Ketika Dalton datang bersama Nuel dan Asva, terjadi pergantian penjaga di ruangan Jesse. Dokter Gelda dan Moli keluar, kemudian Dokter Gelda bilang pada kami: “Jaga klinik sebentar. Kami harus mengambil persediaan.”
Dokter Gelda mengajak Moli. Jadi, yang dimaksud itu aku, Tara, Dalton.
Di luar masih hujan deras. Akses jalur agak sulit, terutama setelah Dalton berkata, “Tempat ini jarang hujan, tapi kalau sudah hujan selalu deras sekali.”
“Seperti badai,” kata Tara, sepakat.
Sejujurnya, itu pertama kali aku mendapat hujan sederas ini. Pondok Nenek tidak pernah mendapat guyuran hujan bersama gemuruh yang saling bersahutan. Itu mengingatkanku akan Lavi, tetapi mustahil dia iseng mengaktifkan kemampuannya di tengah guyuran hujan. Setidaknya, ini hujan deras pertamaku yang sampai seperti berniat menerbangkan pohon-pohon. Angin berhembus begitu kencang, seolah Fal bisa diterbangkan begitu saja. Air menggenang di mana-mana. Ki
Ketika kami tiba, matahari sudah cukup tinggi dan kami ada di detik-detik terakhir sebelum titik berpindah. Tidak ada di antara kami yang berniat meleset dari titik ini, tetapi Lavi sepakat denganku. “Kita cari beberapa saat lagi.”“Tidak apa?” tanyaku.“Ini kesempatan paling bagus sebelum titiknya pergi.”Ketulusan Lavi dalam pencarian—seolah-olah dia yang kehilangan Ibu mau tidak mau membuatku tidak bisa protes. Kami benar-benar di alam liar hingga detik terakhir, meski—ya, nihil. Tidak ada petunjuk lain. Hanya alam liar normal yang bahkan tidak memiliki bekas pertempuran. Hanya pohon-pohon yang berdiri seperti biasa—pohon-pohon yang menjadi sarang hewan-hewan hutan. Lavi memutuskan untuk kembali, jadi kami memasuki Padang Anushka.Ketika berjalan di jembatan perbatasan, mendengar suara aliran air sungai yang berbenturan dengan batu, rasanya membuatku melayang. Lavi menuntun arah jalanku dengan mengg
Paginya, kami menahan sarapan karena akan kembali ke Padang Anushka.Kami di dalam kubus tanah persembunyian. Bedanya dengan yang kubuat di pemberhentian bersama geng idiot, kubus tanah ini dibuat dengan terburu-buru, aneh, dan tidak berbentuk kubus secara sempurna.Lavi tidak ingin membebaniku dengan pekerjaan membangun sesuatu. Dia mau dengan bentuk apa pun asalkan ditutupi sulur. Jadi, aku hanya membuat bentuk asal-asalan selama disetujui Lavi, lalu kami segera berbaring di dalamnya. Di dalam kubus hangat itu, aku memeluk erat Lavi, menenggelamkan diriku pada pundak dan dadanya, merasakan diriku berada di fase paling membutuhkan pelukan Lavi dari apa pun. Aroma Lavi memenuhiku. Aroma lemon dan lembut. Aroma yang bekerja sebagai terapeutik. Tanganku melilitnya. Lavi berbaring, mengusap dan menyugar rambutku di bawah dagunya.“Aku menemanimu,” gumam Lavi. “Libatkan aku di semuanya.”Aku hanya mengangguk. Di malam ketika Lavi menga
Pencarian timku dan Lavi berjalan dalam dua kutub berseberangan. Dilihat dari aspek kelancaran perjalanan, kami aman. Dilihat dari segala petunjuk yang bisa didapat tentang Ibu, kami nihil. Nol besar.Aku lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Lavi yang biasa mengoceh panjang lebar juga tidak banyak bicara. Kami hanya saling menggamit sepanjang melintasi alam liar. Trek ke titik Padang Anushka berikutnya menjauhi gunung, jadi kami semakin meninggalkan trek terjal. Tidak ada medan curam berarti yang harus diwaspadai. Dari pembagian area pencarian, kami kebagian menyusuri sungai—karena menurut Profesor Merla dan Nadir, aliran air adalah area paling sulit untuk dilacak. Mereka membebankan itu padaku.Lavi tidak menganggapnya sebagai beban. Dia bilang, “Kalau mereka yang di sini, mereka takkan mendapatkan apa-apa, tapi kalau kita—yang daya lacaknya lebih tajam, ada kemungkinan memiliki peluang lebih besar.”“Aku juga tidak menganggapny
