“Kita langsung ke sana atau mau makan malam dulu?” tanya Ale begitu mereka baru saja beberapa meter meninggalkan kampus Lady.“Langsung ke sana aja deh,” putus Lady. “Aku masih kenyang,” sambungnya lagi.“Awet ya makan siang sama aku? Kenyangnya lama.” Ale terkekeh menimpali. Kakinya menekan pedal gas lebih dalam.“Iya nih, biasanya jam segini aku udah laper, tapi tumben masih kenyang jam segini.””Itu karena tadi kamu makan siangnya sama aku. Coba kalau nanti makan bareng aku lagi dijamin kenyangnya bakal awet sampai besok.”Tawa Lady meledak. Pria di sebelahnya ini tak henti-henti mengocok perutnya. Entah sudah berapa kali sejak siang tadi.Lady kemudian memeriksa ponselnya. Tidak ada notifikasi apa pun di sana. Termasuk dari Rain. Suaminya itu tidak menghubunginya sama sekali, membuat Lady menjadi yakin bahwa pria itu memang tidak memedulikannya. Bahkan mungkin jika ia mati sekali pun Rain tidak akan mau tahu. Lelaki itu pasti mensyukuri kematiannya.“Tuh kan, tiap lagi sama aku pa
Rain mengedarkan mata, memindai keadaan di sekelilingnya. Saat ini Rain sedang berada di kampus Lady. Tidak ada lagi aktivitas di sana. Kampus sudah sepi karena kegiatan perkuliahan sudah berakhir sejak beberapa jam yang lalu.’Kelayapan ke mana lagi lo, Lad?’Rain mulai pusing karena tak juga menemukan istrinya. Saat mencoba menghubungi Lady, ternyata tidak bisa dihubungi. Membuat Rain tidak bisa untuk tidak berpikiran negatif. Pasti Lady sengaja mematikan ponselnya supaya bisa bebas dan berkeliaran ke mana-mana.Keluar dari kampus Lady, Rain mengemudi tanpa arah. Ia susuri jalan raya sementara matanya berlarian dengan gelisah. Setiap sudut ruas jalan tidak lepas dari penglihatannya. Berharap ia akan menemukan Lady.Rain kemudian mendatangi Cake Palace. Yang ditemukannya hanyalah bangunan kosong. Tidak ada siapa pun di sana.‘Brengsek, lo bener-bener mau cari masalah sama gue.’ Rain menendang tong sampah yang berada di depan gedung saking kesalnya.Ia segera masuk ke dalam mobil saat
Lady melangkah masuk ke dalam rumah mendahului Rain. Ia bermaksud menuju kamar pembantu dan tidur di sana, tapi suara laki-laki itu mencegahnya.“Lo mau ke mana?”Lady diam saja. Ia tidak peduli dan meneruskan langkah.“Lad, lo budek ya? Lo denger gue nggak sih?” Rain mencekal tangan Lady sehingga kakinya tertahan. Rain langsung menghadang di depan dan ia mendapati muka cemberut istrinya itu. “Harusnya gue yang marah, bukan lo, Lad.”Tanpa mengeluarkan suara, Lady terus menyingkir, menerobos Rain yang berdiri menghadang di depannya.“Lad, gue lagi ngomong sama lo, denger nggak sih? Lo hargai gue dong!””Aku mau tidur.”“Tapi ini bukan kamar kita.”‘Kita’. Kalimat itu membuat Lady merasakan sesuatu yang berbeda. Seingatnya baru dua kali Rain menggunakan kata itu y
“Kamu ke mana aja semalam, Dy? Bunda sama Rain sampai cemas,” kata Kanayya pagi itu. Mereka sedang berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama.”Semalam aku ke rumah temen, Nda, ngerjain tugas kuliah. Maaf ya, Nda, aku nggak kasih kabar. Hpku habis baterai.” Lady beralasan sembari menekan perasaan bersalah dalam-dalam.“Oh, Bunda kira ada apa, soalnya hujan dan kamu masih belum pulang. Biasanya sebelum kuliah kamu kan pulang dari toko dulu.”“Iya, Nda, maaf sekali lagi,” ulang Lady. Ah, bersalah sekali rasanya membohongi mertuanya ini.“Nggak apa-apa, Dy, cuma kalau bisa kalau lain kali kamu ada pergi-pergi lagi kamu catet nomer hp Rain atau Bunda di kertas, jadi kalau hp kamu mati kamu bisa kasih kabar pake hp temen kamu.””Iya, Nda.” Aku hafal kok nomer hp Bunda, tapi semalam bener-bener nggak kepikiran buat kasih kabar. Maaf ya, Nda, lain kali aku nggak akan ulangi lagi.”Kanayya tersenyum maklum. “Nggak apa-apa, yuk lanjutin makannya.”Lady menyuap oatmeal. Sesekali melirik ke a
