Ketika kami tiba, matahari sudah cukup tinggi dan kami ada di detik-detik terakhir sebelum titik berpindah. Tidak ada di antara kami yang berniat meleset dari titik ini, tetapi Lavi sepakat denganku. “Kita cari beberapa saat lagi.”
“Tidak apa?” tanyaku.
“Ini kesempatan paling bagus sebelum titiknya pergi.”
Ketulusan Lavi dalam pencarian—seolah-olah dia yang kehilangan Ibu mau tidak mau membuatku tidak bisa protes. Kami benar-benar di alam liar hingga detik terakhir, meski—ya, nihil. Tidak ada petunjuk lain. Hanya alam liar normal yang bahkan tidak memiliki bekas pertempuran. Hanya pohon-pohon yang berdiri seperti biasa—pohon-pohon yang menjadi sarang hewan-hewan hutan. Lavi memutuskan untuk kembali, jadi kami memasuki Padang Anushka.
Ketika berjalan di jembatan perbatasan, mendengar suara aliran air sungai yang berbenturan dengan batu, rasanya membuatku melayang. Lavi menuntun arah jalanku dengan mengg
Keesokan harinya, kami bergerak ke sekitar gunung hingga hampir bertemu gelap lagi. Lavi punya gagasan menuruni area yang paling terjal—yang semestinya meningkatkan peluang bertemu monster dan musuh. Namun, tak ada lagi yang bisa kami temukan, kecuali alam liar yang jauh lebih brutal dari apa pun. Dengan yakin aku tahu tak ada manusia yang bisa menyentuh daerah ini lagi sejak 500 tahun lalu. Alam liar di puncak gunung terasa lebih alami seolah berada dalam pelindung.Tidak ada bekas monster. Tidak ada musuh. Gunung itu jelas mencurigakan.Kami berjalan cukup jauh sejak turun dari gunung. Tidak terbang lagi.Lavi menandai koordinat ketika aku menyusuri sungai.Sungai itu cukup janggal. Bagian sisinya punya banyak lubang aneh seperti perangkap. Aliran airnya sangat tenang. Sungai ini pasti lebih dalam dari kelihatan. Beberapa lubang aneh di pinggir sungai dan rawa-rawa ini membuatku bisa paham lebih banyak. Aku meminta Lavi menjauh dari sungai.
Profesor Merla memperingatiku soal misi pencarian.“Sejujurnya aku salah satu yang menentang misi pencarian, Forlan. Tak ada petunjuk yang bisa menjadi arah pencarian. Dan melihat citra roh alam yang sudah kau tunjukkan—Lavi juga cerita banyak hal tentang pemilik kemampuan roh—aku merasa Meri dilindungi sesuatu. Setidaknya, dia akan tetap terlindungi.”“Aku juga berharap begitu,” balasku, lebih berharap dari yang kupikirkan.“Aku akan membiarkanmu mencari, tapi jangan lupa kembali.”“Aku tahu.”“Aku tidak janji akan menemani Reila, tapi kuusahakan menemaninya. Dia adikmu dan dia sama keras kepalanya sepertimu meski kau kadang lebih terkendali. Lavi yang selalu bersamamu itu lebih keras kepala—sejujurnya. Tapi aku percaya kau dan Lavi tidak perlu dicemaskan. Berjanjilah padaku, tetaplah di batas wajar saat misi. Saat Lavi bilang harus kembali, jangan menentang. Pulanglah.”