Kami melakukan persiapan akhir sebelum pergi meninggalkan tebing. Yang bagi Lavi dan Reila adalah mandi, sementara bagi Leo adalah mengucap perpisahan pada tempat gelap yang bersedia menaungnya sekitar empat tahun. Dia mengajakku ke dapur, menunjukkan catatan persediaan. Aku agak lupa dengan tulisan Ibu, tetapi dia menunjukkan tulisan Ibu padaku.Aku merasakan gejolak yang sama seperti saat membaca surat Bibi.Goresan tinta yang tertulis di kertas itu seperti melayang naik, menembus lapisan kertas seolah tengah memancarkan aura kehadiran seseorang. Aura Ibu bak keluar dari lapisan kertas dan memenuhi benakku.“Makasih,” kataku, mengembalikannya. “Aku semakin yakin dia hidup.”“Bibi Meri suka sekali membicarakan ikat rambutnya. Dia juga punya cara berpakaian yang agak aneh—maksudku, selendangnya melilit tubuhnya, kan? Aku tidak pernah menyangka kalau itu ada artinya. Semua itu pemberianmu. Dia cerita kalau kau memberinya
Keesokan paginya, aku menjadi orang ketiga yang bangun cepat.Ketika aku membuka mata, Jenderal dan Profesor Merla sudah tidak ada di tempat. Aku tidak berniat penasaran, tetapi lilin di ruangan yang kupikirkan sudah habis ternyata menjadi lilin yang baru. Salah satu dari mereka pasti menggantinya. Lavi masih terlelap. Aku mengecek arloji. Ternyata aku tidur cukup lama. Sekarang pukul setengah enam. Setidaknya, matahari sudah terbit. Kuputuskan memperbaiki selimut Lavi, melapisinya dengan milikku sebelum beranjak.Jenderal sedang duduk di pintu masuk gua, di atas tumpukan batu. Cahaya sudah merembes masuk dari lubang, sangat silau. Jenderal hanya duduk. Posisinya diletakkan menyongsong cahaya. Jadi, dari posisiku, yang kelihatan darinya hanya siluet. Sungguh, wujudnya yang ini membuatnya semakin memancarkan aura.Terlepas dari semua yang sudah terjadi—citra ingatan Bibi dan segalanya—aku berhasil membawa diriku di tumpukan tanah paling bawah.
Setelah melihat citra masa lalu Ibu dan Bibi, ketika Bibi menjadi eksistensi yang begitu sensitif dengan emosi, sebenarnya secara halus, Ibu juga begitu sensitif dengan emosi—terutama yang berhubungan dengan keluarga. Di masa lalu, satu-satunya keluarga yang dimiliki Ibu jelas Bibi, dan bukannya itu sudah jelas? Tidak pernah sekali pun Ibu kelihatan bisa rela ketika Bibi melakukan hal-hal berbahaya, mulai dari misi atau bahkan mendekati Jenderal. Jadi, ketika aku lahir dan menjadi putranya, Ibu benar-benar menerapkan perasaan serupa padaku.Ibu selalu dekat denganku—entah di Padang Anushka atau Lembah Palapa.Namun, kebenarannya, alasan kedekatan kami juga pernah didorong keras oleh kejadian yang berhubungan dengan emosi.Jadi, sewaktu kami masih di Padang Anushka, Ibu selalu sibuk dengan tim tungku. Sepanjang hari dan sepanjang waktu. Ibu bahkan semakin brutal mengisi waktunya di tim tungku setelah Reila lahir. Entah apa yang Ibu pikirkan, tetapi Ib