Ale menghentikan mobilnya tepat di depan toko handphone milik temannya yang kebetulan sekali saat itu sedang sepi.“Pacar baru?” Si pemilik toko langsung menyambut dengan pertanyaan tak terduga yang membuat Ale dan Lady sama-sama terkejut.“Bukan, ini istri temen gue,” sangkal Ale membantah.”Istri temen apa istri demen?” ujar temannya lagi dengan kalimat penuh penekanan.”Bisa aja lo.” Ale tertawa, sedang Lady hanya tersenyum canggung. “Gue ke sini mau beli hp.”“Lo mau yang mana?”Ale kemudian memandang pada Lady, meminta pendapat perempuan itu. “Dy, kamu mau yang mana?” tanyanya.“Bagusnya yang mana ya?”Teman Ale pemilik toko handphone kemudian menjelaskan satu demi satu spesifikasi barang dagangannya dengan sedetail mungkin. Lady agak kebingungan karena terlalu banyak pilihan namun kemudian Ale memberinya masukan.Sementara itu di dalam taksi Rain masih terus mengawasi. Taksi tersebut parkir beberapa meter dari toko handphone tersebut. Rain tidak tahan lagi. Rasanya saat itu juga
Rain masih berada di mobil, mengawasi pergerakan di depannya. Setelah menurunkan Lady, Ale segera pergi meninggalkan kampus Lady. Tujuannya sekarang adalah apartemennya sendiri.Handphonenya yang berada di atas dashboard tiba-tiba menyala, menimbulkan cahaya terang dalam minimnya penerangan di dalam mobil. Ale menjangkau ponsel, melihat ada pesan masuk dari Rain.”Lo di mana?””On the way.” Ale membalas singkat, sependek pertanyaan Rain untuknya.“Sama siapa?””Sendiri. Lo mau meet up? Atau ada yang harus gue lakuin?””Nggak, gue cuma doang.”Lalu Ale tidak membalas lagi pesan dari Rain. Obrolan singkat mereka berakhir sampai di situ. Tumben, pikir Ale. Tidak biasanya Rain menghubungi hanya sekadar ingin tahu keberadaannya di mana. Karena biasanya Rain selalu memberi perintah atau hal yang harus dilakukannya.Denting notifikasi terdengar lagi dari ponselnya. Membuat Ale kembali mengambil benda itu. Sedikit tercengang kala mengetahui Alana yang mengiriminya pesan.“Ale, aku besok sore
Lady meringis. Bagian bawah tubuhnya terasa sakit. Sementara Rain masih berada di atas tubuhnya.”Rain…” Lady mengusap punggung Rain agar pria itu beranjak dari atasnya. Namun laki-laki itu tak bergerak. Lady baru menyadari ternyata Rain sudah tidur. Bisa-bisanya dia ketiduran sedangkan mereka belum saling memisahkan bagian bawah tubuh masing-masing. Menggerakkan kaki, Lady merasakan milik Rain yang telah kembali ke ukuran semula kini keluar dari tubuhnya. Dengan hati-hati Lady menggeser badan Rain dari atasnya hingga laki-laki itu kini terbaring di sebelahnya. Mungkin Rain terlalu lelah, pikir Lady. Atau memang sudah jadi kebiasaan? Lady tidak tahu apa orang yang selesai bercinta akan langsung tidur. Lady bangkit dari posisi berbaring dan mencoba duduk. Seperlahan apa pun gerakan yang ia lakukan tetap saja menimbulkan nyeri terutama di bagian bawahnya. Tubuhnya terasa remuk seakan baru saja melakukan aktivitas fis
