembagian area pencarian, kami kebagian menyusuri sungai—karena menurut Profesor Merla dan Nadir, aliran air adalah area paling sulit untuk dilacak. Mereka membebankan itu padaku.Lavi tidak menganggapnya sebagai beban. Dia bilang, “Kalau mereka yang di sini, mereka takkan mendapatkan apa-apa, tapi kalau kita—yang daya lacaknya lebih tajam, ada kemungkinan memiliki peluang lebih besar.”“Aku juga tidak menganggapny
Kami melakukan persiapan akhir sebelum pergi meninggalkan tebing. Yang bagi Lavi dan Reila adalah mandi, sementara bagi Leo adalah mengucap perpisahan pada tempat gelap yang bersedia menaungnya sekitar empat tahun. Dia mengajakku ke dapur, menunjukkan catatan persediaan. Aku agak lupa dengan tulisan Ibu, tetapi dia menunjukkan tulisan Ibu padaku.Aku merasakan gejolak yang sama seperti saat membaca surat Bibi.Goresan tinta yang tertulis di kertas itu seperti melayang naik, menembus lapisan kertas seolah tengah memancarkan aura kehadiran seseorang. Aura Ibu bak keluar dari lapisan kertas dan memenuhi benakku.“Makasih,” kataku, mengembalikannya. “Aku semakin yakin dia hidup.”“Bibi Meri suka sekali membicarakan ikat rambutnya. Dia juga punya cara berpakaian yang agak aneh—maksudku, selendangnya melilit tubuhnya, kan? Aku tidak pernah menyangka kalau itu ada artinya. Semua itu pemberianmu. Dia cerita kalau kau memberinya
Keesokan paginya, aku menjadi orang ketiga yang bangun cepat.Ketika aku membuka mata, Jenderal dan Profesor Merla sudah tidak ada di tempat. Aku tidak berniat penasaran, tetapi lilin di ruangan yang kupikirkan sudah habis ternyata menjadi lilin yang baru. Salah satu dari mereka pasti menggantinya. Lavi masih terlelap. Aku mengecek arloji. Ternyata aku tidur cukup lama. Sekarang pukul setengah enam. Setidaknya, matahari sudah terbit. Kuputuskan memperbaiki selimut Lavi, melapisinya dengan milikku sebelum beranjak.Jenderal sedang duduk di pintu masuk gua, di atas tumpukan batu. Cahaya sudah merembes masuk dari lubang, sangat silau. Jenderal hanya duduk. Posisinya diletakkan menyongsong cahaya. Jadi, dari posisiku, yang kelihatan darinya hanya siluet. Sungguh, wujudnya yang ini membuatnya semakin memancarkan aura.Terlepas dari semua yang sudah terjadi—citra ingatan Bibi dan segalanya—aku berhasil membawa diriku di tumpukan tanah paling bawah.
Setelah melihat citra masa lalu Ibu dan Bibi, ketika Bibi menjadi eksistensi yang begitu sensitif dengan emosi, sebenarnya secara halus, Ibu juga begitu sensitif dengan emosi—terutama yang berhubungan dengan keluarga. Di masa lalu, satu-satunya keluarga yang dimiliki Ibu jelas Bibi, dan bukannya itu sudah jelas? Tidak pernah sekali pun Ibu kelihatan bisa rela ketika Bibi melakukan hal-hal berbahaya, mulai dari misi atau bahkan mendekati Jenderal. Jadi, ketika aku lahir dan menjadi putranya, Ibu benar-benar menerapkan perasaan serupa padaku.Ibu selalu dekat denganku—entah di Padang Anushka atau Lembah Palapa.Namun, kebenarannya, alasan kedekatan kami juga pernah didorong keras oleh kejadian yang berhubungan dengan emosi.Jadi, sewaktu kami masih di Padang Anushka, Ibu selalu sibuk dengan tim tungku. Sepanjang hari dan sepanjang waktu. Ibu bahkan semakin brutal mengisi waktunya di tim tungku setelah Reila lahir. Entah apa yang Ibu pikirkan, tetapi Ib
Aku dan Lavi adalah tim pertama yang berhasil menyentuh ujung lain dari gua. Tampaknya tim lain memilih cabang lain saat di dalam gua.Kurang lebih, ujung lain gua ini terhubung dengan sungai kecil. Kami ada di dataran yang entah bagaimana lebih landai, sehingga pintu masuk gua di ujung yang ini lebih mirip seperti sarang kelinci di pinggir sungai. Saat itu langit sudah gelap. Matahari telah terbenam, dan wilayah di sekitar juga hanya sungai di tengah hutan. Aku berusaha merasakan area sekitar, tetapi hasilnya nihil.“Ada batu kristal juga di sekitar sini,” kataku.“Berarti batunya memang mengitari tebing ini,” ucap Lavi. “Kau bisa, tidak, merasakan posisi pintu keluar yang ini di sebelah mana pintu masuk utama?”“Sepertinya utara. Kita ada di sisi lain dari arah kedatangan. Tapi kau sadar sesuatu? Hal yang sangat penting tentang gua di sisi ini.”Lavi mengerutkan kening, mengedarkan pandangan ke seki
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L