Aku tidak bisa menghindari geng idiot lebih lama lagi.Saat itu aku sedang mengasah ketajaman kemampuan yang kutunjukkan di gua tebing—ketika aku membuat kabut pendar putih mewujud menyerupai sosok Ibu yang kulihat dalam ingatan roh alam. Aku sudah lama memikirkan kemampuan itu. Kemampuanku memiliki banyak macam kekuatan yang bisa digunakan. Kabut, angin, tanah, tumbuhan—setiap unsur punya banyak yang bisa dimanipulasi. Jadi, aku membayangkan bisa menyilangkan semua unsur itu menjadi satu kekuatan.Selama ini aku memakai angin untuk terlihat seolah-olah melayang di udara, lalu di satu waktu juga menutupi diri dengan kabut. Itu bukan bentuk menyilangkan kekuatan yang kubayangkan. Aku membicarakan itu pada Lavi. “Kalau kekuatanku digunakan bersamaan mungkin bisa lebih mengerikan.” Lavi tidak terlalu mengerti maksudku, jadi aku menjelaskannya. Berbelit-belit, tetapi Lavi mengerti.“Maksudnya bukan satu kekuatan ditumpuk dengan kekuatan
Lagi-lagi aku tidak berminat bertemu penghuni yang lalu-lalang ke markas tim tungku, jadi aku dan Reila berjalan ke gerha sembari berselimut kabut. Benar saja. Kami beberapa kali bertemu penghuni—Elka, Haswin, Yasha, Saga—mereka pasti menyapa kami dan bertanya hasil misi. Kami berhasil meloloskan diri dan tiba di gerha dengan cepat.Kabut memudar. Kami mewujud, memasuki gerha.Dengan cepat kudapati Fal duduk di selasar bersama seseorang. Normalnya, dia pasti bersama Reila. Sayangnya, Reila bersamaku.Fal bersama Lavi.Lavi semestinya tahu apa yang kulakukan. Saat kupikir dia akan menuntut karena aku tidak memberitahunya apa-apa, Lavi mengulas senyum seperti hari-hari normal. “Hai, Reila. Bagaimana kondisimu?”“Baik,” jawab Reila, lumayan jujur. “Maaf membuat khawatir.”Tampaknya Fal sudah mengerti sebagian besar yang terjadi karena dia tidak langsung bertanya apa yang terjadi. Aku sudah terbias
Aku menghabiskan beberapa waktu di depan makam Bibi, meletakkan tiga ikat bunga berkilau biru. Aku sudah berhasil menggapai diriku kembali. Kesadaran penuhku kembali. Aku punya pengendalian diri maksimum lagi.Namun, aku tidak bisa menahan diri untuk bergumam penuh peluh.“Apa Bibi sekarang benar-benar meninggal untukku?”Aku tahu akan sangat menyakitkan bila tinggal di sana lebih lama lagi, jadi aku beranjak. Matahari sudah bersinar cukup jelas.Fal sendirian di gerha. Aku pergi di awal pagi. Sebelum pergi pun, aku tidak mau ambil risiko. Jadi, aku membangunkan Fal. Dia berhasil terbangun. Aku jujur padanya. “Fal, aku mau ke Ibu. Fal tunggu di sini, ya?”Awalnya Fal menggeleng. Namun, aku meyakinkannya karena ada Fin yang bersamanya. Aku tidak mau menangis di depan Fal. Aku juga bicara pada Fin agar menjaga Fal. Fin oke-oke saja. Dan saat itulah Fal memerhatikan kami.“Fal tahu ada Fin di sini,” ucapnya.
Aku terlelap sembari memeluk erat Fal. Tampaknya Fal sampai terbangun karena tiba-tiba aku memeluknya erat. Jemari Fal mendadak terulur ke pipiku dan dengan mata setengah terpejam, Fal berkata, “Forlan... tidur.”“Hm-mm.” Aku mengangguk. “Selamat tidur, Fal.”Di hari ulang tahun Ibu, aku pernah memberi selendang kuning padanya.Tentunya rajutan sendiri—meski bukan aku yang merajutnya. Aku sempat berniat merajut sendiri, tetapi untuk anak sangat kecil, itu hal paling mustahil. Bibi memergokiku memegang jarum dan menjerit-jerit seolah jarum bisa membunuh sampai ke lapisan paling dalam. Bibi menginterogasi mengapa aku sampai berani membongkar peralatan menjahit Ibu dan memegang jarum kecil. Kubilang aku ingin menghadiahkan Ibu selendang rajutan sederhana.“Anak empat tahun memangnya bisa merajut?” tuntut Bibi, nyaring.“Aku lima tahun!”“Buat Bibi, Forlan itu masih empat ta