Tertatih, Lady berjalan menuju ruang depan untuk menemui tamunya yang tidak sabar lantaran terus membunyikan bel.Begitu pintu terbuka sesosok pemilik wajah gagah tersenyum padanya.”Pagi, Lady, Rain ada?”Lady juga tidak tahu apa suaminya sudah pergi atau belum.“Maaf, Le, aku baru bangun, mungkin Rain sudah pergi.” Tidak ada senyum hangat seperti biasa di bibirnya saat menjawab pertanyaan Ale.”Oh, berarti dia pergi duluan. Tadi katanya lagi nunggu aku. Mungkin dia udah nggak sabar kali ya?” Ale menduga-duga sendiri.”Mungkin,” jawab Lady lirih.Ale baru menyadari ada yang berbeda pada Lady hari itu. Lady tidak seperti biasa. Mukanya pucat, perempuan itu juga terlihat lesu, sehingga Ale harus menanyakan keadaannya.“Dy, kamu lagi sakit?”Lady ingin mengatakan kalau saat ini ia baik-baik saja. Tapi pasti ketahuan sedang berbohong karena buktinya terlalu nyata.”Sedikit, badanku meriang.”“Kamu sudah minum obat? Sudah ke dokter? Oh iya, Tante Kanayya kan dokter, kamu udah dikasih obat
Rain masih duduk di lantai dengan tubuh lemas. Di sisi kiri dan kanannya ada Lady dan Alana yang mendampingi. Ketiganya sama-sama membisu merenungi takdir hidup sendiri-sendiri.Rain yang baru saja menemukan cinta sejatinya harus diuji lagi dengan cobaan hidup bertubi-tubi. Pun dengan Lady. Ia baru saja akan berbahagia setelah bertahun-tahun hidup menderita. Sedangkan Alana lain lagi ceritanya. Ia mencintai laki-laki yang mungkin tidak pernah menganggapnya ada.Apa pun itu, masalah terbesar mereka saat ini adalah Sydney yang terbukti mengandung anak Rain."Rain, ikut Bunda ke ruangan." Tiba-tiba Kanayya melintas di depan mereka.Rain menengadah dan mendapati raut perempuan itu masih sama seperti tadi. Sedih dan kecewa.Rain cepat berdiri dan mendesak Kanayya dengan pertanyaan yang sama yang berulang-ulang ia cetuskan."Nda, itu semua nggak bener kan? Semua salah kan, Nda? Jujur sama aku, Om Jacob kasih uang berapa ratus juta untuk rumah sakit ini? Berapa miliar, Nda?""Hati-hati kalau
Keluarga Rain dan keluarga Sydney sudah tiba di rumah sakit sejak lima belas menit yang lalu. Mereka diminta menunggu untuk beberapa saat. Rain dan Lady duduk berdampingan dengan tangan saling menggenggam seakan sedang berbagi kekuatan satu sama lain. Alana yang semula ragu akhirnya memutuskan untuk ikut ke rumah sakit. Sedangkan keluarga Sydney menunggu di sudut lain.Sydney tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah Rain. Tatapannya begitu mendamba. Meski Rain tidak sedetik pun ingin menoleh padanya tapi perempuan itu tak peduli. Rain boleh saja bersikap seperti itu sekarang. Rain boleh benci padanya. Yang diyakini perempuan itu Rain pasti akan kembali ke pelukannya cepat atau pun lambat. Ya.Kanayya menghilang dari sisi mereka untuk mengurus segala sesuatunya. Sedangkan Rain sudah semakin tidak sabar. Satu-satunya yang terlihat paling rileks di antara mereka adalah Sydney. Sekarang sang selebgram begitu asyik memeriksa notifikasi sosial media miliknya dan membalas satu demi satu
Setelah menanti beberapa hari yang benar-benar menguji kesabaran dan ketahanan jantung, maka saat itu pun tiba. Saat di mana mereka akan mengetahui hasil tes DNA yang dilakukan tempo hari. Semua diliputi perasaan harap-harap cemas dan mengencangkan doa di hati masing-masing. Semoga hasil tes DNA yang mereka terima nanti adalah hasil yang paling jujur. Hanya dalam hitungan jam maka mereka semua akan mengetahui bagaimana hasilnya. Tiga hari ini adalah hari terpanjang yang pernah mereka lalui. Selama tiga malam ini pula mereka kesulitan untuk memejamkan mata.”Nggak mungkin! Nggak mungkin! Dia bukan anak aku!” Rain berteriak sekuat yang ia bisa. Ia memandang ketakutan pada Sydney yang berdiri di hadapannya sambil menggendong seorang bayi dan tak henti menyodorkan pada Rain. Perempuan itu menyeringai lebar dan tampak mengerikan.”Rain, ini anak kamu, gendong dia, Rain, ini darah daging kamu.”“Bukan! Dia bukan anakku! Pergi kalian!” Rain kembali berteriak ketakutan. Ia berlari sekencang
Lady tiba di rumah tepat lima menit sebelum pukul tujuh malam. Lady langsung masuk ke kamar. Ia disambut oleh dekapan hangat Rain yang terasa begitu lekat di badannya.“Kenapa baru pulang jam segini, Lad? Aku chat kamu tapi pending, aku telfon tapi nggak aktif.””Hp aku mati, tadi low bat.”“Kan udah aku kasih tau bawa power bank ke mana pun kamu pergi. Kalau perlu dikantongin.””Sorry, Rain, aku lupa.”Embusan napas Rain menerpa pipi Lady. Sementara dekapannya melingkar semakin erat. Rain memang paling suka memeluk Lady dari belakang dan menopangkan dagu di pundak perempuan itu.”Hmm… lain kali jangan sampai lupa lagi ya. Aku kan susah mau ngehubungin kamu.”“Ya,” jawab Lady datar.Mengetahui Lady yang berbeda dari biasanya, Rain membalikkan badan perempuan itu agar mengarah padanya. Rain menemukan muka Lady yang lesu. Rain tahu pasti penyebabnya adalah karena memikirkan masalah Sydney.Rain menggandeng Lady, menuntunnya menuju kaca besar setinggi orang dewasa di kamar mereka. Ia kem
Segaris senyum manis dari pria bermata teduh langsung menyambut ketika Lady baru saja menapaki anak tangga terakhir yang menghubungkan ke lantai dua. Lady membalas senyuman itu dan berjalan mendekat.“Sudah lama?” tanya Lady sembari duduk di kursi seberang Ale, lantas melirik cangkir kopi di atas meja yang tampaknya belum tersentuh.“Baru sepuluh menitan.” Ale menjawab sambil melirik arloji.Ada jeda yang mengisi setelah obrolan pembuka itu. Ale berdeham, memandang Lady lebih dekat dan lekat. Mencoba membaca perasaan perempuan itu melalui ekspresi wajahnya.Nyatanya raut Lady yang datar tidak memberi informasi apa-apa. Apa Lady memang setegar itu atau ia terlalu pandai menyembunyikan perasaannya?Batuk kecil Ale mengantar pada kalimat berikutnya. “Aku lagi ada janji sama kakakku, mungkin sebentar lagi dia datang.”“Dia mau ke sini?””Iya. Nanti dia juga bakal ngomong sama kamu.””Soal apa?” Lady penasaran sekaligus terkejut mengetahuinya.”Kebetulan kakakku mau ada acara, jadi aku re
Tidak tahu berapa lama Rain berada di kamar Kanayya. Tadi setelah bertangisan, meminta maaf, dan berbicara dari hati ke hati Rain berbaring di samping Kanayya sambil memeluknya hingga keduanya sama-sama tertidur. Saat Rain terbangun, Kanayya masih tidur. Tapi Rain tidak yakin jika Kanayya benar-benar pulas. Sesekali bundanya itu tersentak dan bergerak-gerak seperti sedang mengalami mimpi buruk. Rain harap semoga saja kejadian pahit ini tidak terbawa ke dalam mimpinya.“Maafin aku, Bunda,” pinta Rain sekali lagi sambil mengecup dahi Kanayya. Setelahnya ia keluar dari sana.Rain berpapasan dengan Lady di depan pintu kamar mereka. Istrinya itu sudah rapi. Sebelah tangannya menjinjing kantong besar berisi oleh-oleh yang dibelinya untuk anak toko Cake Palace.“Lad, tadi aku ketiduran di kamar Bunda. Kamu mau ke mana?” tanya Rain.“Mau ke toko.” Lady yakin dengan beraktivitas di luaran pikiran dan perasaannya akan jauh lebih baik.“Pake mobil kamu?”Lady gelengkan kepala. Setelah Ale resig
Keluarga Sydney sudah pergi meninggalkan rumah Kanayya sejak lima menit yang lalu. Setelahnya Kanayya langsung masuk ke kamar. Meninggalkan Rain dan Lady berdua di ruang tamu.Lady ikut angkat kaki dari sana, masuk ke dalam kamarnya seperti Kanayya. Pengakuan Sydney dan keluarganya tadi membuat otaknya kosong. Lady tidak dapat berpikir apa-apa.Rain yang baru saja menyadari jika Lady sudah beranjak dari sisinya menyusul ke kamar. Ia dapati istrinya itu sedang duduk sendiri di tepi jendela sambil melamun.Rain berjalan mendekat, menghampiri Lady. Ia ikut duduk di sebelah perempuan itu. Mereka sama-sama terdiam untuk menit yang lama. Rain tidak tahu harus mulai dari mana. Hingga detik ini ia masih mencoba meredakan kecamuk di dadanya.Dalam diam Rain meraih tangan Lady, menguncinya dalam genggaman. Tidak ada penolakan apa-apa dari perempuan itu. Semenit, dua menit, tiga menit, keduanya masih sama-sama diam. Hingga menit kelima Rain tidak tahan untuk tetap bungkam.“Lad, kamu marah?”Lad
“Bunda yang nelfon?” tanya Lady pada Rain setelah panggilan tersebut berakhir.“Iya, Bunda minta aku ke ruang tamu sekarang. Yuk, Lad, kamu udah siap kan? Sekalian kita berangkat.”“Siapnya udah dari tadi, tapi kan kamu yang nahan aku.”Rain terkekeh. Dirangkulnya punggung Lady keluar dari kamar. Tapi sebelumnya Rain masih sempat melabuhkan kecupan hangat di puncak kepala istrinya.”Ini Bunda manggil kamu ada hubungannya ya sama tamu di depan?””Nggak tau juga, Lad. Aku belum sempet nanya telfonnya udah dimatiin. Bunda cuma minta aku ke ruang tamu.”Rain tidak berkata apa-apa setelahnya. Ia pikir mungkin yang datang berkunjung saat ini adalah salah satu teman sang bunda yang ingin bertemu dengannya. Nyatanya ia salah. Persis seperti Kanayya tadi langkahnya tertahan kala mengetahui siapa yang kini tertangkap oleh lensa matanya.Ada Sydney di sana. Apa tidak salah? Mau apa dia di sini? Rain mulai bersikap waspada.”Bae…” Sydney mendesis penuh keharuan kala melihat pria yang dicintainya
“Siapa yang datang pagi-pagi begini, Nda?” tanya Rain setelah Bibi berlalu meninggalkan ruang makan.“Bunda juga nggak tahu,” jawab Kanayya seraya menyeka bibirnya dengan serbet. Lebih awal mengakhiri sarapan pagi itu.“Pasien mungkin ya, Nda?” kata Lady ikut mengira.“Bisa jadi sih. Bunda ke depan dulu.” Kanayya bangkit dari kursi untuk kemudian meninggalkan tempat itu.Tinggallah Rain berdua dengan Lady di ruang makan.Rain merasa gemas melihat mulut Lady yang celemotan oleh bekas susu. Ia mengulurkan tangan menjangkau bibir sang istri dan menyapukan jemari di sana. “Ada bekas susu nempel di mulut kamu.”Selama sepersekian detik Lady terpana. Semakin hari cara Rain memperlakukannya bertambah manis.“Kok malah bengong? Habisin gih,” suruh Rain agar Lady lekas menuntaskan sarapan pagi. Ia tertawa sambil mengusap lembut pundak sang istri.“Eh, iya,” gumaman kecil keluar dari mulut Lady setelah sadar dari ketermanguan.*Kanayya menggegas langkah ke ruang depan lantaran tidak ingin tamu